Anda di halaman 1dari 54

ESTIMASI DAMPAK INCOME SHOCK TERHADAP

KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA


DI PROVINSI JAWA BARAT

NAILA YAUMIMA RAHMA


NAILA YAUMIMA RAHMA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Estimasi Dampak


Income Shock terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat”
adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2021

Naila Yaumima Rahma


I14170081
ABSTRAK
NAILA YAUMIMA RAHMA. Estimasi Dampak Income Shock terhadap
Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh
DRAJAT MARTIANTO dan ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI.

Pandemi COVID-19 atau bencana lainnya dapat menyebabkan terjadinya


penurunan pendapatan tidak terduga pada seluruh lapisan masyarakat, hal ini dapat
menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Diperlukan
langkah antisipatif dan strategi penguatan ketahanan pangan yang memperhatikan
perubahan pola konsumsi pangan akibat income shock. Penelitian ini bertujuan
mengestimasi perubahan konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat
berdasarkan kelas (kuintil) pendapatan menggunakan data sekunder SUSENAS
2017. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan konsumsi pada seluruh
kelas pendapatan, kelas pendapatan 1 adalah kelas pendapatan yang paling
terdampak. Adanya bantuan tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein
namun belum bisa mengembalikan pola konsumsi awalnya. Sedangkan pemberian
bantuan non-tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein hingga
melebihi konsumsi awal, bahkan konsumsi energi melebihi tingkat kecukupan gizi
(110,9%), namun belum mampu meningkatkan keragaman konsumsi pangan.

Kata kunci: COVID-19, elastisitas pendapatan, income shock, ketahanan pangan,


konsumsi pangan

ABSTRACT
NAILA YAUMIMA RAHMA. The Estimation of Income Shock Impact on
Household Food Consumption in West Java Province. Supervised by DRAJAT
MARTIANTO and ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI.

The COVID-19 pandemic and other disasters may lead to an unexpected


decrease in income at all levels of society, and in turn may lower both quantity and
quality of food consumption. A strategy to strengthen food security is needed that
takes into account the changes in food consumption patterns due to income shock.
This research aims to estimate changes in household food consumption in West
Java Province by quintile income class. The research was conducted by processing
secondary data with a quantitative descriptive research design. The results showed
that despite the decline of consumption in all income classes, lower income class
were the most affected by the income shock. The existence of cash assistance can
increase energy and protein consumption but has not been able to restore the initial
consumption pattern. While the provision of non-cash assistance can increase
energy and protein consumption to exceed initial consumption, even energy
consumption exceeds the nutritional adequacy level (110.9%), but has not been able
to increase the diversity of food consumption.

Keywords: COVID-19, food consumption, food security, income elasticity, income


shock
ESTIMASI DAMPAK INCOME SHOCK TERHADAP
KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA
DI PROVINSI JAWA BARAT

NAILA YAUMIMA RAHMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
Tim Penguji pada Ujian Skripsi:
1 Dr Ir Drajat Martianto, MSi
2 Anna Vipta Resti Mauludyani, SP, MGizi
3 Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS
Judul Penelitian : Estimasi Dampak Income Shock terhadap Konsumsi
Pangan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat
Nama : Naila Yaumima Rahma
NIM : I14170081

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
Dr Ir Drajat Martianto, MSi

Pembimbing 2:
Anna Vipta Resti Mauludyani, SP, MGizi

Diketahui oleh

Ketua Departemen Gizi Masyarakat:


Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi
NIP 196002051989032002

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


13 Agustus 2021 26 Agustus 2021
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat
mendapatkan gelar Sarjana gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Estimasi
Dampak Income Shock terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Jawa Barat”.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, Msi selaku ketua Departemen Gizi
Masyarakat IPB.
2. Bapak Dr Ir Drajat Martianto, M Si dan Ibu Anna Vipta Resti Mauludyani, SP,
M Gizi selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, motivasi, kritik, saran, serta dukungan dalam
pembuatan skripsi saya.
3. Mbu, Ayah, Kakang, dan Nawwal yang telah memberikan doa, dukungan, dan
materi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.
4. Teman seperbimbingan (Sherin, Yaya, dan Adli) yang saling memberikan
dukungan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
5. Nauli, Inun, Hammam, dan Isul selaku sahabat penulis yang telah memberikan
dukungan, hiburan, motivasi, dan inspirasi selama pengerjaan skripsi.
6. Ama, Abel, Yughni, Katek, Awpipeh, Reka, Eca, Hana, Skripsweet, Grup
Produktif Uhuy, Tinpus Oke Ya, Bertindak Mengambil, Thomas and Friend,
dan teman-teman gizi Masyarakat 54 yang telah membersamai penulis dan
memberikan semangat serta dukungan selama masa perkuliahan hingga akhir
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk penelitian ini sehingga penelitian dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.

Bogor, Agustus 2021

Naila Yaumima Rahma


ix

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
II KERANGKA PEMIKIRAN 4
III METODE PENELITIAN 5
3.1 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5
3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
3.3 Pengolahan dan Analisis Data 5
3.4 Definisi Operasional 9
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 11
4.1 Gambaran Umum Wilayah 11
4.2 Pola Konsumsi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas Pendapatan 11
4.3 Simulasi Tingkat Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Setelah Adanya
Income Shock 17
4.4 Konsumsi Pangan Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan
Sosial 20
4.5 Konsumsi Pangan Strategis Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas
Pendapatan 24
4.6 Simulasi Konsumsi Pangan Strategis di Provinsi Jawa Barat Setelah Adanya
Income Shock 26
4.7 Konsumsi Pangan Strategis Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan
Sosial 29
4.8 Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Selama Masa Pandemi 31
V SIMPULAN DAN SARAN 35
5.1 Simpulan 35
5.2 Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 41
x

DAFTAR TABEL

3.1 Sumber dan jenis data penelitian 5


3.2 Klasifikasi kelas pendapatan per kapita rumah tangga 6
3.3 Interpretasi tingkat kecukupan gizi 6
3.4 Model ekonometrika 8
3.5 Jenis pangan yang diteliti 9
4.1 Rataan pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, dan pengeluaran pangan
per kelas pendapatan 12
4.2 Rata-rata asupan zat gizi berdasarkan kelas pendapatan 13
4.3 TKE Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan 13
4.4 TKP Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan 14
4.5 Konsumsi energi perkelompok pangan berdasarkan kelas pendapatan 15
4.6 Skor PPH berdasarkan kelas pendapatan 16
4.7 Simulasi perubahan konsumsi energi berdasarkan kelas pendapatan 17
4.8 Simulasi perubahan konsumsi protein per kelas pendapatan (gram) 19
4.9 Bantuan pemerintah Jawa Barat 21
4.10 Simulasi perubahan konsumsi setelah diberikan bantuan tunai 21
4.11 Simulasi perubahan konsumsi setelah diberikan bantuan non tunai 23
4.12 Simulasi perubahan skor PPH setelah diberikan bantuan non tunai 23
4.13 Elastisitas pendapatan pangan strategis berdasarkan kelas pendapatan 24
4.14 Perubahan konsumsi pangan strategis setelah penurunan pendapatan
(kg/kapita/tahun) 27
4.15 Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis setelah diberikan bantuan
tunai 29
4.16 Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis setelah diberikan bantuan
non tunai 31
4.17 Kelompok pangan dan kandungan energi bantuan non tunai 33
4.18 Contoh komoditas pangan per kelompok pangan 34

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Pemikiran 4


4.1 Perubahan TKE setelah penurunan pendapatan 18
4.2 Perubahan TKP setelah penurunan pendapatan 19
4.3 Perbandingan perubahan TKE menggunakan model ekonometrika dan
perhitungan harga kalori (%) 22

DAFTAR LAMPIRAN

4a Perhitungan skor PPH 41


4b Model ekonometrika energi, protein, dan pangan strategis 43
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Coronavirus (CoV) adalah virus jenis baru yang menimbulkan gejala ringan,
sedang hingga berat. Kasus Coronavirus Disease (COVID-19) pertama kali
dilaporkan di Kota Wuhan, Hubei, Cina pada 7 Januari 2020. Hingga saat ini,
penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung dengan cepat dan
penyebarannya cukup luas. Terhitung pada 22 Januari 2021 jumlah kasus COVID-
19 di Indonesia mencapai 965.283 kasus. Penyebaran yang cukup luas ini membuat
WHO menetapkan status pandemi terhadap kejadian COVID-19 (WHO 2020).
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menekan
penyebaran COVID-19 salah satunya adalah dengan menerapkan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan paling sedikit meliputi peliburan
sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan
kegiatan di tempat atau fasilitas umum seperti yang tertulis pada PP Nomor 21
Tahun 2020. Adanya PSBB menyebabkan beberapa aktivitas terhambat, terutama
pada sektor konstruksi, perdagangan, rumah makan dan jasa, serta transportasi,
pergudangan dan komunikasi. Terhambatnya beberapa aktivitas menyebabkan
beberapa perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi
memangkas biaya operasional (Ngadi et al. 2020)
Menurut ILO (2020a), pengangguran akibat COVID-19 secara global
setidaknya meningkat sebesar 72,3%. Diperkirakan jam kerja akibat COVID-9
menurun hingga 10,5% dengan asumsi jam kerja 48 jam per minggu. Berdasarkan
Ngadi et al. (2020) akibat adanya PSBB, persentase Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) di Indonesia pada April 2020 sebesar 15,6% yang 13,8% diantaranya tidak
mendapatkan pesangon. Pegawai yang di-PHK dan tidak mendapatkan pesangon
adalah karyawan tidak tetap atau karyawan kontrak. Adanya PSBB menyebabkan
31% karyawan mengalami penurunan pendapatan sebesar kurang dari 50%, 8,6%
karyawan mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50%, bahkan 15,3%
karyawan tidak ada pendapatan selama masa PSBB.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia
yaitu sebanyak 46.316.712 jiwa (BPS 2020c). Letak Provinsi Jawa Barat yang
berada di sekitar wilayah episentrum COVID-19 menjadikan Provinsi Jawa Barat
rentan terkena dampak COVID-19. Adanya pandemi COVID-19 menyebabkan
15,3% karyawan di Jawa Barat mengalami PHK. Hanya 36,9% karyawan yang
memiliki pendapatan yang tetap atau meningkat, sedangkan sisanya mengalami
penurunan pendapatan atau bahkan tidak memiliki pendapatan (Ngadi et al. 2020).
Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) memberikan
Program Jaring Pengaman Sosial diberikan untuk membantu rumah tangga miskin
di daerah episentrum COVID-19. Bantuan yang diberikan beraneka ragam,
antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako (BPNT), Bantuan
sosial sembako khusus Bodetabek dan DKI Jakarta, Bantuan Sosial Tunai (BST)
untuk di luar Jabodetabek. Adanya bantuan dari Kemensos RI menyebabkan
ketersediaan pangan lebih tinggi dan dapat meningkatkan konsumsi pangan.
Terdapat 3 domain untuk mengetahui determinan konsumsi pangan, antara
lain domain lingkungan, domain sosial-psikologi, dan domain ekonomi. Domain
ekonomi terdiri atas konsumsi seseorang dipengaruhi ketersediaan waktu dan
2

informasi, pendapatan, harga bahan pangan, harga bahan pangan lain (Grunert et
al. 2012). Faktor yang paling mempengaruhi konsumsi antara lain ialah harga bahan
pangan dan pendapatan (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016). Semakin tinggi
tingkat pendapatan, maka jumlah dan jenis makanan yang bisa dikonsumsi pun
semakin banyak karena daya beli meningkat, dan sebaliknya (Saputri et al. 2016).
Selain ancaman pandemi COVID-19, Indonesia juga merupakan negara yang
rentan bencana alam maupun bencana lain seperti konflik social yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya income shock yang secara tidak langsung akan
menyebabkan pergeseran konsumsi (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016).
Penyusunan strategi peningkatan ketahanan pangan yang tepat dalam menghadapi
perubahan pendapatan akibat pandemi memerlukan adanya informasi terkait
perubahan konsumsi untuk mencegah memburuknya konsumsi pangan dalam masa
darurat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian mengenai estimasi
dampak perubahan pendapatan terhadap konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi
Jawa Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka didapatkan beberapa
rumusan masalah yang akan diamati dalam dalam penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimanakah kualitas dan kuantitas konsumsi pangan rumah tangga
berdasarkan kelas pendapatan di Provinsi Jawa Barat?
b. Bagaimanakah dampak income shock terhadap konsumsi pangan rumah tangga
miskin di Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan dengan dan tanpa
adanya bantuan sosial?
c. Bagaimanakah dampak income shock terhadap konsumsi komoditas pangan
strategis berdasarkan kelas pendapatan dengan dan tanpa adanya bantuan tunai?
d. Apa sajakah rekomendasi mengenai penguatan ketahanan pangan rumah tangga
miskin selama masa pandemi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu mengestimasi perubahan konsumsi
pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
melalui simulasi akibat adanya income shock yang disebabkan oleh pandemi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:
a) Menganalisis kualitas dan kuantitas konsumsi pangan rumah tangga di
Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan.
b) Melakukan simulasi dampak income shock terhadap konsumsi pangan rumah
tangga di Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan dengan dan
tanpa adanya bantuan sosial.
c) Melakukan simulasi dampak income shock terhadap konsumsi komoditas
pangan strategis berdasarkan kelas pendapatan dengan dan tanpa adanya
bantuan tunai.
d) Merumuskan rekomendasi mengenai penguatan ketahanan pangan rumah
tangga selama masa pandemi.
3

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan
konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan kelas pendapatan akibat adanya
perubahan pendapatan secara drastis yang disebabkan oleh pandemi atau kondisi
tidak normal lainnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat dikembangkan menjadi
strategi penguatan ketahanan pangan rumah tangga, serta memberikan pemikiran
masukan bagi penyusunan program atau kebijakan yang tepat dalam menghadapi
perubahan pendapatan yang tidak terduga. Bagi pembaca penelitian ini diharapkan
dapat memanfaatkan penelitian ini untuk dikembangkan lebih dalam dan juga
mengimplementasikan penelitian ini di masyarakat.
4

II KERANGKA PEMIKIRAN

Terjadinya pandemi COVID-19 menyebabkan diberlakukannya peraturan


Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan terhambatnya
beberapa aktivitas terhambat sehingga logistik dan transportasi terhambat dan
terjadi peningkatan harga pangan. Akibat adanya PSBB beberapa orang terpaksa
diputuskan hubungan kerjanya (PHK) dan atau tutup usaha. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan pendapatan, terutama masyarakat yang tidak memiliki
pekerjaan tetap.
Income shock merupakan perubahan pendapatan yang tidak terduga dalam
jangka waktu tertentu. Income shock dapat terjadi baik secara positif maupun
negatif, income shock positif adalah peningkatan pendapatan tak terduga seperti
loterai, sedangkan income shock negatif seperti PHK (Bickel 2016). Adanya
penurunan pendapatan akibat pandemi menyebabkan pemerintah memberikan
bantuan kepada rumah tangga yang terdampak pandemi berupa bantuan pangan dan
non-pangan. Perubahan konsumsi pangan akibat perubahan pendapatan dapat
diukur menggunakan elastisitas pendapatan (Mankiw 2012).
Strategi penguatan ketahanan pangan rumah tangga hendaknya
memperhatikan perubahan pola konsumsi pangan sehingga strategi yang dibuat
lebih efektif. Oleh karena itu diperlukan penilaian konsumsi pangan secara
kuantitatif dan kualitatif, yakni menggunakan perhitungan tingkat kecukupan dan
skor PPH. Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan antar variabel determinan
perubahan konsumsi pangan yang diteliti dan tidak diteliti.

Pandemi/Bencana

PHK
Hambatan Logistik
dan Transportasi Penurunan pendapatan

Kenaikan harga Income Shock


Pangan
Bantuan tunai, bantuan pangan

Perubahan Konsumsi Pangan


Skor PPH

Tingkat Kecukupan Energi


Keterangan:
: hubungan Tingkat Kecukupan Protein
: ruang lingkup penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
5

III METODE PENELITIAN

3.1 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data sekunder dengan desain
penelitian deskriptif kuantitatif. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
purposive dengan pertimbangan Provinsi Jawa Barat adalah daerah di sekitar
episentrum COVID-19 yang banyak terkena dampak pandemi dan juga memiliki
risiko terjadinya bencana alam lainnya seperti banjir, kekeringan, gempa tektonik
dengan dan tanpa tsunami, dan sebagainya. Pengumpulan data dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017 – Desember 2017. Proses
perencanaan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data pada penelitian ini
dilakukan pada Januari 2021 – Juli 2021.

3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Analisis yang dilakukan menggunakan data sekunder. Data yang digunakan
adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017 dan data mengenai
bantuan langsung tunai dan bantuan pangan yang diperoleh dari website
Kementerian Sosial RI. Data Susenas 2017 dipilih karena merupakan benchmark
yang telah digunakan dalam analisis Prevalence of Undernourishment (PoU).
Selain itu, data Tahun 2020 memiliki keterbatasan data konsumsi aktual sehingga
digunakan Susenas 2017 untuk menggambarkan konsumsi sebelum pandemi.
Susenas adalah survei berbasis rumah tangga yang dilakukan BPS setiap
tahunnya yang terdiri atas data nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Tujuan dari
pengumpulan data melalui Susenas adalah tersedianya data kesejahteraan rumah
tangga sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan, monitoring, serta
evaluasi keberhasilan pembangunan. Data Susenas 2017 dikumpulkan secara
semesteran dengan metode wawancara kepada rumah tangga. Jenis rancangan
sampel yang digunakan yaitu multi stage dengan metode pemilihan sampel yaitu
sampel probabilitas. Sumber dan jenis data penelitian yang digunakan disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Sumber dan jenis data penelitian
Bentuk Data Jenis Data Sumber
Pengeluaran Sekunder Susenas 2017
Konsumsi pangan Sekunder Susenas 2017
Bantuan Tunai Sekunder Kemensos.go.id 2020

3.3 Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan.
Adapun tahapannya antara lain menentukan subjek penelitian, penilaian konsumsi
pangan meliputi perhitungan tingkat kecukupan energi (TKE), tingkat kecukupan
protein (TKP), dan skor pola pangan harapan (PPH), perhitungan rata-rata
pendapatan dan pengeluaran, jumlah anggota keuarga, dan harga pangan,
pembuatan model ekonometrika, dan analisis hasil secara deskriptif. Pengolahan
data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2016.
6

3.3.1 Menentukan Subjek Penelitian


Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumah
tangga di Provinsi Jawa Barat. Rumah tangga dikelompokkan menjadi 5
kelompok berdasarkan kelas pendapatannya. Kelas pendapatan ditentukan
dengan mengurutkan data dan membaginya menjadi kuintil. Klasifikasi kelas
pendapatan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Klasifikasi kelas pendapatan per kapita rumah tangga
Kelas Pendapatan Rentang pendapatan per kapita
1 < Rp 461.621
2 Rp 451.622 – Rp 681.747
3 Rp 681.748 – Rp 1.018.694
4 Rp 1.018.695 – Rp 1.596.809
5 > Rp 1.596.810

3.3.2 Menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKE dan TKP)


Langkah pertama dalam menghitung tingkat kecukupan gizi adalah
dengan menghitung konsumsi zat gizi yang dikonsumsi dalam sehari. Data
dikonversi menjadi bahan mentah dengan satuan gram. Mengacu pada Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM), dihitung konsumsi energi aktual
menggunakan rumus:

BDD Berat (g)


Konsumsi Gizi Aktual = × Kandungan Gizi ×
100 100

Setelah mengetahui konsumsi gizi aktual dari suatu bahan pangan,


konsumsi gizi dalam sehari dijumlahkan. Dihitung tingkat kecukupan gizi
dengan membandingkan konsumsi zat gizi dengan kecukupan zat gizi dan
dinyatakan dalam persen (%). Standar AKE dan AKP yang digunakan sebagai
pembanding adalah 2.100 kkal dan 57 g protein sesuai dengan Permenkes
Nomor 28 Tahun 2019. Cara penghitungan tingkat kecukupan zat gizi:

Total konsumsi gizi aktual


% TKG = × 100%
Angka Kecukupan Gizi

Langkah selanjutnya setelah menghitung % TKG adalah


menginterpretasikan hasilnya. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan
hasilnya dengan standar atau cut off. Cut off tingkat kecukupan gizi menurut
Soekarti et al. dalam WNPG (2012) disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Interpretasi tingkat kecukupan gizi
Persentase Interpretasi
≥120% Lebih
90 – 120% Normal
80 – 89% Defisit tingkat ringan
70 – 79% Defisit tingkat sedang
<70% Defisit tingkat berat
Sumber: Soekatri et al. 2012
7

3.3.3 Menghitung Skor PPH


Skor PPH adalah indikator mutu gizi konsumsi pangan dan keragaman
konsumsi pangan yang dilihat berdasarkan proporsi sumbangan energi suatu
kelompok bahan pangan. Langkah pertama sebelum menghitung skor PPH
adalah mengelompokkan bahan pangan menjadi 9 kelompok, yaitu padi-padian,
umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah dan biji berminyak,
kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain (BKP 2015).
Data konsumsi energi aktual yang sudah dihitung sebelumnya kemudian
dijumlahkan berdasarkan kelompok pangannya sehingga didapatkan total
konsumsi energi aktual per kelompok pangan. Tahap selanjutnya ialah
menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan terhadap total
konsumsi energi aktual menggunakan rumus:

Konsumsi energi kelompok pangan


% Kontribusi aktual = × 100%
Total konsumsi energi aktual

Setelah didapatkan persentase kontribusinya, dihitung kontribusi energi


dari setiap kelompok pangan terhadap angka kecukupan energi. Kontribusi
energi terhadap angka kecukupan energi dinyatakan dalam persen (%) dan
dihitung menggunakan rumus:

Konsumsi energi kelompok pangan


% Kontribusi energi = × 100%
Angka Kecukupan Energi (AKE)

Setelah itu, dihitung skor aktual dengan mengalikan kontribusi energi


aktual dengan bobot kelompok pangan. Begitu pula dengan skor AKE yang
dihitung dengan mengalikan persentase kontribusi AKE dengan bobot kelompok
pangan. Kemudian skor PPH dihitung dengan membandingkan skor AKE dan
skor maksimum. Skor maksimum adalah skor kelompok pangan yang memenuhi
komposisi ideal. Perhitungan skor PPH memiliki ketentuan jika skor AKE lebih
tinggi dari skor maksimum, maka yang digunakan adalah skor maksimum,
sedangkan jika skor AKE lebih rendah dari skor maksimum, maka yang
digunakan adalah skor AKE.
Setelah itu ditentukan skor PPH keseluruhan dengan menjumlahkan skor
PPH setiap kelompok pangan. Skor PPH maksimal yang dapat dicapai adalah
100 (BKP 2015). Skor PPH hasil perhitungan dapat digolongkan menjadi empat
kategori yaitu sangat kurang (<55), kurang (55 – 69), cukup (70 – 84), dan baik
(≥85) (Prasetyo et al. 2013).

3.3.4 Harga pangan


Harga pangan adalah harga turunan dari harga pangan. Prinsip
perhitungannya adalah menghitung harga per 100 kkal energi sehingga dapat
diidentifikasi harga yang dikeluarkan per 100 kkal energi. Harga pangan
didapatkan dari membagi pengeluaran pangan dengan kandungan energi per
BDD. Data kandungan energi mengacu pada tabel acuan Daftar Komposisi
Bahan Makanan (DKBM). Harga pangan dihitung menggunakan rumus:
8

Pengeluaran pangan
Harga pangan = × 100
Konsumsi energi (kkal)

3.3.5 Model Ekonometrika


Estimasi dampak perubahan pendapatan terhadap konsumsi pangan rumah
tangga miskin dilakukan menggunakan model ekonometrika. Variabel bebas (X)
pada penelitian ini adalah perubahan pendapatan, sedangkan variabel dependent
(Y) pada penelitian ini adalah konsumsi pangan. Menggunakan variabel yang
telah didefinisikan sebelumnya, dibuat model ekonometrika.
Model yang digunakan untuk mengestimasi dampak perubahan
pendapatan adalah model terbaik yang ditandai oleh nilai r 2 terbesar.
Berdasarkan Arifin et al. (2018), model terbaik untuk mengestimasi dampak
perubahan pendapatan terhadap konsumsi pangan adalah semi-log dan double-
log. Model ekonometrika yang digunakan disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Model ekonometrika
Model Equation Elastisitas
Linear 𝑦𝑖 = 𝛽1 + 𝛽2 𝑥𝑖 + 𝑢𝑖 𝑋
𝛽2 ( )
𝑌
Semi-log 𝑦𝑖 = 𝛽1 + 𝛽2 ln 𝑥𝑖 + 𝑢𝑖 1
𝛽2 ( )
𝑌
Double-log ln 𝑦𝑖 = 𝛽1 + 𝛽2 ln 𝑥𝑖 + 𝑢𝑖 𝛽2
Sumber: Gujarati et al. 2020.
Keterangan:
𝑦i : Konsumsi komoditas pangan (g/kapita)
β1 : Slope
β2 : Koefisien regresi setiap variabel
𝑥𝑖 : Pendapatan (rupiah/kapita)
Setelah didapatkan model ekonometri terbaik, dibuat estimasi konsumsi
berdasarkan 3 kondisi, yaitu terjadi penurunan pendapatan sebesar 10%, 20%,
dan 30%. Pemilihan estimasi penurunan pendapatan akibat COVID-19 didasari
oleh beberapa alasan:
1) Penurunan upah buruh pada Provinsi Jawa Barat sebesar 7,41% (BPS 2020d)
2) Penurunan PDRB Jawa Barat Tahun 2020 pada kuartal-II dan kuartal-III
berturut-turut sebesar 5,98% (BPS 2020a) dan 4,08% (BPS 2020b)
3) Penurunan pendapatan rumah tangga mencapai 30% (Rio-Chanona et al.
2020).
4) Penurunan upah buruh di Asia-Pasifik mencapai 9,9% (ILO 2020b)
5) UNICEF, UNDP, Prospera, and SMERU (2021) menyatakan bahwa terjadi
penurunan pendapatan kira-kira sebesar 42% - 45%.

3.3.6 Pangan Strategis


Pangan strategis adalah komoditas pangan yang memiliki kontribusi
signifikan dalam pembentukan harga yang berubah-rubah yang berrdampak
pada tingkat inflasi. Selain itu, pangan strategis merupakan jenis pangan yang
sering dikonsumsi sehingga jumlah ketersediannya di pasar dipantau. Pangan
9

strategis yang termasuk dalam penelitian ini adalah beras dan turunannya,
jagung dan turunannya, kedelai dan turunannya, telur ayam ras, daging ayam ras,
daging sapi, gula pasir, minyak, serta terigu dan turunannya. Jenis pangan dalam
susenas serta faktor konversi yang digunakan mengacu kepada BKP (2018) dan
Prabowo (2014). Daftar jenis pangan yang diteliti disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Jenis pangan yang diteliti
No Jenis Pangan Jenis Pangan dalam Susenas
1 Beras dan Beras, beras ketan, tepung beras, lainnya padi-
turunannya padian, bihun, bubur bayi kemasan, lainnya
konsumsi lainnya, kue basah, nasi campur/rames,
nasi goreng, nasi putih, lontong sayur
2 Jagung dan Jagung basah dengan kulit, jagung pocelan, tepung
turunannya jagung, minyak jagung
3 Terigu dan Tepung terigu, mie basah, mie instan,
turunannya makaroni/mie kering, roti tawar, roti manis/roti
lainnya, kue kering, makanan gorengan, mie
(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan
anak-anak, makanan jadi lainnya
4 Kedelai dan Kacang kedele, tahu, tempe, tauco, oncom,
turunannya saridele, kecap
5 Telur ayam ras Telur ayam ras
6 Daging ayam ras Daging ayam ras
7 Daging sapi Daging sapi
8 Gula Pasir Gula pasir
9 Minyak Minyak kelapa, minyak goreng lainnya

3.4 Definisi Operasional


Income shock adalah perubahan pendapatan (naik atau turun) yang terjadi secara
tidak terduga dalam jangka waktu tertentu (Bickel 2016), namun dalam
penelitian ini income shock difokuskan pada penurunan pendapatan tidak
terduga yang besarnya diasumsikan sebesar 10%, 20%, dan 30%.
Konsumsi pangan adalah rata-rata konsumsi makanan penduduk Provinsi Jawa
Barat yang dinyatakan dalam g/kapita/hari.
Konsumsi energi adalah rata-rata konsumsi energi penduduk Provinsi Jawa Barat
yang dinyatakan dalam kkal/kapita/hari.
Konsumsi protein adalah rata-rata konsumsi protein penduduk Provinsi Jawa
Barat yang dinyatakan dalam g/kapita/hari.
Pendapatan adalah jumlah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non
pangan suatu rumah tangga yang dinyatakan dalam rupiah/bulan yang
merupakan estimasi berdasarkan pengeluaran rumah tangga pada Modul
Konsumsi Susenas.
Pangan Strategis adalah pangan yang memiliki peranan penting dalam aspek
ekonomi, sosial, dan politik, yang dianggap penting dan dikonsumsi sebagian
besar masyarakat meliputi 9 komoditas yaitu beras dan turunannya, jagung
dan turunannya, kedelai dan turunannya, telur ayam ras, daging ayam ras,
daging sapi, gula pasir, minyak, serta terigu dan turunannya.
10

Pandemi adalah wabah penyakit yang menyebar meliputi wilayah geografi yang
luas, dalam penelitian ini adalah pandemi COVID-19.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah kebijakan pemerintah meliputi
peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, yang diberlakukan demi
menekan penyebaran COVID-19 dan tertulis dalam PP No 21 Tahun 2020.
Pola pengeluaran pangan adalah besar konsumsi beberapa kelompok pangan
yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah
dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain,
yang dinyatakan dalam persen (%).
Skor Pola Pangan Harapan (Skor PPH) adalah nilai yang menunjukkan mutu
dan keragaman konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang.
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah konsumsi energi dibandingkan dengan
angka kecukupan energi dan dinyatakan dalam persen (%).
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah konsumsi protein dibandingkan dengan
angka kecukupan protein dan dinyatakan dalam persen (%).
Bantuan sosial adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk
bantuan tunai dan bantuan non tunai.
Bantuan tunai adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk uang
tunai, seperti Program Bantuan Sosial Tunai (BST), yaitu sebesar
Rp150.000/keluarga/bulan.
Bantuan non tunai adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah
tangga miskin yang rentan terhadap dampak COVID-19 dalam bentuk
pemberian bahan pangan pokok, seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),
meliputi 10 kg beras, 1 kg terigu, vitamin C, makanan kaleng ikan 2 kg, gula
pasir 1 kg, mie instan 16 bungkus, minyak goreng 2 liter dan telur 2 kg.
Elastisitas pendapatan adalah respon permintaan suatu jenis bahan pangan akibat
adanya perubahan pendapatan.
Konsumsi energi aktual adalah besar energi yang dikonsumsi per gram berat
bersih suatu jenis bahan pangan yang dinyatakan dalam satuan kkal.
Kontribusi aktual adalah besar konsumsi energi yang dikonsumsi dari suatu
kelompok pangan dibandingkan dengan total konsumsi energi aktual dalam
sehari dan dinyatakan dalam persen (%).
Kontribusi energi adalah besar konsumsi energi yang dikonsumsi dari suatu
kelompok pangan dibandingkan dengan kecukupan energi sehari dan
dinyatakan dalam persen (%).
Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah jumlah kebutuhan energi rata-rata yang
harus dikonsumsi setiap hari bagi hampir semua orang untuk hidup sehat
yaitu sebesar 2.100 kkal.
Angka Kecukupan Protein (AKP) adalah jumlah kebutuhan protein rata-rata yang
harus dipenuhi setiap hari bagi hampir semua orang untuk hidup sehat yaitu
sebesar 57 gram.
Model adalah konsep yang menjelaskan hubungan antar variabel dan pengaruh
perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya.
Harga pangan adalah satuan harga yang dibayarkan untuk mengonsumsi 100 kkal
energi.
11

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Wilayah


Jawa Barat merupakan provinsi dengan luas wilayah sebesar 35.377,76 km2.
Secara geografis, provinsi Jawa Barat terletak antara 5o 50’ – 7o 50’ Lintang Selatan
dan 104o 48’ – 108o 48’ Bujur Timur. Letak geografis Jawa Barat yang berbatasan
dengan pusat perekonomian yaitu DKI Jakarta, menyebabkan Jawa Barat mudah
diakses dan menjadikan Jawa Barat menjadi salah satu penyangga pangan bagi DKI
Jakarta. Selain itu, Provinsi Jawa Barat dikenal memiliki potensi sumber daya
pertanian dan rumpun pertanian yang besar serta variatif yang berpotensi sebagai
lumbung pangan nasional untuk meningkatkan ketahanan pangan. Secara nasional,
Jawa Barat merupakan provinsi pemasok beras, cabai besar, dan daging ayam ras
(BKP 2019).
Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia,
yaitu sebanyak 46.316.712 jiwa (BPS 2020c). Tingginya jumlah penduduk Provinsi
Jawa Barat ini menyebabkan kebutuhan pangan juga tinggi, dan ketika kebutuhan
akan pangan tidak diiringi dengan peningkatan ketersediaan pangan dapat
menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Menurut BKP (2018), pada tahun
2017 terdapat jumlah penduduk Jawa Barat yang termasuk sangat rawan pangan
sekitar 8,18% sedangkan yang termasuk rawan pangan 20,23% dan yang tahan
pangan adalah sebanyak 71,60%.
Tingginya jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat, dan letaknya yang dekat
dengan pusat perekonomian menyebabkan Jawa Barat menjasi provinsi kedua
dengan kasus COVID-19 terbanyak yaitu 216.423 kasus (WHO 2020). Tingginya
kasus COVID-19 di Provinsi Jawa Barat menyebabkan diberlakukannya
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka persebaran
COVID-19.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 36 Tahun 2020, PSBB
sendiri dilakukan dalam bentuk pembatasan aktivitas luar rumah. Selama PSBB,
masyarakat diimbau untuk menerapkan PHBS khususnya mencuci tangan
menggunakan air mengalir dan sabun. Pembatasan aktivitas selama PSBB meliputi
pelaksanaan pembelajaran di sekolah/institusi lainnya, aktivitas bekerja di kantor,
kegiatan keagamaan di rumah ibadah, kegiatan di tempat atau fasilitas umum,
kegiatan sosial budaya, dan pergerakan orang maupun barang yang menggunakan
moda transportasi.

4.2 Pola Konsumsi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas Pendapatan


4.2.1 Pendapatan dan Pola Pengeluaran Pangan
Pangan adalah kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia. Pangan
dikonsumsi oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan zat gizi hariannya
sehingga dapat mempertahankan hidup (Widjojo 2016). Menurut Hardinsyah
(2007), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yakni
pengetahuan gizi, daya beli pangan, waktu yang tersedia untuk pengolahan,
preferensi pangan, dan ketersediaan pangan lokal. Faktor yang cukup penting
yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah daya beli pangan yang ditentukan
oleh besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga bahan pangan dan jumlah
12

anggota rumah tangga. Rataan pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, dan
pengeluaran pangan per kelas pendapatan disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rataan pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, dan pengeluaran
pangan per kelas pendapatan
Jumlah
anggota Pengeluaran Pangsa
Kelas Pendapatan Pendapatan
rumah pangan pengeluaran
pendapatan (rupiah) (rupiah/kapita)
tangga (rupiah/kapita) pangan (%)
(orang)
1 1.461.680 4,1 358.465 250.925 70
2 2.155.305 3,8 565.914 339.548 60
3 3.003.807 3,6 836.699 418.349 50
4 4.243.198 3,3 1.273.193 509.277 40
5 7.465.201 3,1 2.408.933 963.573 40

Berdasarkan Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan pada


masing-masing kelas pendapatan adalah berturut-turut sebesar Rp 1.461.680
untuk kelas pendapatan 1, Rp 2.155.305 untuk kelas pendapatan 2,
Rp. 3.003.807 untuk kelas pendapatan 3, Rp 4.243.198 untuk kelas pendapatan
4, dan Rp 7.465.201 untuk kelas pendapatan 5. Adapun, jumlah anggota rumah
tangga paling banyak terdapat pada kelas pendapatan 1 dan menurun hingga
kelas pendapatan 5. Menurut Afandi (2014), jumlah anggota rumah tangga lebih
dari 4 orang berpengaruh meningkatkan peluang rumah tangga untuk menjadi
miskin. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi (Adiana dan Karmini 2012).
Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita, pangsa pengeluaran
pangan lebih tinggi pada kelas pendapatan 1 dibandingkan dengan kelas
pendapatan 5. Pangsa pengeluaran pangan pada kelas pendapatan 1 sebesar 70%,
sedangkan kelas pendapatan 2 sebesar 60%, kelas pendapatan 3 sebesar 50%,
dan kelas pendapatan 4 dan 5 sebesar 40%. Tingkat kesejahteraan dikatakan baik
jika menurunnya pangsa pengeluaran pangan, dengan anggapan bahwa
kebutuhan makanan telah terpenuhi sehingga kelebihan pendapatan digunakan
untuk konsumsi bukan makanan. Oleh karena itu, semakin besar pendapatan,
semakin rendah juga pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga (Subarna
2012).
4.2.2 Tingkat Kecukupan Gizi (TKE dan TKP)
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan seseorang atau
kelompok orang dengan tujuan memenuhi zat gizi yang diperlukan oleh tubuh.
Menurut Kusfryiadi et al. (2017), setiap bahan pangan memiliki komponen gizi
dan non-gizi yang beragam, oleh karena itu makanan yang dikonsumsi harus
beragam. Perilaku konsumsi pangan rumah tangga yang baik mencerminkan
perilaku gizi yang baik.
Suatu rumah tangga dapat dikatakan memiliki konsumsi pangan yang baik
jika makanan yang dikonsumsi mencukupi secara kuantitas dan baik kualitasnya.
Konsumsi rumah tangga secara kuantitatif dapat dinilai menggunakan tingkat
kecukupan zat gizi (Ediwiyati et al. 2015). Tingkat kecukupan gizi berdasarkan
kelas pendapatan di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 4.2.
13

Tabel 4.2 Rata-rata asupan zat gizi berdasarkan kelas pendapatan


Asupan Zat Gizi Kelas Pendapatan
1 2 3 4 5
Energi
Asupan (kkal) 1.789 2.096 2.297 2.518 2.692
% TKE 85,2 99,8 109,4 119,9 128,2
Interpretasi TKE Defisit Normal Normal Normal Lebih
tingkat
ringan
Protein
Asupan (gram) 48,8 59,2 67,1 76,0 86,9
% TKP 85,7 103,9 117,8 133,3 152,4
Interpretasi TKP Defisit Normal Lebih Lebih Lebih
tingkat
ringan
Menurut DPKP (2019), rata-rata konsumsi energi di Jawa Barat tahun
2017 adalah 2190 kkal, sedangkan protein 63,3 g. Rata-rata konsumsi di Jawa
Barat sudah berada di atas kebutuhan, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi
penduduk Jawa Barat sudah cukup secara kuantitas. Selain itu, rata-rata
konsumsi energi nasional tahun 2017 sebanyak 2128 kkal dan protein sebanyak
61,45 gram. Berdasaran Tabel 4.1, kelas pendapatan 1 dan 2 masih berada di
bawah rata-rata konsumsi energi dan protein nasional.
Tabel 4.2 menunjukkan asupan zat gizi pada masing-masing kelas
pendapatan. Menurut WNPG (2012), tingkat kecukupan energi dan zat gizi
makro digolongkan menjadi 5, yaitu defisit berat (<70%), defisit sedang (70 –
79%), defisit ringan (80 – 89%), normal (90 – 119%) dan berlebih (≥120%).
Berdasarkan Tabel 4.2, konsumsi energi kelas pendapatan 1 tergolong defisit
tingkat ringan, sedangkan kelas pendapatan 5 tergolong berlebih. Selain itu,
asupan protein pada kelas pendapatan 1 tergolong defisit tingkat ringan,
sedangkan kelas pendapatan 3, 4 dan 5 tergolong berlebih. Hal ini menunjukkan
semakin meningkatnya pendapatan, maka konsumsi juga semakin meningkat.
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas
pendapatannya disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 TKE Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
Kelas pendapatan
Tingkat Kecukupan
1 2 3 4 5
Defisit Tingkat Berat 22,2 7,3 4,0 2,7 2,8
Defisit Tingkat Sedang 19,9 11,1 7,6 4,8 4,3
Defisit Tingkat Ringan 19,6 15,6 11,2 8,1 6,6
Normal 34,1 49,4 44,9 37,8 31,6
Lebih 4,2 16,6 32,2 46,5 54,8
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga pada
kelas pendapatan 1 memiliki TKE yang tergolong defisit. Hal ini ditunjukkan
dengan prevalensi rumah tangga pada kelas pendapatan 1 dengan TKE defisit
14

tingkat berat, sedang, dan ringan, berturut-turut sebesar 22,2%, 19,9%, dan
19,6%. Sedangkan mayoritas kelas pendapatan 4 dan 5 memiliki TKE yang
tergolong lebih yaitu sebanyak 54,8% rumah tangga kelas pendapatan 5 dan
46,5% rumah tangga kelas pendapatan 4. Dibandingkan dari kelima kelas
pendapatan, kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan dengan tingkat
kecukupan yang paling baik, ditandai oleh tingkat kecukupan yang tergolong
normal sebesar 49,4%. Berdasarkan hasil yang didapatkan, dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi kelas pendapatan maka konsumsinya semakin tinggi. Hal
ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa konsumsi pangan
rumah tangga akan meningkat ketika meningkatnya pendapatan rumah tangga,
dan sebaliknya, akan tetapi pangsa pengeluaran pangan pendapatan akan
menurun (Mankiw 2012).
Meskipun konsumsi cenderung meningkat ketika pendapatan peningkat,
terdapat rumah tangga pada kelas pendapatan 1 dengan TKE yang tergolong
lebih yaitu sebanyak 4,2%. Sebaliknya, meskipun kelas pendapatan 4 dan 5
mayoritas tergolong lebih, terdapat juga rumah tangga kelas pendapatan tersebut
yang memiliki TKE tergolong defisit tingkat berat sebesar 2,7% dan 2,8%. Hal
ini dikarenakan pemilihan bahan pangan yang dikonsumsi juga dapat
mempengaruhi tingkat kecukupan energinya. Contohnya adalah pemilihan
bahan pangan yang tinggi energi namun sedikit secara kuantitas, atau bahan
pangan yang rendah energi namun lebih baik kualitasnya (Chen dan Antonelli
2020).
Selain itu, pendapatan bukan merupakan faktor tunggal yang
mempengaruhi konsumsi pangan, terdapat beberapa faktor lainnya yang yang
juga mempengaruhi konsumsi pangan. Faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi konsumsi pangan antara lain selera, kepercayaan, preferensi
pangan, akses terhadap makanan, ketersediaan pangan lokal, nilai simbolik suatu
bahan pangan, ketersediaan waktu dan informasi, harga bahan pangan, dan harga
pangan lain (Grunert et al. 2012). Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain yang diteliti
dalam penelitian ini adalah Tingkat Kecukupan Protein (TKP). TKP Provinsi
Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatannya disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 TKP Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
Kelas pendapatan
Tingkat Kecukupan
1 2 3 4 5
Defisit Tingkat Berat 23,6 6,8 2,8 1,7 1,7
Defisit Tingkat Sedang 20,0 9,6 5,8 3,0 1,9
Defisit Tingkat Ringan 19,7 15,4 9,9 5,7 3,7
Normal 29,9 45,8 39,7 30,7 20,8
Lebih 6,8 22,4 41,9 58,9 72,0
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat dikatakan bahwa mayoritas rumah tangga
pada kelas pendapatan 1 memiliki TKP yang tergolong defisit. Hal ini
ditunjukkan dengan prevalensi rumah tangga kelas pendapatan 1 dengan TKP
defisit tingkat berat, sedang, dan ringan, berturut-turut sebesar 23,6%, 20%, dan
19,7%. Kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan yang memiliki TKP
paling baik dibandingkan dengan keempat kelas pendapatan lainnya. Persentase
15

rumah tangga yang memiliki TKP tergolong normal sebanyak 45,8%, kemudian
persentase TKP defisit tingkat berat, sedang, dan ringan berturut-turut sebesar
6,8%, 9,6%, dan 15,4%, dan persentase TKP yang tergolong lebih sebanyak
22,4%.
Mayoritas rumah tangga kelas pendapatan 4 dan 5 memiliki TKP yang
tergolong lebih, yaitu sebanyak 58,9% rumah tangga kelas pendapatan 4 dan
72% rumah kelas pendapatan 5. Hanya 30,7% pada kelas pendapatan 4 dan
20,8% pada kelas pendapatan 5 yang memiliki TKP normal. Meskipun begitu,
masih terdapat rumah tangga dengan TKP tergolong defisit.
Hasil yang didapatkan sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan
bahwa konsumsi pangan rumah tangga akan meningkat ketika meningkatnya
pendapatan rumah tangga, dan sebaliknya (Mankiw 2012). Meningkatnya
konsumsi protein dikarenakan semakin tinggi kelas pendapatan maka daya
belinya akan meningkat. Rumah tangga dapat memilih bahan pangan dengan
gizi yang optimal tanpa memikirkan biaya (Kwon et al. 2020).
4.2.3 Skor PPH
Selain mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif, dilakukan juga
penilaian kualitas konsumsi pangan menggunakan skor PPH. Skor PPH adalah
indikator mutu gizi konsumsi pangan dan keragaman konsumsi pangan yang
dilihat berdasarkan proporsi sumbangan energi suatu kelompok bahan pangan
(Prasetyo et al. 2013). Sumbangan energi per kelompok pangan berdasarkan
kelas pendapatan disajikan pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Konsumsi energi perkelompok pangan berdasarkan kelas pendapatan
Kelas pendapatan
No Kelompok pangan
1 2 3 4 5
1 Padi-padian 1.228 1.360 1.414 1.466 1.455
2 Umbi-umbian 43 46 52 60 59
3 Pangan hewani 117 174 229 294 405
4 Minyak dan lemak 167 204 236 267 291
5 Buah/biji berminyak 10 15 19 26 31
6 Kacang-kacangan 46 55 63 72 75
7 Gula 32 41 49 58 65
8 Sayur dan buah 56 72 86 103 126
9 Lain-lain 91 129 149 172 186
Total konsumsi energi 1.789 2.096 2.297 2.518 2.692
Harga pangan 468 540 607 674 1.193
(rupiah/100 kkal)
Berdasarkan Tabel 4.5, didapatkan bahwa secara kuantitas, kelompok
padi-padian mendominasi sumber energi tertinggi dari seluruh kelompok pangan
pada setiap kelas pendapatan. Hal ini sesuai dengan Pertiwi et al. (2014) yang
menyatakan bahwa konsumsi pangan didominasi oleh padi-padian. Konsumsi
terendah dari 9 kelompok pangan pada seluruh kelas pendapatan adalah buah/biji
berminyak.
Kemudian dihitung harga pangan dengan membandingkan pengeluaran
pangan dengan energi yang dikonsumsi. Dapat dilihat pada Tabel 4.5 bahwa
harga pangan per 100 kkal meningkat seiring meningkatnya pendapatan.
16

Menurut Ekaningrum et al. (2017), terdapat hubungan negatif antara densitas


energi dengan harga pangan, akan tetapi terdapat hubungan positif antara
densitas zag gizi dengan harga pangan. Umumnya pangan yang kaya akan zat
gizi lebih mahal per kkal dibandingkan dengan rendah zat gizinya. Selain itu,
menurut Drewnowski (2010), makanan padat energi yang mengandung lemak
dan gula tambahan, menyediakan banyak kalori dapat diperoleh dengan biaya
yang murah, sedangkan makanan yang rendah densitas energi seperti sayur dan
buah lebih mahal. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa kualitas
konsumsi pangan pada kelas pendapatan 1 masih rendah. Kelas pendapatan 1
cenderung mengonsumsi makanan tinggi kalori yang tinggi lemak dan
karbohidrat dibandingkan mengonsumsi makanan yang baik kualitasnya.
Selanjutnya untuk mengetahui skor PPH dilakukan pembobotan yang
didasarkan dari proporsi konsumsi energi. Perhitungan skor PPH dilakukan
dengan membandingkan skor AKE dengan skor maksimum (BKP 2015).
Perhitungan skor PPH berdasarkan kelas pendapatan disajikan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Skor PPH berdasarkan kelas pendapatan
Skor Kelas pendapatan
No Kelompok pangan
ideal 1 2 3 4 5
1 Padi-padian 25,0 25,0 25,0 25,0 25,0 25,0
2 Umbi-umbian 2,5 1,0 1,1 1,3 1,5 1,5
3 Pangan hewani 24,0 11,4 17,1 22,6 24,0 24,0
4 Minyak dan lemak 5,0 4,1 5,0 5,0 5,0 5,0
5 Buah/biji berminyak 1,0 0,2 0,4 0,5 0,6 0,8
6 Kacang-kacangan 10,0 4,5 5,4 6,2 7,1 7,4
7 Gula 2,5 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6
8 Sayur dan buah 30,0 13,6 17,6 21,2 25,5 30,0
9 Lain-lain 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Skor PPH 100 60,5 72,5 83,1 90,2 95,3
Interpretasi Kurang Cukup Cukup Baik Baik

Berdasarkan Tabel 4.5, semakin tinggi kelas pendapatan maka skor PPH
akan semakin membaik atau semakin mendekati 100. Hal ini sesuai dengan
penelitian Dewi dan Utami (2017), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan
maka skor PPH semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan
menentukan daya beli. Keluarga dengan penghasilan tinggi lebih mudah
megakses makanan yang memiliki kualitas gizi yang baik. Hasil penelitian ini
juga sesuai dengan Surachman et al. (2013), yang menyatakan bahwa tingkat
pendapatan berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi
tingkat pendapatan maka makanan yang dikonsumsi akan semakin beragam.
Berdasarkan DPKP (2019), skor PPH nasional pada tahun 2017 sebesar
87, sedangkan skor PPH Jawa Barat tahun 2017 sebesar 81,6. Jika dibandingkan
dengan skor PPH nasional tahun 2017, hanya kelas pendapatan 4 dan 5 yang
berada di atas skor PPH nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas konsumsi
kelas pendapatan rendah hingga menengah masih di bawah rata-rata nasional
sehingga perlu ditingkatkan diversifikasi konsumsinya. Akan tetapi, jika
dibandingkan dengan skor PPH Jawa Barat, hanya kelas pendapatan 1 dan 2
yang masih memiliki skor PPH di bawah rata-rata daerah.
17

Kelompok pangan padi-padian merupakan kelompok pangan yang


memiliki skor maksimal di seluruh kelas pendapatan, sedangkan kelompok
pangan sumber karbohidrat lainnya seperti umbi-umbian dan gula belum
maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi sumber karbohidrat di Provinsi
Jawa Barat belum beragam. Hasil penelitian ini sejalan dengan Miranti et al.
(2016) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat di
Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh padi-padian. Hasil yang didapatkan
juga menunjukkan masih rendahnya diversifikasi pangan rumah tangga yang
ditandai oleh tingginya ketergantungan rumah tangga kepada beras.
Berdasarkan Tabel 4.5, kelompok pangan umbi-umbian, kacang-
kacangan, buah/biji berminyak, dan gula pada seluruh kelas pendapatan masih
belum dapat mencapai skor maksimal sehingga konsumsinya perlu ditingkatkan.
Selain itu, dari seluruh kelas pendapatan hanya kelas pendapatan 5 yang dapat
mencapai skor maksimal untuk kelompok pangan sayur dan buah, sehingga
penting bagi penduduk kelas pendapatan lainnya untuk meningkatkan konsumsi
sayur dan buah. Menurut Nurmahmudah et al. (2015), pendapatan keluarga
sangat mempengaruhi ketersediaan bahan pangan. apabila pendapatan tinggi
maka ketersediaan juga tinggi, dan sebaliknya, jika pendapatan rendah maka
ketersediaan rendah.

4.3 Simulasi Tingkat Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Setelah


Adanya Income Shock
Terdapat 3 domain untuk mengetahui determinan konsumsi pangan, antara
lain domain lingkungan, domain sosial-psikologi, dan domain ekonomi. Domain
lingkungan dipengaruhi akses terhadap makanan, ketersediaan pangan lokal, dan
nilai simbolik suatu bahan pangan. Domain sosial psikologi terdiri atas self-
efficacy, kepercayaan, preferensi pangan atau selera (Grunert et al. 2012).
Pola konsumsi ditentukan oleh kebiasaan dan selera. Selera bersifat personal
yang seringkali dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman pribadi, dan status
sosial seseorang (Kusumawati et al. 2013; Grunert et al. 2012). Berdasarkan
domain ekonomi, konsumsi seseorang dipengaruhi ketersediaan waktu dan
informasi, harga bahan pangan, harga bahan pangan lain, dan pendapatan (Grunert
et al. 2012). Perubahan konsumsi energi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Simulasi perubahan konsumsi energi berdasarkan kelas pendapatan
Rata-rata konsumsi (kkal/kap/hari)
Perubahan pendapatan
1 2 3 4 5
Pendapatan awal 1.789 2.096 2.297 2.518 2.692
Penurunan pendapatan 10% 1.802 2.025 2.208 2.408 2.692
Penurunan pendapatan 20% 1.746 1.969 2.152 2.352 2.640
Penurunan pendapatan 30% 1.682 1.905 2.088 2.288 2.577
Perubahan konsumsi energi akibat penurunan pendapatan diolah
menggunakan model semi-log (r2= 0,95). Berdasarkan Tabel 4.7, dapat dilihat
bahwa konsumsi energi pada kelas pendapatan 1 mula-mula mengalami
peningkatan konsumsi energi ketika terjadi penurunan pendapatan sebesar 10%,
18

kemudian asupannya menurun seiring terjadinya penurunan pendapatan. Menurut


teori relative income yang dikemukakan James Duesenberry, konsumsi tidak hanya
bergantung dengan pendapatan sekarang (current income), akan tetapi bergantung
juga dengan sejarah pendapatan itu sendiri. Ketika terjadi peningkatan pendapatan,
maka ia akan menyesuaikan konsumsi ke tingkat lebih tinggi dari sebelumnya,
namun ketika terjadi penurunan pendapatan, maka penyesuaian konsumsi tidak
langsung diturunkan secepat atau sebesar penurunan pendapatan yang terjadi. Hal
ini dikarenakan faktor lingkungan yang juga mempengaruhi konsumsinya. Apabila
seseorang tinggal di lingkungan yang memiliki pola konsumsi yang tinggi, maka
orang tersebut akan mengikuti pola konsumsi yang dilakukan tetangga. Seseorang
akan menyesuaikan konsumsinya dengan standar konsumsi tertinggi yang pernah
dicapai, jadi ketika terjadi penurunan pendapatan relatifnya, seseorang tidak
mengorbankan standar konsumsi yang telah dicapai (Sangaji 2009).
Selain itu fenomena meningkatnya konsumsi energi ketika terjadi penurunan
pendapatan disebabkan oleh adanya coping strategies berupa perubahan preferensi
makanan. Adanya penurunan pendapatan menyebabkan preferensi rumah tangga
yang semula mengonsumsi pangan sumber protein menjadi sumber karbohidrat dan
lemak (Ariani 2012). Hal yang berbeda terjadi pada kelas pendapatan 2, 3, 4, dan
5. Seiring meningkatnya penurunan pendapatan, maka konsumsi juga semakin
menurun. Hal ini sesuai dengan Gevisioner et al. (2015) yang menyatakan bahwa
konsumsi energi menurun pada saat pendapatan menurun. Selanjutnya dilakukan
perhitungan perubahan TKE akibat adanya penurunan pendapatan. Perubahan TKE
Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan setelah adanya penurunan
pendapatan sebesar 10%, 20%, dan 30% disajikan pada Gambar 4.1.
140,0
128,2 128,2
Tingkat Kecukupan Energi (%)

125,7
130,0 122,7
119,9
120,0 114,7
112,0
109,4 108,9
105,1
110,0 102,5
99,8 99,4
96,4
100,0 93,8
90,7
85,2 85,8
90,0 83,2
80,1
80,0
70,0
60,0
Pendapatan Awal Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan
10% 20% 30%

1 2 3 4 5

Gambar 4.1 Perubahan TKE setelah penurunan pendapatan

TKE akibat adanya penurunan pendapatan diolah menggunakan model


ekonometrika semi-log (r2=0,95) dengan elastisitas perubahan konsumsi kelas
pendapatan 1 sebesar 0,3, sedangkan kelas pendapatan 2, 3, 4, dan 5 sebesar 0,2.
Hal ini menunjukkan pada kelas pendapatan 1, penurunan pendapatan sebesar 10%
akan menurunkan konsumsi sebesar 3%, sedangkan pada kelas pendapatan lainnya
penurunan pendapatan sebesar 10% akan menurunkan konsumsi sebesar 2%.
Berdasarkan perhitungan elastisitas, didapatkan bahwa konsumsi energi kelas
19

pendapatan 1 lebih elastis dibandingkan dengan kelas pendapatan lainnya, atau


dengan kata lain kelas pendapatan yang rendah cenderung lebih sensitif terhadap
perubahan konsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Benda-Prokeinova dan
Hanova (2016), penduduk miskin responsif terhadap perubahan pendapatan.
Berdasarkan Gambar 4.1, TKE pada kelas pendapatan 1 adalah sebesar
85,2%, 85,8%, 83,2%, dan 80,1%. Jika dibandingkan dengan WNPG (2012), TKE
kelas pendapatan 1 tergolong defisit tingkat ringan. Jika dibandingkan dengan kelas
pendapatan lainnya, TKE kelas pendapatan 1 paling rendah dengan perubahan
paling signifikan. Hal ini menjadikan kelas pendapatan 1 adalah kelas pendapatan
yang paling terdampak dengan penurunan pendapatan sehingga dibutuhkan
kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan konsumsi pada kelas
pendapatan 1. Zat gizi lain yang diteliti dalam penelitian ini adalah protein.
Perubahan konsumsi protein setelah adanya penurunan pendapatan disajikan pada
Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Simulasi perubahan konsumsi protein per kelas pendapatan (gram)
Rata-rata konsumsi protein (g/kap/hari)
Perubahan pendapatan
1 2 3 4 5
Pendapatan awal 48,8 59,2 67,1 76,0 86,9
Penurunan pendapatan 10% 47,5 56,9 64,6 73,1 85,3
Penurunan pendapatan 20% 45,1 54,5 62,3 70,7 82,9
Penurunan pendapatan 30% 42,4 51,8 59,6 68,0 80,2
Perubahan konsumsi energi akibat penurunan pendapatan diolah
menggunakan model semi-log (r2= 0,98). Berbeda dengan perubahan konsumsi
energi, seluruh kelas pendapatan mengalami penurunan konsumsi protein yang
seiring dengan penurunan pendapatan. Menurut Ariani (2012), preferensi dan
selerea seseorang akan mengalami penurunan akibat adanya perubahan pendapatan.
Selanjutnya dilakukan perhitungan perubahan TKP akibat adanya penurunan
pendapatan. Perubahan TKP Provinsi Jawa Barat berdasarkan kelas pendapatan
setelah adanya penurunan pendapatan sebesar 10%, 20%, dan 30% disajikan pada
Gambar 4.2.
160,0 152,4 149,6
145,4
Tingkat Kecukupan Protein (%)

150,0 140,7
140,0 133,4
128,2
124,0
130,0 117,8 119,3
120,0 113,4
109,2
103,8 104,5
110,0 99,9
95,7
100,0 91,0
85,7 83,3
90,0 79,2
74,4
80,0
70,0
60,0
Pendapatan Awal Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan Penurunan Pendapatan
10% 20% 30%

1 2 3 4 5

Gambar 4.2 Perubahan TKP setelah penurunan pendapatan


20

Perubahan TKP akibat adanya penurunan pendapatan diolah menggunakan


model ekonometrika semi-log (r2=0,98) dengan elastisitas perubahan konsumsi
kelas pendapatan 1 sebesar 0,4, sedangkan kelas pendapatan 2, 3, dan 4 sebesar 0,3,
dan kelas pendapatan 5 sebesar 0,2. Hal ini menunjukkan pada kelas pendapatan 1,
penurunan pendapatan sebesar 10% akan menurunkan konsumsi sebesar 4%,
sedangkan pada kelas pendapatan 2, 3, dan 4 penurunan pendapatan sebesar 10%
akan menurunkan konsumsi sebesar 3%, dan pada kelas pendapatan 5 penurunan
pendapatan 10% menurunkan konsumsi sebesar 2%. Berdasarkan perhitungan
elastisitas, semakin tinggi kelas pendapatan maka konsumsi proteinnya semakin
inelastis.
Jika dibandingkan dengan perubahan TKE, perubahan TKP lebih elastis. Hal
ini disebabkan oleh perubahan preferensi dalam pemilihan makanan. Menurut
Ariani (2012), sejalan dengan perubahan pendapatan, preferensi dan selera
seseorang akan berubah dari pemilihan makanan yang sederhana, seperti pangan
sumber karbohidrat, menjadi pangan yang merupakan sumber protein, vitamin, dan
mineral. Hal tersebut dapat merubah komposisi zat gizi yang dikonsumsi namun
tidak terlalu banyak mengubah energi yang dikonsumsi. Selain itu, hasil yang
didapat juga sesuai dengan penelitian Colen et al. (2018) yang menyatakan bahwa
kelompok zat gizi yang paling terdampak oleh perubahan pendapatan adalah lemak,
vitamin, dan protein, sedangkan karbohidrat merupakan zat gizi yang tidak banyak
mengalami perubahan ketika terjadi perubahan pendapatan.
Berdasarkan Gambar 4.2, TKP pada kelas pendapatan 1 adalah sebesar
85,7%, 83,3%, 79,2%, dan 74,4%. Penurunan TKP pada kelas pendapatan 1 yang
semula tergolong defisit tingkat ringan (85,7%) berubah menjadi defisit tingkat
sedang (74,4%). Hal ini menunjukkan bahwa kelas pendapatan 1 mengalami
dampak yang paling buruk akibat adanya penurunan pendapatan. Rendahnya
konsumsi protein pada kelas pendapatan 1 hingga mencapai tingkat defisit sedang
menunjukkan bahwa diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah yang dapat
meningkatkan konsumsi protein pada kelas pendapatan 1.

4.4 Konsumsi Pangan Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa Bantuan Sosial
4.4.1 Bantuan Tunai
Menurut KMK No HK.01.07/MENKES/413/2020, salah satu cara untuk
menekan penyebaran COVID-19 adalah dengan menerapkan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB). Adanya PSBB menyebabkan beberapa aktivitas
terhambat, terutama pada sektor konstruksi, perdagangan, rumah makan dan
jasa, serta transportasi, pergudangan dan komunikasi (Ngadi et al. 2020). Selain
itu, beberapa kerugian yang dialami akibat diberlakukannya PSBB antara lain
hilangnya pendapatan meliputi gaji atau tunjangan, denda/bunga akibat tidak
tepat waktunya pembayaran kewajiban (cicilan atau hutang), serta pengeluaran
tambahan akibat adanya kondisi darurat (Hadiwardoyo 2020).
Akibat adanya penurunan pendapatan hampir di seluruh sektor,
Kementerian Sosial Republik Indonesia memberikan Program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) diberikan untuk membantu keluarga miskin dan rentan di daerah
episentrum COVID-19. Bantuan yang diberikan beraneka ragam, antaranya
Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako (BPNT), Bantuan sosial
sembako khusus Bodetabek dan DKI Jakarta, Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk
21

di luar Jabodetabek. Pemetaan JPS terkait pandemi yang diberikan oleh


pemerintah kepada rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat disajikan pada
Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Bantuan pemerintah Jawa Barat
Bantuan Sasaran Besaran
Bansos Sembako Masyarakat miskin Rp250.000 - Rp350.000 berupa
(BPNT) dan rentan miskin beras, gula pasir, minyak
yang terkena dampak goreng, terigu, makanan
COVID-19 kaleng, telur, vitamin c, mie
instan, susu, garam, masker,
dan tas. Besarannya tergantung
dengan kemampuan keuangan
Provinsia.
Bantuan Tunai Masyarakat miskin Rp100.000 - Rp150.000 selama
dan rentan miskin 4 bulan yaitu April, Mei, Juni,
yang terkena dampak dan Juli 2020. Besarannya
COVID-19 tergantung dengan kemampuan
keuangan Provinsib.
a) b)
Sumber: Pergub Provinsi Jawa Barat Nomor 55 Tahun 2020; Pergub Provinsi Jawa Barat
Nomor 94 Tahun 2020
Berdasarkan data tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa bantuan yang
diterima oleh rumah tangga miskin adalah sebesar Rp150.000/keluarga/bulan.
Adapun rumah tangga yang mendapatkan bantuan tunai merupakan rumah
tangga pada kelas pendapatan 1. Kemudian dilakukan simulasi menggunakan
model ekonometrika dengan menambahkan bantuan tunai per kapita untuk
melihat perubahan konsumsi pangan rumah tangga miskin setelah adanya
bantuan tunai. Simulasi perubahan konsumsi pangan setelah diberikan bantuan
tunai disajikan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Simulasi perubahan konsumsi setelah diberikan bantuan tunai
Konsumsi pangan
Zat Gizi Tanpa bantuan tunai Dengan bantuan tunai
Awal -10% -20% -30% 10% 20% 30%
Energi
Asupan (kkal) 1.789 1.802 1.746 1.682 1.855 1.805 1.749
TKE (%) 85,2 85,8 83,1 80,1 86,3 84,0 81,4
Protein
Konsumsi (g) 48,8 47,5 45,1 42,4 49,1 47,6 45,3
TKP (%) 85,7 83,3 79,2 74,4 87,2 83,5 79,4
Simulasi perubahan konsumsi dilakukan menggunakan model
ekonometrika semi-log (r2 = 0,95). Berdasarkan Tabel 4.10 didapatkan bahwa
adanya bantuan tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein. Akan
tetapi, besaran bantuan tunai yang diterima oleh rumah tangga yang mengalami
penurunan pendapatan sebesar 20% dan 30% tidak cukup untuk mengembalikan
konsumsi energi dan protein seperti semula. Rumah tangga yang mengalami
penurunan pendapatan sebesar 10% meningkatkan konsumsi energi mereka
22

hingga 86,3% ketika diberikan bantuan tunai, sedangkan rumah tangga yang
mengalami penurunan pendapatan sebesar 20% dan 30% meningkatkan asupan
mereka hingga TKE 84,0% dan 81,4%.
Selain itu, terjadi peningkatan konsumsi protein berturut-turut 4%, 4,3%,
dan 5%. Peningkatan konsumsi energi dan protein tertinggi terjadi pada rumah
tangga yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 30%. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan
tertinggi paling responsif terhadap perubahan pendapatan dan cenderung akan
meningkatkan konsumsi pangannya. Menurut Song (2011), semakin tinggi
pendapatan makan perilaku konsumsi cenderung lebih inelastis. Ketika terjadi
peningkatan pendapatan, seseorang akan meningkatkan konsumsi kebutuhan
dasarnya hingga mencapai titik jenuh, kemudian seseorang akan
mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan sekunder dan untuk ditabung.
Berdasarkan perhitungan pada Gambar 4.3, didapatkan bahwa harga per
100 kkal energi pada kelas pendapatan 1 sebesar Rp 468. Jika diasumsikan
bahwa bantuan tunai sebesar Rp 150.000 yang diberikan seluruhnya digunakan
untuk konsumsi pangan, maka idealnya konsumsi dapat meningkat hingga 260
kkal. Simulasi perubahan konsumsi energi jika diasumsikan bahwa bantuan
tunai yang diberikan seluruhnya digunakan untuk konsumsi pangan disajikan
pada Gambar 4.3.
120
98,2 95,6 92,5
100 85,8 86,3 83,1 84 80,1 81,4
80
60
40
20
0
-10% -20% -30%

Konsumsi awal
Setelah bantuan tunai (model ekonometrika)
Setelah bantuan tunai (harga energi per 100 kkal)

Gambar 4.3 Perbandingan perubahan TKE menggunakan model ekonometrika


dan perhitungan harga kalori (%)

Berdasarkan Gambar 4.3, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan yang


cukup signifikan jika bantuan tunai yang diberikan seluruhnya digunakan untuk
konsumsi pangan. Peningkatan konsumsi bahkan melebihi konsumsi awalnya
(85,2%). Hal ini menunjukkan bahwa bantuan tunai yang diberikan jika
digunakan seluruhnya untuk pangan dapat memperbaiki konsumsi pangannya.
Akan tetapi untuk saat ini, tidak ada upaya yang menjamin bahwa bantuan yang
diberikan digunakan untuk keperluan pangan.
4.4.2 Bantuan Non Tunai
Selain memberikan bantuan dalam bentuk bantuan tunai, pemerintah Jawa
Barat juga memberikan bantuan dalam bentuk bantuan sosial sembako (BPNT)
23

per bulannya, yang terdiri atas 10 kg beras, 1 kg terigu, vitamin C, makanan


kaleng 2 kg, gula pasir 1 kg, mie instan 16 bungkus, minyak goreng 2 liter, dan
telur 2 kg. Berdasarkan perhitungan, bantuan yang diberikan dapat
meningkatkan asupan energi sebanyak 572 kkal/hari/kapita dan meningkatkan
konsumsi protein hingga 12,7 g/hari/kapita. Simulasi perubahan konsumsi
setelah diberikan bantuan non tunai disajikan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Simulasi perubahan konsumsi setelah diberikan bantuan non tunai
Konsumsi pangan
Tanpa bantuan pangan Dengan bantuan
Zat gizi
pangan
Awal 10% 20% 30% 10% 20% 30%
Energi
Asupan (kkal) 1.789 1.802 1.746 1.682 2.384 2.328 2.264
TKE (%) 85,2 85,8 83,2 80,1 113,1 110,4 107,4
Protein
Konsumsi (g) 48,8 47,5 45,1 42,4 60,2 57,8 55,1
TKP (%) 85,7 83,3 79,2 74,4 105,6 101,5 96,7
Berdasarkan Tabel 4.11, setelah adanya bantuan non tunai konsumsi
energi rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan meningkat hingga
melebihi konsumsi awalnya, bahkan pada rumah tangga yang mengalami
penurunan pendapatan 10% dan 20% konsumsi energinya meningkat melebihi
kebutuhan energi sehari (113,1% dan 110,4%). Sama halnya dengan
peningkatan konsumsi protein yang melebihi konsumsi awalnya. Hal ini
menunjukkan bahwa bantuan non tunai sudah dapat membantu meningkatkan
konsumsi energi dan protein. Perhitungan skor PPH kelas pendapatan 1 setelah
diberikan bantuan non tunai disajikan pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Simulasi perubahan skor PPH setelah diberikan bantuan non tunai
Skor PPH
Skor
No Kelompok pangan Tanpa bantuan Dengan bantuan
ideal
non tunai non tunai
1 Padi-padian 25,0 25,0 25,0
2 Umbi-umbian 2,5 1,0 1,0
3 Pangan hewani 24,0 11,4 16,8
4 Minyak dan lemak 5,0 4,1 5,0
5 Buah/biji berminyak 1,0 0,2 0,2
6 Kacang-kacangan 10,00 4,5 4,5
7 Gula 2,5 0,8 1,5
8 Sayur dan buah 30,0 13,6 13,6
9 Lain-lain 0,0 0,0 0,0
Skor PPH 100 60,5 67,6
Interpretasi Kurang Kurang
Berdasarkan Tabel 4.12, terdapat beberapa kelompok pangan yang
mengalami peningkatan skor PPH, yakni pangan hewani yang semula 11,4
menjadi 16,8. Kemudian minyak dan lemak yang semula 4,1 menjadi 5,0 dan
mencapai skor ideal, serta gula yang semula 0,8 menjadi 1,5. Adapun skor PPH
24

keseluruhannya meningkat dari 60,5 menjadi 67,6. Akan tetapi, peningkatan


yang terjadi belum bisa memperbaiki skor PPH hingga tergolong cukup (70 –
84). Hal ini menunjukkan bahwa bantuan non tunai yang diberikan belum cukup
beragam.
Kelompok pangan yang tidak mengalami peningkatan skor PPH antara
lain umbi-umbian, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, serta sayur dan buah.
Jika dilihat dari skor PPH sebelum adanya bantuan, kelompok pangan tersebut
belum mencapai skor ideal. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan non tunai harus
lebih beragam dan memperhatikan kelompok pangan lainnya yang belum ideal.
Meskipun diberikan bantuan berupa beras, skor PPH kelompok pangan
padi-padian tidak mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan karena skor PPH
sebelum adanya bantuan sudah mencapai skor ideal. Hal ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwa bantuan non tunai yang diberikan belum
memperhatikan pola konsumsi awal masyarakat. Berdasarkan perhitungan skor
PPH setelah adanya bantuan non tunai dapat dikatakan bahwa diperlukan
pengkajian ulang terkait bantuan non tunai yang diberikan sebagai bentuk
penguatan ketahanan pangan.

4.5 Konsumsi Pangan Strategis Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Kelas


Pendapatan
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui bahan pangan yang
dikorbankan ketika terjadi penurunan atau peningkatan pendapatan, perubahan
harga bahan pangan itu sendiri, atau perubahan harga bahan pangan lain, adalah
dengan menghitung elastisitas. Elastisitas adalah koefisien yang menunjukkan
besarnya perubahan permintaan terhadap suatu barang akibat perubahan faktor lain
yang mempengaruhinya (Mankiw 2012).
Elastisitas pendapatan adalah koefisien yang menunjukkan besarnya
perubahan permintaan suatu barang akibat adanya perubahan pendapatan. Suatu
barang dikatakan tidak elastis atau inelastis jika koefisien elastisitasnya kurang dari
satu. Semakin besar nilai elastisitas, maka semakin besar perubahan permintaan
akibat adanya perubahan pendapatan (Sukirno 2016). Dihitung elastisitas
pendapatan masing-masing kelas pendapatan menggunakan model ekonometrika.
Besar r2 dan model ekonometrika yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 4b.
Elastisitas pendapatan pangan strategis disajikan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Elastisitas pendapatan pangan strategis berdasarkan kelas pendapatan
Elastisitas
Jenis Pangan 1 2 3 4 5
Beras dan turunannya 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Terigu dan turunannya 0,5 0,4 0,3 0,3 0,3
Jagung dan turunannya 0,5 0,7 0,7 0,7 1,0
Kedelai dan turunannya 0,3 0,2 0,2 0,2 0,2
Telur ayam ras 0,6 0,5 0,4 0,3 0,3
Daging ayam ras 1,5 0,9 0,6 0,5 0,4
Daging sapi 15,3 7,2 3,6 2,2 1,2
Gula Pasir 0,7 0,5 0,4 0,4 0,3
Minyak 0,4 0,3 0,3 0,2 0,2
25

Pangan strategis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pangan yang
memiliki peranan penting dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik, yang dianggap
penting dan dikonsumsi sebagian besar masyarakat. Berdasarkan Tabel 4.13, dapat
dilihat bahwa secara keseluruhan pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan
yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan pangan strategis tergolong
barang normal. Selain itu, mayoritas pangan strategis memiliki elastisitas yang
tergolong inelastis, yang nilai elastisitasnya menurun seiring bertambahnya
pendapatan. Hal ini sesuai dengan Mankiw (2012), yang menyatakan bahwa
umumnya bahan pangan pokok memiliki elastisitas yang rendah dan rumah tangga
miskin cenderung memiliki elastisitas pendapatan yang lebih elastis.
Berdasarkan Tabel 4.13, mayoritas bahan pangan elastisitasnya menurun
seiring meningkatnya pendapatan, kecuali pada jagung dan turunannya. Komoditas
jagung dan turunannya tergolong paling elastis pada kelas pendapatan 5, sedangkan
cenderung lebih inelastis pada kelas pendapatan 1. Hal ini dikarenakan komoditas
jagung pada kelas pendapatan 1 merupakan jenis pangan yang umum dikonsumsi,
sehingga ketika terjadi penurunan pendapatan, perubahan konsumsinya tidak
sebesar kelas pendapatan yang lainnya. Lain halnya dengan elastisitas jagung dan
turunannya yang cenderung lebih elastis pada kelas pendapatan yang lebih tinggi.
Menurut Mankiw (2012), c. Hal ini menunjukkan bahwa jagung dan turunannya
merupakan jenis pangan yang jarang dikonsumsi pada kelas pendapatan 5.
Beras dan turunannya merupakan jenis pangan yang paling inelastis
dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Hasil yang didapatkan sesuai dengan
penelitian Faharuddin et al. (2015) yang menyatakan bahwa nilai elastisitas
pendapatan beras paling rendah dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya.
Adapun nilai elastisitas pendapatan beras dan turunannya yang berkisar dari -0.11
hingga 0,18.
Sama halnya dengan beras, terigu dan turunannya merupakan bahan pangan
yang tergolong inelastis. Elastisitas pendapatan terigu dan turunannya berkisar dari
0,13 hingga 0,66. Berdasarkan hasil yang didapatkan, beras dan terigu memiliki
nilai elastisitas pendapatan yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi
perubahan pendapatan, maka perubahan permintaannya tidak terlalu besar.
Rendahnya elastisitas pendapatan beras dan terigu menunjukkan bahwa
kedua jenis pangan tersebut merupakan pangan pokok yang sering dikonsumsi. Hal
ini sesuai dengan Kemendag RI (2013) yang menyatakan bahwa meskipun
konsumsi beras sudah menurun, beras merupakan komoditas pangan pokok yang
konsumsinya masih terbilang cukup tinggi. Menurut Ariani (2016), beras
merupakan bahan pangan pokok yang konsumsinya terus meningkat dan hampir
seratus persen masyarakat Indonesia mengonsumsi beras. Penurunan konsumsi
beras diiringi dengan peningkatan konsumsi terigu, sehingga konsumsi terigu tinggi
(BKP 2020).
Berdasarkan Tabel 4.13, mayoritas jenis pangan strategis tergolong barang
normal inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan konsumsi pangan strategis
lebih kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatannya. Akan tetapi terdapat
satu jenis pangan yang bersifat normal elastis di seluruh kelas pendapatan, yaitu
daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa daging sapi merupakan barang mewah.
Hal ini sesuai dengan Susanti et al. (2014) yang menyatakan bahwa elastisitas
pendapatan daging merupakan elastisitas yang tertinggi dikarenakan daging sapi
merupakan bahan pangan yang mahal dan dianggap mewah. Menurut Sukirno
26

(2016), barang mewah cenderung lebih elastis. Hasil penelitian sesuai dengan
Umaroh dan Vinantia (2018) serta Desti et al. (2013) yang menyatakan bahwa
elastisitas pendapatan daging sapi bersifat elastis.
Selain itu, daging ayam juga merupakan jenis pangan yang bersifat normal
elastis pada kelas pendapatan 1. Hal ini menunjukkan bahwa daging ayam pada
kelas pendapatan 1 masih tergolong barang mewah, namun tidak semewah daging
sapi. Hal ini sesuai dengan Susanti et al. (2014), yang menyatakan bahwa unggas
merupakan barang mewah namun tidak semewah daging sapi. Menurut Ariani et
al. (2018) tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras meningkat seiring
meningkatnya pendapatan.
Berdasarkan Tabel 4.13, kedelai dan turunannya merupakan barang normal
inelastis pada seluruh kelas pendapatan. Penurunan pendapatan 10% akan
menurunkan konsumsi sebesar 3% pada kelas pendapatan 1 dan 2% pada kelas
pendapatan 2, 3, 4, dan 5. Telur ayam ras merupakan pangan normal inelastis pada
seluruh kelas pendapatan. Seperti halnya jenis pangan lainnya, elastisitas
pendapatan telur ayam ras semakin menurun seiring meningkatnya pendapatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Bandrang (2015) yang menyatakan bahwa
elastisitas pendapatan telur ayam ras bersifat inelastis.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, bahan pangan sumber protein yang paling
elastis adalah daging sapi. Hal ini dikarenakan daging sapi merupakan jenis pangan
yang dianggap mewah dan umumnya dikonsumsi oleh kelas pendapatan menengah
dan tinggi (Arifin et al. 2018). Sedangkan bahan pangan sumber protein yang paling
inelastis adalah kedelai dan turunannya, kemudian telur ayam ras. Menurut Arifin
et al. (2018) kedelai dan turunannya merupakan pangan sumber protein yang
cenderung lebih murah dibandingkan pangan hewani lainnya sehingga
konsumsinya lebih tinggi. Kemudian, jika dibandingkan dengan pangan sumber
karbohidrat, elastisitas pangan sumber protein lebih elastis. Hal ini dikarenakan
komoditas pangan sumber protein, terutama protein hewani, harganya relatif mahal
dibandingkan dengan komoditas lainnya (Benda-Prokeinova dan Hanova 2016).
Elastisitas pendapatan gula pasir pada seluruh kelas pendapatan tergolong
inelastis. Gula pasir cenderung lebih elastis pada kelas pendapatan rendah dan
menurun mendekati 0 pada kelas pendapatan 5. Gula pasir merupakan jenis pangan
yang umum dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga
konsumsinya cenderung inelastis (Arifin et al. 2018). Minyak merupakan jenis
pangan yang tergolong inelastis pada seluruh kelas pendapatan.

4.6 Simulasi Konsumsi Pangan Strategis di Provinsi Jawa Barat Setelah


Adanya Income Shock
Pangan dikonsumsi oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
hariannya sehingga dapat mempertahankan hidup (Widjojo 2016). Terdapat
beberapa jenis pangan yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan
frekuensi yang cukup sering atau disebut juga pangan strategis. Kondisi sosial dan
ekonomi suatu rumah tangga dapat mempengaruhi konsumsi pangan strategis,
terutama jika terjadi perubahan pendapatan. Simulasi perubahan konsumsi pangan
strategis setelah terjadi perubahan pendapatan sebesar 10%, 20%, dan 30%.
Disajikan pada Tabel 4.14 Adapun simulasi dilakukan menggunakan model
ekonometrika (lihat Lampiran 4b).
27

Tabel 4.14 Perubahan konsumsi pangan strategis setelah penurunan pendapatan


(kg/kapita/tahun)
Konsumsi pangan (kg/kap/tahun) kelas pendapatan ke-
Pendapatan turun
1 2 3 4 5
Beras dan turunannya
Pendapatan awal 91,2 97,5 100,6 102,3 100,6
Penurunan 10% 93,5 95,8 97,7 99,8 102,9
Penurunan 20% 93,0 95,2 97,1 99,2 102,3
Penurunan 30% 92,4 94,6 96,4 98,5 101,6
Terigu dan turunannya
Pendapatan awal 14,0 18,2 20,2 22,7 27,1
Penurunan 10% 13,7 16,8 19,4 22,3 26,4
Penurunan 20% 12,9 16,0 18,6 21,5 25,6
Penurunan 30% 12,0 15,1 17,7 20,6 24,7
Jagung dan turunannya
Pendapatan awal 0,2 0,2 0,4 0,5 0,8
Penurunan 10% 0,2 0,3 0,3 0,5 0,8
Penurunan 20% 0,2 0,3 0,3 0,4 0,7
Penurunan 30% 0,2 0,2 0,3 0,4 0,6
Kedelai dan turunannya
Pendapatan awal 7,0 8,2 9,3 10,3 10,7
Penurunan 10% 7,2 8,1 8,8 9,6 10,7
Penurunan 20% 6,9 7,8 8,6 9,4 10,6
Penurunan 30% 6,7 7,6 8,3 9,1 10,3
Telur ayam ras
Pendapatan awal 5,1 6,7 8,0 9,1 10,9
Penurunan 10% 5,0 6,4 7,5 8,8 10,6
Penurunan 20% 4,6 6,0 7,2 8,4 10,2
Penurunan 30% 4,2 5,6 6,8 8,0 9,8
Daging ayam ras
Pendapatan awal 3,2 5,4 7,4 9,7 12,3
Penurunan 10% 2,8 5,1 6,9 8,9 11,8
Penurunan 20% 2,3 4,5 6,3 8,3 11,2
Penurunan 30% 1,7 3,9 5,7 7,7 10,6
Daging sapi
Pendapatan awal 0,0 0,1 0,2 0,6 2,1
Penurunan 10% 0,0 0,1 0,3 0,7 1,8
Penurunan 20% 0,0 0,0 0,2 0,6 1,5
Penurunan 30% 0,0 0,0 0,1 0,5 1,3
Gula pasir
Pendapatan awal 2,2 3,0 3,6 4,4 5,2
Penurunan 10% 2,1 2,8 3,4 4,1 5,1
Penurunan 20% 1,9 2,6 3,3 3,9 4,9
Penurunan 30% 1,7 2,4 3,0 3,7 4,7
Minyak
Pendapatan awal 6,8 8,3 9,7 10,9 11,6
Penurunan 10% 6,9 8,1 9,1 10,2 11,6
Penurunan 20% 6,6 7,8 8,8 9,9 11,4
Penurunan 30% 6,2 7,4 8,4 9,5 11,1
28

Berdasarkan Tabel 4.14 dapat dilihat bahwa dengan persentase penurunan


pendapatan yang sama, perubahan konsumsi paling signifikan terjadi pada kelas
pendapatan 1. Hal ini sesuai dengan Zheng dan Henneberry (2010) serta Ren et al.
(2018) yang menyatakan bahwa dengan besaran perubahan pendapatan yang sama,
kelas pendapatan rendah cenderung menurunkan konsumsi lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas pendapatan tinggi. Hal ini juga sesuai dengan Benda-
Prokeinova dan Hanova (2016) dan Li et al. (2021) bahwa penduduk miskin
cenderung responsif terhadap perubahan pendapatan.
Adanya penurunan pendapatan sebesar 10% mula-mula meningkatkan
konsumsi beras dan turunannya pada kelas pendapatan 1 dan 5, yang kemudian
konsumsinya menurun ketika penurunan pendapatan semakin besar. Selain itu,
penurunan pendapatan 10% juga meningkatkan konsumsi kedelai dan turunannya
serta minyak pada kelas pendapatan 1. Hal ini disebabkan oleh perubahan
preferensi makanan. Secara tidak langsung hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa ketika terjadi penurunan pendapatan, kelas pendapatan 1 akan meningkatkan
konsumsi beras dan turunannya, kedelai dan turunannya, serta minyak sebagai
bentuk coping strategies.
Berdasarkan BKP (2018), rata-rata konsumsi beras nasional pada tahun 2017
adalah sebanyak 95,4 kg/kapita/tahun. Berdasarkan Tabel 4.14, dapat dilihat bahwa
konsumsi awal beras pada kelas pendapatan 1 sebesar 91,2 kg/kapita/tahun. Dapat
disimpulkan bahwa konsumsi beras kelas pendapatan 1 berada di bawah konsumsi
beras rata-rata nasional, sedangkan kelas pendapatan lainnya berada di atas
konsumsi beras rata-rata nasional. Peningkatan konsumsi beras ketika terjadinya
penurunan pendapatan dikarenakan pergeseran konsumsi bahan pangan lainnya.
Menurut Ariani (2012), ketika terjadi peningkatan pendapatan preferensi dan selera
seseorang akan berubah dari pemilihan makanan yang sederhana, seperti pangan
sumber karbohidrat, menjadi pangan yang merupakan sumber protein, vitamin, dan
mineral, dan sebaliknya.
Konsumsi terigu awal kelas pendapatan 1 sebesar 14 kg/kapita/tahun. Jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional yaitu sebesar 14 kg/kapita/tahun (BKP
2018), konsumsi terigu kelas pendapatan 1 tergolong cukup. Ketika terjadi
penurunan pendapataan sebesar 10% konsumsi terigu turun hingga 13,7
kg/kapita/tahun, hal ini menyebabkan konsumsi terigu kelas pendapatan 1 berada
di bawah rata-rata nasional. Selain itu, konsumsi jagung dan turunannya pada
seluruh kelas pendapatan berada di bawah rata-rata nasional (1,5 kg/kapita/tahun).
Hal ini menunjukkan dengan atau tanpa adanya penurunan pendapatan, konsumsi
jagung dan turunannya perlu ditingkatkan.
Telur ayam ras dan kedelai merupakan jenis pangan sumber protein yang
banyak dikonsumsi oleh kelas pendapatan rendah. Meskipun begitu, konsumsi
kelas pendapatan 1 dan 2 masih berada di bawah konsumsi rata-rata nasional (9
kg/kapita/tahun untuk telur ayam ras dan 7,8 kg/kapita/tahun untuk kedelai dan
turunannya). Adanya penurunan pendapatan menyebabkan penurunan konsumsi
telur yang cukup besar. Penurunan pendapatan sebesar 30% menurunkan konsumsi
telur pada kelas pendapatan 1 hingga 4,2 kg/kapita/tahun. Penurunan pendapatan
sebesar 10% juga menyebabkan konsumsi telur ayam ras dan kedelai pada kelas
pendapatan 3 berada di bawah rata-rata nasional.
Menurut BKP (2018), rata-rata konsumsi nasional daging ayam adalah 8,1
kg/kapita/tahun. Sebelum terjadinya income shock, hanya kelas pendapatan 4 dan 5
29

yang berada di atas rata-rata nasional. Penurunan pendapatan sebesar 30% juga
menyebabkan konsumsi daging ayam ras kelas pendapatan 4 menjadi di bawah rata-
rata konsumsi nasional, sedangkan kelas pendapatan 5 tetap berada di atasnya.
Berdasarkan Tabel 4.14, konsumsi awal daging sapi tertinggi yaitu pada kelas
pendapatan 5 sebesar 2,1 kg/kapita/tahun. Jika dibandingkan dengan konsumsi rata-
rata nasional yaitu sebesar 2,1 kg/kapita/tahun, konsumsi daging sapi pada seluruh
kelas pendapatan masih berada di bawah rata-rata konsumsi nasional. Perubahan
konsumsi daging sapi yang paling signifikan terjadi pada kelas pendapatan 5 yaitu
mencapai 1,3 kg/kapita/tahun. Seperti halnya daging sapi, konsumsi gula pasir
tertinggi yaitu pada kelas pendapatan 5 (5,2 kg/kapita/tahun), masih berada di
bawah rata-rata konsumsi nasional (9,4 kg/kapita/tahun). Penurunan pendapatan
yang terjadi menurunkan konsumsi hingga 0,9 kg/kapita/tahun. Berdasarkan BKP
(2018), rata-rata konsumsi nasional minyak adalah 10,3 kg/kapita/tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas pendapatan yang berada di atas rata-rata nasional
hanyalah kelas pendapatan 4 dan 5.
Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi nasional menurut BKP (2018),
konsumsi kelompok pangan yang masih berada di bawah konsumsi ideal antara lain
kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, buah dan biji berminyak, kacang-
kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain. Sedangkan konsumsi kelompok
pangan yang sudah berlebih adalah kelompok padi-padian serta minyak dan lemak.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa konsumsi pangan hewani, terutama
daging sapi dan daging ayam ras, masih tergolong kurang. Adanya income shock
juga semakin menurunkan konsumsi pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan hewani, terutama pada kelas pendapatan menengah ke bawah
perlu lebih diperhatikan. Selain itu, income shock juga menurunkan konsumsi gula
pasir sehingga diperlukan kebijakan yang juga menangani penurunan konsumsi
gula pasir. Adapun kelas pendapatan yang paling terdampak income shock akibat
pandemi adalah kelas pendapatan 1 dan 2. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah
sebaiknya memprioritaskan kelas pendapatan ini.

4.7 Konsumsi Pangan Strategis Kelas Pendapatan 1 Dengan dan Tanpa


Bantuan Sosial
4.7.1 Bantuan Tunai
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, diasumsikan bahwa kelas
pendapatan 1 menerima bantuan tunai sebesar 150.000/keluarga/bulan.
Kemudian dilakukan simulasi menggunakan model ekonometrika untuk melihat
konsumsi pangan strategis kelas pendapatan 1 setelah adanya bantuan tunai.
Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis pada kelas pendapatan 1 dengan
dan tanpa adanya bantuan tunai disajikan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis setelah diberikan
bantuan tunai
Konsumsi pangan strategis (kg/kapita/tahun)
Jenis pangan Tanpa bantuan tunai Dengan bantuan tunai
Awal 10% 20% 30% 10% 20% 30%
Beras dan turunannya 91,2 93,5 93,0 92,4 94,1 93,6 93,0
Terigu dan turunannya 14,0 13,7 12,9 12,0 14,4 13,7 12,9
30

Tabel 4.15 Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis setelah diberikan


bantuan tunai (lanjutan)
Konsumsi pangan strategis (kg/kapita/tahun)
Jenis pangan Tanpa bantuan tunai Dengan bantuan tunai
Awal 10% 20% 30% 10% 20% 30%
Jagung dan turunannya 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
Kedelai dan turunannya 7,0 7,2 6,9 6,7 7,4 7,2 6,9
Telur ayam ras 5,1 5,0 4,6 4,2 5,3 5,0 4,6
Daging ayam ras 3,2 2,8 2,3 1,7 3,4 2,8 2,3
Daging sapi 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Gula Pasir 2,2 2,1 1,9 1,7 2,3 2,1 1,9
Minyak 6,8 6,9 6,6 6,2 7,2 6,9 6,6

Berdasarkan Tabel 4.15, dengan adanya bantuan tunai sebesar


Rp150.000/keluarga/bulan dapat meningkatkan konsumsi sebagian besar
komoditas pangan strategis bahkan melebihi konsumsi awalnya. Mayoritas
komoditas yang setelah diberikan bantuan tunai meningkat melebihi konsumsi
awalnya kecuali daging sapi serta jagung dan turunannya. Komoditas yang
paling tinggi peningkatannya adalah komoditas terigu dan turunannya, beras dan
turunannya, serta daging ayam ras.
Meskipun terjadi peningkatan konsumsi melebihi konsumsi awalnya,
hanya komoditas terigu dan turunannya yang bisa mencapai rata-rata konsumsi
nasional. Konsumsi pangan strategis lainnya masih berada di bawah konsumsi
rata-rata konsumsi nasional. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa
bantuan tunai yang diberikan hanya dapat memperbaiki perubahan konsumsi
akibat income shock, namun belum bisa memperbaiki konsumsi secara
keseluruhan. Selain itu, bantuan yang diberikan juga tidak bisa menjamin
perbaikan kualitas konsumsi. Hal ini ditunjukkan dengan besaran peningkatan
konsumsi pangan sumber karbohidrat yang tidak diiringi oleh peningkatan
konsumsi pangan sumber protein. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain yang
dapat mempengaruhi preferensi pangan.
Menurut Grunert et al. (2012), terdapat 3 domain determinan konsumsi
pangan yaitu domain lingkungan, domain sosial-psikologi, dan domain
ekonomi. Domain lingkungan dipengaruhi akses terhadap makanan,
ketersediaan pangan lokal, dan nilai simbolik suatu bahan pangan. Domain sosial
psikologi terdiri atas self-efficacy, kepercayaan, preferensi pangan atau selera.
Sedangkan domain ekonomi dipengaruhi ketersediaan waktu dan informasi,
pendapatan, harga bahan pangan, harga bahan pangan lain. Perlu dilakukan
pengkajian lebih dalam yang mempertimbangkan determinan konsumsi lainnya
untuk mengetahui preferensi konsumsi secara terperinci.
4.7.2 Bantuan Non Tunai
Selain memberikan bantuan dalam bentuk bantuan tunai, pemerintah Jawa
Barat juga memberikan bantuan dalam bentuk bantuan sosial sembako (BPNT)
yang terdiri dari 10 kg beras, 1 kg terigu, vitamin C, makanan kaleng 2 kg, gula
pasir 1 kg, mie instan 16 bungkus, minyak goreng 2 liter, dan telur 2 kg.
diasumsikan bantuan diberikan setiap bulannya selama 1 tahun. Simulasi
perubahan konsumsi setelah diberikan bantuan non tunai disajikan pada Tabel
4.16.
31

Tabel 4.16 Simulasi perubahan konsumsi pangan strategis setelah diberikan


bantuan non tunai
Konsumsi pangan strategis (kg/kapita/tahun)
Jenis pangan Tanpa bantuan non tunai Dengan bantuan non tunai
Awal 10% 20% 30% 10% 20% 30%
Beras dan turunannya 91,2 93,5 93,0 92,4 123,2 122,7 122,0
Terigu dan turunannya 14,0 13,7 12,9 12,0 20,7 19,9 19,0
Jagung dan turunannya 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
Kedelai dan turunannya 7,0 7,2 6,9 6,7 7,2 6,9 6,7
Telur ayam ras 5,1 5,0 4,6 4,2 10,9 10,5 10,1
Daging ayam ras 3,2 2,8 2,3 1,7 3,2 2,8 2,3
Daging sapi 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Gula Pasir 2,2 2,1 1,9 1,7 5,0 4,9 4,6
Minyak 6,8 6,9 6,6 6,2 12,8 12,5 12,2
Berdasarkan Tabel 4.16, dengan adanya bantuan non tunai, hanya
beberapa jenis bahan pangan yang konsumsinya meningkat secara signifikan.
Bahan pangan yang konsumsinya meningkat adalah beras, terigu dan
turunannya, gula, telur, dan minyak goreng. Peningkatan yang terjadi bahkan
hingga melebihi rata-rata konsumsi nasional, terutama pada jenis pangan beras
dan turunannya, terigu dan turunannya, telur ayam ras, dan minyak. Akan tetapi
ragam jenis pangan yang diberikan masih kurang beragam sehingga perlu dikaji
kembali jenis bantuan yang diberikan.

4.8 Strategi Penguatan Ketahanan Pangan Selama Masa Pandemi


Ketahanan pangan menurut UU No 18 Tahun 2012 adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Ketahanan pangan tidak hanya mengenai ketersediaan, tetapi juga
akses terhadap pangan (Nurhemi et al. 2014). Akses terhadap pangan dibagi
menjadi akses fisik, sosial, dan ekonomi. Akses fisik terkait dengan tingkat isolasi
daerah, akses sosial terkait preferensi pangan, dan akses ekonomi berkaitan dengan
pendapatan, kesempatan kerja, dan harga pangan (Mun’im 2012).
Adanya PSBB menyebabkan beberapa aktivitas terhambat, terutama pada
sektor konstruksi, perdagangan, rumah makan dan jasa, serta transportasi,
pergudangan dan komunikasi (Ngadi et al. 2020). Terhambatnya beberapa aktivitas
menyebabkan beberapa perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
demi memangkas biaya operasional. Selain itu, beberapa kerugian yang dialami
akibat diberlakukannya PSBB antara lain hilangnya pendapatan meliputi gaji atau
tunjangan, denda/bunga akibat tidak tepat waktunya pembayaran kewajiban (cicilan
atau hutang), serta pengeluaran tambahan akibat adanya kondisi darurat
(Hadiwardoyo 2020). Oleh karena itu diperlukan strategi penguatan ketahanan
pangan selama pandemi.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari seluruh kelas
pendapatan, kelas pendapatan 1 merupakan kelas pendapatan yang paling responsif
terhadap income shock. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan perhatian khusus
terkait ketahanan pangan kelas pendapatan ini dikarenakan penurunan pendapatan
32

yang terjadi dapat mengurangi tingkat konsumsi energi hingga defisit tingkat ringan
dan tingkat konsumsi protein hingga tingkat defisit tingkat sedang.
Kelas pendapatan 2 merupakan kelas pendapatan dengan tingkat kecukupan
yang paling baik di antara kelas pendapatan lainnya, yaitu TKE 99,8% dan TKP
103,9%. Kelas pendapatan yang memiliki skor PPH yang tergolong baik adalah
kelas pendapatan 4 dan 5. Pemberian bantuan berupa jaring pengaman sosial
diharapkan dapat memperbaiki konsumsi pangan kelas pendapatan 1 setidaknya
hingga mencapai tingkat kecukupan konsumsi kelas pendapatan 2 dan skor PPH
kelas pendapatan 4. Berikut strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketahanan pangan kelas pendapatan 1 selama masa pandemi.
4.8.1 Bantuan Tunai
Bantuan tunai adalah bantuan berupa uang yang diberikan kepada keluarga
miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terkena dampak COVID-19. Adapun
fungsinya adalah untuk menopang kebutuhan masyarakat, meningkatkan daya
beli masyarakat, dan mendorong konsumsi masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian, didapatkan bahwa bantuan tunai sebesar Rp 150.000 dapat
meningkatkan konsumsi energi dan protein, namun tidak dapat mengembalikan
konsumsi rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 20%
atau lebih kepada konsumsi sebelum terjadinya penurunan pendapatan, atau
dengan kata lain bantuan tunai yang diberikan tidak dapat memperbaiki
konsumsi pangan kelas pendapatan 1.
Menurut Darmon et al. (2003), keterbatasan pendapatan menyebabkan
kelas pendapatan rendah memilih makanan yang murah dan kualitas rendah.
Oleh karena itu bantuan tunai yang diberikan harus ditingkatkan
mempertimbangkan kecukupan dan kualitas konsumsinya. Jika dihitung
menggunakan harga pangan kelas pendapatan 4 yaitu sebesar Rp 674 per 100
kkal, setidaknya untuk mencapai tingkat kecukupan gizi kelas pendapatan 2,
bantuan tunai yang diberikan adalah sebesar Rp 242.571 dengan asumsi 70%
dari bantuan tunai diperuntukkan untuk pangan. Harga pangan yang digunakan
adalah harga pangan kelas pendapatan 4 dikarenakan kelas pendapatan tersebut
merupakan kelas pendapatan dengan skor PPH tergolong baik. Bantuan sebesar
Rp 242.571 tersebut diharapkan dapat dipergunakan untuk meningkatkan tingkat
kecukupan gizi hingga 100% dan skor PPH minimal 70.
Pemberian bantuan tunai juga harus disertai peningkatan edukasi
mengenai pemilihan bahan pangan untuk mempermudah masyarakat, terutama
kelas pendapatan 1, untuk mengidentifikasi kombinasi makanan yang
terjangkau, bergizi, dan sesuai dengan kebiasaan. Pemberian edukasi ini penting
untuk dilakukan dikarenakan preferensi pemilihan makanan tidak hanya
dipengaruhi oleh pendapatan saja, tetapi juga oleh pengetahuan, kebiasaan, dan
norma yang berlaku (Darmon dan Drewnowski 2015). Mengingat adanya
pembatasan sosial, pemberian edukasi dapat dilakukan menggunakan media
sosial, terutama aplikasi WhatsApp. Hal ini dikarenakan aplikasi WhatsApp
merupakan aplikasi instant messaging yang paling banyak digunakan di
berbagai kalangan. Menurut Kemenkominfo (2018), pengguna internet di
Indonesia sebanyak 171 juta (64,4%) dimana 83% dari pengguna internet
merupakan pengguna aplikasi WhatsApp. Selain itu, penelitian Yunitasari et al.
(2019) menyatakan bahwa edukasi gizi dengan menggunakan aplikasi WhatsApp
menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, edukasi terkait pemilihan bahan
33

pangan yang bergizi seimbang dapat dilakukan menggunakan aplikasi WhatsApp


baik secara individu maupun kelompok (melalui WhatsApp group).
4.8.2 Bantuan Non Tunai
Bantuan non tunai adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah Jawa
Barat berupa bantuan sosial sembako (BPNT) per bulannya yang terdiri atas 10
kg beras, 1 kg terigu, vitamin C, makanan kaleng 2 kg, gula pasir 1 kg, mie instan
16 bungkus, minyak goreng 2 liter, serta telur 2 kg. Berdasarkan penelitian,
bantuan yang diberikan dapat meningkatkan konsumsi bahkan hingga melebihi
kebutuhan gizi. Meskipun dapat meningkatkan konsumsi tingkat kecukupan
gizi, bantuan non tunai yang diberikan belum bisa meningkatkan kualitas
konsumsi kelas pendapatan 1. Hal ini dikarenakan hanya beberapa kelompok
pangan yang mengalami peningkatan skor PPH, seperti pangan hewani, minyak
dan lemak, serta gula, sedangkan kelompok pangan lainnya tidak mengalami
peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan non tunai yang diberikan
perlu ditinjau dari segi keberagamannya. Rincian bantuan non tunai yang
diberikan dan kandungan energinya disajikan pada Tabel 4.17.
Tabel 4.17 Kelompok pangan dan kandungan energi bantuan non tunai
Jenis pangan Kelompok pangan Kkal/hari/kapita
Beras Padi-padian 290
Terigu Padi-padian 27
Gula Gula 32
Makanan kaleng Pangan hewani 33
Mie instan Padi-padian 49
Telur Pangan hewani 25
Minyak goreng Minyak dan lemak 115
Total 572

Berdasarkan Tabel 4.17, bantuan non tunai yang diberikan hanya meliputi
kelompok pangan padi-padian, gula, pangan hewani, serta minyak dan lemak.
Berdasarkan hasil penelitian, padi-padian adalah satu-satunya kelompok pangan
yang memiliki skor ideal. Menurut Miranti et al. (2016) konsumsi pangan
sumber karbohidrat di Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh padi-padian.
Hal ini menyebabkan padi-padian menjadi kelompok pangan sumber energi
utama. Adanya bantuan berupa beras sebanyak 10 kg, 1 kg terigu, dan 16
bungkus mie instan yang tergolong kelompok padi-padian tidak mengubah skor
PPH secara signifikan dikarenakan skornya sudah mencapai ideal sebelum
adanya bantuan non tunai. Selain itu, pemberian sumber karbohidrat yang
berlebih dapat memicu kepada masalah gizi lainnya seperti obesitas, sehingga
sebaiknya bantuan yang diberikan tidak semakin meningkatkan konsumsi padi-
padian yang sebelumnya sudah tergolong cukup.
Sumber energi lain yang dapat dijadikan alternatif adalah dari kelompok
umbi-umbian, seperti ketela pohon/singkong, ubi jalar, sagu, talas, kentang, atau
umbi-umbian lain yang banyak tersedia di masing-masing daerah. Menurut
Komarayanti (2017), umbi-umbian memiliki keunggulan seperti dapat tumbuh
di daerah marjinal dimana tanaman lainnya tidak bisa tumbuh dan dapat
34

disimpan dalam bentuk pati. Umbi-umbian merupakan salah satu penunjang


ketahanan pangan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.
Menurut Pergub Provinsi Jawa Barat No. 55 Tahun 2020, bantuan non
tunai pada tahap I dan II sebesar Rp 350.000, dan tahap III sebesar 250.000, yang
jenis pangannya dapat berubah dengan mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat dan ketersediaan jenis barang di lapang. Mengacu kepada pola
konsumsi kelas pendapatan 1, kelompok pangan yang konsumsinya perlu
ditingkatkan antara lain umbi-umbian, pangan hewani, buah/biji berminyak,
kacang-kacangan, gula, sayur dan buah. Contoh komoditas yang bisa diberikan
sebagai bantuan non-tunai disajikan pada Tabel 4.18.
Tabel 4.18 Contoh komoditas pangan per kelompok pangan
Kelompok pangan Contoh komoditas pangan
Umbi-umbian Ketela pohon/singkong, ubi jalar, sagu, talas, kentang
Pangan hewani Ikan segar (ikan kembung, tongkol/tuna/cakalang,
dll), daging sapi, daging ayam ras, susu
Buah/biji berminyak Kelapa
Kacang-kacangan Kacang hijau, kacang merah, kacang tanah
Gula Gula merah, sirup
Sayur dan buah Bayam, kangkung, kol, sawi, jeruk, pisang, pepaya, dll
Pemberian bantuan non-tunai dapat lebih mempertimbangkan jenis
pangan yang diberikan. Mengacu kepada Pedoman Umum Program Sembako
(2020), jenis pangan yang dapat diberikan contohnya seperti daging sapi, daging
ayam, daging ikan, kacang hijau dan jenis kacang-kacangan lainnya, serta sayur
dan buah. Selain itu, diharapkan pemberian sumber karbohidrat tidak hanya
berupa mie dan terigu, namun dapat diganti menjadi bahan pangan lokal seperti
jagung pipilan dan sagu. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait
kombinasi komoditas pangan serta jumlahnya yang dapat diberikan sebagai
bantuan non tunai.
Bantuan yang diberikan juga diharapkan tidak mengandalkan makanan
kaleng atau makanan yang diawetkan. Hal ini dikarenakan makanan kaleng yang
diawetkan cenderung mengalami penurunan nilai gizi akibat pengolahan
(Sucipta et al. 2017). Strategi yang dapat dilakukan untuk pendistribusian
makanan segar adalah bekerja sama dengan portal layanan belanja secara daring.
Pendistribusian bahan pangan dapat dilakukan secara berkala untuk menjaga
kesegarannya.
35

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Konsumsi energi dan protein per kapita di Provinsi Jawa Barat meningkat
seiring dengan meningkatnya pendapatan. Begitu juga dengan kualitas konsumsi,
skor PPH meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Adanya income shock
menurunkan konsumsi seluruh kelas pendapatan, namun kelas pendapatan 1
merupakan kelas pendapatan yang paling responsif terhadap penurunan
pendapatan. Adanya bantuan tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan
protein namun belum bisa mengembalikan pola konsumsi awalnya. Sedangkan
pemberian bantuan non-tunai dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein
hingga melebihi konsumsi awal, bahkan konsumsi energi melebihi tingkat
kecukupan gizi (110,9%), namun belum mampu meningkatkan keragaman
konsumsi pangan.
Rataan konsumsi pangan strategis di Jawa Barat mayoritas masih berada di
bawah rata-rata nasional, adanya income shock menurunkan konsumsi pangan
strategis terutama pada kelas pendapatan 1 dan 2. Bantuan tunai yang diberikan
kepada kelas pendapatan 1 dapat meningkatkan konsumsi seluruh jenis pangan
strategis melebihi konsumsi awal, sedangkan bantuan non-tunai yang diberikan
hanya meningkatkan beberapa jenis pangan strategis. Rekomendasi yang diberikan
adalah pemberian bantuan tunai kepada kelas pendapatan 1 minimal sebesar
Rp242.571, pemberian edukasi melalui WhatsApp, serta pemberian bantuan non-
tunai yang lebih beragam.

5.2 Saran
Saran yang diberikan adalah untuk meningkatkan akses pangan khususnya
pada kelas pendapatan 1 yang mengalami dampak penurunan pendapatan paling
besar dengan memberikan bantuan/jaring pengaman sosial baik secara kuantitas
maupun kualitasnya. Apabila bantuan yang diberikan berupa bantuan non tunai,
bahan pangan yang diberikan diharapkan lebih beragam dan memprioritaskan
pangan lokal dengan harga terjangkau dan sesuai preferensi. Bila bantuan yang
diberikan berupa bantuan tunai, perlu dilakukan edukasi agar bantuan yang
diberikan dapat ditingkatkan dan dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan data penurunan
pendapatan yang terbaru dan lebih menggambarkan kondisi terkini, kemudian
melakukan penelitian lebih lanjut terkait kombinasi komoditas dan jumlah bantuan
non tunai yang paling ideal.
36

DAFTAR PUSTAKA

Adiana PPE, Karmini NL. 2012. Pengaruh pendapatan, jumlah anggota


keluarga,dan pendidikan terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin di
Kecamatan Gianyar. E-jurnal Ekonomi Pembangunan. 1(1): 1 – 60.
Afandi WN. 2014. Identifikasi karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten
Padang Pariaman (Studi kasus Nagari Malai V Suku) [Thesis]. Padang(ID):
Universitas Andalas.
Ariani M, Suryana A, Suhartini SH, Saliem HP. 2018. Keragaan konsumsi pangan
hewani berdasarkan wilayah dan pendapatan di tingkat rumah tangga.
Analisis Kebijakan Pertanian. 16(2):147–163. doi:
http://dx.doi.org/10.21082/akp.v16n2.2018.147-163.
Ariani M. 2012. Rekontruksi Pola Pangan Masyarakat dalam Upaya Percepatan
Diversifikasi Pangan Mendukung Program MP3EI. Jakarta (ID): IAARD
Press.
_______. 2016. Pergeseran Konsumsi Pangan Lokal, Suatu Keprihatinan. Dalam
Pangan Lokal: Budaya, Potensi dan Prospek Pengembangan. Jakarta (ID):
IAARD Press.
Arifin B, Achsani NA, Martianto D, Sari LK, Firdaus AH. 2018. Modeling the
Future of Indonesian Food Consumption. Jurnal Ekonomi Indonesia. 8(1): 71
– 102. doi: https://doi.org/10.52813/jei.v8i1.13
Bandrang TN. 2015. Analisis permintaan telur ayam ras (suatu kasus di Kecamatan
Seruyan Hilir Kabupaten Kuala Pembuang Kalimantan Tengah). Mimbar
Agribisnis. 1(1):55 – 64.
Benda-Prokeinova R, Hanova M. 2016. Consumer’s behavior of the foodstuff
consumption in Slovakia. Procedia – Social and Behavioral Sciences.
220(#):21–29. doi: https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.465
Bickel WK, Wilson G, Chen, Koffarnus MN, Frandk CT. 2016. Stuck in time:
negative income shock constricts the temporal Window of valuation spanning
the future and the past. PLoS One. 11(9):e0163051. doi:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0163051
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2015. Panduan Perhitungan Pola Pangan
Harapan (PPH). Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
____________________________. 2018. Direktori Perkembangan Konsumsi
Pangan. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
____________________________. 2019. Statistik Ketahanan Pangan 2014 –
2018. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
____________________________. 2020. Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal
Sumber Karbohidrat Non Beras 2020 – 2024. Jakarta (ID): Badan Ketahanan
Pangan.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020a. Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Barat Triwulan II-2020. Bandung (ID): Badan Pusat Statistik.
37

______________________. 2020b. Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi


Jawa Barat Triwulan III-2020. Bandung (ID): Badan Pusat Statistik.
______________________. 2020c. Jumlah Penduduk dan Jenis Kelamin Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat [diakses 12 Okt 2020].
jabar.bps.go.id/dynamictable/2020/02/11/212/-jumlah-penduduk-dan-jenis-
kelamin-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-barat-2019.html
______________________. 2020d. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus
2020. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
Chen PJ, Antonelli M. 2020. Conceptual models of food choice: influential factors
related to foods, individual differences, and society. Foods. 9(12):1–21. Doi:
https://doi.org/10.3390/foods9121898
Colen L, Melo PC, Abdul-Salam, Roberts D, Mary S, Paloma SGY. 2018. Income
elasticities for food, calories and nutrients across Africa: a meta-analysis.
Food Policy. 77(#):116–132. doi: doi.org/10.1016/j.foodpol.2018.04.002
Darmon N, Ferguson E, Briend A. 2003. Do economic constraints encourage the
selection of energy dense diets? Appetite. 41(3): 315 - 322. doi:
10.1016/s0195-6663(03)00113-2.
Darmon N, Drewnowski A. 2015. Contribution of food prices and diet cost to
socioeconomic disparities in diet quality and health: a systematic review and
analysis. Nutrition reviews. 73(10): 643 – 660. Doi:
https://doi.org/10.1093/nutrit/nuv027
Desti CF, Devianto D, Rahmi IHG. 2013. Analisis keterkaitan antar komoditas
protein dengan menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS).
Jurnal Matematika UNAND. 2(3):162–166. DOI:
https://doi.org/10.25077/jmu.2.3.162-166.2013
Dewi AASP, Utami NWA. 2017. Faktor yang berhubungan dengan skor pola
pangan harapan pada rumah tangga sasaran di Desa Batukandik, Nusa Penida.
Arc Com Health. 4(1):71–78. doi:
https://doi.org/10.24843/ACH.2017.v04.i01.p09
Drewnowski A. 2010. The Nutrient Rich Foods Index helps to identify healthy,
adorable foods. Am J Clin Nutr. 91(4):1095S-1101S.
Ediwiyati R, Koestiono D, Setiawan B. 2015. Analisis ketahanan pangan rumah
tangga (studi kasus pada pelaksanaan program desa mandiri pangan di Desa
Oro Bulu Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan). Jurnal Agrise. 15(2):
85–94.
Ekaningrum AY, Sukandar D, Martianto D. 2017. Keterkaitan densitas gizi, harga
pangan, dan status gizi pada anak Sekolah Dasar Negeri Pekayon 16 Pagi.
12(2): 139 – 146. Doi: 10.25182/jgp.2017.12.2.139-146.
Faharuddin NFN, Mulyana A, Yamin M, Yunita. 2015. Analisis pola konsumsi
pangan di Sumatera Selatan 2013: pendekatan quadratic almost ideal demand
system. Jurnal Agro Ekonomi. 33(2): 123 – 140.
Gevisioner, Febriamansyah R, Ifdal, Tarumun S. 2015. Kualitas konsumsi pangan
di daerah defisit pangan Provinsi Riau. Jurnal Gizi Pangan. 10(3): 233 – 240.
38

Grunert KG, Shepherd R, Traill WB, Wold B. Food choice, energy balance and its
determinants: Views of human behaviour in economics and psychology.
Trends in Food Science & Technology. 28 (2012): 132–142. doi:
https://doi.org/10.1016/j.tifs.2012.06.007
Gujarati DN, Porter DC, Pal M. 2020. Basic Econometrics 6th Edition. New York
(US): MacGraw-Hill, Inc.
Hadiwardoyo W. 2020. Kerugian ekonomi nasional akibat pandemic COVID-19.
Journal of Business & Entrepeneurship. 2(2):83–92. Doi:
10.24853/baskara.2.2.83-92
Hardinsyah. 2007. Review factor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal
Gizi dan Pangan. 2 (2): 55 – 74.
[ILO] International Labour Organization. 2020a. ILO Monitor: COVID-19 and the
world of work fifth edition; [diakses 1 Okt 2020].
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@dgreports/@dcomm/document
s/briefingnote/wcms_749399.pdf
________________________________. 2020b. Executive summary The COVID-
19 crisis exposes the wobbly foundations of decent work and inclusive growth
in many Asian–Pacific economies; [diakses 14 Jan 2020].
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---sro-
bangkok/documents/publication/wcms_764090.pdf
[Kemendag RI] Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Laporan
akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat Indonesia.
http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIK
A_POLA_KONSUMSI.pdf
[Kemenkominfo] Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
2018. Laporan Tahunan 2018. Jakarta (ID): Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia.
Komarayanti S. 2017. Ensiklopedia Buah-Buahan Lokal Berbasis Potensi Alam
Jember. Jember (ID): Universitas Muhammadiyah Jember.
Kusfriyadi MK, Hardinsyah, Supariasa, editor. 2017. Ilmu Gizi: Teori & Aplikasi.
Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusumawati IP, Sutopo. 2013. Analisis pengaruh customer experience terhadap
minat beli ulang (Studi kasus pada konsumen restoran The House of
Raminten Yogyakarta). Diponegoro Journal of Management. 2(2):1–9;
[diakses 16 Okt 2020]. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dbr
Kwon DH, Park HA, Cho YG, Kim KW, Kim NH. 2020. Different associations of
socioeconomic status on protein intake in the Korean elderly population: a
cross-sectional analysis of the Korea national health and nutrition
examination survey. Nutrients. 12(1): 10. Doi: 10.3390/nu12010010
Li L, Shi-Xian Z, Jun-Fei B. 2021. The dynamic impact of income and income
distribution on food consumption among adults in rural China. Journal of
Integrative Agriculture. 20(1):330–342. doi: 10.1016/S2095-3119(20)63239-
7
39

Mankiw NG. 2012. Principles of Economics Sixth Edition. Canada (USA): Cengage
Learning.
Miranti A, Syaukat Y, Harianto. 2016. Pola konsumsi pangan rumah tangga di
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 34(1):67–80.
doi: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v34n1.2016.67-80
Mun’im A. 2012. Analisis pengaruh faktor ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan: pendekatan
partial least square path modeling. Jurnal Agro Ekonomi. 30(1): 41 – 58.
Ngadi, Meilianna R, Purba YA. 2020. Dampak pandemi COVID-19 terhadap PHK
dan pendapatan pekerja di Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia. 2020
Jul:43–48. doi: https://doi.org/10.14203/jki.v0i0.576
Nurhemi, Soekro SRI, Suryani G. 2014. Working paper no.4 Pemetaan Ketahanan
Pangan di Indonesia: Pendekatan TFP dan Indeks Ketahanan Pangan.
Jakarta (ID): Bank Indonesia.
Nurmahmudah DK, Aruben R, Suyatno. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi makan buah dan sayur pada anak pra sekolah PAUD TK Sapta
Prasetya Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). 3(1):
244 – 255.
Pertiwi KI, Hardinsyah, Ekawidyani KR. 2014. Konsumsi pangan dan gizi serta
skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia sekolah 7—12 tahun di
Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(2): 117 – 124.
Prabowo DW. 2014. Pengelompokan komoditi bahan pangan pokok dengan metode
analytical hierarchy process. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 8(2): 163
– 182. Doi: https://doi.org/10.30908/bilp.v8i2.81
Prasetyo TJ, Hardinsyah, Sinaga T. 2013. Konsumsi pangan dan gizi serta skor pola
pangan harapan (PPH) anak usia 2 – 6 tahun di Indonesia. Jurnal Gizi dan
Pangan. 8(3):159–166. doi: https://doi.org/10.25182/jgp.2013.8.3.159-166
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. 2020. Strategi penguatan ketahanan pangan rumah
tangga dan jaring pengaman sosial di masa pandemi COVID-19. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ren Y J, Zhang Y, Loy J P, Glauben T. 2018. Food consumption among income
classes and its response to changes in income distribution in rural China.
China Agricultural Economic Review. 10(#): 406–424.
Rio-Chanona RM, Mealy P, Pichler A, Lafond F, Farmer JD. 2020. Supply and
demand shocks in the COVID-19 pandemic: An industry and occupation
perspective. Oxford Review of Economic Policy. 36(1):S94—S137. doi:
https://doi.org/10.1093/oxrep/graa033
Sangaji M. 2009. Fungsi konsumsi rumah tangga di indonesia (pendekatan model
koreksi kesalahan). Journal of Indonesian Applied Economics. 3(2): 150 –
165.
Saputri R, Lestari LA, Susilo J. 2016. Pola konsumsi pangan dan tingkat ketahanan
pangan rumah tangga di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. 12(3):123–130. doi: https://doi.org/10.22146/ijcn.23110
40

Soekarti MYES, Muslimatun S, Purwanto, Ariani M, Hardinsyah, Egayanti Y,


Kardono LB, editor. 2012. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X:
Presentasi dan Poster. Jakarta (ID): LIPI Press.
Song WJ. 2011. CONSUMER BEHAVIOR CHANGES ACROSS INCOME
LEVELS: MEAT MARKET ANALYSIS [disertasi]. Colombia (USA):
University of Missouri-Columbia.
Subarna T. 2012) Analisis kemiskinan dan pengeluaran non-pangan penduduk Jawa
Barat. Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance. 4(4): 243–
250. DOI: https://doi.org/10.21787/jbp.04.2012.243-250
Sucipta IN, Suriasih K, Kencana PKD. 2017. Pengemasan Pangan Kajian
Pengemasan Yang Aman, Nyama, Efektif, dan Efisien. Denpasar (ID):
Udayana University Press.
Sukirno S. 2016. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali Pers.
Surachman, Kusrini N, Suyatno A. 2013. Social-economic Factors effecting the
diversity of dietary consumption in the self sufficient dietary village of Kubu
Raya District. Jurnal Social Economic of Agriculture. 2(2):1–20.
doi:10.26418/j.sea.v2i2.5127.
Susanti EN, Rindayati W, Sahara. 2014. Permintaan pangan hewani rumah tangga
di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan.
3(1):42–63. doi: https://doi.org/10.29244/jekp.v3i1.19936
Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Nontunai. 2020.
Pedoman Umum Program Sembako 2020. Jakarta (ID): Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Umaroh R, Vinantia A. 2018. Analisis konsumsi protein hewani pada rumah tangga
Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. #(#):22 – 32. DOI:
https://doi.org/10.21002/jepi.v0i0.869
UNICEF, UNDP, Prospera, and SMERU. 2021. Analysis of the Social and
Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy
Recommendations for Indonesia. Jakarta (ID): UNICEF.
[WHO] World Health Organization. 2020. Coronavirus disease (COVID-19)
[diunduh 20 Apr 2020]. https://www.who.int/indonesia/news/novel-
coronavirus
Widjojo S. 2016. Ketahanan pangan Provinsi Jawa Barat dalam mendukung
kedaulatan pangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seminar Nasional
Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI. 1(1): 323 – 329.
Yunitasari T, Yuniarti, Mintarsih SN. 2019. Efektivitas edukasi empat pilar
penatalaksanaan diabetes melitus terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku
pasien prolanis. Jurnal Riset Gizi. 7(2): 131-134.
Zheng Z H, Henneberry S R. 2010. The impact of changes in income distribution
on current and future food demand in urban China. Journal of Agricultural &
Resource Economics. 35(#): 51–71.

Anda mungkin juga menyukai