Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KEGIATAN MINI PROJECT

UPAYA PENINGKATAN PENGETAHUAN IBU BALITA MENGENAI


STUNTING DAN PENGOLAHAN MAKANAN PADA BALITA
DI KELURAHAN KOTO KATIK
KOTA PADANG PANJANG

Disusun Oleh:
dr. Wulan Dwi Yulistia

Pendamping Wahana:
dr. Yunita Saraswati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KOTO KATIK
KOTA PADANG PANJANG
SUMATERA BARAT
PERIODE AGUSTUS 2022 – FEBRUARI 2022

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan
kepada Allah SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S. A.
W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Mini Project
dengan judul “ Upaya Peningkatan Pengetahuan Ibu Balita Mengenai Stunting
dan Pengolahan Makanan pada Balita di Kelurahan Koto Katik Kota Padang
Panjang”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Yunita Saraswati selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Tidak
lupa kami berterimakasih kepada Ibu Irda Yulia, SKM sebagai Kepala
Puskesmas Koto Katik, seluruh staf Puskesmas yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan membantu penulis selama menyelesaikan laporan dan
kegiatan Mini Project ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan laporan Mini Project ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun guna
penyempurnaan Mini Project ini. Akhir kata, semoga proyek ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Padang Panjang, 7 Januari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.3.1 Tujuan Umum 4
1.3.2 Tujuan Khusus 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.4.1 Bagi Penulis 4
1.4.2 Bagi Puskesmas 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Seribu Hari Pertama Kehidupan 5
2.1.1 Definisi Seribu Hari Pertama Kehidupan 5
2.1.2 Pentingnya Intervensi Gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan 5
2.1.3 Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak 7
2.2 Stunting 10
2.2.1 Definisi 10
2.2.2 Epidemiologi 11
2.2.3 Etiologi 12
2.2.4 Faktor Penyebab 13
2.2.5 Patofisiologi dan Patogenesis 17
2.2.6 Dampak Stunting 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 19
3.1 Desain Penelitian 19
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 19
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 19
3.4 Definisi Operasional 20
3.5 Instrumen Penelitian 20
3.6 Teknik Pengumpulan Data 20
BAB IV 21
HASIL PENELITIAN 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 24

iii
5.1 Kesimpulan 24
5.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 28

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel karakteristik sampel penelitian..........................................................21
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Ibu Balita Posyandu Anggrek.............................22
Tabel 4.3 Distribusi Pengetahuan Ibu tentang Stunting dan Pengolahan Makanan
Balita di Posyandu Anggrek..........................................................................................22

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia masih termasuk negara yang mengalami masalah beban gizi
ganda (double burden of malnutrition/DBM) karena tingginya prevalensi kurang
gizi dan kelebihan gizi pada saat yang bersamaan. Beban ganda gizi berdampak
pada seluruh aspek kehidupan. Dampak yang paling buruk dan memiliki
konsekuensi jangka panjang jika masalah gizi tersebut terjadi pada 1000 hari
pertama kehidupan (HPK). Periode 1000 HPK ini adalah 270 hari didalam
kandungan ibu dan 730 hari kehidupan setelah anak lahir.1,2

Stunting atau kerdil merupakan suatu kondisi tinggi badan anak tidak
sesuai dengan usianya dikarenakan kekurangan asupan gizi didalam kandungan
dan awal kehidupan. Pada saat pemeriksaan tinggi badan, jika dimasukkan
kedalam growth chart WHO 2006 TB/U didapatkan interprestasi kurang dari -2
standar deviasi (Stunted) dan kurang dari -3 standar deviasi (Severely Stunted).
Kondisi kerdil ini dapat diketahui setelah anak berusia 2 tahun dan sudah
melewati 1000 HPK. Oleh karena itu periode 1000 HPK ini disebut golden period,
yang sangat menentukan kehidupan anak kedepannya baik dalam segi
pertumbuhan hingga perkembangan anak dari segi kognitif dan mental yang
nantinya akan berdampak permanen terhadap anak.3

Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Stunting merupakan masalah yang
kompleks dan akan berdampak panjang terhadap masa depan anak. Hal ini
menjadi alasan WHO melalui World Health Assembly (WHA) menargetkan
prevalensi stunting tahun 2025 menurun 40% disemua negara yang mengalami
stunting, termasuk salah satunya Indonesia. Menurut WHO tahun 2020, prevalensi
stunting di Indonesia lebih kurang 35,6%. Prevalensi stunting di Indonesia lebih
tinggi dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Myammar
(35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Lebih dari sepertiga anak berusia di
bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada dibawah rata-rata.4

1
Masalah gizi yang terjadi di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok,
diantaranya masalah gizi yang sudah terkendali secara public health, masalah gizi
yang belum dapat terselesaikan (unfinished), dan masalah gizi yang sudah
meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat (emerging).5 Stunting termasuk
kedalam masalah gizi yang belum dapat terselesaikan, sehingga stunting
merupakan salah satu program prioritas pembangunan kesehatan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, yaitu
penurunan prevalensi stunting balita hingga 14%.6

Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2018 didapatkan prevalensi


balita stunting di Indonesia sebesar 30,8% dengan kategori pendek 19,3% dan
sangat pendek 11,5%. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya
yaitu 29,6%. Provinsi paling tertinggi angka stuntingnya yaitu di Nusa Tenggara
Timur (42,6%) dan terendah di DKI Jakarta (17,7%). 7 Provinsi Sumatera Barat
memiliki prevalensi stunting 5 (lima) tahun belakangan telah terjadi penurunan
yang cukup signifikan, dimana prevalensi balita stunting sebesar 30,6% tahun
2017; sebesar sebesar 29,9% tahun 2018; sebesar 27,47% tahun 2019; sebesar
26,71 tahun 2020 dan sebesar 23,3% tahun 2021.8 Jika dilihat dari laporan
tahunan 2021 di Puskesmas Koto Katik, didapatkan jumlah kasus stunting 11,04%
dengan jumlah kasus tertinggi di kelurahan koto katik dengan prevalensi 16,85%.
Permasalahan gizi lainnya adalah cakupan balita ditimbang yang naik berat
badannya belum mencapai target di semua kelurahan, Untuk cakupan T/D ( balita
yang tidak naik berat badannya), balita 2T/D (balita yang tidak naik berat
badannya 2 kali berturut-turut) pada empat kelurahan belum mencapai target lebih
tinggi dari
yang diharapkan yaitu < dari 2%. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya
pengetahuan ibu tentang gizi anak. Selain itu ada juga kekeliruan ibu dalam
memberikan pola asuh anak, dimana hampir semua balita memiliki kebiasaan
mengonsumsi cemilan gurih dan manis berlebihan, juga kebiasaan minum the
manis, sehingga memberikan rasa kenyang lebih lama pada balita. Hal ini
berdampak pada penurunan selera makan balita.9

Balita stunting termasuk dalam masalah gizi kronik yang sangat serius dan
banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang mempengaruhi terjadinya

2
stunting terbagi menjadi dua yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Faktor
langsung yaitu asupan gizi dan penyakit infeksi. Sementara faktor tidak langsung
bisa dikarenakan pengetahuan tentang gizi, pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
pekerjaan ibu, pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) terlalu
dini, serta jarak kelahiran anak.10,11

Pencegahan stunting dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemberian


gizi saat golden period. Bayi yang berusia 0-6 bulan wajib diberikan ASI ekslusif
tanpa adanya makanan tambahan lain. Ketika bayi sudah menginjak usia 6 bulan
sudah dapat diberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) namun tetap diiringi
dengan pemberian ASI sampai usia dua tahun. Untuk memulai MP-ASI akan ada
masa peralihan dari ASI ekslusif ke makanan keluarga yang disebut dengan masa
penyapihan. Pada masa ini pemberian MP-ASI dilakukan secara bertahap, mulai
dari jenis, jumlah, frekuensi, tekstur, dan konsistensi sampai pemberian gizi anak
terpenuhi sesuai dengan pemberian makanan keluarga. Pemberian MP-ASI pada
anak ini berlangsung dari usia 6-23 bulan. Pada masa inilah masa-masa paling
berisiko pada anak, karena pada masa ini terjadinya pertumbuhan yang pesat pada
anak dan rawan terjadi malnutrisi serta terganggunya pertumbuhan pada anak.
Orang tua yang tidak mengetahui informasi mengenai bagaimana cara pengolahan
MP-ASI serta cara dan waktu pemberian yang baik dan benar secara langsung
maupun tidak langsung dapat menjadi penyebab masalah gizi pada anak.12,13

Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengangkat sebuah rancangan


untuk mengatasi permasalahan stunting dengan pembuatan leaflet mengenai
pengolahan makanan pada balita dan melakukan penyuluhan kepada ibu balita
guna mencegah terjadinya stunting dalam upaya meningkatkan pengetahuan ibu di
Kelurahan Koto Katik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : “Bagaimana tingkat pengetahuan mengenai
pengolahan dan pemberian makanan pada balita pada ibu-ibu balita Posyandu
PKM Koto Katik?”

3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat
pengetahuan mengenai pengolahan dan pemberian makanan pada ibu-ibu balita.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. memenuhi salah satu tugas Program Internship Dokter Indonesia

b. mengetahui tingkat pengetahun mengenai pengolahan dan pemberian makanan


pada balita.

c. Memberikan masukan dalam pengolahan dan pemberian makanan tambahan


pada balita dalam upaya pencegahan masalah gizi balita.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Penulis
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih
mendalam mengenai pengolahan dan pemberian makanan pada balita di posyandu
kelurahan Koto Katik.

1.4.2 Bagi Puskesmas


Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan
untuk meningkatkan upaya pencegahan permasalahan gizi di Posyandu wilayah
Kerja PKM Koto Katik.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Seribu Hari Pertama Kehidupan
2.1.1 Definisi Seribu Hari Pertama Kehidupan
Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan periode kritis
sekaligus periode emas dalam tumbuh kembang anak. Periode ini terdiri atas 270
hari selama kehamilan, 365 hari pada tahun pertama, dan 365 hari pada tahun
kedua. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode sensitif karena dampak yang
ditimbulkan terhadap bayi bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi, sehingga
periode ini memegang peran penting dalam menentukan kualitas kesehatan anak
pada masa mendatang.14

Pendekatan intervensi dengan manajemen nutrisi dan asuhan pada 1000


hari pertama kehidupan menjadi salah satu program utama yang diharapkan
mampu menurunkan kasus stunting di seluruh dunia khususnya Indonesia.
Penyebab terjadinya stunting didapatkan terutama diakibatkan kekurangan nutrisi
khususnya dalam periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak masa
kehamilan sampai anak berusia 2 tahun. Periode ini sering dikenal sebagai
“window of opportunity”. Stunting pada anak berdampak pada tingkat
kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktivitas dan
menghambat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatkan
kemiskinan dan kesenjangan social.15

2.1.2 Pentingnya Intervensi Gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan


Pada delapan minggu pertama dalam kandungan terbentuk bakal janin
yang akan berkembang menjadi otak, hati, jantung, ginjal, tulang, tangan dan
lengan, kaki, serta organ-organ tubuh lain. Setelah sembilan minggu hingga lahir,
janin akan mempersiapkan diri untuk dapat hidup di luar kandungan ibu dengan
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan organ. Setelah lahir, organ
tersebut masih terus berkembang hingga usia dua tahun, termasuk otak. Di dalam
kandungan, perkembangan fungsi otak udah terbentuk 23%, setelah lahir hingga
dua tahun terbentuk 70-80%, dan saat anak sudah berusia lima tahun sudah
mencapai 90% atau hampir setara dengan otak orang dewasa. Dengan demikian,

5
periode ini sangat penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia dan
masa depan suatu bangsa.16

Selama periode perkembangan, janin dapat menyesuaikan diri dengan apa


yang terjadi pada ibunya, termasuk yang dikonsumsi oleh ibunya selama
mengandung. Bila makanan ibu terbatas janin akan tetap menyerap persediaan
makanan ibu sehingga ibu menjadi kurus, lemah, pucat, gigi rusak, rambut rontok
dan lain-lain. Demikian pula,bila makanan ibu kurang, tumbuh kembang janin
akan terganggu, terlebih bila keadaan gizi ibu pada masa sebelum hamil telah
buruk pula dan keadaan ini dapat mengakibatkan abortus, BBLR, bayi lahir
prematur atau bahkan bayi lahir mati. Dampak yang lain adalah gangguan
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik (cenderung tumbuh
lebih pendek), gangguan metabolisme tubuh, dan anak lebih rentan terserang
penyakit. Kekurangan gizi pada 1000 HPK juga berpengaruh pada kependekan
anak intergenerasi, atau yang lebih dikenal dengan istilah stunting.15,17

Dalam pemenuhan gizi yang optimal selama 1000 HPK, diperlukan upaya
perbaikan gizi sejak ibu hamil, bayi, dan balita, sehingga dapat melahirkan anak
yang sehat. Upaya ini membutuhkan intervensi gizi spesifik dan sensitif secara
terpadu dan saling bersinergi. Intervensi gizi spesifik adalah kegiatan yang
dilakukan oleh sektor kesehatan yang sasarannya periode 1000 HPK dan bersifat
jangka pendek, berkontribusi 30% dalam perbaikan gizi. Sementara itu, intervensi
gizi sensitif merupakan kegiatan program pembangunan yang memberi pengaruh
pada status gizi masyarakat terutama kelompok 1000 HPK, seperti
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, gender, air bersih, sanitasi, serta
kesehatan lingkungan dan berkontribusi 70% dalam perbaikan gizi.14

Gambar 2.1 Intervensi Gizi Spesifik18

6
Gambar 2.2 Intervensi Gizi Sensitif18

2.1.3 Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan merupakan salah satu
bentuk intervensi gizi spesifik dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat
Indonesia yang diprioritaskan pada 1000 HPK. Hal ini berperan sebagai deteksi
dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan anak. Oleh karena

7
itu, harus dilakukan pemeriksaan berat badan dan panjang atau tinggi badan bayi
dan anak setiap bulan.14,15

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan


intraseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh secara sebagian
atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.
Sementara itu, perkembangan adalah berkembangnya struktur dan fungsi tubuh
yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan
bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian. Pemantauan pertumbuhan dilakukan
secara teratur dan terus-menerus melalui antropometri. Cara yang dilakukan untuk
menilai pertumbuhan anak di antaranya dengan pengukuran berat badan, panjang
atau tinggi badan, lingkar kepala, memperhatikan bentuk tubuh dan pertumbuhan
giginya. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada gangguan pertumbuhan
atau tidak. Jika ditemukan, gangguan tersebut dapat langsung dideteksi dini dan
dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan penyebabnya.19

Deteksi dini masalah gizi pada anak dilakukan melalui Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya posyandu, poskesdes, dan
institusi pendidikan. Deteksi dini di posyandu dimulai dari pemantauan
pertumbuhan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Hasil
penimbangan berat badan di posyandu harus diplot pada grafik BB/U dalam buku
KIA atau KMS. Bila ditemukan:20

1. Anak dengan nilai Z-score BB/U <-2 SD (standar deviasi) atau >+1 SD,
maka perlu dikonfirmasi oleh petugas kesehatan yang berkompeten untuk
dilakukan:
- Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau TB/U,
BB/PB dan/atau BB/TB, IMT/U.
- Penilaian tren IMT/U pada anak dengan BB/U>+1 SD (anak >7-8
bulan).
2. Anak dengan nilai Z-score BB/U di antara -2 SD sampai dengan kurang
dari atau sama dengan +1 SD, termasuk anak yang normal, namun perlu
dilihat tren pertumbuhannya.

8
- Bila mengikuti garis pertumbuhan (naik), anak dapat kembali ke
posyandu untuk dipantau pertumbuhannya pada bulan berikutnya.
- Bila tidak ditimbang bulan sebelumnya atau tidak mengikuti garis
pertumbuhan (tidak naik), anak perlu dikonfirmasi oleh petugas
kesehatan yang berkompeten untuk dilakukan:
- Penilaian kenaikan berat badan dibandingkan dengan standar weight
increment (khusus untuk anak 0-24 bulan).
- Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB atau TB/U, BB/PB
dan/atau BB/TB, IMT/U.
3. Anak dengan PB/U atau TB/U di antara -2 SD sampai dengan +3 SD
termasuk dalam kategori tinggi badan normal, namun perlu dilihat tren
pertumbuhannya.
- Bila mengikuti garis pertumbuhan (naik), anak dapat kembali ke
posyandu untuk dipantau pertumbuhannya pada bulan berikutnya.
- Bila tidak diukur bulan sebelumnya atau tidak mengikuti garis
pertumbuhan (tidak naik), anak perlu dikonfirmasi oleh petugas
kesehatan yang berkompeten untuk dilakukan:
- Penilaian kenaikan berat badan dibandingkan dengan standar
length/height increment (khusus untuk anak 0-24 bulan).
- Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB atau TB/U, BB/PB
dan/atau BB/TB, IMT/U
4. Anak dengan nilai Z-score PB/U atau TB/U <-2 SD atau >+3 SD perlu
dikonfirmasi oleh petugas kesehatan yang kompeten untuk dilakukan
penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau TB/U, BB/PB
dan/atau BB/TB, IMT/U.

Penilaian status gizi perlu melihat seluruh indeks antropometri agar dapat
diketahui masalahnya untuk penatalaksanaan segera, seperti berikut ini:20

1. Anak 0-24 bulan dengan kenaikan berat badan kurang dari standar weight
increment berisiko gagal tumbuh. Anak ini harus ditindaklanjuti dengan
evaluasi lengkap melalui Proses Asuhan Gizi dan dilakukan pemeriksaan
untuk kemungkinan adanya penyakit penyerta atau dirujuk.

9
2. Anak dengan BB/PB atau BB/TB di bawah -2 SD atau di bawah -3 SD
termasuk gizi kurang atau gizi buruk sehingga wajib mendapat intervensi
berupa pencegahan dan tatalaksana gizi buruk pada balita atau dirujuk.
3. Anak dengan IMT/U lebih dari +1 SD atau anak usia lebih dari 7-8 bulan
dengan tren IMT meningkat berisiko mengalami kenaikan lemak tubuh
dini (early adiposity rebound). Anak ini wajib ditindaklanjuti dengan
intervensi pencegahan dan tatalaksana gizi lebih pada balita atau dirujuk.
4. Anak 0-24 bulan dengan kenaikan panjang badan kurang dari standar
length increment berisiko mengalami perlambatan pertumbuhan linear.
Anak ini wajib ditindaklanjuti dengan evaluasi lengkap melalui Proses
Asuhan Gizi dan dilakukan pemeriksaan untuk kemungkinan adanya
penyakit penyerta atau dirujuk.
5. Anak dengan PB/U atau TB/U di bawah -2 SD adalah anak dengan
perawakan pendek. Anak ini wajib ditindaklanjuti dengan tatalaksana
stunting dan dirujuk. Sementara itu, anak dengan PB/U atau TB/U di atas
+3 SD adalah anak berperawakan tinggi dan perlu dirujuk ke fasilitas
layanan keseharan yang lebih tinggi untuk deteksi dini penyebabnya
sehingga dapat ditatalaksana segera (misalnya anak yang sangat tinggi
menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua normal).

Perkembanagan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan


fungsitubuh yang komplek dalam pola teratur dan dapat dirarnalkan, sebagai
pematangan. Proses tersebut menyangkut adanya proses diferensiasi dan sel-sel
tubuh, jaringan, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
sehingga masing-masingdapat memenuhi fungsinya. Hal tersebut termasukjuga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksj dengan
lingkungan.19

2.2 Stunting
2.2.1 Definisi
Stunting atau disebut juga kerdil merupakan masalah gizi kronis yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan
masalah asupan gizi dalam waktu yang lama pada saat 1000 HPK. Asupan gizi

10
yang tidak adekuat akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya dan kejadian ini baru dapat diketahui pada anak berusia dua tahun.
Dampak yang terjadi di antaranya tinggi anak tidak sesuai usia, menurunnya
kognitif pada anak, kehilangan produktivitas serta kenaikan berat badan yang
drastis pada usia balita, yang dapat meningkatkan risiko penyakit kronis saat
dewasa. Jika dilihat dari hasil pengukuran antropometri menggunakan grafik
WHO 2006, anak dikatakan stunting jika interpretasi TB/U dari growth chart
kurang dari -2 SD(Standar deviasi) (Stunted) dan kurang dari -3 SD ( disebut juga
Severely Stunted).3

2.2.2 Epidemiologi
Kejadian stunting sudah menyebar di seluruh penjuru dunia dan jumlah
anak-anak yang mengalami stunting semakin bertambah. Dilihat dari data
kesehatan Indonesia tahun 2018, pada tahun 2017 kejadian stunting di dunia
sudah mencapai 22,2% atau sekitar 150,6 juta balita. Perbandingan kejadian
stunting antara perempuan dan laki-laki yaitu 52,3 % : 47,7%, sementara usia
yang paling banyak yaitu usia 49-59 bulan dengan persentase 65,5%. Berdasarkan
Ethiopian Mini Demographic Health Survey (EDHS) tahun 2014 anak-anak yang
terhambat pertumbuhan pada umumnya berusia di bawah lima tahun dengan
persentase sebesar 40 %. Pada tahun 2015, Afrika menjadi salah satu negara
dengan prevalensi stunting tertinggi di dunia yaitu sebesar 37,6% dan diikuti oleh
Asia sebesar 22,9%. Pada tahun 2017, di Asia terdapat 55% anak yang mengalami
hambatan pada pertumbuhannya dan di Afrika sekitar 39%.Di Asia persentase
paling tinggi di dapatkan di Asia Selatan (58,7%) dan paling rendah di Asia
Tengah (0,9%). Asia Tenggara berada pada posisi nomor dua terbanyak setelah
Asia Selatan.21

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki prevalensi


stunting tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan Riskesdas 2018, di Indonesia
persentase balita pendek mengalami peningkatan dengan perbandingan tahun
yaitu 2007 ; 2013 ; 2018 yaitu 18% ; 19,2% ; 19,3%. Sementara itu balita sangat
pendek mengalami penurunan dengan perbandingan tahun yaitu 2007 ; 2013 ;
2018 yaitu 18,8% ; 18% ; 11,5%. Jika dihitung balita pendek dan sangat pendek
berdasarkan hasil Riskesdas 2018 memiliki rata-rata yaitu 30,8%. Hasil ini masih

11
sangat jauh dari target rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMN)
2019 yaitu sebesar 28%. Dari hasil Riskesdas 2018, dari 34 provinsi di Indonesia,
Nusa Tenggara Timur masih menjadi provinsi dengan persentase stunting
tertinggi dimana pada tahun 2013 prevalensinya 51,7% dan telah mengalami
penurunan pada tahun 2018 yaitu 42,8% tetapi tetap tertinggi dibandingkan
provinsi lainnya.13,22

Jika dilihat dari laporan tahunan 2021 di Puskesmas Koto Katik,


didapatkan jumlah kasus stunting 11,04% dengan jumlah kasus tertinggi di
kelurahan koto katik dengan prevalensi 16,85%. Permasalahan gizi lainnya adalah
cakupan balita ditimbang yang naik berat badannya belum mencapai target di
semua kelurahan, Untuk cakupan T/D ( balita yang tidak naik berat badannya),
balita 2T/D (balita yang tidak naik berat badannya 2 kali berturut-turut) pada
empat kelurahan belum mencapai target lebih tinggi dari
yang diharapkan yaitu < dari 2%. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya
pengetahuan ibu tentang gizi anak.9

2.2.3 Etiologi
Penyebab stunting dapat disebabkan oleh faktor multi dimensi. Stunting
disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat berpengaruh secara langsung atau
tidak langsung. Jika mengacu pada “The Conceptual Framework of the
Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of
Malnutrition”, dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia” penyebab
langsung dari masalah gizi ini adalah kurangnya asupan gizi dan akses
kesehatan.Asupan gizi yang buruk sangat berpengaruh pada kehidupan anak sejak
1000 HPK. HPK merupakan masa kritis yang dapat memengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan anak. Pertumbuhan anak dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dengan didukung oleh berbagai aspek atau sektor. Lingkungan yang
baik diawal kehidupan anak dapat memaksimalkan potensi genetik sehingga dapat
tercapainya tinggi badan optimal. Penyebab tidak langsung dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan,
urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan,
pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Menurut Kementrian
Kesehatan (Kemenkes) dan Bank Dunia, penyebab stunting diantaranya yaitu

12
pengasuhan yang kurang baik, terbatas layanan kesehatan seperti ANC, akses
keluarga ke makanan bergizi masih kurang, serta akses air bersih dan sanitasi
yang masih kurang.23,24

2.2.4 Faktor Penyebab


Stunting terjadi dikarenakan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
dalam kehidupan sehari hari.Faktor yang mendasari terjadinya stunting itu terbagi
atas tiga yaitu secara langsung, tidak langsung, dan mendasar. Faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya stunting secara langsung yaitu asupan gizi dan penyakit
infeksi, sementara tidak langsung yaitu pengangguran, kemiskinan, lingkungan,
dan lain lain. Faktor yang paling mendasar yaitu sosial, ekonomi dan politik.25,26

1. Faktor Penyebab Langsung


a. Asupan Gizi

Menurut hasil penelitian, kecukupan energi, protein dan zinc


berpengaruh terhadap terjadinya stunting. Baduta (bayi dua tahun) dengan
kecukupan energi yang kurang akan berisiko terjadinya stunting sebesar
7,71 kali dibanding dengan asupan energi yang cukup. Di samping itu,
baduta yang asupan proteinnya kurang juga memiliki risiko untuk stunting
sebesar 7,65 kali dibanding baduta dengan asupan protein yang baik.
Baduta yang kurang terhadap asupan seng akan lebih besar risiko
terjadinya stunting yaitu 8,78 kali dibanding baduta dengan asupan zink
yang cukup.27

ASI ekslusif merupakan pemberian ASI saja kepada bayi tanpa ada
makanan atau minuman tambahan lainnya, padausia bayi 0-6 bulan.
Setelah itu usia 6 bulan diberikan MP-ASI sampai 24 bulan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa anak yang sebelum usia
6 bulan sudah diberikan makanan tambahan memiliki peluang yang jauh
lebih tinggi untuk mengalami hambatan pertumbuhan.26,28

Menurut penelitian, asupan tablet Fe memiliki hubungan yang


signifikan terhadap kejadian stunting. Asupan zat besi akan disimpan di
otot dan sumsum tulang. Apabila asupan zat besi yang inadekuat akan

13
berpengaruh terhadap kadar hemoglobin didalam darah. Agar tidak terjadi
penurunan hemoglobin yang signifikan maka tubuh mengkompensasi
dengan menggunakan zat besi yang ada di sumsum tulang. Hemoglobin
berfungsi untuk membawa oksigen ke paru-paru berlanjut keseluruh
tubuh. Pada saat hemoglobin menurun, eritrosit protoporfirin bebas
meningkat menyebabkan sintesis heme berkurang dan ukuran eritrosit
mengecil atau eritrosit mikrositik. Hal ini dapat menyebabkan anemia
defisiensi besi serta menurunnya imunitas yang berdampak akan
mudahnya terserang oleh penyakit infeksi. Anemia defisiensi besi dan
penyakit infeksi berkepanjangan dapat menyebabkan terganggunya
pertumbuhan anak.29,30

b. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi merupakan faktor yang berpengaruh sangat besar


terhadap terjadinya stunting. Menurut WHO, infeksi klinis dan subklinis
yaitu mencakup infeksi enteric seperti diare, enteropati lingkungan dan
cacing, infeksi saluran pernapasan, malaria, nafsu makan berkurang karena
infeksi dan peradangan. Berdasarkan hasil penelitian, penyakit infeksi
yang memilki hubungan kuat dengan terjadinya stunting yaitu diare dan
infeksi saluran pernapasan. Di bawah infeksi klinis dan subklinis,
kerangka kerja WHO mencakup infeksi enterik (penyakit diare, enteropati
lingkungan, dan cacing), infeksi saluran pernapasan, malaria, nafsu makan
berkurang karena infeksi, dan inflamasi. Dari jumlah tersebut, hanya
infeksi pernapasan dan satu jenis infeksi enterik (penyakit diare) ditangani
di literatur dan ditemukan terkait dengan stunting.23

2. Faktor Penyebab Tidak Langsung


a. Berat dan panjang bayi lahir
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir diantaranya
usia ibu saat hamil, jarak kehamilan atau kelahiran, paritas, kadar
hemoglobin, status gizi dan penyakit saat kehamilan. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan analisa hubungan berat bayi lahir dengan stunting

14
lebih cenderung menjadi stunting pada baduta dengan berat lahir rendah
yaitu sebesar 3,63 kali dibandingkan baduta dengan berat lahir normal.30
Menurut Onis dan Branca, panjang badan lahir merupakan salah
satu faktor utama yang berpegaruh terjadinya stunting. Stunting dapat
terjadi dari 1000 hari pertama kehidupan karena gangguan pertumbuhan
intrauterine. Proporsi tubuh pendek saat lahir mencerminkan pada saat
kehamilan terjadi kekurangan gizi yang menyebabkan terjadinya Fetal
Growth Retardation (FGR). Penelitian Anugraheni tahun 2012
menunjukkan bahwa panjang badan lahir merupakan faktor risiko
terjadinya stunting yaitu 2,81 kali lebih besar daripada balita dengan
panjang badan lahir normal.30
b. Usia Ibu saat Melahirkan
Usia ibu saat melahirkan yaitu terhitung semenjak ibu hamil
sampai melahirkan janin yang dikandung. Usia pada saat ibu hamil sangat
penting dipikirkan karena sangat mempengaruhi bagaimana kesiapan dari
rahim dan psikologis ibu yang akan berpengaruh terhadap janinnya.
Menurut Departemen Kesehatan RI, umur yang ideal untuk usia kehamilan
dan memiliki anak yaitu 20-35 tahun karena pada saat usia ini rahim sudah
siap dibuahi dan secara psikologis siap menjadi seorang ibu.31
Jika usia hamil kurang dari 20 tahun, rahim masih belum siap
dibuahi dan penunjang lainnya seperti panggul belum berkembang dengan
baik dan sempurna sehingga jika terjadi kehamilan akan sangat
berpengaruh besar terhadap janin yang dikandung. Di samping itu, usia
hamil lebih dari 35 tahun akan sangat berisiko tinggi karena postur rahim
sudah kurang optimal sehingga bisa terjadi persalinan lama, perdarahan
dan cacat bawaan.32
Menurut hasil penelitian, semakin dini usia menikah semakin besar
risiko terjadinya stunting. Pernikahan dini pada usia kurang dari 20 tahun
meningkatkan risiko terjadinya stunting.33
c. Berat badan ibu saat hamil
Berat badan ibu saat hamil berpengaruh terhadap janin yang
dikandungnya. Melalui berat badan dapat dientukan bagaimana kecukupan

15
gizi ibu selama kehamilan.Kenaikan berat badan ibu hamil yang
memenuhi standar gizi yaitu jika mengalami kenaikan ±11-13kg. Ibu yang
memiliki berat badan rendah atau kurang dari 10 kg selama kehamilan
akan berisiko lebih tinggi melahirkan anak dengan BBLR. Sementara ibu
yang pada saat sebelum hamil mempunyai berat badan kurang cenderung
berisiko melahirkan lebih cepat dari waktunya (premature) serta
melahirkan bayi BBLR.31
d. Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu sangat mempengaruhi tumbuh kembang janin di
dalam kandungan serta pada saat setelah lahir. Ibu yang memiki
pendidikan SMP atau SMA akan memiliki pengetahuan yang baik tentang
tumbuh kembang anak, pengetahuan yang luas dan cepat mengenai
informasi terbaru tentang asupan gizi yang baik dan mampu dalam
mengatur asupan yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri dan keluarga
dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan SD. Dengan memilki
pendidikan formal setidaknya ibu mendapatkan pengetahuan gizi terhadap
anak melalui pendidikan tersebut.28
Seorang ibu harus memilki pengetahuan tentang merawat janin
dalam kandungan serta gizi dan penyakit selama kehamilan. Jika ibu tidak
memiliki pengetahuan yang luas tentang gizi saat hamil maka akan
memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yang
berisiko tinggi terjadinya stunting.34
e. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga membawa pengaruh sangat besar terhadap
gizi seorang anak. Menurut penelitian yang dilakukan didapatkan
hubungan pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting. Pendapatan
keluarga yang rendah memiliki risiko 2,3 kali lebih besar untuk terjadinya
stunting dibandingkan pendapatan keluarga yang cukup. Daya beli pangan
keluarga serta jenis pangan apa yang harus dikonsumsi dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya pendapatan keluarga sehingga akan berdampak kepada
gizi anak.35
f. Pekerjaan ibu

16
Pekerjaan ibu memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
kejadian stunting pada anak. Ibu yang aktif bekerja akan memiliki lebih
banyak hambatan untuk memberikan dan memperhatikan gizi anak secara
langsung dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Ibu yang aktif
bekerja biasanya memiliki hambatan pada saat pemberian ASI ekslusif
dikarenakan cuti yang sebentar sehingga bayi tidak memperoleh ASI
eksklusif sesuai dengan waktunya. Banyak di antara ibu – ibu yang bekerja
beranggapan bahwa ASI-nya tidak mencukupi untuk kebutuhan bayinya
sehingga memberi tambahan seperti susu formula. Hal ini dapat
menyebabkan pertumbuhan anak terganggu sehingga berisiko untuk
terjadinya stunting.36
g. Antenatal Care
Kunjungan ANC merupakan kunjungan yang dilakukan oleh ibu
hamil selama kehamilannya untuk melihat bagaimana kondisi janin dalam
kandungan serta mendeteksi dini risiko kehamilan.Kunjungan ANC
dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan yaitu trimester I sebanyak 1
kali, trimester II sebanyak satu kali, dan trimester III sebanyak dua kali.
Menurut penelitian yang dilakukan, ibu yang selama kehamilannya
melakukan kunjungan ANC tidak lengkap berisiko 2,4 kali memiliki balita
stunting dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan ANC lengkap.37

17
2.2.5 Patofisiologi dan Patogenesis
Stunting merupakan istilah untuk anak yang tingginya kurang dari -2SD.
Stunting atau kerdil sering terjadi pada kondisi anak yang nutrisinya tidak
adekuat, infeksi berulang dan peradangan kronis.Selain itu juga banyak diantara
anak – anak yang hormon atau metabolismenya terganggu sehingga terjadi
kegagalan pertumbuhan postnatal.Gangguan pertumbuhan linear pada anak sudah
mulai terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan anak yaitu dari pemberian ASI,
makanan tambahan sampai mulai terbentuknya imunitas anak. Kejadian stunting
juga didukung dengan genetik atau postur keluarga yang pendek, bayi yang lahir
premature, peradangan kronis dan kegagalan pertumbuhan yang terjadi didalam
rahim.38

Kesehatan, status ekonomi dan sosial ibu juga ikut berperan meningkatnya
risiko kejadian stuntingseperti riwayat ibu malnutrisi dan usia dini saat hamil.
Menurut studi terbaru, anak yang stunting serta kurang gizi pada usia 6 bulan-5
tahun memiliki interleukin 6 (IL-6) ↑ akan menghalangi induksi hormon
pertumbuhan serta kerja dari IGF-1 sehingga meningkatkan risiko lebih besar
untuk mengalami gangguan pertumbuhan yang berujung pada stunting. IL-6
meningkat pada bayi dengan BBLR yang nantinya dapat meningkatkan terjadinya
peradangan usus sehingga membatasi penyerapan makanan, menurunkan produksi

18
IGF-1 dan pertumbuhan linier pada anak-anak. Produksi IGF-1 juga dipengaruhi
oleh asupan gizi yang inadekuat dan malabsorpsi.38

2.2.6 Dampak Stunting


Stunting dapat berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
yang dapat terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang.

a. Dampak jangka pendek

Dampak jangka pendek yang ditimbulkan oleh stunting yaitu terjadinya


gangguan perkembangan kognitif dan motorik, gagal tumbuh sehingga tidak
optimalnya ukuran fisik tubuh, serta terjadinya gangguan metabolisme.39,40

b. Dampak jangka panjang

Jika terjadi berkelanjutan, stuntingakan menyebabkan gangguan struktur,


fungsi saraf, dan sel – sel otak yang bersifat permanen sehingga kapasitas
intelektual menurun. Maka dari itu, dapat menyebabkan penurunan kempapuan
dalam menyerap pelajaran sehingga mempengaruhi produktivitas saat dewasa.
Disamping itu, stunting juga dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit tidak
menular seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung coroner serta stroke.39,40

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan cross


sectional, dimana kegiatan pengumpulan data dilakukan dari responden pada
satu waktu, dengan jenis penelitian bersifat deskriptif dan analitik.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Posyandu Anggrek bertempat di PAUD
Kuntum Khaira Kelurahan Koto Katik. Penelitian ini dilakukan dalam satu hari
yaitu tanggal 4 Januari 2023.

19
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target : Ibu-ibu balita kelurahan Koto Katik

Populasi terjangkau : populasi penelitian ini adalah ibu-ibu balita yang


bertempat tinggal keluarahan Koto Katik dan melakukan kunjungan ke Posyandu
Anggrek Kelurahan Koto Katik.

3.3.2 Sampel Penelitian


a. Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling,


yaitu didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri, berdasarkan ciri-ciri atau sifat- sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kriteria
inklusi yaitu :
Kriteria Inklusi :

1. Ibu-ibu yang memiliki bayi bawah lima tahun (balita) di daerah Kelurahan
Koto Katik.
2. Bersedia mengikuti penelitian/mengisi kuesioner

b. Besar Sampel Penelitian

Besar sampel penelitian ini disesuaikan dengan jumlah ibu-ibu balita yang
berkunjung ke Posyandu Anggrek Kelurahan Koto Katik yang memenuhi
kriteria inklusi.
3.4 Definisi Operasional
1) Pengetahun ibu tentang stunting dan pengolahan makanan balita
Definisi : Hasil penilaian terhadap segala sesuatu yang ibu ketahui
tentang stunting dan pengolahan makana balita
Alat Ukur : Kuesioner
Skala Ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1. Kurang (≤ 55 %)
2. Cukup (56-75%)
3. Baik (76-100%)

20
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian ini adalah kuesioner.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah disiapkan oleh


peneliti.

21
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Wilayah kerja Puskesmas Koto Katik terdiri dari beberapa kelurahan


yaitu Kelurahan Koto Katik, Kelurahan Koto Panjang, Kelurahan Gumala,
Kelurahan Tanah Pak Lambik. Berdasarkan laporan tahunan puskesmas Koto
Katik tahun 2021 angka stunting tertinggi didapatkan di wilayah Koto Katik
sehingga wilayah ini dipilih sebagai tempat penelitian.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di posyandu Anggrek bertempat di
Paud Kuntum Khaira pada tanggal 4 Januari 2023. Posyandu dilaksanakan
dengan sistem 5 meja, dimana di meja pertama dilakukan pendaftaran, di meja
kedua dilakukan penimbangan bayi dan balita, di meja ketiga dilakukan
pengisian KMS, meja ke empat penyuluhan dan pelayanan gizi balita, dan
meja ke lima pemberian imunisasi pada balita. Ibu-ibu balita yang datang ke
posyandu Anggrek dijadikan responden pada penelitian ini. Para responden
akan diminta untuk menjawab pertanyaan pewawancara yang sudah
disesuaikan dengan kuisioner yang tersedia mengenai stunting dan pengolahan
makanan pada balita.
Posyandu Anggrek Kelurahan Koto Katik dihadiri oleh 8 ibu balita
dengan karakteristik responden sebagai berikut:
Tabel 4.1 Tabel karakteristik sampel penelitian

Nama Usia Pekerjaan Pendidikan Usia anak


(inisial) Terakhir
Ny. DS 29 tahun IRT D3 3 tahun 5 bulan
dan 6 bulan
Ny. IF 32 tahun IRT S1 3 tahun dan 8
bulan
Ny. Y 41 tahun IRT SD 26 bulan
Ny. L 24 tahun IRT SMK 7 bulan
Ny. KW 26 tahun IRT SMK 2 bulan
Ny. MNR 33 tahun IRT SMP 3 tahun

22
Ny. YN 44 tahun IRT SMA 22 bulan
Ny. SR 22 tahun IRT SMP 2 tahun 2 bulan

Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Ibu Balita Posyandu Anggrek

Karakteristik Ibu Balita F (%)


Kategori Umur/Tahun
17-25 tahun 2 25
26-35 tahun 4 50
36-45 tahun 2 25
Tingkat Pendidikan
SD 1 12,5
SMP/sederajat 2 25
SMA/sederajat 3 37,5
D3/Sarjana 2 25
Jenis Pekerjaan
IRT 8 100
PNS 0 0
Swasta 0 0
Jumlah 8 100

Hasil dari tabel 4.2 ditinjau dari segi umur mayoritas responden berumur
26-35 tahun sebanyak 4 orang (50%), sedangkan untuk usia 17-25 tahun dan
36-45 tahun sebanyak 2 orang (25%). Tingkat Pendidikan responden bervariasi
dengan mayoritas SMA/sederajat sebanyak 3 orang (37,5%), lulusan
SMP/sederajat dan D3/Sarjana sebanyak 2 orang (25%) dan hanya 1 responden
dengan tingak pendidikan SD (12,5%). Pekerjaan responden semuanya adalah
IRT (100%).
Tabel 4.3 Distribusi Pengetahuan Ibu tentang Stunting dan Pengolahan
Makanan Balita di Posyandu Anggrek

Kriteria F (%)
Kurang 2 25

23
Cukup 6 75
Baik 0 0
Jumlah 8 100

Dari tabel 4.3 mayoritas pengetahuan responden yaitu cukup sebanyak 6


orang (75%) dan 2 orang pengetahuan kurang (25%). Namun tidak ada dari
responden mempunyai karakteristik pengetahuan yang baik (0%).
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa tingkat
pengetahuan ibu-ibu balita yang datang ke posyandu Anggrek Kelurahan Koto
Katik sebagian besar tergolong cukup namun tidak ditemukan ibu-ibu balita
dengan pengetahuan yang baik mengenai stunting dan pengolahan makanan
pada balita. Untuk meningkatkan pengetahuan ibu-ibu balita terkait stunting
dan pengolahan makanan pada balita maka akan dibuat suatu buku saku
sebagai panduan pengolahan dan pemberian makanan pada balita untuk
mencegah stunting.

24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mini project ini dapat disimpulkan:

1. Ibu-ibu balita yang berkunjung ke posyandu Anggrek Kelurahan Koto Katik


sebagian besar berusia 26-35 tahun, dengan tingkat pendidikan terbanyak
adalah SMA/sederajat dan semua ibu adalah ibu rumah tangga.
2. Berdasarkan hasil kuisioner tingkat pengetahun tentang stunting dan
pengolahan makanan balita pada ibu-ibu balita di Posyandu Anggrek
Kelurahan Koto Katik memiliki pengetahuan yang tergolong cukup dan
kurang, tidak ada ibu-ibu balita dengan pengetahuan yang tergolong baik.

5.2 Saran
1. Diharapkan media KIE mengenai stunting dapat diperbanyak seperti poster
stunting, pamphlet ataupun leaflet terutama di setiap posyandu, di poli KIA
Puskesmas dan tempat-tempat public lainnya.
2. Diharapkan peran serta kader posyandu, bidan-bidan kelurahan, serta bagian
gizi untuk lebih gencar memberikan informasi mengenai pengolahan dan
pemberian makanan yang benar pada balita.
3. Dibutuhkan juga peran serta berbagai pihak dalam mempersipkan remaja-
remaja yang di masa depan akan menjadi ibu untuk memperhatikan kesiapan
gizi dalam rangka menurunkan angka stunting pada balita.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurbaiti L, Adi AC, Devi SR, Harthana T. Kebiasaan makan balita stunting
pada masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 hari pertama kehidupan
(HPK). Masyarakat, Kebud dan Polit. 2014;27(2):104.
doi:10.20473/mkp.v27i22014.104-112
2. Menteri Kesehatan RI. Rencana aksi kegiatan direktorat gizi masyarakat
tahun 2020-2025. Book. 2020:1-19.
3. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO, Anggraini L. Study Guide - Stunting
Dan Upaya Pencegahannya.; 2018.
4. Kemenkes RI. Buletin Stunting. Kementeri Kesehat RI. 2018;301(5):1163-
1178.
5. RI K. Menkes: Ada Tiga Kelompok Permasalahan Gizi di Indonesia.
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20121121/286362/
menkes-ada-tiga-kelompok-permasalahan-gizi-di-indonesia/#:~:text=Dari
berbagai sumber data%2C perkembangan,mengancam kesehatan
masyarakat (emerging). Published 2012.
6. Sesneg RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 18/2020: Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Sekertariat Pres
Republik Indones. 2020:1-7.
7. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2018 Kemenkes RI.; 2019.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf.
8. Artati M. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat 2021 - Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Barat. Padang: CV. Grapich Dwipa; 2021.
9. Katik PK. Laporan Tahunan Puskesmas Koto Katik tahun 2021. 2021.
https://www.unicef.org/indonesia/media/13821/file/Laporan Tahunan 2021
- Spread.pdf.
10. Afework E, Mengesha S, Wachamo D. Stunting and Associated Factors
among Under-Five-Age Children in West Guji Zone, Oromia, Ethiopia. J
Nutr Metab. 2021;2021. doi:10.1155/2021/8890725
11. World Health Organization. Childhood Stunting: Challenges and
opportunities. Report of a Promoting Healthy Growth and Preventing
Childhood Stunting colloquium. WHO Geneva. 2014:34.
12. Yuliarti K, Al E. Nutrition for Alpha Generation: Optimizing
Comprehensive Nutritional Care to Deal with Current Problems in
Clinical Practice.; 2018.
13. Kemenkes RI. Infodatin: Pusat Data Dan Informasi Kemetrian Kesehatan
RI.; 2016.

26
14. Djauhari T. Gizi Dan 1000 HPK. Saintika Med. 2017;13(2):125.
doi:10.22219/sm.v13i2.5554
15. Berawi K. Buku Pedoman : Asupan & Asuhan 1000 Hari Pertama
Kehidupan. pertama. BAndar Lampung: Pusaka Media; 2020.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
16. Yekti R. 1000 Hari Pertama Kehidupan. Fak Kedokt Univ Kristen Indones.
2020.
17. Rahayu A, Rahman F, Marlinae L, et al. Buku Ajar Gizi 1000 Hari
Pertama Kehidupan.; 2018.
18. Satriawan E. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024
(National Strategy for Accelerating Stunting Prevention 2018-2024). Tim
Nas Percepatan Penanggulangan Kemiskin Sekr Wakil Pres Republik
Indones. 2018;(November):1-32.
http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis 2018/Sesi
1_01_RakorStuntingTNP2K_Stranas_22Nov2018.pdf.
19. Ratnaningsih T, Indatul S, Peni T. Buku Ajar (Teori Dan Konsep) Tumbuh
Kembang Dan Stimulasi. Edisi Pert. Sidoarjo: Indomedia Pustaka; 2017.
20. Kemenkes RI. Peratutan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Standar Antropometri Anak.; 2020.
21. Budiastutik I, Rahfiludin MZ. Faktor Risiko Stunting pada anak di Negara
Berkembang. Amerta Nutr. 2019:122-126.
doi:10.2473/amnt.v3i3.2019.122-129
22. TNP2K. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting).; 2017.
23. Tumilowicz A, Beal T, Neufeld LM. A review of child stunting
determinants in Indonesia. Matern Child Nutr. 2018;(March):1-10.
doi:10.1111/mcn.12617
24. Yunitasari E, Lee BO, Krisnana I, Lugina R, Solikhah FK. Determining the
Factors That Influence Stunting during Pandemic in Rural Indonesia : A
Mixed Method. Children. 2022:1-16.
25. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, et al. Maternal and Child Undernutrition 1
Maternal and child undernutrition : global and regional. Lancet.
2008;19:243-260. doi:10.1016/S0140-6736(07)61690-0
26. Marlina H, Triana A, Fanora E. Causes of Stunting in Toddlers : Literature
Review Causes of Stunting in Toddlers : Literature Review. 2022;(March).
doi:10.54660/anfo.CITATIONS
27. Di T, Kota K. INTERVENSI PENURUNAN STUNTING. 2018;
(November).
28. Purwandari ES, Estiningtyas Sakilah Adnani Q, Yuli Astutik R. Analysis of
Maternal Age At Married, Number of Children, History of Breastfeeding,

27
Mother’S Education and High Risk of Pregnancy With Incidence of
Stunting in Children Under Five-Years. Women, Midwives and Midwifery.
2021;1(1):21-30. doi:10.36749/wmm.1.1.21-30.2021
29. Nirwanto H, Sunarsih T, Astuti Y. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan
pertumbuhan pada Balita Stunting dan Wasting. J Ilm Kebidanan Imelda.
2022;8(2):89-95.
30. Nurmalasari Y, Anggunan, Arivany R. HUBUNGAN STUNTING
DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN PRESTASI BELAJAR PADA
ANAK SD NEGERI 13 TELUK PANDAN PESAWARAN. J Dunia
Kesmas. 2020;9:32-37.
31. Nisa K, Sukmani. Korelasi Umur Ibu Melahirkan Dengan Panjang Lahir
Dan Berat Badan Lahir Bayi Umur 0 Hari Di Kecamatan Genteng-
Kabupaten Banyuwangi.; 2016.
32. Khusna N, Nuryanto. Hubungan usia ibu menikah dini dengan status gizi
Balita di Kabupaten Temanggung. J Nutr Coll. 2017;6(1).
doi:https://doi.org/10.14710/jnc.v6i1.16885
33. Kasjono HS, Wijanarko A, Amelia R, Fadillah D, Wijanarko W,
Sutaryono. Impact of Early Marriage on Childhood Stunting. Adv Heal Sci
Researh. 2020;27(January 2018):172-174. doi:10.2991/ahsr.k.200723.043
34. Kusumawati E, Rahardjo S, Sari HP. Model of Stunting Risk Factor
Control among Children under Three Years Old. Kesmas Natl Public Heal
J. 2015;9(3):249.
35. Ilahi RK. Hubungan pendapatan keluarga, berat lahir, dan panjang lahir
dengan kejadian. J Manaj Kesehat Yayasan RS Dr Soetomo. 2017;3(1):1-
14.
36. Maynarti S. Hubungan Pendidikan , Pekerjaan Ibu dan Riwayat Pemberian
ASI Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Sekolah Dasar. J Kesehat
Saelmakers PERDANA. 2021;4(1):71-78.
37. Najaha I, Adhi KT, Pinatih GI. Faktor Risiko Balita Stunting Usia 12-36
Bulan Di Puskesmas Dasan Agung , Mataram , Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Vol 38. Denpasar
38. Owino V, Ahmed T, Freemark M, Kelly P. Environmental Enteric
Dysfunction and Growth Failure / Stunting in Global Child Health.
Pediatrics. 2016;138(6):1-12. doi:10.1542/peds.2016-0641
39. Wulansari M, Luh N, Herli P, Indahwati L. Pengaruh Stunting Terhadap
Perkembangan Pada Anak Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa Madiredo
Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. J Issues Midwifery. 2022;5(3):111-
120. doi:10.21776/ub.JOIM.2021.005.03.2
40. Dwi A, Yadika N, Berawi KN, Nasution SH. Pengaruh Stunting terhadap
Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar. Majority. 2019;
(September):273-282.

28
LAMPIRAN

29

Anda mungkin juga menyukai