ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Dr Sahara, SP MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema karya ilmiah
yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2018 ini adalah ketahanan pangan dengan
judul Analisis Jangka Panjang Faktor yang Memengaruhi Produksi Pangan
Sebagai Bagian dari Ketersediaan Pangan di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi
selaku pembimbing serta Bapak Dr Syamsul Hidayat Pasaribu, MSi dan Ibu Heni
Hasanah, SE MSi selaku dosen penguji yang telah memberi saran. Di samping itu,
terima kasih penulis sampaikan kepada Kak Amin dan Silvia atas bantuannya
dalam hal pengolahan data, serta Kak Kiki atas sarannya dalam hal penulisan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh
keluarga dan teman-teman atas doa dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis
ungkapkan terima kasih kepada seluruh keluarga Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan angkatan 51, khususnya teman sebimbingan (Undung Permatasari,
Sheila Wulandari, Ixananda Arcedia, dan Raras Aisyah), serta teman-teman
Institut Pertanian Bogor atas segala doa dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR GAMBAR
1 Konsep keterkaitan antara kerawanan pangan dengan kelaparan,
kekurangan gizi, dan kemiskinan 2
2 Persentase jumlah penduduk yang mengalami kekurangan gizi di
Indonesia tahun 2000 – 2015 2
3 Jumlah total penduduk Indonesia tahun 2000 – 2016 3
4 Kerangka kerja ketahanan pangan 7
5 Kerangka pemikiran 12
6 Perkembangan indikator ketersediaan pangan di Indonesia 20
7 Hasil IRF produksi pangan terhadap luas lahan pertanian pada model 1
(AGRL) dan model 2 (ARL) 24
8 Persentase luas lahan pertanian 24
9 Hasil IRF produksi pangan terhadap pertumbuhan ekonomi pada model
1 dan model 2 26
10 Hasil IRF produksi pangan terhadap impor pangan pada model 1 dan
model 2 27
11 Jumlah impor pangan utama dan pangan olahan di Indonesia pada tahun
2000 – 2016 28
12 Hasil IRF produksi pangan terhadap pembentukkan modal pada model
1 dan model 2 29
13 Hasil IRF produksi pangan terhadap produktivitas tenaga kerja pada
model 1 dan model 2 30
14 Share tenaga kerja subsektor tanaman pangan terhadap sektor pertanian
di Indonesia (jiwa) 31
15 Tenaga kerja subsektor tanaman pangan berdasarkan golongan usia di
Indonesia (jiwa) 31
16 Hasil FEVD produksi pangan model 1 32
17 Hasil FEVD produksi pangan model 2 32
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil uji stasioneritas data pada tingkat level dan first difference
dengan Phillips-Perron test 37
2. Hasil uji stasioneritas data pada tingkat level dan first difference
dengan Augmented Dickey Fuller test 41
3. Hasil Uji Lag Optimum 46
4. Hasil Uji Stabilitas VAR 47
5. Hasil Uji Kointegrasi 48
6. Hasil Estimasi VECM 50
7. Hasil Impulse Response Function (IRF) 56
8. Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) 58
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
15
populasi (%)
10
200
150
100
50
0
2000
2016
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: World Bank, 2018 (data diolah)
Gambar 3 Jumlah total penduduk Indonesia tahun 2000 – 2016
Perumusan Masalah
Ketahanan pangan merupakan isu pokok yang penting bagi seluruh negara
di dunia karena tingkat urgensinya. Kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari
tingkat ketahanan pangan suatu negara. Menurut Nurhemi et al. (2014), bahwa
ketahanan pangan merupakan isu pokok pemenuhan kesejahteraan masyarakat
yang akan menentukan kestabilan ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu negara.
Pada tahun 1970-an, ketahanan pangan terfokus pada pentingnya
pemenuhan pangan di tingkat nasional yang dilihat dari dimensi ketersediaan
pangan. Kemudian sekitar tahun 1980, ketahanan pangan rumah tangga menjadi
fokus penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini disebabkan
ketersediaan pangan saja belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan seluruh
individu dalam suatu wilayah. Dimensi akses pangan menjadi hal utama pada saat
itu. Setelah itu, aspek kelestarian lingkungan ikut dimasukkan dalam isu
ketahanan pangan sekitar tahun 1990 (Rachman dan Ariani 2002). Sejak saat itu,
banyak penelitian mengenai ketahanan pangan yang muncul bukan hanya pada
tingkat nasional, namun pada tingkat rumah tangga.
Terdapat beberapa penelitian ketahanan pangan yang terfokus pada tingkat
rumah tangga, khususnya di Indonesia. Di sisi lain, banyak faktor yang secara
umum memengaruhi ketahanan pangan di tingkat nasional. Menurut Applanaidu
et al. (2014), meskipun secara relatif ketahanan pangan merupakan konsep
sederhana, faktor yang memengaruhi ketahanan pangan lebih sulit untuk
ditentukan. Penyebabnya adalah luasnya konsep ketahanan pangan yang mampu
dipengaruhi oleh berbagai macam hal dari banyak sisi. Oleh karena itu, penelitian
ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaruh beberapa faktor terhadap
ketersediaan pangan di tingkat nasional.
Terdapat dua poin permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini.
1. Apakah kondisi ketersediaan pangan Indonesia saat ini sudah baik?
2. Bagaimana pengaruh impor pangan, luas lahan pertanian, PDB per kapita,
modal, dan produktivitas tenaga kerja terhadap produksi pangan di
Indonesia dalam jangka panjang?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu diterima oleh berbagai pihak, baik
penulis, pembaca, akademisi, maupun pemerintah terkait. Bagi penulis, penelitian
ini diharapkan mampu menjadi tolak ukur penulis dalam memahami fenomena
5
ekonomi yang terjadi secara nyata dan mampu menjadi pengalaman yang baik
dalam hal penelitian. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi yang berguna dan membuka wawasan para pembaca. Bagi
akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam
melakukan penelitian terkait selanjutnya. Bagi pemerintah, khususnya
kementerian terkait, penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan referensi
dalam pembuatan kebijakan yang memengaruhi ketahanan pangan di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Pangan memiliki tiga fungsi utama pada umumnya. Fungsi yang pertama
adalah sebagai asupan zat gizi esensial. Fungsi kedua adalah sebagai pemuasan,
seperti pemuasan terhadap rasa yang enak dan atau tekstur yang baik. Fungsi
ketiga adalah sebagai regulasi bioritme, sistem saraf, sistem imunitas, dan sistem
pertahanan tubuh secara fisiologis.
Definisi pangan sebelumnya merupakan pangan dalam arti luas. Terdapat
juga pangan khusus yang biasa disebut sebagai pangan fungsional. Berdasarkan
fungsi utama pangan secara umum, pangan fungsional termasuk ke dalam fungsi
ketiga. Pangan fungsional merupakan pangan alami, seperti buah-buahan
dan sayur-sayuran, atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif
sehingga dapat memberikan dampak positif pada fungsi metabolisme manusia.
Pangan fungsional memberikan manfaat tambahan di samping fungsi gizi dasar
pangan tersebut dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Sifat pangan
fungsional ditujukan untuk seluruh populasi atau kelompok khusus yang
didefinisikan secara jelas sebagai contoh khusus untuk usia tertentu atau untuk
golongan yang memiliki sifat genetik tertentu. Selain itu, pangan fungsional juga
mencakup produk yang dibuat secara khusus untuk meningkatkan
penampilan fisik maupun kognitif.
6
Ketahanan Pangan
1. Ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan merupakan salah satu dimensi/aspek/indikator yang
menggambarkan ketahanan pangan. Menurut BPS, ketersediaan pangan adalah
kondisi tersedianya pangan, baik yang bersumber dari hasil produksi, cadangan,
maupun impor. Menurut Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA),
ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah yang
diperoleh, baik dari produksi domestik, impor/perdagangan, maupun bantuan
pangan. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mendefinisikan ketersediaan pangan
sebagai kondisi tersedianya pangan (termasuk pangan kaya gizi) dari hasil
produksi dalam negeri, cadangan pangan, serta pemasukan pangan, termasuk
didalamnya impor dan bantuan pangan apabila kedua sumber utama tidak dapat
memenuhi kebutuhan. Selain itu, ketersediaan pangan digambarkan sebagai
kondisi tersedianya makanan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang
sesuai serta dipasok melalui produksi dalam negeri atau impor, termasuk bantuan
makanan (Stamoulis dan Zezza 2003).
Dimensi ketersediaan pangan diwakili oleh aspek kecukupan pangan. Aspek
kecukupan pangan dilihat dari tiga indikator, yaitu indikator persediaan pangan,
indikator tidak kekurangan pangan, dan indikator ketakutan kekurangan pangan
(BPS 2013). Berdasarkan indikator ketahanan pangan menurut FAO, ketersediaan
pangan digambarkan oleh rata-rata kecukupan suplai energi, rata-rata nilai
produksi pangan, share suplai energi pangan dari serealia dan umbi-umbian, rata-
rata suplai protein, dan rata-rata suplai protein hewani. Sementara berdasarkan
GFSI, ketersediaan pangan digambarkan oleh kecukupan suplai pangan,
pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, infrastruktur pertanian, volatilitas
produksi pertanian, kestabilan politik, korupsi, kapasitas penyerapan urban, dan
food loss.
Terdapat perbedaan antara ketersediaan pangan dengan produksi pangan.
Ketersediaan pangan merupakan keseluruhan pangan yang tersedia dalam suatu
wilayah, termasuk dari berbagai sumber. Sementara itu produksi pangan
merupakan pangan yang tersedia dalam suatu wilayah yang merupakan hasil
produksi/ouput dari wilayah tersebut, tidak termasuk dari sumber pangan lainnya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa produksi pangan merupakan salah satu bagian
dari ketersediaan pangan. Namun ketersediaan pangan tidak hanya mencakup
produksi pangan, tetapi juga termasuk impor pangan dan bantuan pangan.
2. Akses pangan
Ketersediaan pangan yang mencukupi pada suatu wilayah belum tentu
menjamin akses pangan yang baik oleh tiap rumah tangga. BPS menyatakan
bahwa akses pangan adalah kemapuan rumah tangga dalam memeroleh
kecukupan pangan, baik dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah,
pinjaman, dan bantuan pangan. Menurut DKP, akses pangan berhubungan dengan
kemampuan rumah tangga untuk memeroleh cukup pangan, baik yang berasal dari
produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan.
Tersedianya pangan belum tentu mampu diakses oleh tiap rumah tangga karena
adanya berbagai keterbatasan, seperti keterbatasan akses fisik (infrastruktur pasar,
akses untuk mencapai pasar, dan fungsi pasar), akses ekonomi (kemampuan
keuangan untuk membeli makanan yang cukup dan bergizi), dan/atau akses sosial
(modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan mekanisme dukungan
informal, seperti barter, meminjam, atau adanya program dukungan sosial).
9
Sementara itu, menurut Stamoulis dan Zezza (2003), akses pangan merupakan
akses individu untuk sumber daya yang memadai dalam memeroleh makanan
yang tepat.
Aspek keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial mewakili dimensi akses
pangan. Indikator yang menggambarkan aspek ini adalah indikator pangan
diproduksi di kecamatan, indikator tidak mengalami kesulitan menjangkau lokasi
penelitian, dan indikator harga pembelian yang tidak tinggi (BPS 2013).
Berdasarkan indikator ketahanan pangan oleh FAO, akses pangan digambarkan
oleh kepadatan akses jalur kendaraan, PDB per kapita, rata-rata tingkat
kekurangan gizi, rata-rata penduduk yang mengalami kerawanan pangan, dan
kedalaman defisit pangan. Sementara berdasarkan indikator GFSI,
akses/keterjangkauan pangan digambarkan oleh konsumsi pangan terhadap
pengeluaran rumah tangga, proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan, PDB
per kapita, tarif impor pertanian, adanya program keamanan pangan, dan akses
keuangan petani.
3. Pemanfaatan pangan
Ketersediaan pangan dan akses pangan belum cukup untuk menjamin
seorang individu tahan pangan. Individu yang memiliki kecukupan ketersediaan
pangan dan akses pangan yang baik belum tentu mampu menyerap/memanfaatkan
pangan tersebut dengan baik pula. Pemanfaatan/penyerapan pangan dapat
dikatakan sebagai kemampuan individu dalam memanfaatkan/menyerap pangan
yang sudah dimiliki. Menurut Stamoulis dan Zezza (2003), pemanfaatan pangan
dapat dilihat melalui makanan yang cukup, air bersih, sanitasi, dan perawatan
kesehatan untuk mencapai keadaan kesejahteraan nutrisi yang memenuhi semua
kebutuhan fisiologis. Hal ini memunculkan pentingnya masukan non-pangan
dalam ketahanan pangan. Tidak cukup bahwa seseorang mendapatkan makanan
yang cukup jika orang tersebut tidak dapat menggunakan makanan karena sering
jatuh sakit.
Aspek yang mewakili dimensi pemanfaatan pangan adalah aspek kecukupan
asupan dan aspek kualitas air. Aspek kecukupan asupan dilihat dari indikator tidak
adanya balita kurang gizi atau balita dengan berat badan dibawah standar serta
indikator tidak adanya balita yang meninggal karena sakit. Aspek kualitas air
dapat dilihat dari sumber air minum utama dan sumber air masak utama. Semakin
baik kualitas air yang digunakan maka anggota rumah tangga semakin terhindar
dari masalah kesehatan (BPS 2013). Selain itu, aspek pemanfaatan pangan
tergantung pada fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan, pengetahuan dan
praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makanan
untuk balita dan anggota keluarga lainnya, distribusi makanan dalam anggota
keluarga, dan kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun
karena penyakit, kebersihan, air dan sanitasi yang kurang baik , serta kurangnya
akses dan fasilitas kesehatan (DKP 2015). FAO menganggap dimensi
pemanfaatan pangan ini sebagai dimensi stabilitas dan pemanfaatan pangan.
Dimensi stabilitas pangan digambarkan oleh rasio ketergantungan impor serealia,
persentase lahan produktif yang memiliki saluran irigasi, nilai impor pangan
terhadap impor keseluruhan, stabilitas politik dan absen terhadap
kejahatan/terorisme, produksi pangan per kapita, dan suplai pangan per kapita.
Dimensi pemanfaatan pangan oleh FAO digambarkan oleh akses terhadap sumber
air, akses terhadap fasilitas sanitasi, persentase balita yang tergolong kurus,
10
persentase balita yang tergolong pendek, persentase balita yang tergolong gemuk,
rata-rata penduduk dewasa yang mengalami obesitas, rata-rata wanita produktif
yang mengalami anemia, dan rata-rata intensitas bayi yang masih mengonsumsi
asi eksklusif. Sementara menurut GFSI, dimensi pemanfaatan pangan diartikan
sebagai dimensi kualitas dan keamanan pangan. dimensi kualitas dan keamanan
pangan ini digambarkan oleh diversifikasi pangan, standar nutrisi, ketersediaan
mikronutrien, kualitas protein, dan keamanan pangan.
Seiring perkembangan definisi ketahanan pangan, berbagai faktor dapat
berpengaruh secara luas terhadap ketahanan pangan suatu wilayah. Pengaruh
faktor-faktor tersebut dapat melalui sisi permintaan maupun sisi penawaran.
Dalam jangka pendek, penawaran pangan ditentukan oleh produksi pertanian, stok
pangan, perdagangan pangan, nilai tukar, konflik, dan bencana alam. Perubahan
hasil produksi pertanian itu sendiri dapat dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca,
konflik, dan bencana alam. Pada sisi permintaan, terdapat dua saluran yang
berpengaruh di bidang makro, yaitu bantuan dan kebijakan proteksi pangan.
Kedua hal tersebut dapat menjelaskan tingginya permintaan pangan ketika terjadi
guncangan di dalam negeri. Dalam jangka panjang, penawaran pangan ditentukan
oleh berbagai faktor. Faktor yang memengaruhi penawaran pangan mulanya
datang dari adanya guncangan degradasi sumber daya alam, perubahan iklim,
serta perubahan biodiversitas dan lingkungan. Sisi permintaan pangan dalam
jangka panjang umunya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu populasi, urbanisasi,
serta perubahan pola konsumsi dan gaya hidup (Pieters, Gariso, dan Vandeplas
2013). Selain itu masih banyak faktor lain yang dapat memengaruhi ketahanan
pangan, khususnya ketersediaan pangan, secara luas.
Teori Produksi
dalam fungsi produksi langsung. Oleh karena itu, fungsi produksi langsung secara
umum dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝑄 = 𝑓(𝐶, 𝐿, 𝑁, 𝑇)
Keterangan :
Q : output produksi
C : kapital/modal
L : labor/tenaga kerja
N : lahan
T : teknologi
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Menggambarkan hubungan antarfaktor
Menggambarkan fokus penelitian
Gambar 5 Kerangka pemikiran
Produksi domestik dan impor merupakan salah satu bagian yang dapat
menggambarkan ketersediaan pangan. Produksi pangan domestik dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal secara luas. Input produksi, yaitu input modal dan
13
tenaga kerja, serta lahan termasuk faktor yang memengaruhi produksi pangan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga dapat memengaruhi ketersediaan pangan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
ketersediaan pangan di Indonesia. Faktor-faktor yang dianalisis adalah luas lahan
pertanian, modal, dan produktivitas tenaga kerja sebagai input produksi, serta
pertumbuhan ekonomi dan impor pangan sebagai faktor di luar input produksi.
Pengaruh faktor tersebut dianalisis terhadap ketersediaan pangan yang
digambarkan dengan produksi pangan domestik.
Hipotesis Penelitian
METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat kuantitatif. Data yang digunakan merupakan data deret lintang atau time
14
series yang bersifat tahunan. Periode yang digunakan pada penelitian ini adalah
tahun 1976 hingga 2014.
Data sekunder yang diperoleh berasal dari instansi terkait, yaitu World Bank
dan Food and Agricultural Organization (FAO). Data-data tersebut meliputi
indeks produksi pangan, persentase impor pangan terhadap total impor, luas lahan
pertanian, luas lahan pertanian produktif, PDB riil per kapita, pembentukan
modal, dan nilai tambah pertanian per tenaga kerja. Berikut ini adalah variabel-
variabel yang digunakan dalam penelitian (Tabel 2).
Tabel 2 Variabel dalam penelitian
Variabel Simbol Satuan Sumber
Indeks produksi pangan FPD - World Bank
Impor pangan FM Persen World Bank
Luas lahan pertanian total AGRL Persen FAO
Luas lahan pertanian produktif ARL Persen FAO
PDB riil per kapita GDP Dollar US World Bank
Pembentukkan modal CAP Persen World Bank
Produktivitas tenaga kerja PRODV Dollar US FAO
Definisi Operasional
lahan pertanian, PDB per kapita, modal, dan produktivitas tenaga kerja) terhadap
ketersediaan pangan yang dilihat dengan indeks produksi pangan Indonesia.
Model analisis yang digunakan untuk analisis kuantitatif ini adalah Vector
Error Correction Model (VECM). Dari model VECM, dapat dilihat hasil respon
variabel terhadap guncangan variabel lain oleh Impulse Response Function (IRF)
dan kontribusi suatu variabel terhadap variabel lain pada waktu mendatang
dengan Forecast Error variance Decomposition (FEVD). Pengolahan data
dilakukan menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews 10. Hasil
analisis kuantitatif tersebut dapat dipakai sebagai kesimpulan kualitatif
berdasarkan teori, studi pustaka, ataupun penelitian empiris.
Vector Error Correction Model (VECM)
Konsep dasar VECM adalah minimal ada satu variabel yang tidak stasioner
pada tingkat level, tetapi stasioner pada tingkat first difference. Meskipun tidak
stasioner pada level, estimasi masih dapat dilakukan dengan mekanisme koreksi
kesalahan. Hal ini dilakukan karena terdapat kointegrasi diantara variabel yang
diteliti. Adanya kointegrasi tersebut menunjukkan adanya proses penyesuaian dari
jangka pendek ke jangka panjang untuk mencegah terjadinya kesalahan yang lebih
besar.
VECM adalah bentuk VAR yang terestriksi. Model ini mampu merestriksi
kesalahan yang terjadi. Restriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel yang
diteliti dilakukan agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya. Namun
hubungan dinamisasi jangka pendek tetap ada. Jadi VECM merupakan model
yang dapat memecahkan persoalan time series yang tidak stasioner pada level dan
memungkinkan terjadinya regresi palsu (spurious regression).
Adapun spesifikasi model VECM (Firdaus 2011) adalah sebagai berikut.
𝑘−1
Uji stasioneritas diperlukan untuk melihat ada atau tidaknya unit root pada
suatu data. Jika suatu data mengandung unit root, maka estimasi model akan sulit
dilakukan. Pengujian stasioneritas pada penelitian ini menggunakan metode
Phillips-Perron (PP) dan Augmented Dickey Fuller. Pengujian data dilakukan
sesuai tren deterministik yang terdapat pada masing-masing variabel. Jika data
stasioner di tingkat first difference, maka metode estimasi yang dapat digunakan
adalah Error Correction Model (ECM) atau Vector Error Correction Model
(VECM).
Data yang bersifat nonstasioner pada tingkat level memungkinkan
terbentuknya hubungan kointegrasi antarvariabel. Oleh karena itu diperlukan
pengujian kointegrasi. Namun, pada data yang stasioner di tingkat level juga perlu
dilakukan pengujian kointegrasi. Hal ini disebabkan terdapat kemungkinan
kesalahan dalam pengujian akar unit.
Uji lag optimum
Estimasi suatu model dapat dilakukan jika model yang diteliti dalam kondisi
stabil. Sebelum melakukan uji stabilitas model, perlu ditentukan lag optimum.
Pada penelitian ini, penentuan lag optimum diambil berdasarkan kriteria Schwarz
Information Criterion (SC).
Penentuan lag dalam analisis VAR penting dilakukan karena variabel
endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen
(Enders 2004). Panjang lag harus cukup sehingga mampu menangkap dinamika
sistem yang dimodelkan. Lag yang terlalu panjang akan memperbanyak jumlah
parameter yang diduga dan akan mengurangi derajat bebas. Panjang lag yang
terlalu sedikit tidak akan menampilkan proses white noise sehingga estimasi
actual error tidak dapat dilakukan secara tepat (Gujarati 2006).
Uji stabilitas
Uji stabilitas diperlukan untuk melihat kevalidan model yang digunakan.
Pengujian ini dapat juga memastikan kevalidan IRF dan FEVD. Pengukuran roots
of characteristic polynomial dilakukan dalam pengujian ini. Jika roots of
characteristic polynomial berada dalam unit circle atau memiliki nilai absolut
kurang dari 1, maka model dapat dikatakan stabil.
Uji kointegrasi
Kointegrasi pada uji ini adalah hubungan linier antarvariabel yang
nonstasioner pada level, tetapi dapat membentuk variabel baru yang stasioner.
Pengujian ini merupakan pendekatan untuk melihat hubungan jangka panjang
antarvariabel yang terkointegrasi pada kombinasi linier variabel yang nonstasioner
pada level. Penelitian ini menggunakan uji kointegrasi Johansen dengan
membandingkan trace statistic dengan critical value.
Nilai trace statistic yang lebih besar dari pada critical value menunjukkan
bahwa persamaan tersebut memiliki kointegrasi. Persamaan yang memiliki
kointegrasi menentukan model yang digunakan adalah melalui metode VECM.
Jika hasil uji kointegrasi menunjukkan tidak adanya kointegrasi dalam persamaan,
maka metode VAR first difference yang akan digunakan untuk estimasi model.
Impulse Response Function (IRF)
17
Model Penelitian
Model 1 :
𝑛 𝑛 𝑛
Model 2 :
𝑛 𝑛 𝑛
Dimensi ketersediaan
Terdapat lima indikator FAO yang menggambarkan dimensi ketersediaan
pangan suatu negara. Pertama adalah rata-rata kecukupan suplai energi pangan.
Indikator ini menggambarkan suplai energi pangan sebagai persentase permintaan
energi yang bersumber dari pangan. Rata-rata suplai kalori yang dimiliki tiap
makanan menunjukkan indikator ini. Kedua adalah rata-rata nilai produksi pangan
yang menggambarkan jumlah produksi pangan keseluruhan. Ketiga adalah suplai
energi pangan dari serealia dan umbi-umbian. Indikator ini menggambarkan
suplai energi (dalam kilo kalori per hari) yang tersedia pada serealia dan umbi-
umbian sebagai persentase dari suplai energi pangan. Keempat adalah rata-rata
suplai protein. Indikator ini menggambarkan suplai protein nasional per gram per
hari. Kelima adalah rata-rata suplai protein hewani. Rata-rata suplai protein yang
19
dihasilkan bersumber dari daging, sisaan, lemak, susu, telur, ikan, dan makanan
yang berasal dari air laut ataupun sebagainya. Seluruh indikator ini berbanding
lurus terhadap ketersediaan pangan. Semakin tinggi nilai tiap indikator maka
ketersediaan pangan akan semakin baik.
Tabel 3 Indikator ketahanan pangan menurut FAO
Dimensi Indikator Sumber
Ketersediaan Rata-rata kecukupan suplai energi pangan FAO
Rata-rata nilai produksi pangan FAO
Suplai energi pangan dari serealia dan umbi-
FAO
umbian
Rata-rata suplai protein FAO
Rata-rata suplai protein hewani FAO
Aksesibilitas Kepadatan jalur akses kendaraan WB
PDB per kapita WB
Rata-rata tingkat kekurangan gizi FAO
Rata-rata tingkat kerawanan pangan dari populasi FAO
Kedalaman defisit pangan FAO
Stabilitas Rasio ketergantungan impor serealia FAO
Persentase lahan penanaman yang dilengkapi
FAO
irigasi
Nilai impor pangan dari total komoditas
FAO
perdagangan
WB/
Stabilitas politik dan absen terhadap kejahatan
WWGI
Perubahan produksi pangan per kapita FAO
Perubahan suplai pangan per kapita FAO
WHO/
Pemanfaatan Akses terhadap sumber daya air
UNICEF
WHO/
Akses terhadap fasilitas sanitasi
UNICEF
WHO/WB
Persentase balita wasting
UNICEF
WHO/WB
Persentase balita stunting
UNICEF
WHO/WB
Persentase balita overweight
UNICEF
Rata-rata orang dewasa yang mengalami obesitas
WHO
(18 tahun ke atas)
Rata-rata wanita usia produktif yang mengalami
WHO/WB
anemia (15 – 49 tahun)
WHO/
Rata-rata wanita yang menyusui
UNICEF
20
2000-02
2001-03
2002-04
2003-05
2004-06
2005-07
2006-08
2007-09
2008-10
2009-11
2010-12
2011-13
Rata-rata suplai protein hewani
gr/kapita/hari
20
15
10
5
0
2001-03
1999-01
2000-02
2002-04
2003-05
2004-06
2005-07
2006-08
2007-09
2008-10
2009-11
2010-12
2011-13
Sebelum membahas hasil estimasi, bagian ini membahas hasil uji pra
estimasi yang terdiri atas beberapa tahapan.
Tahap pertama adalah pengujian stasioneritas data. Data deret waktu atau
time series umumnya memiliki unit root. Jika estimasi dilakukan menggunakan
data yang memiliki unit root, maka hasilnya akan menjadi semu (spurious
regression). Oleh karena itu perlu dilakukan uji stasioneritas data. Pengujian
21
.03
.02
.02
.01 .01
.00 .00
-.01
-.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
Gambar 7 Hasil IRF produksi pangan terhadap luas lahan pertanian pada model
1 (AGRL) dan model 2 (ARL)
Hasil IRF pada Gambar 7 menunjukkan respon negatif produksi pangan
terhadap guncangan luas lahan pertanian total (AGRL) dalam jangka panjang.
Respon dimulai pada periode 1 dengan respon positif sebesar 0,004 persen.
Kemudian pada periode 2, produksi pangan mulai menunjukkan respon negatif
sebesar -0,002 persen. Respon negatif mulai menunjukkan kestabilan pada periode
14 sebesar -0,006 persen. Kondisi tersebut menunjukkan hal yang berlawanan
dengan hipotesis. Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan persentase luas
lahan pertanian produktif. Peningkatan luas lahan pertanian total di Indonesia
tidak diiringi dengan peningkatan luas lahan pertanian produktif. Berikut ini
adalah data peningkatan persentase luas lahan pertanian dan penurunan persentase
luas lahan pertanian yang layak tanam di Indonesia (Gambar 8).
2008
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012
1976
1980
1984
1992
1996
2000
2004
2012
PDB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
negara. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari nilai PDB per kapita
negara tersebut. Pada umumnya, tingkat produksi pangan akan memberikan
respon positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan (penurunan) PDB
mengindikasikan adanya peningkatan (penurunan) produksi domestik suatu
komoditas, termasuk komoditas pangan. Menurut Ilham (2006), kualitas
ketahanan pangan salah satunya diindikasikan oleh pertumbuhan ekonomi. Salah
satu hal yang dapat menunjukkan ketersediaan pangan adalah ketersediaan
proteinnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan protein
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Semakin tinggi
PDB suatu negara maka ketersediaan protein akan meningkat.
Fluktuasi PDB menyebabkan kemampuan akses terhadap pangan ikut
berfluktuasi. PDB merupakan faktor penentu yang signifikan, terutama dalam
sektor pertanian. Oleh karena itu, PDB sebagai penentu produksi pangan domestik
menjadi fokus penting (Aker dan Lemtouni 1999).
26
Response to Generalized One S.D. Innovations Response to Generalized One S.D. Innovations
.03
.02
.02
.01 .01
.00 .00
-.01
-.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
akses terhadap pangan juga berfluktuasi (Aker dan Lemtouni 1999). Selain
sebagai salah satu sumber ketersediaan pangan, impor pangan juga merupakan
aspek penting dari dimensi stabilitas pangan. Indikator yang biasa digunakan
adalah rasio ketergantungan impor yang merupakan proporsi impor terhadap
ketersediaan pangan. Bourgeois et al. (2008) menyatakan bahwa di Indonesia,
komoditi kedelai, gula, dan susu merupakan komoditi fully imported dengan
ekspor yang kecil bahkan hampir nol. Berdasarkan pernyataan tersebut, stabilitas
ketersediaan pangan dapat dikatakan rendah/lemah terhadap peningkatan produksi
domestik dari ketiga komoditas tersebut. Oleh karena itu, hipotesis impor pangan
berhubungan negatif dengan produksi pangan domestik.
Response to Generalized One S.D. Innovations Response to Generalized One S.D. Innovations
.03
.02
.02
.01 .01
.00 .00
-.01
-.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
Gambar 10 Hasil IRF produksi pangan terhadap impor pangan pada model 1 dan
model 2
Hasil IRF pada Gambar 10 menunjukkan bahwa guncangan impor pangan
direspon negatif oleh produksi pangan pada model 1. Gambar 10 juga
menunjukkan respon produksi pangan terhadap impor pangan pada model 2.
Kedua model menunjukkan bahwa produksi pangan merespon guncangan impor
pangan secara negatif dalam jangka panjang. Impor pangan pada model pertama
direspon negatif oleh produksi pangan pada periode awal guncangan dengan
respon sebesar -0,011 persen. Kemudian respon mulai stabil pada periode 8
sebesar -0,015 persen. Selanjutnya pada model kedua, respon produksi pangan
juga menunjukkan respon negatif. Periode 1 menunjukkan respon produksi
pangan terhadap guncangan impor pangan sebesar -0,005 persen. Respon tersebut
mulai stabil pada periode 14 dengan respon sebesar -0,006 persen.
Respon yang dihasilkan produksi pangan terhadap guncangan impor pangan
pada penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan hasil pada umumnya.
Guncangan impor pangan direspon negatif oleh produksi pangan dalam jangka
panjang. Hal ini didukung oleh penelitian Bourgeois et al. (2008) yang
menyatakan bahwa komoditi kedelai dan gula di Indonesia memiliki rasio
ketergantungan impor sebesar 50 persen, sementara susu memiliki rasio
ketergantungan impor sebesar 100 persen pada periode 1998 – 2004. Hal tersebut
membuktikan bahwa kemampuan produksi domestik ketiga komoditas tersebut
lemah karena lemahnya dukungan dan insentif dari pemerintah terhadap produksi
pangan tersebut.
Data Kementerian Perdagangan Indonesia juga menunjukkan bahwa
beberapa komoditi pangan memiliki tren impor positif untuk tahun 2013 hingga
2017. Komoditi tersebut adalah gula, buah-buahan, dan sayuran. Artinya, ketiga
28
6 000,00
Jumlah impor (000 ton)
5 000,00
4 000,00
3 000,00 Utama
Olahan
2 000,00
Total
1 000,00
0,00
2011
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2012
2013
2014
2015
2016
.03
.02
.02
.01 .01
.00 .00
-.01
-.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
Tenaga kerja merupakan salah satu input produksi. Salah satu input
produksi pangan dapat dilihat dari tenaga kerja di sektor pertanian. Produktivitas
tenaga kerja yang diproksikan dengan nilai tambah pertanian per tenaga kerja
dapat menjadi faktor yang memengaruhi produksi pangan domestik. Ketika
produktivitas mengalami peningkatan, maka output produksi juga akan
meningkat.
Response to Generalized One S.D. Innovations Response to Generalized One S.D. Innovations
.03
.02
.02
.01 .01
.00 .00
-.01
-.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
Gambar 13 Hasil IRF produksi pangan terhadap produktivitas tenaga kerja pada
model 1 dan model 2
Analisis IRF pada Gambar 13 menunjukkan respon produksi pangan
terhadap guncangan produktivitas tenaga kerja. Pada model 1, produksi pangan
merespon guncangan produktivitas tenaga kerja sebesar 0,009 persen para periode
pertama. Respon tersebut mulai stabil ada periode 11 sebesar 0,017 persen.
Selanjutnya pada model 2, produksi pangan menunjukkan respon sebesar 0,010
persen pada periode awal guncangan (periode 1). Kemudian respon tersebut mulai
menunjukkan kestabilan pada periode 17 sebesar 0,005 persen.
Respon produksi pangan terhadap guncangan produktivitas tenaga kerja
pada kedua model menunjukkan hasil yang sesuai hipotesis. Produktivitas tenaga
kerja di sektor pertanian menjadi salah satu input produksi pangan. Peningkatan
produktivitas tenaga kerja sekor pertanian akan meningkatkan produksi pangan.
Tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia lebih banyak bekerja pada
subsektor tanaman pangan dibandingkan subsektor lainnya. Pada tahun 2011
hingga 2013, tenaga kerja subsektor tanaman pangan memiliki persentase lebih
besar dari 25 persen terhadap tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia (Gambar
14). Berdasarkan kategori usia, tenaga kerja pada subsektor tanaman pangan
mayoritas diisi oleh penduduk dengan usia lebih dari 60 tahun (Gambar 15).
Kemudian berdasarkan kategori pendidikan, tenaga kerja yang paling banyak
berkerja pada subsektor tanaman pangan adalah penduduk dengan tingkat
pendidikan tamatan SD (Tabel 7). Maka dapat dikatakan bahwa tenaga kerja
subsektor tanaman pangan di Indonesia didominasi oleh usia tua dengan tingkat
pendidikan yang masih tergolong rendah. Sementara itu, tenaga kerja subsektor
tanaman pangan memiliki kontribusi besar terhadap sektor pertanian di Indonesia.
31
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus
2011 2012 2013
15 - 29 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39
40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 60 60 ke atas
Sumber: Kementerian Pertanian (2014)
Gambar 15 Tenaga kerja subsektor tanaman pangan berdasarkan golongan usia
di Indonesia (jiwa)
Tabel 7 Tenaga kerja subsektor tanaman pangan berdasarkan golongan tingkat
pendidikan di Indonesia (jiwa)
2011 2012 2013
Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus
Tidak/belum
pernah sekolah 2365239 2268247 2646274 2116116 2516523 2077561
Tidak tamat SD 5577089 4427896 5342032 3841468 4919659 3830050
SD 7585328 6716555 8129250 6431135 7608984 6654119
SLTP 3450010 2256235 2704077 2137458 2472311 2257967
SMA 1005072 937680 1073737 897026 1056868 1011016
SMK 459192 274091 347985 300613 429315 328267
Diploma I/II/III 54168 29428 48051 41992 48995 44571
Universitas/DIV 26340 27063 52292 48062 47802 58521
Sumber: Kementerian Pertanian (2014)
32
95%
LNPRODV
90% CAP
LNGDP
85% AGRL
FM
80% LNFPD
75%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Gambar 16 Hasil FEVD produksi pangan model 1
100%
90%
80%
LNPRODV
70%
60% CAP
50% LNGDP
40% ARL
30% FM
20% LNFPD
10%
0%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Gambar 17 Hasil FEVD produksi pangan model 2
33
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aker J, Lemtouni A. 1999. A Framework For Assessing Food Security In Face Of
Globalization: The Case Of Morocco.
Andersen PP. 2008. Food security: Definition and Measurement. Food Security.
1:5-7. doi: 10.1007/s12571-008-0002-y.
Aplanaidu SD, Bakar NAA, Baharudin AH. 2014. An Econometric Analysis Of
Food Security and Related Macroeconomic Variables In Malaysia: A Vector
Autoregressive Approach (VAR). (IAMC) International Agribusiness
Marketing Conference.
Bourgeois R, Napitupulu TA, Rusastra IW. 2008. The Impact of Support for
Imports on Food Security In Indonesia. CAPSA Working Paper . 101.
[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2015. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia.
[EIU] The Economist Intelligence Unit. 2017. 2017 Global Food Sevurity Index.
35
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji stasioneritas data pada tingkat level dan first difference
dengan Phillips-Perron test
Produksi Pangan (FPD)
Null Hypothesis: FPD has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Bandwidth: 3 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Lampiran 2 Hasil uji stasioneritas data pada tingkat level dan first difference
dengan Augmented Dickey Fuller test
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
t-Statistic Prob.*
Model 2
Root Modulus
0.990288 0.990288
0.827460 - 0.197376i 0.850675
0.827460 + 0.197376i 0.850675
0.846550 0.846550
-0.000296 - 0.270953i 0.270954
-0.000296 + 0.270953i 0.270954
Model 2
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: FPD FM ARL LNGDP
CAP LNPRODV
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 05/20/18 Time: 07:31
Root Modulus
0.982019 0.982019
0.820047 - 0.219885i 0.849015
0.820047 + 0.219885i 0.849015
0.691336 0.691336
0.204497 - 0.292729i 0.357084
0.204497 + 0.292729i 0.357084
Model 1
Date: 05/14/18 Time: 00:10
Sample (adjusted): 1978 2013
Included observations: 30 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: FPD FM LNGDP CAP LNPRODV AGRL
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Model 2
Date: 05/20/18 Time: 07:32
Sample (adjusted): 1978 2013
Included observations: 30 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: FPD FM ARL LNGDP CAP
LNPRODV
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Model 1
Vector Error Correction Estimates
Date: 05/14/18 Time: 00:10
Sample (adjusted): 1978 2013
Included observations: 30 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
FPD(-1) 1.000000
FM(-1) 0.015322
(0.00084)
[ 18.2914]
LNGDP(-1) -0.785852
(0.05197)
[-15.1205]
CAP(-1) 0.002680
(0.00059)
[ 4.53595]
LNPRODV(-1) 0.072268
(0.03194)
[ 2.26286]
AGRL(-1) -0.018381
(0.00196)
[-9.37851]
@TREND(76) -0.007974
(0.00187)
[-4.26124]
C 0.628571
51
Model 2
Vector Error Correction Estimates
Date: 05/20/18 Time: 07:32
Sample (adjusted): 1978 2013
Included observations: 30 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
C -1.524203 123.0435
54
D(LNPROD
Error Correction: D(FPD) D(FM) D(ARL) D(LNGDP) D(CAP) V)
Model 1
Response to Generalized One S.D. Innovations
Response of FPD to FPD Response of FPD to FM
.03 .03
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
.03 .03
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
.03 .03
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
57
Model 2
Response to Generalized One S.D. Innovations
Response of FPD to FPD Response of FPD to FM
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
.02 .02
.01 .01
.00 .00
-.01 -.01
5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30
58
Model 2
RIWAYAT HIDUP