Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH PROMOSI KESEHATAN DAN MEDIA LEAFLET

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

Kelas :

5A LAMONGAN

PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019

1
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 1 :

1. AHMAD KHIKAM MUDIN (151711913001)


2. ACHMAT AFANDI (151711913003)
3. KHIZQIL ZEAN RAMADHAN (151711913043)
4. ALDIAH PUTRI ANGGRAINI (151711913007)
5. EKA ATMA FUJIYAH (151711913021)
6. IGA MAYANK ANGGRAINI (151711913033)
7. LAILATUL FITRIYAH (151711913047)
8. NIKMATUS SHOLIHAH (151711913059)
9. PURNAMA RAHAYU (151711913068)
10. SITI AISYAH NURVIANTI (151711913077)
11. TITIS MEY DITA NOVARIZKA (151711913083)
12. WUKIRASIH UTARI RISANGAYU (151711913091)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “PROMOSI KESEHATAN DENGAN
MEDIA LEMFLET” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Kami juga berterima kasih pada ibu dosen selaku dosen mata
kuliah keperawatan komunitas yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan
demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1

KATA PENGANTAR 3

DAFTAR ISI 4

BAB 1 PENDAHULUAN 6

1.1 Latarbelakang 6
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan 7

BAB 2 PEMBAHASAN 9

1.1 Promosi Kesehatan 9


2.1.1 Definisi 9
2.1.2 Visi dan Misi Promosi Kesehatan 10
2.1.3 Sasaran Promosi Kesehatan 10
2.1.4 Ruang Lingkup&Konsep Dasar Promosi Kes. 11
2.1.5 Tingkat Program Promosi Kesehatan 11
2.1.6 Model Promosi Kesehatan 12
2.1.7 Kebijakan Promosi Kesehatan 15
2.1.8 Peran Tingkat Propinsi 16
2.1.9 Peran Tingkat Kabupaten 16
2.1.10 Kebijakan Internasional Promosi Kesehatan 18
2.1.11 Konsep Perubahan dalam Promosi Kesehatan 20
2.1.12 Penerapan Konsep Motivasi Dalam Promosi Kes. 21
2.1.13 Konsep Kolaborasi 22
2.1.14 Konsep Pemberdayaan 23
2.1.15 Konsep Kemitraan 25
2.1.16 Prinsip, Metode, Media, dan Strategi Promosi
Kesehatan 28
2.1.17 Media promosi kesehatan 33
2.1.18 Strategi Promosi Kesehatan: Advokasi 35
2.1.19 Strategi Promosi Kesehatan: social support dan
enpowerment 36
2.1.20 Tahapan dan Intervensi Promosi Kesehatan 38
2.1.21 Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan 42
2.2 Media Lemflet 52
2.2.1 Pengertian Leaflet 52
2.2.2 Ciri-Ciri Leaflet 53
2.2.3 Syarat Pembuatan leaflet 53

4
2.2.4 Yang Harus Diperhatikan Dlm Membuat Leaflet 54
2.2.5 Gambar leaflet 55

BAB 3 PENUTUP 56

3.1 Kesimpula 56
3.2 Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Upaya mewujudkan kesehatan masyarakat di Indonesia terutama


dilakukan dengan  melakukan perubahan perilaku kesehatan melalui
promosi kesehatan. Promosi kesehatan meliputi kegiatan pendidikan
kesehatan disertai pemberdayaan masyarakat. Pendidikan kesehatan
memiliki tujuan utama mengubah pengetahuan masyarakat agar terbentuk
perilaku sehat sesuai yang diharapkan. Peningkatan pengetahuan kesehatan
masyarakat diharapkan memicu sikap mendukung perilaku sehat, bila
didukung faktor pemungkin dan pendorong akan membentuk perilaku sehat.
Proses pendidikan kesehatan merupakan proses transfer informasi tentang
kesehatan yang diharapkan melalui komunikasi. Komponen komunikasi
tersusun atas pengirim dan penerima pesan, isi pesan, media dan efek dari
pesan.

Media sebagai saluran informasi merupakan salah satu komponen


penting dalam pendidikan kesehatan. Memilih media sebagai saluran
menyampaikan pesan kesehatan dipengaruhi metode yang digunakanMedia
pendidikan kesehatan pada hakekatnya alat bantu pendidikan kesehatan.
Menurut fungsi sebagai saluran pesan media pendidikan kesehatan dapat
dikelompokkan atas media cetak, media elektronik dan media papan
(billboard). Beberapa media cetak dikenal antara lain booklet, leaflet,
selebaran (flyer), lembar balik (flip chart), artikel atau rubrik, poster dan
foto. Media elektronik dapat berupa televisi, radio, video, slide, film strip
dan sekarang dikenal internet. Media papan berupa baliho biasanya dipasang
di tempat-tempat umum yang menjadi pusat kegiatan masyarakat.Alat
peraga yang dipergunakan dalam pendidikan kesehatan dapat berupa alat
bantu lihat (visual), alat bantu dengar (audio) atau kombinasi audio visual.

Penggunaan alat peraga memperhatikan tujuan penggunaannya


(sederhana dan kompleks), sasaran, tempat dan penggunanya. Dengan

6
memahami komunikasi khususnya alat peraga dan media pendidikan
kesehatan diharapkan analis laboratorium mampu menyampaikan informasi
kesehatan terutama preventif sehingga timbul perubahan perilaku kesehatan
masyarakat agar lebih mendahulukan mencegah penyakit dan meningkatkan
derajat kesehatan. Pendidikan kesehatan yang tepat akan mendorong peran
analis laboratorium untuk mengajak masyarakat memanfaatkan profesi
analis kesehatan bukan hanya pada saat sakit tetapi dimulai dari pencegahan
penyakit serta meningkatkan kondisi kesehatannya melalui deteksi dini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan promosi kesehatan?

2. Apa saja visi misi dari promosi kesehatan?

3. Siapa saja sasaran dari promosi kesehatan?

4. Bagaimana ruang lingkup dan konsep dasar promosi kesehatan?

5. Bagaimana tingkat program promosi kesehatan?

6. Apa yang dimaksud dengan media leaflet?

7. Apa saja kekurangan dan kelebihan dari media leaflet?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari promosi kesehatan.

2. Untuk mengetahui visi dan misi dari promosi kesehatan.

3. Untuk mengetahui siapa saja sasaran dari promosi kesehatan.

4. Untuk mengetahui ruang lingkup dan konsep dasar promosi


kesehatan.

5. Untuk mengetahui tingkat program promosi kesehatan.

6. Untuk mengetahui pengertian dari media leaflet.

7. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari media leaflet.

7
8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PROMOSI KESEHATAN

2.1.1 Definisi

Promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat


melalui pembelajaran dari, oleh, dan bersama masyrakat, agar mereka dapat
mandiri menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
(Depkes RI, 2007).

Menurut Green (Notoatmodjo, 2007), Promosi kesehatan adalah segala


bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan
ekonomi, politik, dan organisasi, yang direncanakan untuk memudahkan
perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Green juga
mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu :

1. Faktor predisposisi (predisposising factors), yang meliputi pengetahuan


dan sikap seseorang.

2. Faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi sarana, prasarana,


dan fasilitas yang mendukung terjadinya perubahan perilaku.

3. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penguat bagi


seseorang untuk mengubah perilaku seperti tokoh masyarakat, undang-
undang, peraturan-peraturan dan surat keputusan

Media sebagai saluran informasi merupakan salah satu komponen


penting dalam pendidikan kesehatan. Memilih media sebagai saluran
menyampaikan pesan kesehatan dipengaruhi metode yang digunakanMedia
pendidikan kesehatan pada hakekatnya alat bantu pendidikan kesehatan.
Menurut fungsi sebagai saluran pesan media pendidikan kesehatan dapat

9
dikelompokkan atas media cetak, media elektronik dan media papan
(billboard).

2.1.2 Visi dan Misi Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan memiliki visi dan misi tertentu. Visi promosi


kesehatan membahas mengenai pembangunan kesehatan Indonesia yang
diatur dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992. Isi dari visi tersebut yaitu
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosial sehingga
masyarakat dapat produktif secara ekonomi maupun sosial (Notoatmodjo,
2012). Visi lainnya yaitu menerapkan pendidikan kesehatan pada program-
program kesehatan, baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi
lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program
kesehatan lainnya.
Sedangkan misi promosi kesehatan ialah terkait upaya pencapaian
suatu visi, di antaranya yaitu advokasi, mediasi dan kemampuan atau
keterampilan. Advokasi merupakan kegiatan terencana yang ditujukan
kepada para penentu kebijakan untuk mempengaruhi para pembuat
keputusan bahwa program kesehatan yang ditawarkan perlu mendapat
dukungan melalui suatu keputusan (Notoatmodjo, 2012). Mediasi
(penghubung) berarti pelaksanaan promosi kesehatan perlu menjalin
kemitraan dengan berbagai program yang berkaitan dengan kesehatan.
Kemampuan (enable) berarti masyarakat diberikan suatu keterampilan agar
mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya secara mandiri.

2.1.3 Sasaran Promosi Kesehatan

Pelaksanaan promosi kesehatan ditujukan kepada sasaran yang telah


disesuaikan. Sasaran dalam promosi kesehatan terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu (Kementerian Kesehatan, 2011):
1. Sasaran primer upaya promosi kesehatan adalah pasien, individu sehat
dan keluarga atau rumah tangga yang diharapkan dapat mengubah

10
perilaku, misalnya mengubah perilaku hidup tidak bersih dan tidak sehat
menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
2. Sasaran sekunder upaya promosi kesehatan yaitu para pemuka
masyarakat baik pemuka informal seperti pemuka adat dan pemuka
agama, maupun pemuka formal seperti petugas kesehatan dan pejabat
pemerintahan, serta organisasi kemasyarakatan dan media massa yang
diharapkan dapat turut serta dalam upaya peningkatan PHBS pasien,
individu sehat dan keluarga.
3. Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik berupa peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, bidang lainnya yang berkaitan
dan pihak yang memfasilitasi sumber daya.
2.1.4 Ruang Lingkup dan Konsep Dasar Promosi Kesehatan
Ruang lingkup promosi kesehatan secara sederhana menurut
(Notoatmodjo, 2010) mencakup pendidikan kesehatan yang menekankan
pada perubahan perilaku, pemasaran sosial yang menekankan pada
pengenalan produk melalui kampanye, penyuluhan yang menekankan pada
penyebaran informasi, upaya promotif yang menekankan pada upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, upaya advokasi untuk
mempengaruhi pihak lain dalam mengembangkan kebijakan,
pengorganisasian, pengembangan, pergerakan dan pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan definisi promosi kesehatan yang merupakan proses
yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kontrol atas status
kesehatan mereka, untuk itu kesehatan tidak hanya dipandang sebagai tujuan
hidup melainkan juga dipandang sebagai sumber daya bagi kehidupan
sehari-hari karena kesehatan merupakan konsep positif menekankan sumber
daya sosial dan pribadi, serta kemampuan fisik.
2.1.5 Tingkat Program Promosi Kesehatan
Program promosi kesehatan memiliki tiga tingkat, yaitu (Barker, 2007):
1. kesehatan primer cenderung berfokus pada orang-orang yang sehat dan
berfokus pada sekitar layanan seperti klinik untuk wanita, klinik bayi,
pesan seks yang aman, imunisasi anak (Barker, 2007). Tugas promosi

11
kesehatan tingkat ini seperti pencegahan yang bertujuan untuk mencegah
penyakit dan cedera, meningkatkan homeostasis biologis, dan self-
regulation tubuh dengan menyebarluaskan informasi kesehatan dengan
selektif yang berasal dari medis yang berkaitan dengan individu tentang
faktor risiko dan tindakan pencegahan yang terkait (Piper, 2009).
2. Promosi kesehatan sekunder berfokus pada orang-orang yang sudah sakit
dan perawat dalam situasi ini akan berusaha untuk membantu orang
kembali ke keadaan sehat (Barker, 2007). Tujuan dari manajemen diri
pasien yang memiliki cedera atau penyakit adalah untuk memaksimalkan
peluang pemulihan secara penuh, pemulihan fungsi dan untuk
meminimalkan risiko terjadinya komplikasi atau munculnya kembali
penyakit (Piper, 2009).
3. Promosi kesehatan pencegahan tersier berfokus pada situasi di mana
seorang pasien atau klien memiliki masalah kesehatan yang sedang
berlangsung atau cacat, misalnya pada orang yang memiliki kanker yang
agresif, mereka dapat ditawarkan perawatan paliatif untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka dan menjadi sejahtera sebagai bentuk promosi
kesehatan (Piper, 2009; Barker, 2007).
2.1.6 Model Promosi Kesehatan
Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor
internal (fisik dan psikis) maupun faktor eksternal (sosial, budaya,
lingkungan fisik, politik, ekonomi seta pendidikan). Hal tersebut dapat
menjadi latar belakang dikembangkannya model-model kesehatan. Model-
model promosi kesehatan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Health Belief Model (HBM), merupakan model kognitif, yang digunakan
untuk meramalkan perilaku  peningkatan kesehatan yang digunakan
untuk menjelaskan kegagalan partisipasi masyarakat secara luas dalam
program pencegahan atau deteksi penyakit. Menurut HBM,
kemungkinan seseorang melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi
oleh keyakinan dan penilaian kesehatan (Maulana,  2009) yang di
pengaruhi oleh :

12
a. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of
injury or illness). Hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang
berpikir bahwa penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan
ancaman bagi dirinya. Oleh karena itu, jika ancaman yang
dirasakan meningkat, perilaku pencegahan juga akan meningkat.
b. Keuntungan dan kerugian (benefits and costs). Pertimbangkan
antara keuntungan dan kerugian perilaku untuk memutuskan
melakukan tindakan pencegahan atau tidak.
c. Petunjuk berperilaku. Petunjuk berperilaku disebut sebagai
keyakinan terhadap posisi yang menonjol. Hal ini berupa berbagai
informasi dari luar atau nasihat mengenai permasalah kesehatan
(misalnya media massa, kampanye, nasihat orang lain, penyakit
dari anggota keluarga yang lain atau teman).
HBM memiliki fungsi sebagai model pencegahan atau preventif
(Stanley & Maddux; 1986 dalam Community Health Nursing, 2010).
6 komponen dari HBM ini, yaitu :
1. Perceived Susceptibility (kerentanan yang dirasakan). Contohnya
seseorang percaya kalau semua orang berpotensi terkena kanker.
2. Perceived Severity (bahaya/kesakitan yang dirasakan). Contohnya
individu percaya kalau merokok dapat menyebabkan kanker. 
3. Perceived Benefits (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang
diambil). Contohnya melakukan perilaku sehat seperti medical check
up rutin selain itu kalau tidak merokok, dia tidak akan terkena
kanker.
4. Perceived Barriers (hambatan yang dirasakan akan tindakan yang
diambil). Contohnya kalau tidak merokok tidak enak, mulut terasa
asam. 
5. Cues to Action (isyarat untuk melakukan tindakan). Saran dokter
atau rekomendasi menjadi cues to action untuk bertindak dalam
konteks berhenti merokok.
6. Self Efficacy. Merasa percaya diri dengan perilaku sehat yang
dilakukan

13
2. Theory of  Reasoned Action (TRA), digunakan dalam berbagai perilaku
manusia, khususnya berkaitan dengan masalah sosiopsikologis,
kemudian berkembang dan banyak digunakan untuk menentukan
faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan. (Maulana,
2009) Teori ini menghubungkan antara keyakinan (beliefs), sikap
(attitude), kehendak (intention), dan perilaku.. TRA Merupakan model
untuk meramalkan perilaku preventif dan telah digunakan dalam
berbagai jenis perilaku sehat yang berlainan, seperti pengaturan
penggunaan substanti terterntu (merokok, alcohol, dan narkotik),
perilaku makan dan pengaturan makan, pencegahan AIDS dan
penggunaan kondom dll.  (Maulana, 2009)      
 Keuntungan TRA.
Teori TRA pegangan untuk menganalisis komponen perilaku dalam
item yang operasional.  Fokus sasaran prediksi dan pengertian perilaku
yang dapat diamati secara langsung dan berada dalam kendali
seseorang, artinya perilaku sasaran harus diseleksi dan diidentifikasi
secara jelas.
 Kelemahan TRA.
Kelemahan TRA adalah tidak mempertimbangkan pengalaman
sebelumnya dengan perilaku dan mengabaikan akibat-akibat jelas dari
variable eksternal terhadap pemenuhan  intensi perilaku.
3. Transteoritikal Model (TTM), adalah kerelaan individu untuk berubah,
yaitu  merubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat, dan yang sehat
menjadi lebih sehat lagi. Terbagi menjadi 5 tahap yaitu :
1) Pre-contemplation. Individu tidak mengetahui adanya masalah
dan tidak memikirkan adanya perubahan.
2) Contemplation. Individu berfikir tentang perubahan di masa yang
akan datang dengan cara memberi dukungan dan motivasi.
3) Decission/ determination. Membuat rencana perubahan namun
butuh bantuan dalam mengembangkan dan mengatur tujuan dan
rencana tindakan.

14
4) Action. Implementasi dari rencana dan tindakan spesifik dapat
dibantu dengan diberikannya umpan balik dan dukungan sosial.
5) Maintenance. Individu dapat menunjukan tindakan yang ideal dan
mampu mengulangi tindakan yang direkomendasikan secara
berkala.
4. PRECEDE dan PROCEED Model. Model ini dikembangkan untuk
diagnosis mengenai pendidikan mulai dari kebutuhan pendidikan
sampai pengembangan program. PRECEDE merupakan kependekan
dari Predisposing, Reinforcing, and Enable Causes in Educational
Diagnosis and Evaluation. Terdapat tujuh tahap dalam merumuskan
diagnosis dalam model ini, yaitu: diagnosis sosial, diagnosis
epidemologi, diagnosis perilaku dan lingkungan, diagnosis pendidikan.
Perawat dapat mengembangkan pernyataan diagnosa yang
menggambarkan pendidikan apa yang dibutuhkan oleh klien (Ivanov &
Blue, 2008).
PROCEED yang merupakan kependekan dari Policy, Regulatory,
and Organizational Construct for Educational and Enviromental
Development digunakan untuk merencanakan, mengimplementasi, dan
mengevaluasi dalam program pendidikan kesehatan. Model ini terdiri
dari empat tahap implementasi, proses, dampak, dan evaluasi hasil dari
proses pendidikan (Ivanov & Blue,  2008).
Fokus model ini adalah mempengaruhi individu, kelompok dan
masyarakat untuk berperilaku sehat dalam diagnosa, pendidikan dan
evaluasi. Green & Kreuter (2005) dalam Saifah (2011) mendefinisikan
bahwa terdapat tiga faktor yang dapat digunakan dalam
menginvestigasi perilaku yang berkontribusi terhadap status kesehatan,
yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factor) 
b. Faktor pemungkin (enabling factor) 
c. Faktor penguat (reinforcing factor) 
2.1.7 Kebijakan Promosi Kesehatan

15
Di dalam promosi kesehatan, ada keterlibatan tiap-tiap sektor dalam
membuat hingga menjalankan kebijakan. Dinas kesehatan provinsi
mengembangkan, mengkoordinasi dan memfasilitasi promosi kesehatan,
kabupaten/kota memperkuat pemberdayaan masyarakat oleh kabupaten/kota
bina suasana dan advokasi tingkat provinsi. Pemerintah
membuat program kegiatan sesuai masalah kesehatan yang ada di dinas
kesehatan provinsi, sementara pemerintahan tingkat pusat mempromosikan
kesehatan, mengembangkan kebijakan nasional, menjadi pedoman dan
standar fasilitas serta koordinasi promosi kesehatan daerah bina suasana dan
advokasi tingkat nasional.
Promosi kesehatan di daerah dikembangkan dari kebijakan nasional dan
pedoman standar promosi kesehatan yang didukung adanya fasilitas
koordinasi promosi kesehatan dari pemerintah pusat dan daerah dengan
adanya bina suasana dan advokasi. Kebijakan yang mengatur tentang
promosi kesehatan adalah Permenkes dan Kepmenkes.
2.1.8 Peran Tingkat Propinsi
Sebagai unit yang berada dibawah naungan tingkat pusat, maka peran
tingkat Provinsi, khususnya kegiatan yang diselenggrakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi antara lain sebagai berikut:
1. Menjabarkan kebijakan promosi kesehatan nasional menjadi kebijakan
promosi kesehatan local (provinsi) untuk mendukung penyelenggaraan
promosi kesehatan dalam wilayah kerja Pamsimas
2. Meningkatkan kemampuan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
promosi kesehatan, terutama dibidang penggerakan dan pemberdayaan
masyarakat agar mampu ber-PHBS.
3. Membangun suasana yang kondusif dalam upaya melakukan
pemberdayaan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
pada level provinsi
4. Menggalang dukungan dan meningkatkan kemitraan dari berbagai pihak
serta mengintegrasikan penyelenggaraan promosi kesehatan dengan
lintas program dan lintas sektor terkait dalam pencapaian PHBS dalam
level Provinsi

16
2.1.9 Peran Tingkat Kabupaten
Promosi Kesehatan yang diselenggarakan di tingkat Kabupaten,
khususnya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Meningkatkan kemampuan Puskesmas, dan sarana kesehatan lainnya
dalam penyelenggaraan promosi kesehatan, terutama dibidang
penggerakan dan pemberdayaan masyarakat agar mampu ber-PHBS.
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan
yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat
3. Membangun suasana yang kondusif dalam upaya melakukan
pemberdayaan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
4. Menggalang dukungan dan meningkatkan kemitraan dari berbagai pihak
serta mengintegrasikan penyelenggaraan promosi kesehatan dengan
lintas program dan lintas sektor terkait dalam pencapaian PHBS.
Kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa
Indonesia, untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuanhidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-
tingginya. Wujud upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi 2
kategori, yaitu :
1) Upaya kesehatan wajib, yang ditetapkan berdasarkan komitmen
nasional, regional, global, serta memiliki daya ungkit tinggi untuk
peningkatan derajat kesehatan masyarakat meliputi :
a. promosi kesehatan
b. kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga
berencana
c. perbaikan diri masyarakat, pencegaham dan pemberantasan
penyakit menular
d. pengobatan
2) Upaya kesehatan pengembangan, adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat
serta disesuaikan dengan kemampuan sektor pelayanan kesehatanyang
terkait.

17
Kebijakan sosial memberikan pengetahuan bagaimana
melakukanhealthy public policy dimana mengembangkan kebijakan untuk
meningkatkan kesehatan. Bidang kebijakan sosial dapat memberikan
pengetahuan reflektif penting pada asalmula promosi kesehatan itu sendiri
dan pada kemunculannya sebagai jenis kebijakan kesehatan yang lebih baru.
Kebijakan sosial terdiri dari perspektif yang bermacam-macam, hal itulah
yang merefleksikan asumsi-asumsi yang berbeda tentang dunia sosial.
Oleh karenanya, studi kebijakan sosial akan memberikan sumbangan
besar pada promosi kesehatan. Hal tersebut akan terus memberikan
pemahaman bagaimana ciri-ciri menonjol healthy public policy dalam
lingkungan kebijakan saat ini; peran negara, penduduk, dan masyarakat
dalam pengembangan kebijakan; proses dan kemungkinan pengembangan
visi healthy public policy, jangkauan kerjasama lintas sektoral; jangkauan
koordinasi healthy public policy, dan bagaimana “public good” dapat
direkonsiliasikan dengan minat individu dan minat lainnya dalam
memelihara healthy public policy. Program-program di area studi berkaitan
dengan pengembangan ke kebijakan sosial seperti juga pada healthy public
policy, membawa kita untuk mempertimbangkan promosi kesehatan sebagai
kebijakan sosial.
2.1.10 Kebijakan Internasional Promosi Kesehatan
Dasar kebijakan internasional promosi kesehatan sudah terbentuk sejak
dilaksanakan konferensi pertama di kota ottawa canada pada tahun 1986
dengan tema “menuju kesehatan masyarakat baru” dan menghasilkan dasar
promosi kesehatan yaitu Piagam Ottawa. Selanjutnya konferensi promosi
kesehatan terus dilakukan di tempat yang berbeda sampai terakhir yaitu
konferensi ke tujuh di kenya pada tahun 2009. Pada setiap dilakukan
konferensi akan menghasilkan strategi baru untuk menyelasaikan masalah
yang muncul pada periode tersebut di dunia.
Konferensi promosi kesehatan I dilakukan di kota Ottawa Canada tahun
1986 dengan tema “Menuju kesehatan masyarakat baru” mengahasilkan
piagam Ottawa. Piagam Ottawa menyebutkan ada sembilan faktor prasyarat
untuk menuju kesehatan: perdamaian, tempat tinggal, pendidikan, makanan,

18
pendapatan, ekosistem yang seimbang, sumberdaya yang
berkesinambungan, keadaan sosial sejahtera, dan pemerataan. Piagam
Ottawa memiliki tujuan promosi kesehatan yaitu: Advokasi (meyakinkan
pembuat kebijakan aturan yang diajukan itu penting), menjembatani (antara
bidang kesehtan dan bidang lain), dan memampukan (membuat masyarakat
mandiri). Strategi promosi kesehatan dalam Piagam Ottawa ada lima, yaitu
mengembangkan kebijakan publik berkaitan dengan kesehatan, membuat
lingkungan yang sehat, membangun masyarakat yang aktif,
mengembangkan ketrampilan masyarakat, dan reorientasi sistem pelayanan
kesehatan.
Konferensi promosi kesehatan ke dua di Adelaide, Australia tahun 1988
dengan tema “Membangun kebijakan publik yang berwawasan kesehatan”.
Dalam konferensi kedua strategi yang digunakan mengarah untuk
mendukung terciptanya masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang
sehat dan berprilaku sehat.  Untuk mencapai tujuan tersebut menggunakan
enam strategi, yaitu kebijakan publik berwawasan kesehatan,
mengupayakan revvitalisasi nilai-nilai asasi kesehatan, pemerataan akses
pelayanan kesehatan, akuntabilitas program kesehatan, meningkatkan
pelayanan, dan kemitraan. Dalam konfrensi ini juga membagi prioritas
kebijakan publik di bidang kesehatan, yaitu program perempuan, pangan
dan gizi, tembakau dan alkohol, dan lingkungan yang baik.
Konferensi promosi kesehatan ke tiga di Sundvall, Swedia tahun 1991
dengan tema “Menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan”.
Dalam koferensi ini menghasilkan model yang dijalankan dengan praktis
dalam promosi kesehatan, yaitu Health promotion strategy analysis model
(HELPSAME)  berupa analisis pengalaman dalam menciptakan lingkungan
yang mendukung, Sundsvall pyramid of supportive
enviroment, dan Supportive enviroment action model berupa fasilitator
dalam kelompok.
Konferensi promosi kesehatan ke empat di Jakarta, Indonesia dengan
tema “Pemeran baru di era baru” tahun 1997. Konferensi ini menghasilkan
Deklarasi Jakarta yang berisi pendekatan baru promosi kesehatan. Deklarasi

19
jakarta terdiri dari empat pendekatan, yaitu pendekatan komprehensif
berupa promosi kesehatan dilakukan secara serentak, pendekatan melalui
tatanan berupa ahli kesehatan ikut dalam kursi pemerintahan, institusi
pendidikan, dan institusi pelayanan kesehatan, pendekatan peran serta
masyarakat, dan pendekatan pembelajaran kesehatan. 
Konferensi promosi kesehatan ke empat menghasilkan prioritas
peningkatan kesehatan. Pertam meningkatkan tanggung jawab sosial dalam
kesehatan yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan. Prioritas kedua
meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan. Prioritas ketiga
yaitu meningkatkan kemitraan untuk meningkatakan pelayanan kesehatan.
Prioritas ke-empat yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
pemberdayaan masyarakat, dan mengembangkan infrastruktur secara
bertahap dan berkelanjutan untuk meningkatkan intensitas promosi
kesehatan.
Konferensi promosi kesehatan ke lima di Mexico, Mexico tahun 2000
dengan tema “menjembatani kesenjangan pemerataan”. Konferensi ini
menghasilkan program-program kementrian berupa delapan macam, yaitu
menghargai pencapaian standar kesehatan sebagai aset positif bagi
kenyamanan hidup dan pertumbuhan pembangunan sosial ekonomi dan
pemerataan, memahami promosi kesehatan sebagai tanggung jawab
bersama, terjadi perbaikan layanan kesehatan, menyadari banyak masalah
belum teratasi, infeksi mengurangi keberhasilan bidang kesehatan,
pentinganya kolaborasi, promosi kesehatan komponen dasar publik, dan
strategi efektif.
2.1.11 Konsep Perubahan dalam Promosi Kesehatan
Menurut Pender (2006, dalam Potter & Perry, 2013) Perubahan perilaku
sehat merupakan suatu usaha untuk berubah yang dapat ditunjukkan dengan
penghentian tingkah laku yang memperburuk kesehatannya atau
meningkatkan tingkah laku sehat. Sedangkan yang dimaksud perilaku hidup
sehat adalah tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya (Maulana, 2007).

20
Perubahan perilaku sehat menurut Prochaska, Redding, dan Evers (2009,
dalam Kozier et al, 2015) perubahan perilaku sehat antara lain:

1) Tahap Prakontemplasi

Tahap prakontemplasi ialah tahap dimana klien membantah bahwa ia


memiliki masalah, klien tidak tertarik dengan informasi kesehatan atau klien
pernah mengalami kegagalan dalam proses perubahan sehingga masalah
yang dihadapi klien dianggap sebagai takdir dan membiarkannya saja.

2) Tahap Kontemplasi

Pada tahap ini klien menyadari masalah yang dihadapinya itu serius dan
perlu perubahan perilaku maka dari itu klien mulai mencari-cari informasi
dan mengungkapkan rencana untuk mengubah perilakunya.

3) Tahap Persiapan

Klien pada tahap ini sudah mulai membuat rencana khusus yang akan
dilakukan hingga akhir perubahan. Klien menganggap keuntungan
perubahan perilaku lebih banyak daripada kerugiannya.

4) Tahap Tindakan

Pada tahap ini klien sudah melakukan rencana yang telah dibuat sebelumnya
maka dari itu klien membutuhkan motivasi agar semangat dalam menjalani
rencana ini berjalan dengan baik.

5) Tahap Pemeliharaan

Tahap ini menekankan pada perubahan perilaku yang terjadi diintegrasikan


ke dalam gaya hidup klien. Klien yang gagal dalam tahap ini akan
mengalami relaps dan kembali ke tahap awal. Relaps merupakan suatu
kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan memperbarui usaha untuk
berubah (Kozier et al, 2015).

6) Tahap Terminasi

21
Klien pada tahap ini sudah yakin bahwa masalah bukan lagi godaan atau
ancaman bagi kehidupan. Sebagai contoh, klien tadi sudah tidak takut
beresiko diabetes melitus lagi karena ia sudah yakin bahwa dengan menjaga
pola makan sehat dan bergizi akan menurunkan berat badannya.

2.1.12 Penerapan Konsep Motivasi Dalam Promosi Kesehatan


Peran perawat sebagai instrument peningkatan motivasi kerja Peran
perawat sebagai instrument peningkatan motivasi kerja:
1. Model
2. Energizer
3. Investor
4. Teacher coach
5. Problem solver
6. Feedback giver
7. Chalengger
2.1.13 Konsep Kolaborasi

Pada lingkup keperawatan komunitas, kolaborasi berarti interaksi yang


memiliki tujuan yang melibatkan perawat, profesi lain, klien serta anggota
komunitas lain berdasarkan kesamaan nilai, usaha dan partisipasi (Kozier,
2015). Sehingga, kolaborasi memiliki dua kunci utama yakni adanya
kesamaan tujuan dan keterlibatan beberapa pihak. Terdapat penjelasan
mengenai praktik kolaborasi, menurut Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A.,
Pender, N.J. (2015) bahwa praktik kolaborasi dapat terjadi saat penyedia
layanan kesehatan bekerjasama dengan orang-orang se-profesi, antar profesi
dan pasien beserta keluarganya. Dalam menjalankan praktik kolaborasi
dibutuhkan rasa saling percaya diantara individu yang terlibat.

Kolaborasi memiliki beberapa karakteristik, sehingga dapat dibedakan


dari interaksi lainnya. Karakteristik tersebut menurut DeLaune, S. C., dan
Ladner, P. K. (2011) yakni:

1. Kesamaan tujuan

2. Partisipasi yang saling menguntungkan

22
3. Tanggung jawab yang jelas

4. Ada batasan yang jelas yang telah ditentukan

5. Maksimalisasi penggunaan sumber daya

Selain karakteristik, kolaborasi juga memiliki strategi demi mencapai


kolaborasi yang efektif. Strategi menurut Murdaugh, C.L., dan Parsons,
M.A., Pender, N.J. (2015) adalah:

1. Menentukan tujuan serta kegunaan dari sebuah tim dengan jelas

2. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas

3. Berkomunikasi secara berkala

4. Saling mempercayai, menghormati, memahami dan mendukung


satu sama lain

5. Memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap segala kontribusi


yang dilakukan oleh seluruh anggota tim

6. Kepemimpinan yang efektif

7. Mengatur mekanisme serta strategi dalam menyelesaikan tugas

8. Mengadakan pertemuan secara rutin

Terdapat elemen kunci efektifitas dalam kolaborasi. Elemen tersebut


menurut Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A., Pender, N.J. (2015) yakni
sebagai berikut:

1. Kerjasama

2. Komunikasi

3. Asertifitas

4. Otonomi

5. Tanggung jawab

23
6. Koordinasi

2.1.14 Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan upaya


menumbuhkan kemampuan masyarakat agar mereka mempunyai daya atau
kekuatan untuk hidup mandiri menjaga kesehatannya (Depkes RI, dalam
Maulana, 2009). Upaya tersebut dilakukan sesuai dengan keadaan, masalah,
dan potensi sepempat dan dilakukan dari, oleh, untuk, dan bersama
masyarakat. Hasil output dari pemberdayaan adalah kemandirian
masyarakat di bidang kesehatan. Pemberdayaan peran klien dalam promosi
kesehatan berhubungan dengan sadar sehat klien. Sadar sehat melibatkan
kemampuan membaca, mengatahui, memahami, dan bertindak berdasarkan
informasi medis dan kesehatan. Pemberdayaan klien penting bagi perawat,
karena jika klien mempunyai kesadaran sehat yang rendah akan berdampak
pada ketidak mampuan klien dalam membuat keputusan yang efektif ketika
bekerja sama dengan tenaga kesehatan, yang akan mengahasilkan kesehatan
yang buruk.

Sasaran pemberdayaan masyarakat adalah perorangan, keluarga, dan


masyarakat umum. Sasaran primer pemberdayaan adalah masyarakat itu
sendiri.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui partisipasi aktif


masyarakat. Menurut Kasmel dan Andersen (2011), pemberdayaan melalui
partisipasi memliki tiga komponen esensial yaitu:

1. Partisipasi adalah proses aktif, dimana semua anggota masyarakat


saling menyuarakan pendapatnya.

2. Partisipasi adalah pilihan, dimana semua berhak untuk membuat


keputusan yang berpengaruh dalam kehidupan.

3. Partisipasi yang efektif

24
4. Menurut Maulana (2009) ada beberapa prinsip, model atau bentuk,
dan langkah kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:

Prinsip :

1. Menumbuh- kembangkan potensi masyarakat.

2. Menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan

3. Mengembangkan kegiatan kegotong- royongan di masyarakat

4. Bekerja sama dengan masyarakat

5. Promosi, pendidikan dan pelatihan dengan sebanyak mungkin


menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat

6. Upaya dilakukan secaran kemitraan dengan berbagai pihak

7. Desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya setempat)

Model dan bentuk :

1. Pemberdayaan pimpinan masyarakat

2. Pengembangan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat

3. Pemberdayaan pendanaan masyarkat

4. Pemberdayaan sarana masyarakat

5. Peningkatan pengetahuan masyarakat

6. Peningkatan pengetahuan masyarakat

7. Pengembangan teknologi tepat guna

Langkah kegiatan di tingkat operasional :

1. Pendekatan pada pimpinan masyarakat (ad vokasi)

2. Survei mawas diri, atau pengkajian masalah di masyarakat


(community diagnosis)

25
3. Perumusan masalah dan kesepakatan bersama dalam musyawarah
masyarakat desa (community prescription)

4. Pemecahan masalah bersama (community treatment)

5. Pembinaan dan pengembangan (development)

2.1.15 Konsep Kemitraan

Kemitraan adalah suatu hubungan atau sebuah kerja sama antara kedua
belah pihak atau lebih, didasarkan pada kesetaraan, keterbukaan, dan saling
menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2012). Victoria
Health Promotion Foundation (2011) mengemukakan tujuan dari kemitraan,
yang dibagi menjadi tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dari kemitraan
adalah untuk meningkatkan percepatan, efektivitas, serta efisiensi terkait
upaya kesehatan dan upaya pembangunan pada umumnya. Tujuan
khususnya adalah berhubungan dengan aspek rasa di dalam sebuah
kesepakatan kerja sama, terkait rasa saling membutuhkan, percaya,
memerlukan, membantu, dll. Hasil yang diharapkan dengan bermitra
berhubungan dengan tujuan yang ditetapkan, yaitu terjadinya percepatan,
efektivitas, dan efisiensi dalam berbagai upaya termasuk kesehatan.

Tingkatan kemitraan dalam promosi kesehatan menurut Victoria Health


Promotion Foundation (2011) adalah:

a. Jaringan/ Networking (melibatkan pertukaran informasi dan


memerlukan waktu serta kepercayaan;
b. Koordinasi/ Coordinating (informasi, dan menggubah kegiatan
berdasarkan tujuan bersama);
c. Kerjasama/ Cooperating (informasi, kegiatan, dan berbagi sumber
daya);
d. Kolaborasi/ Collaborating (sampai pada tahap peningkatab kapasitas
mitra lain untuk saling menguntungkan dengan berpegang pada tujuan
bersama).

26
Sifat kemitraan bergantung pada kebutuhan, tujuan, serta kesediaan dari
lembaga, profesi, atau individu yang berpartisipasi untuk terlibat dalam
kemitraan. Menurut Kuswidanti (2008) sifat kemitraan terdiri dari:

1. Incidental (sifat kerja sesuai dengan kebutuan sesaat ex: peringatan hari
anak Indonesia)
2. Jangka pendek (proyek dalam kurun waktu tertentu)
3. Jangka panjang (pelaksanaan program tertentu, ex: pemberantasan TB
paru)
Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy (2004), ada empat jenis atau tipe
kemitraan yaitu:

1. Potential Partnership (peduli tetapi belum bekerja bersama secara dekat)

2. Nascent Partnership (pelaku kemitraan adalah patner, tetapi belum


efisien)

3. Complementary Partnership (antar mitra sudah mendapay keuntungan


dan telah saling berpengaruh)

4. Synergistic Partnership (Kemitraan jenis ini memberikan mitra


keuntungan dan pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik
melalui penambahan ruang lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan
penelitian)

Prinsip dalam kemitraan yang menjadi pondasi dalam penatalaksanaan


terhadap tujuan bersama yang telah ditetapkan, terdiri dari (Ditjen P2M &
PL, 2004): (1) Prinsip Kesetaraan (Equality); (2) Prinsip Keterbukaan; (3)
Prinsip Azas Manfaat Bersama (Mutual Benefit). Keberhasilan dari suatu
kemitraan dapat diniai melalui indikator berikut (Kuswidanti, 2008):

1. Input (semua sumber daya yang dimiliki)

2. Proses (kegiatan yang membangun, frekuensi dan kualiatas pertemuan


tim atau secretariat sesuai kebutuhan ex: lokakarya, kesepakatan, dll)

27
3. Output (terbentuknya jaringan kerja, yang terdiri dari berbagai unsur,
dan jumlah kegiatan yang berhasil terrealisasi dari rencana yang
dimiliki)

4. Outcome (dampak yang dihasilkan dari terbentuknya suatu kemitraan


terhadap kesehatan masyarakat. Outcome kemitraan adalah
menurunnya angka atau indikator kesehatan (negatif), misalnya
menurunkan angka orang kesakitan atau angka kematian. Atau
meningkatnya indikator kesehatan (positif), misalnya meningkatnya
ststus gizi anak balita)

Langkah-langkah dalam penatalaksanaan suatu kemitraan (Kuswidanti,


2008):
1. Pengenalan masalah dan seleksi masalah;

2. Melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial

3. Melakukan identifikasi peran mitra/jaringan kerjasama mitra dalam


upaya mencapai tujuan

4. Membuat kesepakatan

5. Menyusun rencana kerja (jadwal kegiatan, pengaturan peran dan


tanggung jawab)

6. Melaksanakan kegiatan terpadu yaitu menerapkan kegiatan sesuai


kesepakatan, dan melaporkannya secara berkala.

7. Pemantauan dan evaluasi.

2.1.16 Prinsip, Metode, Media, dan Strategi Promosi Kesehatan


2.1.16.1 Prinsip Umum Promosi Kesehatan serta Prinsip Spesifik Promosi
Kesehatan di Keluarga, Tempat Kerja, Sekolah, dan Tempat Umum
Dalam dunia kesehatan, tenaga kesehatan memberikan layanannya tidak
hanya pada pengobatan penyakit namun juga pada pencegahan penyakit.
Dalam proses pencegahan penyakit tenaga kesehatan dapat memberikan
promisi kesehatan guna meningkatkan status kesehatan kliennya. Dalam
melaksanakan promosi kesehatan baiknya mengikut prinsip-prinsip promosi

28
kesehatan yang berguna sebagai dasar dari pelaksanaan program promosi
kesehatan. Berikut merupakan prinsip-prinsip umum promosi kesehatan
menurut Green & Sputh, 2006 dan Potvin & McQueen, 2001):
1. Empowerment atau pemberdayaan
2. Partisipative atau partisipasi
3. Holistic atau menyeluruh
4. Equitable atau kesetaraan
5. Intersectoral atau antar sector
6. Sustainable atau berkelanjutan
7. Multi-strategy
Dalam memberikan promosi kesehatan, tenaga kesehatan seperti
perawat juga perlu memahami prinsip promosi kesehatan yang lebih spesifik
dalam tiap ruang lingkup, yaitu:
1. Prinsip promosi kesehatan di keluarga:
a. Promosi kesehatan yang dilakukan harus bisa lebih spesifik sebab
keluarga merupakan kelompok masyrakat yang paling kecil.
b. Keluarga terdiri atas beberapa orang yang sudah terikat hubungan
satu sama lain, yaitu ayah, ibu, dan anak. Ketika promosi kesehatan
yang dilakukan telah dijalankan dengan baik, maka hal tersebut akan
berpengaruh kepada perilaku keluarga tersebut.
c. Setiap keluarga memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan yang
dimaksud yaitu aturan yang dimiliki pada keluarga tersebut. Dalam
hal ini pemberi promosi kesehatan harus mampu menyesuaikan diri
dengan aturan tersebut agar keluarga tersebut bisa lebih terbuka
dalam menerima segala bentuk promosi yang dilakukan.
2. Prinsip Promosi Kesehatan di Tempat Kerja
a. Komprehensif
Promosi kesehatan di tempat kerja merupakan kegiatan yang
melibatkan beberapa disiplin ilmu guma memaksimalkan tujuan
yang ingin dicapai.
3. Partisipasi

29
Para peserta atau sasaran promosi kesehatan hendaknya terlibat
secara aktif mengidentifikasi masalah kesehatan yang dibutuhkan untuk
pemecahannya dan meningkatkan kondisi lingkungan kondisi
lingkungan kerja yang sehat.
4. Keterlibatan berbagai sektor terkait
Kesehatan yang baik adalah hasil dari berbagai faktor yang
mendukung. Berbagai upaya untuk meningkatkan kesehatan pekerja
hendaknya harus melalui pendekatan yang integrasi yang mana
penekanannya pada berbagai faktor tersebut bila memungkinkan.
5. Kelompok organisasi masyarakat
Program pencegahan dan peningkatan kesehatan hendaknya
melibatkan semua anggota pekerja.
6. Berkesinambungan atau Berkelanjutan
Program promosi kesehatan dan pencegahan hendaknya terus
menerus dilakukan dan tujuannya jangka panjang.
7. Prinsip Promosi Kesehatan di Sekolah
a. Melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan
sekolah yaitu peserta didik, orangtua dan para tokoh masyarakat
maupun organisasi-organisasi di masyarakat.
b. Memberikan pendidikan kesehatan sekolah dengan kurikulum yang
mampu meningkatkan sikap dan perilaku peserta didik yang positif
terhadap kesehatan serta dapat mengembangkan berbagai
keterampilan hidup yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan
sosial.
c. Memperhatikan pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk guru
maupun orangtua.
8. Prinsip Promosi Kesehatan di Fasilitas Layanan Kesehatan, (Ayubi,
2006):
a. Ditujukan untuk individu yang memerlukan pengobatan dan atau
perawatan, pengunjung, keluarga pasien.
b. Memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga atas masalah
kesehatan yang diderita pasien.

30
c.  Memberdayakan pasien dan keluarga dalam kesehatan.
d. Menerapkan proses belajar di fasilitas pelayanan kesehatan. 
9. Prinsip Promosi Kesehatan di Tempat Umum
Bentuk pendekatan massa diberikan secara tidak langsung, biasanya
menggunakan atau melalui media massa.Tempat umum merupakan
sarana yang dilalui oleh banyak orang, dapat dikatakan sasaran dari
tindakan promosi kesehatan di tempat umum tidak menentu. Maka
penerapan yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan media
berupa poster, spanduk, dan lainnya.

2.1.16.2 Metode dalam promosi kesehatan


Pelaksanaan promosi kesehatan agar dapat menarik perhatian
masyarakat untuk mengikutinya, perlu memperhatikan metode yang
digunakan dalam promosi kesehatan.  Metode promosi kesehatan
merupakan cara atau pendekatan tertentu yang digunakan dengan tujuan
tercapainya tujuan dari proses promosi kesehatan (Effendi & Makhfudli,
2009). Pendidik harus dapat memilih dan menggunakan metode (cara)
mengajar yang cocok atau relevan, sesuai dengan kondisi setempat.
Meskipun berlaku pedoman umum bahwa tidak ada satu pun metode belajar
yang paling baik dan tidak ada satu pun metode belajar yang berdiri
sendiri (Maulana, 2009).
Secara garis besar metode dalam proses promosi kesehatan terdapat dua
jenis metode, yaitu metode didaktif dan metode sokratik (Maulana, 2009). 
a. Metode didaktif, didasarkan atau dilakukan secara satu arah atau one
way method, misalnya ceramah, film, leaflet, buklet, poster, dan
siaran radio). 
b. Metode sokratik, dilakukan secara dua arah atau two way method.
Metode ini kemungkinan antara pendidik dan peserta didik bersikap
aktif dan kreatif, misalnya diskusi kelompok, debat, panel, forum,
buzzfgroup, seminar, bermain peran, sosiodrama, curah pendapat,
demonstrasi, studi kasus, lokakarya, dan penugasan perorangan). 

31
Pemilihan metode promosi kesehatan harus dilakukan secara cermat
dan tepat agar menjadi metode belajar yang efektif dan efisien ini harus
mempertimbangkan hal-hal berikut.
1. Hendaknya disesuaikan dengan tujuan pendidikan
2. Bergantung pada kemampuan guru atau pendidiknya
3. Kemampuan pendidik
4. Bergantung pada besarnya kelompok sasaran atau kelas
5. Harus disesuaikan dengan waktu pemerian atau penyampaian pesan.
6. Hendaknya mempertimbangkan fasilitas-fasilitas yang ada. 
Metode pembelajaran selain terdapat dua jenis, metode pun menurut
Notoatmodjo, 2007) ; Maulana (2009), diklasifikasikan menjadi tiga bagian
yaitu, metode pendidikan individu, kelompok, dan massa. Memiliki
pendapat yang sama menurut Departemen Kesehatan RI menggolongkan
metode promosi kesehatan berdasarkan jumlah sasaran yang ingin dicapai
yaitu, pendekatan perorangan, pendekatan kelompok, dan pendekatan
massal. 
1. Metode pendidikan individu
a. Bimbingan berisi penyampaian inforasi yang berkenaan dengan
masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi, dan masalah sosial yang
disajikan dalam bentuk pelajaran.
b. Konseling adalah proses belajar yang bertujuan memungkinkan
konseling (peserta didik) mengenal dan menerima diri sendiri
serta realistis dalam proses penyelesaian dengan lingkungannya
(Nurihsan, 2005) dalam (Maulana, 2009). 
2. Metode pendidikan kelompok
a. Ceramah, ialah pidato yang disampaikan oleh seorang
pembicaraa di depan sekelompok pengunjung atau pendengar.
Metode ini dipergunakan sesuai kondisi–kondisi tertentu. 
b. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu atau
beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan
biasanya dianggap hangat di masyarakat. 

32
c. Diskusi kelompok, percakapan yang direncakan atau
dipersiapkan di antara tuga orang atau lebih tentang topik
tertentu dan salah seorang di antaranya memimpin diskusi
tersebut. 
d. Bermain peran (role play), peserta diminta memainkan atau
memerankan bagian-bagian dari berbagai karakter dalam suatu
kasus.
e. Simulasi, suatu cara peniruan karakteristik-karakteristik atau
perilaku-perilaku tertentu dari dunia rill sehingga para peserta
latihan dapat berekasi seperti pada keadaan sebenarnya.
3. Metode pendidikan massa
Metode pendidikan massa dilakukan untuk mengonsumsikan pesan-
pesan kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat. Pesan yang ingin
disampaikan perlu dirancang agar dapat ditangkap oleh massa.
Metode kesehatan pun dapat digolongkan berdasarkan teknik
komunikasi dan indera penerima dari sasaran promosi kesehatan.
1. Berdasarkan teknik komunikasi
a. Metode penyuluhan langsung.
b. Metode yang tidak langsung.
2. Berdasarkan indera penerima
a. Metode melihat/memperhatikan.
b. Metode pendengaran
c. Metode “kombinasi”

2.1.17 Media promosi kesehatan

Dalam melakukan promosi kesehatan perlu diperhatikan media yang


digunakan agar dapat menarik perhatian sasaran dalam mengikuti promosi
kesehatan. Menurut (Kholid, A., 2012) media pembelajaran adalah sarana
fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran seperti buku, film,
video dan sebagainya. Media merupakan alat yang digunakan oleh pendidik
dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran (Maulana, H. D.,

33
2007). Tujuan dari penggunaan media dalam pengajaran yaitu untuk
memperjelas pesan, mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga, daya indra,
menimbulkan semangat belajar, interaksi langsung antara peserta didik dan
sumber belajar, serta memungkinkan peserta belajar mandiri sesuai bakat
(Simamora, 2009).
Media yang berupa alat peraga berfungsi untuk (Maulana, H. D.,
2007):
a. menimbulkan minat sasaran
b. mencapai sasaran yang lebih banyak
c. membantu mengatasi hambatan dalam pemahaman
d. merangsang sasaran untuk meneruskan pesan pada orang lain
e. memudahkan penyampaian informasi
f. memudahkan penerimaan informasi oleh sasaran
g. mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi oleh
orang banyak.
h. mendorong keinginan  untuk mengetahui, mendalami, dan
mendapat pengertian yang lebih baik.
i. membantu menegakkan pengetahuan yang diterima agar bisa
lebih lama tersimpan dalam ingatan.
Pelaksanaan promosi kesehatan membutuhkan media yang dapat
memudahkan aktivitas promosi kesehatan terutama pada saat pendidik
(sumber) tidak dapat bertemu langsung dengan sasaran. Adapun jenis – jenis
media pembelajaran menurut (Kholid, A., 2012) yaitu:
1. Media visual seperti grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun dan
komik
2. Media auditif seperti radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan
sejenisnya
3. Projected still media seperti slide, over head projector, in focus dan
sejenisnya
4. Projected motion media seperti film, televise, video, computer dan
sejenisnya.

34
Sedangkan, menurut Sharon, S. E. (2005) terdapat enam jenis dasar dari
media pembelajaran, yaitu:
1. Teks, yaitu penyampaian informasi yang berupa tulisan.
2. Media audio, seperti suara latar, musik, atau  rekaman suara yang
dapat meningkatkan daya tarik sasaran.
3. Media visual, yaitu media yang memberikan rangsangan -
rangsangan visual seperti gambar/photo, sketsa, diagram, bagan,
grafik, kartun poster dan papan bulletin.
4. Media proyeksi gerak, seperti film geral, film gelang, program TV,
video kaset (CD, VCD, atau DVD).
5. Benda-benda tiruan/miniatur, seperti benda-benda tiga dimensi yang
dapat disentuh dan diraba oleh penerima pesan.
6. Manusia, yang dapat berupa guru, siswa, atau pakar/ ahli dibidang/
materi tertentu.

Adapun ciri – ciri media pembelajaran menurut (Gerlach & Ely, 1971)
yaitu:

1. Ciri fiksasif
2. Ciri manipulatif
3. Ciri distributif
Kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih media pembelajaran
menurut (Kholid, A., 2012) yaitu:
1. Sesuai dengan tujuan atau standar kompetensi yang ingin dicapai.
2. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep,
prinsip dan generalisasi
3. Praktis, luwes dan bertahan
4. Memperhatikan pengelompokan sasaran.
5. Penyaji terampil dalam menggunakan media.
2.1.18 Strategi Promosi Kesehatan: Advokasi
a. Advokasi
Pada dasarnya promosi kesehatan bertujuan untuk mengenalkan
kesehatan kepada masyarkat, untuk mencapai hal ini perlu adanya

35
pendekatan persuasif, dan menggunakan cara yang komunikatif serta
inovatif yang memerhatikan sasaran promosi kesehatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan [ CITATION
Mau07 \l 1033 ]. Advokasi merupakan strategi dengan pendekatan
pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan [ CITATION Efe09 \l 1033 ]. Advokasi berperan
dalam mendukung kegiatan promosi kesehatan yang dapat
memfasilitasi adaptasi perilaku dan lingkungan untuk memperbaiki
kesehatan. Pelaku advokasi kesehatan ialah orang yang peduli terhadap
upaya kesehatan dan memandang perlu adanya mitra untuk mendukung
upaya tersebut [ CITATION Mau07 \l 1033 ].
b. Tahap Advokasi
Komitmen yang didapat dari proses advokasi tentunya tidak
berjalan dengan cepat karena melewati beberapa tahapan. Pertama,
mengetahui atau menyadari adanya masalah. Kedua, tertarik untuk
ikut mengatasi masalah. Ketiga, peduli terhadap pemecahan masalah
(dengan mencari alternatif pemecahan masalah). Keempat, sepakat
untuk memecahkan masalah dengan memilih caranya. Kelima,
memutuskan tindak lanjut kesepakatan. Bahan-bahan advokasi pun
perlu disiapkan terlebih dahulu dan matang, diataranya ialah sesuai
minat dan sasaran advokasi, memuat rumusan masalah dan alternatif
pemecahan masalah, memuat peran sasaran dalam pemecahan
masalah, berdasarkan fakta dan bukti (evidence-based), dikemas
secara menarik dan jelas, serta sesuai dengan waktu yang tersedia
[ CITATION Dep11 \l 1033 ].

c. Proses Pendekatan Advokasi


Proses pendekatan dalam advokasi kesehatan ialah pendekatan
persuasive, dewasa, dan bijak. Menurut UNFPA dan BKKBN (2002)
terdapat lima pendekatan utama yaitu, melibatkan para pemimpin,
bekerja sama dengan media massa, membangun kemitraan,
memobilisasi massa, dan membangun kapasitas [ CITATION Mau07 \l
1033 ]. Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan prinsip

36
kemitraan, dengan membentuk jejaring advokasi atau forum
kerjasama. Hal tersebut dapat mendukung proses advokasi karena
akan terjadinya proses kerja sama yang didalamnya terdapat
pembagian tugas dan saling mendukung, maka sasaran advokasi
akan dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu,
metode dan media advokasi perlu ditentukan secara cermat, sehingga
dapat terjalin kerjasama yang baik [ CITATION Dep11 \l 1033 ].
d. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dengan menggunakan strategi ini berupa
kebijakan dan peraturan-peraturan yang mendukung untuk
mempengaruhi terciptanya perilaku hidup bersih dan sehat serta
adanya sumber dukungan dari aspek lain
2.1.19 Strategi Promosi Kesehatan: Social Support dan Enpowerment 
  Proses belajar akan terlaksana dengan baik jika klien mengalami
perubahan tingkat pengetahuan, kesadaran maupun perilaku. Strategi-
strategi yang dibahas biasanya meliputi belajar-mengajar, pemecahan
masalah, penggunaan diri secara terapeutik, kepedulian, manajemen stres,
modifikasi pelaku, membuat kontrak, proses kelompok dan prinsip-prinsip
praktik keperawatan. Terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan untuk
melakukan perubahan tersebut pada klien yaitu empiric-rational change,
normative-reeducative, dan power-coersive (Allender, Rector, & Warner,
2014). Selain itu, menurut WHO (1994) dan DepKes RI (2007) terdapat
beberapa strategi dalam promosi kesehatan, yaitu:
a. Bina Suasana (Social Support). Strategi ini dilakukan untuk mencari
dukungan sosial melalui tokoh masyarakat, baik tokoh masyarakat
formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini
adalah para tokoh masyarakat, dapat menjadi jembatan antara sektor
kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan
masyarakat sebagai penerima program kesehatan. 
b. Pemberdayaan adalah kegiatan yang melibatkan masyarakat berupa
kegiatan dari, oleh, dan untuk masyarakat dalam mengenali masalah
kesehatan mereka sendiri serta bersedia untuk memelihara,

37
meningkatkan, dan melindungi kesehatannya masing-masing (Efendi
& Makhfudli, 2009). Tujuan umum dalam gerakan pemberdayaan
masyarakat ini adalah masyarakat mampu mengenali, memelihara,
melindungi dan meningkatkan kualitas kesehatannya termasuk
apabila mereka sakit, mereka dapat memperoleh pelayanan
kesehatan tanpa mengalami kesulitan terutama dalam biaya. Sasaran
dan pelaku dalam gerakan pemberdayaan masyarakat ditujukan pada
masyarakat langsung sebagai sasaran primer. Prinsip dalam gerakan
pemberdayaan masyarakat ini berupa menumbuhkembangkan
potensi masyarakat, menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam
upaya kesehatan, mengembangkan kegiatan yang melibatkan
kebersamaan antar-masyarakat, kerjasama masyarakat, promosi
pendidikan dan pelatihan dengan pemanfaatan potensi setempat,
upaya yang dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak dan
sesuai dengan keadaan atau budaya setempat. Selain prinsip dalam
gerakan pemberdayaan masyarakat, adapula bentuk dari gerakan
pemberdayaan masyarakat, yaitu community leader, community
organizations, community fund, community material, community
knowledge, community technology, dan community decision making.
Dalam gerakan pemberdayaan masyarakat dibutuhkan peran dari
dinas kesehatan dalam kota maupun kabupaten yang berupa
pengkajian dalam membantu memahami permasalahan kesehatan di
wilayah tersebut, pemberi arah terkait tujuan dan sasaran dari
kegiatan yang akan dilakukan, memberikan bimbingan dan bantuan
teknis yang sesuai dengan keperluan serta memberikan dukungan
moral, memberikan dukungan sumber daya manusia dan memantau
perkembangan masalah kesehatan yang dialami. Indikator
keberhasilan terhadap strategi gerakan pemberdayaan masyarakat
terdiri dari indikator input, indikator proses dan indikator
output (Maulana, 2009). 
2.1.20 Tahapan dan Intervensi Promosi Kesehatan

38
Pemberian promosi kesehatan dapat dilakukan untuk berbagai
macam klien, seperti individu, keluarga, dan masyarakat. Terdapat beberapa
tahapan yang harus dilakukan perawat untuk memberikan promosi
kesehatan kepada klien. Tahapan promosi kesehatan adalah langkah-langkah
yang dapat dilakukan oleh perawat untuk memberi edukasi kesehatan
kepada klien mulai dari kegiatan mengkaji beberapa aspek klien seperti
identitas klien, kebutuhan belajar hingga mengevaluasi kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan (Potter & Perry, 2009). Tahapan
pemberian promosi kesehatan dibagi menjadi 5 langkah, yaitu tahap
pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Kozier,
2012).
1. Pengkajian
Tahap pertama dalam promosi kesehatan adalah mengkaji tentang
apa yang dibutuhkan oleh klien untuk mencapai tujuan hidup sehat.
Pengkajian bertujuan untuk menentukan kebutuhan dan masalah
kesehatan klien. Berikut adalah beberapa hal yang harus dikaji sesuai
dengan jenis klien.
a. Pengkajian pada klien: individu
1) Riwayat keperawatan
2) Identitas klien
3) Pemeriksaan fisik
4) Gaya hidup
5) Risiko kesehatan
6) Budaya dan spiritual klien
7) Tekanan hidup
b. Pengkajian pada klien: keuarga
1) Identitas anggota keluarga (jumlah anggota keluarga, agama,
usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, penghasilan, dll)
2) Lingkungan tempat tinggal keluarga
3) Suku atau budaya klien
4) Nilai dan norma keluarga
5) Riwayat kesehatan anggota keluarga

39
6) Pengkajian fisik anggota keluarga
c. Pengkajian pada klien: masyarakat
Berikut adalah hal apa saja yang perlu dikaji dimasyakarakat
sebelum memberikan promosi kesehatan menurut E.T. Anderson dan J.
McFarlane (2007) dalam Kozier, B., Erb., A.J. & Snyder (2012):

Hal yang Keterangan


dikaji

Lingkungan Mempertimbangkan batas-batas alam dan kepadatan


fisik penduduk, tempat tinggal, dan kejadian kejahatan yang
terjadi

Pendidikan Pertimbangkan fasilitas pendidikan baik dari segi kualitas


maupun kuantitas

Keselamatan Pertimbangkan pelayanan keamanan seperti polisi,


dan tranportasi pertimbangkan sanitasi air dan sumber air, kualitas udara,
layanan pembungan sampah, dan ketersediaan dan kemanan
transportasi umum serta ketersediaan ambulan

Kesehatan dan Pertimbangkan pelayanan kesehatan yang tersedia, jumlah


jasa social kejadian sakit akibat berbagai penyakit, jumlah kematian,
jumlah ibu hamil, bayi, dan balita, cakupan upaya
kesehatan, dan jumlah kader kesehatan

Komunikasi Petimbangkan alat dan media komunikasi yang digunakan,


seperti Koran lokal, radio, TV, akses internet, forum public,
ataupun papan bulletin informal

Ekonomi Pertimbangkan presentase penduduk yang bekerja dan atau


bersekolah, tingkat pendapatan, program kesehatan kerja,
dan industry yang tersedia

Rekreasi Pertimbangkan fasilitas rekreasi di masyarakat

40
Informasi yang terkandung pada kegiatan pengkajian ini merupakan
dasar untuk menetapkan proses asuhan keperawatan yang harus dilakukan
selanjutnya (Kozier, 2012).
2. Diagnosis
Pada tahap ini, perawat menetapkan masalah keperawatan pada klien
berdasarkan hasil dari pengkaijan yang sudah dianalisa. Diagnosis
keperawatan yang berkaitan dengan promosi kesehatan adalah
diagnosis sejahtera. Tujuan dari diagnosis tersebut adalah meningkatkan
kesejarhteraan klien tanpa menunjukan adanya masalah. Contoh
diagnosis sejahtera seperti, keseiapan meningkatkan kesejahteraan
spiritual, kesiapan meningkatkan koping, kesiapan meningkatkan
pengetahuan.
3. Perencanaan
Tahap perencanaan penting untuk memastikan bahwa promosi
kesehatan yang dilakukan benar-benar terfokus pada kebutuhan belajar
klien yang sesuai dengan tujuan/goal yang ditetapkan. Hal-hal yang
perlu diidentifikasi pada proses perencanaan ialah: Menetapkan tujuan,
kebutuhan dan prioritas pembelajaran klien, menetapkan domain yang
dituju pada klien, metode/strategi yang akan digunakan, menyiapkan
bahan/materi pembelajaran, waktu dan tempat pemberian promosi
kesehatan, serta media dan alat yang dibutuhkan dalam kegiatan
pembelajaran klien. Lalu, berikut adalah langkah-langkah penyusunan
perencanaan pada promosi kesehatan:
1) Mengidentifikasi tujuan kesehatan dan perubahan perilaku: klien
memilih prioritas kesehatannya
2) Mengidentifikasi perilaku klien terhadap kesehatan
3) Menyusun rencana perubahan perilaku: dikaji ketidakkonsistensian
klien terhadap perilaku
4) Mengulang pertanyaan tentang manfaat perubahan: untuk
menjadikan klien termotivasi dalam perubahan kesehatan
5) Membahas pendukung dan kendala lingkungan: meningkatkan
motivasi positif

41
6) Menentukan kerangka waktu untuk implementasi
7) Komitmen terhadap tujuan perubahan perilaku: secara verbal
dengan kontrak tertulis
4. Implementasi
Pada tahap ini, perawat menjalankan perencanaan yang telah
disusun. Dibutuhkan peran klien untuk mencapai tujuan dari promosi
kesehatan tersebut. Tanggung jawab klien harus diselesaikan untuk
mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan. Pada jenis klien
masyarakat, promosi kesehatan dilakukan dengan pemberdayaan
keluarga melalui dasawisma, yang didukung oleh bina suasana.
Pemberdayaan ini melalui individu yang datang berkunjung ke fasilitas
kesehatan masyarakat seperti posyandu ataupun kader yang berkunjung
ke lingkungan RT. Sedangkan bina suasana dapat dilakukan dengan
memanfaatkan media masa yang tepat untuk masyarakat, misalnya
koran online, spanduk, dll (Kemenkes RI, 2014).
5. Evaluasi
Tahap evaluasi pada kegiatan promosi kesehatan sama dengan tahap
evaluasi pada proses keperawatan pada umumnya. Hal yang harus
diperhatikan pada tahap ini ialah standar yang ditetapkan dari tujuan
dan hasil, yang kemudian dijadikan pedoman evaluasi pada kegiatan
promosi kesehatan. Evaluasi yang dilakukan meliputi tiga evalusi, yaitu
evaluasi proses, evaluasi dampak, dan evaluasi hasil. Pada evalusi
proses dilihat faktor yang mempengaruhi promosi kesehatan seperti
faktor pedisposisi. Evaluasi dampak melihat dampak yang ditimbulkan
setelah dilaksanakan promosi kesehatan baik dari perilaku dan
kebiasaan masyarakat maupun lingkungan. Terakhir, evaluasi hasil
akan terlihat kulitas hidup pada klien (Maulana, H. D. J. 2007).

2.1.21 Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan


Peran perawat dalam praktik profesi memiliki beberapa elemen
diantaranya adalah kordinator, kolaborator, pembaharu, peneliti, advokat,
konsultan, pendidik, pelaksana, konselor, komunikator dan fasilitator

42
(Allender, Rector, & Warner, 2014). Tujuan dari elemen ini yaitu
memandirikan klien seoptimal mungkin dengan mencakup aspek fisik,
psikologik, sosial – cultural dan spiritual. Upaya ini tidak hanya tentang
masyarakat luas, namun juga dapat dilakukan untuk perorangan, keluarga
kemudian komunitas. Pada bagian ini, secara spesifik, perawat komunitaslah
yang memegang peranan. Perawat komunitas mengintegrasikan keterlibatan
komunitas dan pengetahuan tentang keseluruhan populasi dengan
pengalaman  personal dan klinis di dalam populasi tersebut.

a. Peran perawat sebagai koordinator

Perawat komunitas memiliki peran dalam mengatur pelayanan


kesehatan. Sebagai kordinator perawat mengkaji  arah administrasi yang
menuju pada pencapaian tujuan spesifik dari hasil assessment kebutuhan
klien, merencanakan dan mengatur kebutuhan klien, mengarahkan dan
memimpin agar tujuan tersebut dapat tercapai, terakhir, mengontrol dan
mengevaluasi progress untuk meyakini bahwa target telah tercapai. Selain
itu juga perawat berfungsi sebagai kordinator ketika mengawasi perawatan
klien, mengawasi tenaga kesehatan lain yang mendukung kesembuhan
klien, menjalankan praktik klinis atau melakukan assessment untuk
kebutuhan kesehatan masyarakat.

Dalam setiap contoh, perawat terlibat dalam empat fungsi dasar yang
membentuk proses manajemen. Proses manajemen, seperti proses
keperawatan, menggabungkan serangkaian kegiatan pemecahan masalah
atau fungsi: perencanaan, pengorganisasian, memimpin, dan mengendalikan
dan mengevaluasi. Kegiatan ini sekuensial, namun juga terjadi secara
bersamaan untuk mengelola tujuan layanan (Cherry & Jacob, 2011). Sambil
melakukan fungsi-fungsi ini, perawat kesehatan masyarakat paling sering
adalah manajer partisipatif; yaitu, mereka berpartisipasi dengan klien,
profesional lain, atau keduanya untuk merencanakan dan melaksanakan jasa.

Perawat komunitas jarang praktik sendirian. Mereka harus bekerja


dengan banyak orang, termasuk klien, perawat lainnya, dokter, guru,

43
pendidik kesehatan, pekerja sosial, terapis fisik, ahli gizi, terapis okupasi,
psikolog, ahli epidemiologi, biostatistik, pengacara, sekretaris, ahli
kesehatan lingkungan , perencana kota, dan anggota legislatif. Sebagai
anggota tim kesehatan, perawat komunitas berperan sebagai kolaborator,
yang berarti bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam usaha bersama,
bekerja sama sebagai mitra. Praktik kesehatan masyarakat yang sukses
tergantung pada ini multidisiplin kolegialitas dan kepemimpinan (Clark-
McMullen, 2010; Powell, Gilliss, Hewitt, & Flint, 2010).

b. Peran perawat sebagai kolaborator

Semua orang di tim memiliki kontribusi penting dan unik untuk


membuat untuk upaya pelayanan kesehatan. Seperti pada tim sepak bola,
semua anggota memainkan posisi masing-masing dan bekerja sama dengan
anggota lain. Hal ini juga berlaku pada tim tenaga kesehatan. Perawat
komunitas memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi, dalam
menafsirkan kontribusi yang unik perawat ke tim, dan dalam bertindak tegas
sebagai mitra sejajar. Peran kolaborator mungkin juga melibatkan berfungsi
sebagai konsultan. Contoh berikut ini menunjukkan seorang perawat
komunitas berfungsi sebagai kolaborator.

Tiga keluarga diperlukan untuk menemukan rumah jompo yang baik


bagi kakek mereka. Perawat kesehatan masyarakat bertemu dengan
keluarga, termasuk anggota tua; membuat daftar fitur yang diinginkan,
seperti mandi dan akses ke berjalan jalan; dan kemudian bekerja dengan
pekerja sosial untuk mencari dan mengunjungi beberapa rumah. Dokter
masing-kakek-nenek 'dihubungi untuk konsultasi medis, dan dalam setiap
kasus, anggota lansia dilakukan seleksi akhir. Dalam situasi lain, perawat
komunitas  bekerja sama dengan dewan kota, kepolisian, warga lingkungan,
dan manajer gedung tinggi apartemen warga senior’ untuk membantu
sekelompok orang tua mengatur dan lobi untuk jalan-jalan yang lebih aman.
Dalam contoh ketiga, perawat sekolah melihat kenaikan dalam kejadian
penggunaan narkoba di sekolah nya. Dia memulai program konseling

44
setelah perencanaan bersama dengan siswa, orang tua, guru, psikolog
sekolah, dan satu rehabilitasi obat lokal.

c. Peran perawat sebagai edukator

Peran sebagai edukator merupakan salah satu peran penting yang


dimiliki oleh perawat komunitas (Allender, Rector, Warner, 2014). Perawat
sebagai pendidik memiliki tujuan untuk melakukan promosi kesehatan.
Penggabungan konten yang spesifik kedalam disiplin ilmu keperawatan,
pengetahuan dari teori edukasi dan model perilaku sehat dapat
memungkinkan pendekatan yang terintegrasi untuk membentuk perilaku
sehat pada peserta didik (klien) (Bastable, 2008). Beberapa peran perawat
sebagai edukator mencakup fasilitator perubahan, kontraktor, organisator,
dan evaluator. Pada lembar tugas ini akan dibahas peran perawat sebagai
fasilitator serta evaluator.

Peran perawat komunitas sebagai fasilitator menyatukan berbagai


macam orang dan kelompok untuk membicarakan mengenai isu dan
kebutuhan yang dipelukan. Peran sebagai fasilitator yang paling signifikan
melibatkan membantu masyarakat dan kelompok dengan berbagi pandangan
untuk mencapai suatu kesepakatan agar mereka dapat menemukan titik
tengah untuk menyelesaikan permasalahan serta membawa perubahan
positif dan meredakan permasalahan kesehatan spesifik pada komunitas
(Lundy & Janes, 2009).

Perawat sebagai edukator disaat yang bersamaan berperan juga sebagai


fasilitator perubahan. Ketika pembelajaran dipandang sebagai sebuah bentuk
intervensi, maka pembelajaran perlu dipertimbangkan seperti dalam konteks
intervensi keperawatan lainnya yang dapat mempengaruhi perubahan
(Bastable, 2008). DeTornay dan Thompsn (1987) dalam Bastable (2008)
mengemukakan bahwa penjelasan, analisis, pembagian keterampilan yang
kompleks, demonstrasi, praktik, pengajuan pertanyaan, dan pemberian
kesimpulan merupakan cara yang efektif dalam memfasilitasi perubahan di
dalam situasi pembelajaran.

45
Program pendidikan, layaknya proyek perawatan kesehatan lain harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada peserta didik maupun konsumen.
Pengetahuan yang menyeluruh akan persyaratan rumah sakit, tenaga
profesional, serta tenaga kesehatan dapat membantu untuk mengidentifikasi
kemungkinan kebutuhan belajar staff sebagai peserta didik. Perawat sebagai
edukator perlu memantau penatalaksaan peraturan baru yang diterapkan
serta perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar institusi berkaitan
dengan pemberian asuhan keperawatan. Penerapan pembelajaran yang dapat
meningkatkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok, atau komunitas
menjadi ukuran evaluatif dari pembelajaran (Bastable, 2008).

d. Peran perawat sebagai edukator

Peran sebagai edukator merupakan salah satu peran penting yang


dimiliki oleh perawat komunitas (Allender, Rector, Warner, 2014). Perawat
sebagai pendidik memiliki tujuan untuk melakukan promosi kesehatan.
Penggabungan konten yang spesifik kedalam disiplin ilmu keperawatan,
pengetahuan dari teori edukasi dan model perilaku sehat dapat
memungkinkan pendekatan yang terintegrasi untuk membentuk perilaku
sehat pada peserta didik (klien) (Bastable, 2008). Beberapa peran perawat
sebagai edukator mencakup fasilitator perubahan, kontraktor, organisator,
dan evaluator. Pada lembar tugas ini akan dibahas peran perawat sebagai
fasilitator serta evaluator.

Peran perawat komunitas sebagai fasilitator menyatukan berbagai


macam orang dan kelompok untuk membicarakan mengenai isu dan
kebutuhan yang dipelukan. Peran sebagai fasilitator yang paling signifikan
melibatkan membantu masyarakat dan kelompok dengan berbagi pandangan
untuk mencapai suatu kesepakatan agar mereka dapat menemukan titik
tengah untuk menyelesaikan permasalahan serta membawa perubahan
positif dan meredakan permasalahan kesehatan spesifik pada komunitas
(Lundy & Janes, 2009).

46
Perawat sebagai edukator disaat yang bersamaan berperan juga sebagai
fasilitator perubahan. Ketika pembelajaran dipandang sebagai sebuah bentuk
intervensi, maka pembelajaran perlu dipertimbangkan seperti dalam konteks
intervensi keperawatan lainnya yang dapat mempengaruhi perubahan
(Bastable, 2008). DeTornay dan Thompsn (1987) dalam Bastable (2008)
mengemukakan bahwa penjelasan, analisis, pembagian keterampilan yang
kompleks, demonstrasi, praktik, pengajuan pertanyaan, dan pemberian
kesimpulan merupakan cara yang efektif dalam memfasilitasi perubahan di
dalam situasi pembelajaran.

Program pendidikan, layaknya proyek perawatan kesehatan lain harus


dapat dipertanggungjawabkan kepada peserta didik maupun konsumen.
Pengetahuan yang menyeluruh akan persyaratan rumah sakit, tenaga
profesional, serta tenaga kesehatan dapat membantu untuk mengidentifikasi
kemungkinan kebutuhan belajar staff sebagai peserta didik. Perawat sebagai
edukator perlu memantau penatalaksaan peraturan baru yang diterapkan
serta perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar institusi berkaitan
dengan pemberian asuhan keperawatan. Penerapan pembelajaran yang dapat
meningkatkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok, atau komunitas
menjadi ukuran evaluatif dari pembelajaran (Bastable, 2008).

e. Peran perawat sebagai konselor

Peran perawat konselor merupakan perawat sebagai tempat untuk


konsultasi bagi pasien, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai
dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004). Perawat sebagai konselor
mempunyai tujuan membantu klien dalam memilih keputusan yang akan
diambil terhadap penyakit yang dideritanya atau segala permasalahan yang
terkait dengan kesehatan masyarakat. Cara untuk mempermudah didalam
mengambil keputusan klien wajib mempertanyakan langkah – langkah yang
akan diambil terhadap dirinya.

47
Keperibadian serta sikap yang kondesif untuk terciptanya interaksi yang
adekuat antara konselor dengan klien sangat diperlukan didalam
mempermudah melakukan proses pelayanan keperawatan secara
profesional. Perawat konselor menurut Potter & Perry (2013) perlu memiliki
dan memenuhi persyaratan antara lain:

1. Mempunyai minat dan sikap positif terhadap penyakit yang diderita.

2. Memiliki pengetahuan teknis mengenai perjalanan suatu penyakit.

3. Menguasai dasar – dasar teknis konseling.

4. Memiliki keterampilan.

Sikap seorang konselor didalam melakukan pelayanan terhadap kilen


diwaktu terjadinya konseling anrata lain: sabar, ramah, empati dan terbuka,
menghargai pendapat klien, duduk sejajar dan memposisikan dirinya sejajar
dengan klien, menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti,
tidak menilai dan bisa menerima klien apa adanya, mempu membina
hubungan antara konselor dengan klien, dapat menemukan kepercayaan dari
klien yang dibantunya, memberikan informasi yang lengkap dan rasional
kepada klien, menghindari pemberian info yang berlebihan, hanya
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh klien, dan membantu klien
untuk mengerti dan mengingat (Potter & Perry, 2013).

Jadi, dalam promosi kesehatan banyak sekali peran perawat yang harus
dilakukan, diantaranya adalah sebagai edukator dan konselor. Kedua peran
ini sangatlah penting untuk digunakan. Peran perawat sebagai konselor dan
edukator memiliki tujuan dan hambatan masing-masing yang harus
diselesaikan sehingga pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat
sebagai upaya pencegahan penyakit dapat tercapai.

f. Peran perawat sebagai caregiver

Peran perawat yang paling dikenal secara publik adalah pemberi asuhan
atau caregiver. Menjadi seorang caregiver dalam sebuah komunitas, berarti

48
perawat memastikan bahwa pelayanan kesehatan bukan hanya tersedia
secara individual atau keluarga, tetapi juga dalam tingkat kelompok atau
populasi. Asuhan keperawatan tetap dirancang untuk memenuhi kebutuhan
spesifik setiap kliennya, namun, asuhan keperawatan dalam sebuah
kelompok atau populasi memiliki bentuk tersendiri. Dibutuhkan
kemampuan yang berbeda untuk menkaji kebutuhan massa secara kolektif
dan menyalurkannya. Caregiver dalam keperawatan komunitas memiliki
penekanan khusus yang berbeda dari keperawatan dasar. Terdapat 3
penekanan yaitu holism, promosi kesehatan, serta keterampilan tambahan.
Dalam LTM ini, akan difokuskan penjelasan mengenai perawat komunitas
dalam promosi kesehatan.

Seorang perawat menyediakan asuhan keperawatan dalam semua


tahapan fase kesehatan, namun terutama adalah dalam mempromosikan
kesehatan untuk mencegah penyakit. Pelayanan yang efektif seperti mencari
tahu klien yang berisiko memiliki kondisi kesehatan yang buruk bisa
memberikan pelayanan yang preventif.

Perawat dapat mengidentifikasi kelompok masyarakat yang tertarik


untuk memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi dan bekerja sama
dengan mereka untuk mencapai tujuan yang dinginkan serta memiliki
perubahan perilaku (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2011). Contoh dari hal
tersebut adalah, perawat dapat membantu para karyawan sebuah
perkantoran untuk hhidup lebih sehat dengan berhenti merokok. Contoh-
contoh lainnya adalah mengadakan seminar, imunisasi, program
perencanaan keliarga, dan lain-lain.

g. Peran perawat sebagai advokator

Isu mengenai hak klien sangat penting dalam pelayanan kesehatan.


Setiap klien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bijak, adil,
dan manusiawi. Banyak klien terutama yang berasal dari kalangan ekonomi
rendah, klien yang tidak memiliki asuransi kesehatan, klien dengan
keterbatasan bahasa, tidak terpenuhi haknya secara benar dalam pelayanan

49
kesehatan. Hal ini membuat klien menjadi frustasi, bingung, dan tak mampu
koping dengan sistem yang ada. Peran perawat adalah sebagai advokator
hak klien yang mewakili klien agar hak mereka dapat terpenuhi.

Klien membutuhkan seseorang untuk menjelaskan tentang pelayanan


yang akan mereka terima, menerima arahan yang tepat, serta untuk diwakili
di depan agen-agen penyedia kesehatan. Mereka membutuhkan seseorang
untuk memandu mereka dalam sistem pelayanan yang kompleks agar
terpastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi. Hal ini sangat ditekankan
terutama bagi minoritas serta orang-orang yang kurang beruntung (Traeger,
Thompson, Dickson, & Prvencio, 2006)

Terdapat dua tujuan utama dalam advokasi klien. Yang pertama adalah
agar klien memiliki kuasa atas kebutuhan pelayanan kesehatan dirinya.
Sampai klien dapat mencari informasi yang ia butuhkan dan mengakses
pelayanan kesehatan dan sosial yang tepat, perawat harus berperan sebagai
advokator kepada klien dengan menunjukkan kepada mereka pelayanan apa
yang tersedia, untuk siapa pelayanan tersebut tersedia, dan bagaimana agar
dapat mengakses pelayanan tersebut. Tujuan kedua adalah agar sistem
pelayanan kesehatan bisa lebih responsif serta relevan dalam menunjang
kebutuhan klien. Hal ini bisa dicapai dengan membuat perubahan dalam
pelayanan kesehatan yang buruk, sulit diakses, serta tidak adil.

h. Peran perawat sebagai pembawa perubahan

Marriner torney (2009) mendiskripsi bahwa pembawa perubahan adalah


seseorang yang mengidentifikasikan masalah, mengkaji motifasi dan
kemampuan klien untuk berubah menunjukkan alternatif, menggali
kemungkinan hasil dari alternatif, mengkaji sumber daya menunjukkan
peran pembantu, membina dan mempertahankan hubungan membantu
selama fase dari proses perubahan membina dan mempertahankan
hubungan pembantu, membantu selama proses perubahan serta
membimbing klien melalui fase-fase ini. Peningkatan dan perubahan adalah
komponen inti dari keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan

50
perawat membantu klien untuk merencanakan melaksanakan, dan menjaga
perubahan seperti pengetahuan keterampilan, perasaan, dan perilaku yang
dapat meningkatkan kesehatan klien tersebut.
Istilah pembaharuan juga dapat diartikan sama dengan kata inovasi
(innovation) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia memgartikan istilah
inovasi sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal baru atau sebagai
penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada yang sudah dikenal
sebelumnya gagasan, metode, atau alat.
Dari penjelasan yang terdapat dalam kamus diatas, secara harfiah
istilah pembaharuan dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama,
pembaharuan diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara untuk
memperbaharui sesuatu. Kedua, pembaharuan (inovasi) dapat diartikan
sebagai sesuatu penemuan hal baru gagasan, metode, alat, atau yang lainnya
yang berbeda dari yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya.
Selain peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan, terdapat
pembagian peran perawat menurut hasil lokakarya keperawatan Tahun 1983
yang membagi menjadi empat peran diantaranya peran perawat sebagai
pelaksana pelayanan keperawatan, peran perawat sebagai pengelola
pelayanan dan institusi keperawatan, peran perawat sebagai pendidik dalam
keperawatan serta peran peran perawat sebagai peneliti dan pengembang
pelayanan keperawatan
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerja sama pembaharu yang sistematis, dan terarah sesuai
dengan metode pemperian pelayanan keperawatan Seorang perawat di
harapkan dapat menjadi pembaharu dalam ilmu keperawatan karena ia
memiliki kreativitas, inisiatif, dan cepat tanggap terhadap rangsangan dari
lingkungannya. Kegiatan ini dapat di peroleh melalui kegiatan riset atau
penelitian.
Penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur
kemampuan menilai, dan mempertimbangkan sejauh mana efektivitas
tindakan yang telah di berikan. Kebutuhan dasar manusia terdiri dari
kenutuhan biologis, fisikologis sosial dan spritual pada masa yang akan

51
datang, di harapkan seluruh perawat memiliki pemahaman yang sama
tentang hakikat keperawatan makna keperwatan sebagai profesi praktik
keperawatan profesional serta peran dan fungsi perawat profesional.
Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama,
perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan. Biasanya dilakukan oleh perawat dalam level
struktural.
Peran perawat sebagai pembaharu sangat diperlukan, karena perawat
sebagai pembaharu merupakan jalan agar perawat membuat pembaharuan
dalam pelayanan kesehatan keperawatan karena syarat yang harus di miliki
perawat sebagai pembaharu ialah harus memiliki kreativitas, inisiatif, dan
cepat tanggap terhadap rangsangan dari lingkungannya. Kegiatan ini dapat
di peroleh melalui kegiatan riset atau penelitian. Penelitian pada hakekatnya
adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan menilai, dan
mempertimbangkan sejauh mana evektivitas tindakan yang telah di berikan.
Kebutuhan dasar manusia terdiri dari kenutuhan biologis, fisikologis sosial
dan spritual pada masa yang akan datang, di harapkan seluruh perawat
memiliki pemahaman yang sama tentang hakikat keperawatan makna
keperwatan sebagai profesi praktik keperawatan profesional serta peran dan
fungsi perawat profesional dapat berjalan dengan baik.

2.3 MEDIA LEAFLET


2.3.1 Pengertian Leaflet

Selebaran atau leaflet adalah Lembaran kertas berukuran kecil


mengandung pesan tercetak untuk disebarkan kepada umum sebagai
informasi mengenai suatu hal atau peristiwa. (Sumber : Kamus
Komunikasi,Drs. Onong Uchjana Effendy, MA). Leaflet merupakan
selembar kertas yang berisi tulisan cetak tentang sesuatu masalah khusus
untuk suatu sasaran dan tujuan tertentu dengan kalimat-kalimat yang
singkat, padat, mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana.
Ukuran leaflet biasanya 20 x 30 cm, berisi tulisan 200 – 400 kata. Biasanya
terdiri dari satu lembar saja dengan cetakan dua muka. Namun yang khas

52
dari leaflet adalah adanya lipatan yang membentuk beberapa bagian leaflet
seolah-olah merupakan panel atau halaman tersendiri. Dari pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa leaflet adalah selebaran tercetak dengan
ukuran kecil yang dilipat, berisikan informasi yang disebarkan kepada
umum secara gratis.
Kualitas cetakan leaflet biasanya bagus, dibuat dengan desain yang
menarik, dan berisi informasi yang lengkap baik berupa gambar maupun
tulisan. Karena bentuknya lipatan, pembuatan leaflet biasanya
memperhatikan sisi psikologi orang membuka leaflet, sehingga desainnya
pun dibuat untuk memudahkan orang menerima informasi yang ada pada
leaflet tanpa terlalu banyak membolak-balik leaflet. Leaflet digunakan untuk
bermacam hal misalnya mengenalkan produk, sebagai katalog mini atau
booklet mini, profil perusahaan, dan lain sebagainya. Leaflet digunakan
untuk memberikan keterangan singkat tentang suatu masalah, misalnya
deskripsi pengolahan air di tingkat rumah tangga, deskripsi tentang diare
dan penecegahannya, dan lainlain.Leaflet dapat diberikan atau disebarkan
pada saat pertemuan-pertemuan dilakukan seperti pertemuan FGD,
pertemuan Posyandu, kunjungan rumah, dan lain-lain. Leaflet dapat dibuat
sendiri dengan perbanyakan sederhana seperti di photocopy.

2.2.2 Ciri-Ciri Leaflet


1. Dilihat dari bentuk leaflet
a. Lembaran kertas berukuran kecil yang dicetak.
b. Dilipat maupun tidak dilipat.
c. Tulisan terdiri dari 200 ± 400 huruf dengan diselingi gambar- 
gambar.
d. ukuran biasanya 20 ± 30 cm.
2. Dilihat dari isi pesan
a. Pesan sebagai informasi yang mengandung peristiwa.
b. Bertujuan untuk promosi.
c. Isi leaflet harus dapat dibaca sekali pandang.
2.2.3 Syarat Pembuatan leaflet

53
1. Menggunakan bahasan sederhana dan mudah dimengerti oleh
pembacanya
2. Judul yang digunakan harus menarik untuk dibaca
3. Jangan banyak tulisan, sebaiknya dikombinasikan antara tulisan
dan gambar
4. Materi harus sesuai dengan target sasaran yang dituju.
2.2.4 Yang Harus Diperhatikan Dalam Membuat Leaflet
a. Tentukan kelompok sasaran yang ingin dicapai
b. Tuliskan apa tujuannya
c. Tentukan isi singkat hal-hal yang mau ditulis dalam leaflet.
d. Kumpulkan tentang subyek yang akan disampaikan
e. Buat garis-garis besar cara penyajian pesan, termasuk
didalamnya bagaimana bentuk tulisangambar serta tata letaknya
f. Buatkan konsepnya
g. Konsep dites terlebih dahulu pada kelompok sasaran yang
hamper sama dengan kelompok sasaran
h. Perbaiki konsep dan buat ilustrasi yang sesuai dengan isi
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Leaflets
1. Kelebihan
a. Dapat disimpan lama
b. Sebagai reverensi
c. Jangkauan dapat jauhMembantu media lain
d. Isi dapat dicetak kembali
e. Dapat sebagai bahan diskusi
2. Kekurangan
a. Bila cetakan kurang menarik orang enggan menyimpannya
b. Pada umumnya orang tidak mau membaca karena hurufnya
terlalu kecil
c. Tidak bisa digunakan oleh sasaran yangf buta huruf

54
GAMBAR LEAFLET

55
56
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk


menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh
komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronik dan media luar luar
ruang, sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang akhirnya
diharapkan dapat berubah perilakunya ke arah positif terhadap
kesehatannya.

Selebaran atau leaflet adalah Lembaran kertas berukuran kecil


mengandung pesan tercetak untuk disebarkan kepada umum sebagai
informasi mengenai suatu hal atau peristiwa.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan dalam melaksanakan promosi


kesehatan dan penulis berharap makalah ini mendapatkan kritik yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

57
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kholid. (2014). Promosi kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo.


Alhamda, S. (2015). Buku Ajar Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta:
Deepublish.

ANA. (2010). Nursing’s social policy statement: the essence of the


profession.
Washington: Nursesbooks.org.

Ayubi, D. (2006). Universitas Indonesia. Retrieved from Universitas


Indonesia:
staff.ui.ac.id/system/files/users/dian.../05promkespadatatanan.ppt
Black, J., M., & Hawks, J., K. (2009) . Keperawatan medical bedah. (Terj.
Rizal Ashari). Jakarta: Salemba Medika.

Barker, S. (2007). Vital notes for nurses: psychology. Hoboken: Blackwell


Publishing Ltd.
Beryl, L., & Mulroy, J. (2004). A Partnership Model for Public Health:
Five Variables for Productive Collaboration. Retrieved from
http://www.coregroup.org/about/Partnership_model.pdf on October
31, 2016.

Buse, Kent, Mays, Nicholas, and Walt, Gill. (2005). Making health policy
2nd edition. USA: McGraw-Hill
Canadian Public Health Association. (2010). Public Health - Community
Health Nursing Practice in Canda, Roles and Activities. Ottawa:
Canadian Public Health Association.
Christensen, P. J., & Kenney, J. W. (1996). Nursing process: Application of
conceptual models. USA: Mosby-Year Book, Inc.
DeLaune, S. C., dan Ladner, P. K. (2011). Fundamentals of nursing:
Standards and practices, 4th ed. Delmar Cengage Learning.

Daniel Mengistu, Equlinet Misganaw . (2006). Community Health Nursing .


Ethiopia: Ethiopia Public Health Training Initiative, The Carter

58
Center, the Ethiopia Ministry of Health, and the Ethiopia Ministry of
Education.
Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan, (2008). Panduan
pelatihan komunikasi perubahan perilaku, untuk KIBBLA, Jakarta:
Depkes RI
Departemen Kesehatan RI, (2008). Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman
Pengelolaan Promosi Kesehatan, dalam Pencapaian PHB. Jakarta.

59

Anda mungkin juga menyukai