ABSTRACT
NAILA YAUMIMA RAHMA. The Estimation of Income Shock Impact on
Household Food Consumption in West Java Province. Supervised by DRAJAT
MARTIANTO and ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Disetujui oleh
Pembimbing 1:
Dr Ir Drajat Martianto, MSi
Pembimbing 2:
Anna Vipta Resti Mauludyani, SP, MGizi
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat
mendapatkan gelar Sarjana gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Estimasi
Dampak Income Shock terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Jawa Barat”.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, Msi selaku ketua Departemen Gizi
Masyarakat IPB.
2. Bapak Dr Ir Drajat Martianto, M Si dan Ibu Anna Vipta Resti Mauludyani, SP,
M Gizi selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, motivasi, kritik, saran, serta dukungan dalam
pembuatan skripsi saya.
3. Mbu, Ayah, Kakang, dan Nawwal yang telah memberikan doa, dukungan, dan
materi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.
4. Teman seperbimbingan (Sherin, Yaya, dan Adli) yang saling memberikan
dukungan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
5. Nauli, Inun, Hammam, dan Isul selaku sahabat penulis yang telah memberikan
dukungan, hiburan, motivasi, dan inspirasi selama pengerjaan skripsi.
6. Ama, Abel, Yughni, Katek, Awpipeh, Reka, Eca, Hana, Skripsweet, Grup
Produktif Uhuy, Tinpus Oke Ya, Bertindak Mengambil, Thomas and Friend,
dan teman-teman gizi Masyarakat 54 yang telah membersamai penulis dan
memberikan semangat serta dukungan selama masa perkuliahan hingga akhir
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk penelitian ini sehingga penelitian dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
II KERANGKA PEMIKIRAN 4
III METODE PENELITIAN 5
3.1 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5
3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
3.3 Pengolahan dan Analisis Data 5
3.4 Definisi Operasional 9
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 11
4.1 Gambaran Umum Wilayah 11
4.2 Pola Konsumsi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas Pendapatan 11
4.3 Simulasi Tingkat Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Setelah Adanya
Income Shock 17
4.4 Konsumsi Pangan Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan
Sosial 20
4.5 Konsumsi Pangan Strategis Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas
Pendapatan 24
4.6 Simulasi Konsumsi Pangan Strategis di Provinsi Jawa Barat Setelah Adanya
Income Shock 26
4.7 Konsumsi Pangan Strategis Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan
Sosial 29
4.8 Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Selama Masa Pandemi 31
V SIMPULAN DAN SARAN 35
5.1 Simpulan 35
5.2 Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 41
x
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I PENDAHULUAN
informasi, pendapatan, harga bahan pangan, harga bahan pangan lain (Grunert et
al. 2012). Faktor yang paling mempengaruhi konsumsi antara lain ialah harga bahan
pangan dan pendapatan (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016). Semakin tinggi
tingkat pendapatan, maka jumlah dan jenis makanan yang bisa dikonsumsi pun
semakin banyak karena daya beli meningkat, dan sebaliknya (Saputri et al. 2016).
Selain ancaman pandemi COVID-19, Indonesia juga merupakan negara yang
rentan bencana alam maupun bencana lain seperti konflik social yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya income shock yang secara tidak langsung akan
menyebabkan pergeseran konsumsi (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016).
Penyusunan strategi peningkatan ketahanan pangan yang tepat dalam menghadapi
perubahan pendapatan akibat pandemi memerlukan adanya informasi terkait
perubahan konsumsi untuk mencegah memburuknya konsumsi pangan dalam masa
darurat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian mengenai estimasi
dampak perubahan pendapatan terhadap konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi
Jawa Barat.
II KERANGKA PEMIKIRAN
Pandemi/Bencana
PHK
Hambatan Logistik
dan Transportasi Penurunan pendapatan
Pengeluaran pangan
Harga pangan = × 100
Konsumsi energi (kkal)
strategis yang termasuk dalam penelitian ini adalah beras dan turunannya,
jagung dan turunannya, kedelai dan turunannya, telur ayam ras, daging ayam ras,
daging sapi, gula pasir, minyak, serta terigu dan turunannya. Jenis pangan dalam
susenas serta faktor konversi yang digunakan mengacu kepada BKP (2018) dan
Prabowo (2014). Daftar jenis pangan yang diteliti disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Jenis pangan yang diteliti
No Jenis Pangan Jenis Pangan dalam Susenas
1 Beras dan Beras, beras ketan, tepung beras, lainnya padi-
turunannya padian, bihun, bubur bayi kemasan, lainnya
konsumsi lainnya, kue basah, nasi campur/rames,
nasi goreng, nasi putih, lontong sayur
2 Jagung dan Jagung basah dengan kulit, jagung pocelan, tepung
turunannya jagung, minyak jagung
3 Terigu dan Tepung terigu, mie basah, mie instan,
turunannya makaroni/mie kering, roti tawar, roti manis/roti
lainnya, kue kering, makanan gorengan, mie
(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan
anak-anak, makanan jadi lainnya
4 Kedelai dan Kacang kedele, tahu, tempe, tauco, oncom,
turunannya saridele, kecap
5 Telur ayam ras Telur ayam ras
6 Daging ayam ras Daging ayam ras
7 Daging sapi Daging sapi
8 Gula Pasir Gula pasir
9 Minyak Minyak kelapa, minyak goreng lainnya
Pandemi adalah wabah penyakit yang menyebar meliputi wilayah geografi yang
luas, dalam penelitian ini adalah pandemi COVID-19.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah kebijakan pemerintah meliputi
peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, yang diberlakukan demi
menekan penyebaran COVID-19 dan tertulis dalam PP No 21 Tahun 2020.
Pola pengeluaran pangan adalah besar konsumsi beberapa kelompok pangan
yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah
dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain,
yang dinyatakan dalam persen (%).
Skor Pola Pangan Harapan (Skor PPH) adalah nilai yang menunjukkan mutu
dan keragaman konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang.
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah konsumsi energi dibandingkan dengan
angka kecukupan energi dan dinyatakan dalam persen (%).
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah konsumsi protein dibandingkan dengan
angka kecukupan protein dan dinyatakan dalam persen (%).
Bantuan sosial adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk
bantuan tunai dan bantuan non tunai.
Bantuan tunai adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk uang
tunai, seperti Program Bantuan Sosial Tunai (BST), yaitu sebesar
Rp150.000/keluarga/bulan.
Bantuan non tunai adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk
pemberian bahan pangan pokok, seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),
meliputi 10 kg beras, 1 kg terigu, vitamin C, makanan kaleng ikan 2 kg, gula
pasir 1 kg, mie instan 16 bungkus, minyak goreng 2 liter dan telur 2 kg.
Elastisitas pendapatan adalah respon permintaan suatu jenis bahan pangan akibat
adanya perubahan pendapatan.
Konsumsi energi aktual adalah besar energi yang dikonsumsi per gram berat
bersih suatu jenis bahan pangan yang dinyatakan dalam satuan kkal.
Kontribusi aktual adalah besar konsumsi energi yang dikonsumsi dari suatu
kelompok pangan dibandingkan dengan total konsumsi energi aktual dalam
sehari dan dinyatakan dalam persen (%).
Kontribusi energi adalah besar konsumsi energi yang dikonsumsi dari suatu
kelompok pangan dibandingkan dengan kecukupan energi sehari dan
dinyatakan dalam persen (%).
Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah jumlah kebutuhan energi rata-rata yang
harus dikonsumsi setiap hari bagi hampir semua orang untuk hidup sehat
yaitu sebesar 2.100 kkal.
Angka Kecukupan Protein (AKP) adalah jumlah kebutuhan protein rata-rata yang
harus dipenuhi setiap hari bagi hampir semua orang untuk hidup sehat yaitu
sebesar 57 gram.
Model adalah konsep yang menjelaskan hubungan antar variabel dan pengaruh
perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya.
Harga pangan adalah satuan harga yang dibayarkan untuk mengonsumsi 100 kkal
energi.
11
anggota rumah tangga. Rataan pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, dan
pengeluaran pangan per kelas pendapatan disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rataan pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, dan pengeluaran
pangan per kelas pendapatan
Jumlah
anggota Pengeluaran Pangsa
Kelas Pendapatan Pendapatan
rumah pangan pengeluaran
pendapatan (rupiah) (rupiah/kapita)
tangga (rupiah/kapita) pangan (%)
(orang)
1 1.461.680 4,1 358.465 250.925 70
2 2.155.305 3,8 565.914 339.548 60
3 3.003.807 3,6 836.699 418.349 50
4 4.243.198 3,3 1.273.193 509.277 40
5 7.465.201 3,1 2.408.933 963.573 40
tingkat berat, sedang, dan ringan, berturut-turut sebesar 22,2%, 19,9%, dan
19,6%. Sedangkan mayoritas kelas pendapatan 4 dan 5 memiliki TKE yang
tergolong lebih yaitu sebanyak 54,8% rumah tangga kelas pendapatan 5 dan
46,5% rumah tangga kelas pendapatan 4. Dibandingkan dari kelima kelas
pendapatan, kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan dengan tingkat
kecukupan yang paling baik, ditandai oleh tingkat kecukupan yang tergolong
normal sebesar 49,4%. Berdasarkan hasil yang didapatkan, dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi kelas pendapatan maka konsumsinya semakin tinggi. Hal
ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa konsumsi pangan
rumah tangga akan meningkat ketika meningkatnya pendapatan rumah tangga,
dan sebaliknya, akan tetapi pangsa pengeluaran pangan pendapatan akan
menurun (Mankiw 2012).
Meskipun konsumsi cenderung meningkat ketika pendapatan peningkat,
terdapat rumah tangga pada kelas pendapatan 1 dengan TKE yang tergolong
lebih yaitu sebanyak 4,2%. Sebaliknya, meskipun kelas pendapatan 4 dan 5
mayoritas tergolong lebih, terdapat juga rumah tangga kelas pendapatan tersebut
yang memiliki TKE tergolong defisit tingkat berat sebesar 2,7% dan 2,8%. Hal
ini dikarenakan pemilihan bahan pangan yang dikonsumsi juga dapat
mempengaruhi tingkat kecukupan energinya. Contohnya adalah pemilihan
bahan pangan yang tinggi energi namun sedikit secara kuantitas, atau bahan
pangan yang rendah energi namun lebih baik kualitasnya (Chen dan Antonelli
2020).
Selain itu, pendapatan bukan merupakan faktor tunggal yang
mempengaruhi konsumsi pangan, terdapat beberapa faktor lainnya yang yang
juga mempengaruhi konsumsi pangan. Faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi konsumsi pangan antara lain selera, kepercayaan, preferensi
pangan, akses terhadap makanan, ketersediaan pangan lokal, nilai simbolik suatu
bahan pangan, ketersediaan waktu dan informasi, harga bahan pangan, dan harga
pangan lain (Grunert et al. 2012). Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain yang diteliti
dalam penelitian ini adalah Tingkat Kecukupan Protein (TKP). TKP Provinsi
Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatannya disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 TKP Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
Kelas pendapatan
Tingkat Kecukupan
1 2 3 4 5
Defisit Tingkat Berat 23,6 6,8 2,8 1,7 1,7
Defisit Tingkat Sedang 20,0 9,6 5,8 3,0 1,9
Defisit Tingkat Ringan 19,7 15,4 9,9 5,7 3,7
Normal 29,9 45,8 39,7 30,7 20,8
Lebih 6,8 22,4 41,9 58,9 72,0
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat dikatakan bahwa mayoritas rumah tangga
pada kelas pendapatan 1 memiliki TKP yang tergolong defisit. Hal ini
ditunjukkan dengan prevalensi rumah tangga kelas pendapatan 1 dengan TKP
defisit tingkat berat, sedang, dan ringan, berturut-turut sebesar 23,6%, 20%, dan
19,7%. Kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan yang memiliki TKP
paling baik dibandingkan dengan keempat kelas pendapatan lainnya. Persentase
15
rumah tangga yang memiliki TKP tergolong normal sebanyak 45,8%, kemudian
persentase TKP defisit tingkat berat, sedang, dan ringan berturut-turut sebesar
6,8%, 9,6%, dan 15,4%, dan persentase TKP yang tergolong lebih sebanyak
22,4%.
Mayoritas rumah tangga kelas pendapatan 4 dan 5 memiliki TKP yang
tergolong lebih, yaitu sebanyak 58,9% rumah tangga kelas pendapatan 4 dan
72% rumah kelas pendapatan 5. Hanya 30,7% pada kelas pendapatan 4 dan
20,8% pada kelas pendapatan 5 yang memiliki TKP normal. Meskipun begitu,
masih terdapat rumah tangga dengan TKP tergolong defisit.
Hasil yang didapatkan sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan
bahwa konsumsi pangan rumah tangga akan meningkat ketika meningkatnya
pendapatan rumah tangga, dan sebaliknya (Mankiw 2012). Meningkatnya
konsumsi protein dikarenakan semakin tinggi kelas pendapatan maka daya
belinya akan meningkat. Rumah tangga dapat memilih bahan pangan dengan
gizi yang optimal tanpa memikirkan biaya (Kwon et al. 2020).
4.2.3 Skor PPH
Selain mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif, dilakukan juga
penilaian kualitas konsumsi pangan menggunakan skor PPH. Skor PPH adalah
indikator mutu gizi konsumsi pangan dan keragaman konsumsi pangan yang
dilihat berdasarkan proporsi sumbangan energi suatu kelompok bahan pangan
(Prasetyo et al. 2013). Sumbangan energi per kelompok pangan berdasarkan
kelas pendapatan disajikan pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Konsumsi energi perkelompok pangan berdasarkan kelas pendapatan
Kelas pendapatan
No Kelompok pangan
1 2 3 4 5
1 Padi-padian 1.228 1.360 1.414 1.466 1.455
2 Umbi-umbian 43 46 52 60 59
3 Pangan hewani 117 174 229 294 405
4 Minyak dan lemak 167 204 236 267 291
5 Buah/biji berminyak 10 15 19 26 31
6 Kacang-kacangan 46 55 63 72 75
7 Gula 32 41 49 58 65
8 Sayur dan buah 56 72 86 103 126
9 Lain-lain 91 129 149 172 186
Total konsumsi energi 1.789 2.096 2.297 2.518 2.692
Harga pangan 468 540 607 674 1.193
(rupiah/100 kkal)
Berdasarkan Tabel 4.5, didapatkan bahwa secara kuantitas, kelompok
padi-padian mendominasi sumber energi tertinggi dari seluruh kelompok pangan
pada setiap kelas pendapatan. Hal ini sesuai dengan Pertiwi et al. (2014) yang
menyatakan bahwa konsumsi pangan didominasi oleh padi-padian. Konsumsi
terendah dari 9 kelompok pangan pada seluruh kelas pendapatan adalah buah/biji
berminyak.
Kemudian dihitung harga pangan dengan membandingkan pengeluaran
pangan dengan energi yang dikonsumsi. Dapat dilihat pada Tabel 4.5 bahwa
harga pangan per 100 kkal meningkat seiring meningkatnya pendapatan.
16
Berdasarkan Tabel 4.5, semakin tinggi kelas pendapatan maka skor PPH
akan semakin membaik atau semakin mendekati 100. Hal ini sesuai dengan
penelitian Dewi dan Utami (2017), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan
maka skor PPH semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan
menentukan daya beli. Keluarga dengan penghasilan tinggi lebih mudah
megakses makanan yang memiliki kualitas gizi yang baik. Hasil penelitian ini
juga sesuai dengan Surachman et al. (2013), yang menyatakan bahwa tingkat
pendapatan berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi
tingkat pendapatan maka makanan yang dikonsumsi akan semakin beragam.
Berdasarkan DPKP (2019), skor PPH nasional pada tahun 2017 sebesar
87, sedangkan skor PPH Jawa Barat tahun 2017 sebesar 81,6. Jika dibandingkan
dengan skor PPH nasional tahun 2017, hanya kelas pendapatan 4 dan 5 yang
berada di atas skor PPH nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas konsumsi
kelas pendapatan rendah hingga menengah masih di bawah rata-rata nasional
sehingga perlu ditingkatkan diversifikasi konsumsinya. Akan tetapi, jika
dibandingkan dengan skor PPH Jawa Barat, hanya kelas pendapatan 1 dan 2
yang masih memiliki skor PPH di bawah rata-rata daerah.
17
125,7
130,0 122,7
119,9
120,0 114,7
112,0
109,4 108,9
105,1
110,0 102,5
99,8 99,4
96,4
100,0 93,8
90,7
85,2 85,8
90,0 83,2
80,1
80,0
70,0
60,0
Pendapatan Awal Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan
10% 20% 30%
1 2 3 4 5
150,0 140,7
140,0 133,4
128,2
124,0
130,0 117,8 119,3
120,0 113,4
109,2
103,8 104,5
110,0 99,9
95,7
100,0 91,0
85,7 83,3
90,0 79,2
74,4
80,0
70,0
60,0
Pendapatan Awal Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan
10% 20% 30%
1 2 3 4 5
4.4 Konsumsi Pangan Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan Sosial
4.4.1 Bantuan Tunai
Menurut KMK No HK.01.07/MENKES/413/2020, salah satu cara untuk
menekan penyebaran COVID-19 adalah dengan menerapkan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB). Adanya PSBB menyebabkan beberapa aktivitas
terhambat, terutama pada sektor konstruksi, perdagangan, rumah makan dan
jasa, serta transportasi, pergudangan dan komunikasi (Ngadi et al. 2020). Selain
itu, beberapa kerugian yang dialami akibat diberlakukannya PSBB antara lain
hilangnya pendapatan meliputi gaji atau tunjangan, denda/bunga akibat tidak
tepat waktunya pembayaran kewajiban (cicilan atau hutang), serta pengeluaran
tambahan akibat adanya kondisi darurat (Hadiwardoyo 2020).
Akibat adanya penurunan pendapatan hampir di seluruh sektor,
Kementerian Sosial Republik Indonesia memberikan Program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) diberikan untuk membantu keluarga miskin dan rentan di daerah
episentrum COVID-19. Bantuan yang diberikan beraneka ragam, antaranya
Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako (BPNT), Bantuan sosial
sembako khusus Bodetabek dan DKI Jakarta, Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk
21
hingga 86,3% ketika diberikan bantuan tunai, sedangkan rumah tangga yang
mengalami penurunan pendapatan sebesar 20% dan 30% meningkatkan asupan
mereka hingga TKE 84,0% dan 81,4%.
Selain itu, terjadi peningkatan konsumsi protein berturut-turut 4%, 4,3%,
dan 5%. Peningkatan konsumsi energi dan protein tertinggi terjadi pada rumah
tangga yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 30%. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan
tertinggi paling responsif terhadap perubahan pendapatan dan cenderung akan
meningkatkan konsumsi pangannya. Menurut Song (2011), semakin tinggi
pendapatan makan perilaku konsumsi cenderung lebih inelastis. Ketika terjadi
peningkatan pendapatan, seseorang akan meningkatkan konsumsi kebutuhan
dasarnya hingga mencapai titik jenuh, kemudian seseorang akan
mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan sekunder dan untuk ditabung.
Berdasarkan perhitungan pada Gambar 4.3, didapatkan bahwa harga per
100 kkal energi pada kelas pendapatan 1 sebesar Rp 468. Jika diasumsikan
bahwa bantuan tunai sebesar Rp 150.000 yang diberikan seluruhnya digunakan
untuk konsumsi pangan, maka idealnya konsumsi dapat meningkat hingga 260
kkal. Simulasi perubahan konsumsi energi jika diasumsikan bahwa bantuan
tunai yang diberikan seluruhnya digunakan untuk konsumsi pangan disajikan
pada Gambar 4.3.
120
98,2 95,6 92,5
100 85,8 86,3 83,1 84 80,1 81,4
80
60
40
20
0
-10% -20% -30%
Konsumsi awal
Setelah bantuan tunai (model ekonometrika)
Setelah bantuan tunai (harga energi per 100 kkal)
Pangan strategis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pangan yang
memiliki peranan penting dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik, yang dianggap
penting dan dikonsumsi sebagian besar masyarakat. Berdasarkan Tabel 4.13, dapat
dilihat bahwa secara keseluruhan pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan
yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan pangan strategis tergolong
barang normal. Selain itu, mayoritas pangan strategis memiliki elastisitas yang
tergolong inelastis, yang nilai elastisitasnya menurun seiring bertambahnya
pendapatan. Hal ini sesuai dengan Mankiw (2012), yang menyatakan bahwa
umumnya bahan pangan pokok memiliki elastisitas yang rendah dan rumah tangga
miskin cenderung memiliki elastisitas pendapatan yang lebih elastis.
Berdasarkan Tabel 4.13, mayoritas bahan pangan elastisitasnya menurun
seiring meningkatnya pendapatan, kecuali pada jagung dan turunannya. Komoditas
jagung dan turunannya tergolong paling elastis pada kelas pendapatan 5, sedangkan
cenderung lebih inelastis pada kelas pendapatan 1. Hal ini dikarenakan komoditas
jagung pada kelas pendapatan 1 merupakan jenis pangan yang umum dikonsumsi,
sehingga ketika terjadi penurunan pendapatan, perubahan konsumsinya tidak
sebesar kelas pendapatan yang lainnya. Lain halnya dengan elastisitas jagung dan
turunannya yang cenderung lebih elastis pada kelas pendapatan yang lebih tinggi.
Menurut Mankiw (2012), c. Hal ini menunjukkan bahwa jagung dan turunannya
merupakan jenis pangan yang jarang dikonsumsi pada kelas pendapatan 5.
Beras dan turunannya merupakan jenis pangan yang paling inelastis
dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Hasil yang didapatkan sesuai dengan
penelitian Faharuddin et al. (2015) yang menyatakan bahwa nilai elastisitas
pendapatan beras paling rendah dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya.
Adapun nilai elastisitas pendapatan beras dan turunannya yang berkisar dari -0.11
hingga 0,18.
Sama halnya dengan beras, terigu dan turunannya merupakan bahan pangan
yang tergolong inelastis. Elastisitas pendapatan terigu dan turunannya berkisar dari
0,13 hingga 0,66. Berdasarkan hasil yang didapatkan, beras dan terigu memiliki
nilai elastisitas pendapatan yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi
perubahan pendapatan, maka perubahan permintaannya tidak terlalu besar.
Rendahnya elastisitas pendapatan beras dan terigu menunjukkan bahwa
kedua jenis pangan tersebut merupakan pangan pokok yang sering dikonsumsi. Hal
ini sesuai dengan Kemendag RI (2013) yang menyatakan bahwa meskipun
konsumsi beras sudah menurun, beras merupakan komoditas pangan pokok yang
konsumsinya masih terbilang cukup tinggi. Menurut Ariani (2016), beras
merupakan bahan pangan pokok yang konsumsinya terus meningkat dan hampir
seratus persen masyarakat Indonesia mengonsumsi beras. Penurunan konsumsi
beras diiringi dengan peningkatan konsumsi terigu, sehingga konsumsi terigu tinggi
(BKP 2020).
Berdasarkan Tabel 4.13, mayoritas jenis pangan strategis tergolong barang
normal inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan konsumsi pangan strategis
lebih kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatannya. Akan tetapi terdapat
satu jenis pangan yang bersifat normal elastis di seluruh kelas pendapatan, yaitu
daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi merupakan barang mewah.
Hal ini sesuai dengan Susanti et al. (2014) yang menyatakan bahwa elastisitas
pendapatan daging merupakan elastisitas yang tertinggi dikarenakan daging sapi
merupakan bahan pangan yang mahal dan dianggap mewah. Menurut Sukirno
26
(2016), barang mewah cenderung lebih elastis. Hasil penelitian sesuai dengan
Umaroh dan Vinantia (2018) serta Desti et al. (2013) yang menyatakan bahwa
elastisitas pendapatan daging sapi bersifat elastis.
Selain itu, daging ayam juga merupakan jenis pangan yang bersifat normal
elastis pada kelas pendapatan 1. Hal ini menunjukkan bahwa daging ayam pada
kelas pendapatan 1 masih tergolong barang mewah, namun tidak semewah daging
sapi. Hal ini sesuai dengan Susanti et al. (2014), yang menyatakan bahwa unggas
merupakan barang mewah namun tidak semewah daging sapi. Menurut Ariani et
al. (2018) tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras meningkat seiring
meningkatnya pendapatan.
Berdasarkan Tabel 4.13, kedelai dan turunannya merupakan barang normal
inelastis pada seluruh kelas pendapatan. Penurunan pendapatan 10% akan
menurunkan konsumsi sebesar 3% pada kelas pendapatan 1 dan 2% pada kelas
pendapatan 2, 3, 4, dan 5. Telur ayam ras merupakan pangan normal inelastis pada
seluruh kelas pendapatan. Seperti halnya jenis pangan lainnya, elastisitas
pendapatan telur ayam ras semakin menurun seiring meningkatnya pendapatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Bandrang (2015) yang menyatakan bahwa
elastisitas pendapatan telur ayam ras bersifat inelastis.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, bahan pangan sumber protein yang paling
elastis adalah daging sapi. Hal ini dikarenakan daging sapi merupakan jenis pangan
yang dianggap mewah dan umumnya dikonsumsi oleh kelas pendapatan menengah
dan tinggi (Arifin et al. 2018). Sedangkan bahan pangan sumber protein yang paling
inelastis adalah kedelai dan turunannya, kemudian telur ayam ras. Menurut Arifin
et al. (2018) kedelai dan turunannya merupakan pangan sumber protein yang
cenderung lebih murah dibandingkan pangan hewani lainnya sehingga
konsumsinya lebih tinggi. Kemudian, jika dibandingkan dengan pangan sumber
karbohidrat, elastisitas pangan sumber protein lebih elastis. Hal ini dikarenakan
komoditas pangan sumber protein, terutama protein hewani, harganya relatif mahal
dibandingkan dengan komoditas lainnya (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016).
Elastisitas pendapatan gula pasir pada seluruh kelas pendapatan tergolong
inelastis. Gula pasir cenderung lebih elastis pada kelas pendapatan rendah dan
menurun mendekati 0 pada kelas pendapatan 5. Gula pasir merupakan jenis pangan
yang umum dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga
konsumsinya cenderung inelastis (Arifin et al. 2018). Minyak merupakan jenis
pangan yang tergolong inelastis pada seluruh kelas pendapatan.
yang berada di atas rata-rata nasional. Penurunan pendapatan sebesar 30% juga
menyebabkan konsumsi daging ayam ras kelas pendapatan 4 menjadi di bawah rata-
rata konsumsi nasional, sedangkan kelas pendapatan 5 tetap berada di atasnya.
Berdasarkan Tabel 4.14, konsumsi awal daging sapi tertinggi yaitu pada kelas
pendapatan 5 sebesar 2,1 kg/kapita/tahun. Jika dibandingkan dengan konsumsi rata-
rata nasional yaitu sebesar 2,1 kg/kapita/tahun, konsumsi daging sapi pada seluruh
kelas pendapatan masih berada di bawah rata-rata konsumsi nasional. Perubahan
konsumsi daging sapi yang paling signifikan terjadi pada kelas pendapatan 5 yaitu
mencapai 1,3 kg/kapita/tahun. Seperti halnya daging sapi, konsumsi gula pasir
tertinggi yaitu pada kelas pendapatan 5 (5,2 kg/kapita/tahun), masih berada di
bawah rata-rata konsumsi nasional (9,4 kg/kapita/tahun). Penurunan pendapatan
yang terjadi menurunkan konsumsi hingga 0,9 kg/kapita/tahun. Berdasarkan BKP
(2018), rata-rata konsumsi nasional minyak adalah 10,3 kg/kapita/tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas pendapatan yang berada di atas rata-rata nasional
hanyalah kelas pendapatan 4 dan 5.
Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi nasional menurut BKP (2018),
konsumsi kelompok pangan yang masih berada di bawah konsumsi ideal antara lain
kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, buah dan biji berminyak, kacang-
kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain. Sedangkan konsumsi kelompok
pangan yang sudah berlebih adalah kelompok padi-padian serta minyak dan lemak.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa konsumsi pangan hewani, terutama
daging sapi dan daging ayam ras, masih tergolong kurang. Adanya income shock
juga semakin menurunkan konsumsi pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan hewani, terutama pada kelas pendapatan menengah ke bawah
perlu lebih diperhatikan. Selain itu, income shock juga menurunkan konsumsi gula
pasir sehingga diperlukan kebijakan yang juga menangani penurunan konsumsi
gula pasir. Adapun kelas pendapatan yang paling terdampak income shock akibat
pandemi adalah kelas pendapatan 1 dan 2. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah
sebaiknya memprioritaskan kelas pendapatan ini.
yang terjadi dapat mengurangi tingkat konsumsi energi hingga defisit tingkat ringan
dan tingkat konsumsi protein hingga tingkat defisit tingkat sedang.
Kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan dengan tingkat kecukupan
yang paling baik di antara kelas pendapatan lainnya, yaitu TKE 99,8% dan TKP
103,9%. Kelas pendapatan yang memiliki skor PPH yang tergolong baik adalah
kelas pendapatan 4 dan 5. Pemberian bantuan berupa jaring pengaman sosial
diharapkan dapat memperbaiki konsumsi pangan kelas pendapatan 1 setidaknya
hingga mencapai tingkat kecukupan konsumsi kelas pendapatan 2 dan skor PPH
kelas pendapatan 4. Berikut strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketahanan pangan kelas pendapatan 1 selama masa pandemi.
4.8.1 Bantuan Tunai
Bantuan tunai adalah bantuan berupa uang yang diberikan kepada keluarga
miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terkena dampak COVID-19. Adapun
fungsinya adalah untuk menopang kebutuhan masyarakat, meningkatkan daya
beli masyarakat, dan mendorong konsumsi masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian, didapatkan bahwa bantuan tunai sebesar Rp 150.000 dapat
meningkatkan konsumsi energi dan protein, namun tidak dapat mengembalikan
konsumsi rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 20%
atau lebih kepada konsumsi sebelum terjadinya penurunan pendapatan, atau
dengan kata lain bantuan tunai yang diberikan tidak dapat memperbaiki
konsumsi pangan kelas pendapatan 1.
Menurut Darmon et al. (2003), keterbatasan pendapatan menyebabkan
kelas pendapatan rendah memilih makanan yang murah dan kualitas rendah.
Oleh karena itu bantuan tunai yang diberikan harus ditingkatkan
mempertimbangkan kecukupan dan kualitas konsumsinya. Jika dihitung
menggunakan harga pangan kelas pendapatan 4 yaitu sebesar Rp 674 per 100
kkal, setidaknya untuk mencapai tingkat kecukupan gizi kelas pendapatan 2,
bantuan tunai yang diberikan adalah sebesar Rp 242.571 dengan asumsi 70%
dari bantuan tunai diperuntukkan untuk pangan. Harga pangan yang digunakan
adalah harga pangan kelas pendapatan 4 dikarenakan kelas pendapatan tersebut
merupakan kelas pendapatan dengan skor PPH tergolong baik. Bantuan sebesar
Rp 242.571 tersebut diharapkan dapat dipergunakan untuk meningkatkan tingkat
kecukupan gizi hingga 100% dan skor PPH minimal 70.
Pemberian bantuan tunai juga harus disertai peningkatan edukasi
mengenai pemilihan bahan pangan untuk mempermudah masyarakat, terutama
kelas pendapatan 1, untuk mengidentifikasi kombinasi makanan yang
terjangkau, bergizi, dan sesuai dengan kebiasaan. Pemberian edukasi ini penting
untuk dilakukan dikarenakan preferensi pemilihan makanan tidak hanya
dipengaruhi oleh pendapatan saja, tetapi juga oleh pengetahuan, kebiasaan, dan
norma yang berlaku (Darmon dan Drewnowski 2015). Mengingat adanya
pembatasan sosial, pemberian edukasi dapat dilakukan menggunakan media
sosial, terutama aplikasi WhatsApp. Hal ini dikarenakan aplikasi WhatsApp
merupakan aplikasi instant messaging yang paling banyak digunakan di
berbagai kalangan. Menurut Kemenkominfo (2018), pengguna internet di
Indonesia sebanyak 171 juta (64,4%) dimana 83% dari pengguna internet
merupakan pengguna aplikasi WhatsApp. Selain itu, penelitian Yunitasari et al.
(2019) menyatakan bahwa edukasi gizi dengan menggunakan aplikasi WhatsApp
menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, edukasi terkait pemilihan bahan
33
Berdasarkan Tabel 4.17, bantuan non tunai yang diberikan hanya meliputi
kelompok pangan padi-padian, gula, pangan hewani, serta minyak dan lemak.
Berdasarkan hasil penelitian, padi-padian adalah satu-satunya kelompok pangan
yang memiliki skor ideal. Menurut Miranti et al. (2016) konsumsi pangan
sumber karbohidrat di Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh padi-padian.
Hal ini menyebabkan padi-padian menjadi kelompok pangan sumber energi
utama. Adanya bantuan berupa beras sebanyak 10 kg, 1 kg terigu, dan 16
bungkus mie instan yang tergolong kelompok padi-padian tidak mengubah skor
PPH secara signifikan dikarenakan skornya sudah mencapai ideal sebelum
adanya bantuan non tunai. Selain itu, pemberian sumber karbohidrat yang
berlebih dapat memicu kepada masalah gizi lainnya seperti obesitas, sehingga
sebaiknya bantuan yang diberikan tidak semakin meningkatkan konsumsi padi-
padian yang sebelumnya sudah tergolong cukup.
Sumber energi lain yang dapat dijadikan alternatif adalah dari kelompok
umbi-umbian, seperti ketela pohon/singkong, ubi jalar, sagu, talas, kentang, atau
umbi-umbian lain yang banyak tersedia di masing-masing daerah. Menurut
Komarayanti (2017), umbi-umbian memiliki keunggulan seperti dapat tumbuh
di daerah marjinal dimana tanaman lainnya tidak bisa tumbuh dan dapat
34
5.1 Simpulan
Konsumsi energi dan protein per kapita di Provinsi Jawa Barat meningkat
seiring dengan meningkatnya pendapatan. Begitu juga dengan kualitas konsumsi,
skor PPH meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Adanya income shock
menurunkan konsumsi seluruh kelas pendapatan, namun kelas pendapatan 1
merupakan kelas pendapatan yang paling responsif terhadap penurunan
pendapatan. Adanya bantuan tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan
protein namun belum bisa mengembalikan pola konsumsi awalnya. Sedangkan
pemberian bantuan non-tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein
hingga melebihi konsumsi awal, bahkan konsumsi energi melebihi tingkat
kecukupan gizi (110,9%), namun belum mampu meningkatkan keragaman
konsumsi pangan.
Rataan konsumsi pangan strategis di Jawa Barat mayoritas masih berada di
bawah rata-rata nasional, adanya income shock menurunkan konsumsi pangan
strategis terutama pada kelas pendapatan 1 dan 2. Bantuan tunai yang diberikan
kepada kelas pendapatan 1 dapat meningkatkan konsumsi seluruh jenis pangan
strategis melebihi konsumsi awal, sedangkan bantuan non-tunai yang diberikan
hanya meningkatkan beberapa jenis pangan strategis. Rekomendasi yang diberikan
adalah pemberian bantuan tunai kepada kelas pendapatan 1 minimal sebesar
Rp242.571, pemberian edukasi melalui WhatsApp, serta pemberian bantuan non-
tunai yang lebih beragam.
5.2 Saran
Saran yang diberikan adalah untuk meningkatkan akses pangan khususnya
pada kelas pendapatan 1 yang mengalami dampak penurunan pendapatan paling
besar dengan memberikan bantuan/jaring pengaman sosial baik secara kuantitas
maupun kualitasnya. Apabila bantuan yang diberikan berupa bantuan non tunai,
bahan pangan yang diberikan diharapkan lebih beragam dan memprioritaskan
pangan lokal dengan harga terjangkau dan sesuai preferensi. Bila bantuan yang
diberikan berupa bantuan tunai, perlu dilakukan edukasi agar bantuan yang
diberikan dapat ditingkatkan dan dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan data penurunan
pendapatan yang terbaru dan lebih menggambarkan kondisi terkini, kemudian
melakukan penelitian lebih lanjut terkait kombinasi komoditas dan jumlah bantuan
non tunai yang paling ideal.
36
DAFTAR PUSTAKA
Grunert KG, Shepherd R, Traill WB, Wold B. Food choice, energy balance and its
determinants: Views of human behaviour in economics and psychology.
Trends in Food Science & Technology. 28 (2012): 132–142. doi:
https://doi.org/10.1016/j.tifs.2012.06.007
Gujarati DN, Porter DC, Pal M. 2020. Basic Econometrics 6th Edition. New York
(US): MacGraw-Hill, Inc.
Hadiwardoyo W. 2020. Kerugian ekonomi nasional akibat pandemic COVID-19.
Journal of Business & Entrepeneurship. 2(2):83–92. Doi:
10.24853/baskara.2.2.83-92
Hardinsyah. 2007. Review factor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal
Gizi dan Pangan. 2 (2): 55 – 74.
[ILO] International Labour Organization. 2020a. ILO Monitor: COVID-19 and the
world of work fifth edition; [diakses 1 Okt 2020].
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@dgreports/@dcomm/document
s/briefingnote/wcms_749399.pdf
________________________________. 2020b. Executive summary The COVID-
19 crisis exposes the wobbly foundations of decent work and inclusive growth
in many Asian–Pacific economies; [diakses 14 Jan 2020].
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---sro-
bangkok/documents/publication/wcms_764090.pdf
[Kemendag RI] Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Laporan
akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat Indonesia.
http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIK
A_POLA_KONSUMSI.pdf
[Kemenkominfo] Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
2018. Laporan Tahunan 2018. Jakarta (ID): Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia.
Komarayanti S. 2017. Ensiklopedia Buah-Buahan Lokal Berbasis Potensi Alam
Jember. Jember (ID): Universitas Muhammadiyah Jember.
Kusfriyadi MK, Hardinsyah, Supariasa, editor. 2017. Ilmu Gizi: Teori & Aplikasi.
Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusumawati IP, Sutopo. 2013. Analisis pengaruh customer experience terhadap
minat beli ulang (Studi kasus pada konsumen restoran The House of
Raminten Yogyakarta). Diponegoro Journal of Management. 2(2):1–9;
[diakses 16 Okt 2020]. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dbr
Kwon DH, Park HA, Cho YG, Kim KW, Kim NH. 2020. Different associations of
socioeconomic status on protein intake in the Korean elderly population: a
cross-sectional analysis of the Korea national health and nutrition
examination survey. Nutrients. 12(1): 10. Doi: 10.3390/nu12010010
Li L, Shi-Xian Z, Jun-Fei B. 2021. The dynamic impact of income and income
distribution on food consumption among adults in rural China. Journal of
Integrative Agriculture. 20(1):330–342. doi: 10.1016/S2095-3119(20)63239-
7
39
Mankiw NG. 2012. Principles of Economics Sixth Edition. Canada (USA): Cengage
Learning.
Miranti A, Syaukat Y, Harianto. 2016. Pola konsumsi pangan rumah tangga di
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 34(1):67–80.
doi: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v34n1.2016.67-80
Mun’im A. 2012. Analisis pengaruh faktor ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan: pendekatan
partial least square path modeling. Jurnal Agro Ekonomi. 30(1): 41 – 58.
Ngadi, Meilianna R, Purba YA. 2020. Dampak pandemi COVID-19 terhadap PHK
dan pendapatan pekerja di Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia. 2020
Jul:43–48. doi: https://doi.org/10.14203/jki.v0i0.576
Nurhemi, Soekro SRI, Suryani G. 2014. Working paper no.4 Pemetaan Ketahanan
Pangan di Indonesia: Pendekatan TFP dan Indeks Ketahanan Pangan.
Jakarta (ID): Bank Indonesia.
Nurmahmudah DK, Aruben R, Suyatno. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi makan buah dan sayur pada anak pra sekolah PAUD TK Sapta
Prasetya Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). 3(1):
244 – 255.
Pertiwi KI, Hardinsyah, Ekawidyani KR. 2014. Konsumsi pangan dan gizi serta
skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia sekolah 7—12 tahun di
Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(2): 117 – 124.
Prabowo DW. 2014. Pengelompokan komoditi bahan pangan pokok dengan metode
analytical hierarchy process. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 8(2): 163
– 182. Doi: https://doi.org/10.30908/bilp.v8i2.81
Prasetyo TJ, Hardinsyah, Sinaga T. 2013. Konsumsi pangan dan gizi serta skor pola
pangan harapan (PPH) anak usia 2 – 6 tahun di Indonesia. Jurnal Gizi dan
Pangan. 8(3):159–166. doi: https://doi.org/10.25182/jgp.2013.8.3.159-166
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. 2020. Strategi penguatan ketahanan pangan rumah
tangga dan jaring pengaman sosial di masa pandemi COVID-19. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ren Y J, Zhang Y, Loy J P, Glauben T. 2018. Food consumption among income
classes and its response to changes in income distribution in rural China.
China Agricultural Economic Review. 10(#): 406–424.
Rio-Chanona RM, Mealy P, Pichler A, Lafond F, Farmer JD. 2020. Supply and
demand shocks in the COVID-19 pandemic: An industry and occupation
perspective. Oxford Review of Economic Policy. 36(1):S94—S137. doi:
https://doi.org/10.1093/oxrep/graa033
Sangaji M. 2009. Fungsi konsumsi rumah tangga di indonesia (pendekatan model
koreksi kesalahan). Journal of Indonesian Applied Economics. 3(2): 150 –
165.
Saputri R, Lestari LA, Susilo J. 2016. Pola konsumsi pangan dan tingkat ketahanan
pangan rumah tangga di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. 12(3):123–130. doi: https://doi.org/10.22146/ijcn.23110
40