Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL MASA NIFAS

DAN KEGAWATDARURATAN IBU NIFAS DENGAN


PUERPERIUM, MASTITIS

DI SUSUN OLEH KELOMPOK III :

1. AINUN DISYA JULIANTI ( 220602101 )


2. AVIN PIRASTI SISKASA ( 220602112 )
3. ENI NURMANINGSIH ( 220602104 )
4. HASNAWATI ( 220602107 )
5. NURHAYATI NASUTION ( 220602 )
6. RIA FITRIANI ( 220602111 )
7. RINA SAPRIANI ( 220602108 )
8. ROZA NELY ( 220602 )
9. SRI GUSTINAWATI ( 220602109 )
10. DIWIL SARTIKA BUULOLO

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AL-INSYIRAH


PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
PEKANBARU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan Syukur tim penulis panjatkan Kehadirat Allah Ta’ala atas Limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Asuhan Kegawatdaruratan
Maternal Masa Nifas Dan Kegawatdaruratan Ibu Nifas Dengan Puerperium, Mastitis
” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
pada kehamilan lanjut, Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah
SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber
yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada Dosen Pengampu kami yaitu Ibu Yesi Septina Wati, SST,
M.Kes dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam
berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan
saran yang membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,
atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami
mohon maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca
agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Pekanbaru, 19 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB I PENDAHAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Preeklampsia Eklampsia 4
2.1.1 Pengertian Preeklampsia Eklampsia 4
2.1.2 Patofisologi Preeklampsia Eklampsia 5
2.1.3 Klarifikasi Preeklampsia Eklampsia 9
2.1.4 Diagnosis Preeklampsia Eklampsia 9
2.1.5 Penyebab Preeklampsia Eklampsia 10
2.1.6 Cara Mendeteksi Preeklampsia Eklampsia 11
2.1.7 Tanda dan Gejala Preeklampsia Eklampsia 12
2.1.8 Menentukan Data Subjektif dan Objektif Preeklampsia Eklampsia 13
2.1.9 Penatalaksanaan Preeklampsia Eklampsia 19
2.2 Mastitis Pada Ibu Nifas 22
2.2.1 Pengertian Mastitis 22
2.2.2 Etiologi 23
2.2.3 Tanda dan Gejala 23
2.2.4 Komplikasi 24
2.2.5 Penatalaksanaan 25
2.2.6 Asuhan Pada Ibu Nifas Dengan Mastitis 28
2.2.7 Penatalaksanaan Menurut Teori 31

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 34
3.2 Saran 35

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1 Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihatderajat
kesehatan perempuan. AKI merupakan salah satu target yang telahditentukan dalam
tujuan pembangunan millennium yaitu tujuan ke 5,meningkatkan kesehatan ibu dimana
target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah
kematian ibu. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai
dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelahm
inggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul
pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilanganda, diabetes
mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam
kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif padasir
kulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus
berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap
solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin
terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinataldiakibatkan
kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi
berat, kejang grand mal, dan kerusakan organ lainnya.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia penyebab kematian ibu tertinggi pada tahun
2013 adalah perdarahan, Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), infeksi, partus
lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia didominasi oleh tiga penyebab
utama yaitu perdarahan, Hipertensi Dalam Kehamilan (Preeklamsia) dan
infeksi.Proporsi ketiga penyebab kematian ibu telah berubah, dimana perdarahan dan
infeksi cenderung mengalami penurunan, sedangkan proporsi Preeklamsi semakin
meningkat.Lebih dari 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh
Hipertensi Dalam Kehamilan (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Sutanto,
2018). Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai
dengan 6 minggu atau 42 hari setelah itu (Sutanto, 2018) Pada masa nifas terjadi
perubahan-perubahan psikis ataupun fisik baik primipara maupun multipara. Primipara

1
adalah seorang wanita yang pernah sekali melahirkan janin yang mencapai viabilitas
(Arma et al., 2015). Salah satu perubahan yang terjadi pada ibu nifas adalah perubahan
pada payudara (Sutanto, 2018). Payudara merupakan kelenjar yang terdapat di bawah
kulit dan di atas otot dada yang berfungsi untuk menyusui (Sutanto, 2018).
Dampak negatif yang terjadi apabila tidak melakukan perawatan payudara adalah
timbulnya masalah payudara dalam menyusui pada ibu postpartum seperti puting susu
terbenam, bendungan ASI dan mastitis (Ambarwati & Wulandari, 2010).
The American Society memperkirakan 241.240 wanita Amerika Serikat mengalami
masalah payudara karena payudara yang kurang bersih, sedangkan 3 jumlah wanita
yang mengalami masalah dengan kebersihan payudara di Kanada sebanyak 24.600
orang dan di Australia sebanyak 14.791 orang (Anasari & Sumarni, 2014). Perkiraan
jumlah ibu yang mengalami masalah dengan kebersihan payudara di Indonesia
diperkirakan berjumlah 876.655 orang (Prawita & Salima, 2018). Menurut data WHO
(2015), terjadi peningkatan prevalensi ibu nifas yang mengalami bendungan ASI dari
tahun 2014 hingga 2015 yaitu sebanyak 7198 di tahun 2014 meningkat menjadi 8242
ibu.
Menurut data ASEAN tahun 2015 disimpulkan bahwa prevalensi ibu nifas yang
mengalami bendungan ASI yaitu tercatat sebanyak 76.543 ibu, hal tersebut diakibatkan
oleh perawatan payudara yang kurang dan kejadian mastitis sebanyak 55% yang
disebabkan karena perawatan payudara yang tidak benar (Prawita & Salima, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Riau pada tahun 2017 dengan
menggunakan 67 orang responden mendapatkan responden yang mengalami bendungan
ASI adalah sebanyak 47 orang (70,1%), sedangkan responden yang tidak mengalami
bendungan ASI hanya 20 orang (29,9%) (Yanti, 2017) Menurut penelitian yang
dikemukakan oleh Rosyati dan Sari pada tahun 2016 mengenai pengetahuan ibu nifas
tentang perawatan payudara di Jakarta Timur, dikemukakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi perawatan payudara adalah umur ibu, pendidikan, paritas, pekerjaan,
sumber informasi dan pengetahuan ibu (Rosyati & Sari, 2016). Pengetahuan merupakan
hasil dari seseorang yang telah tahu atau mendapatkan informasi setelah orang tersebut
melakukan pengamatan atau penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Novita &
Franciska, 2012).

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil dari masalah yang diuraikan di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah adalah “ Asuhan kegawatdaruratan maternal masa nifas dan kegawatdaruratan
ibu nifas dengan puerperium, mastitis ?”.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Asuhan kegawatdaruratan maternal masa nifas dan
kegawatdaruratan ibu nifas dengan puerperium, mastitis.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana cara mendeteksi preeklampsia dan eklampsia
post partum
b. Untuk menentukan tanda dan gejala adanya preeklampsia dan eklampsia
postpartum

c. Untuk menentukan data subjektif dan obyektif preeklampsia dan eklampsia


postpartum

d. Untuk melakukan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia postpartum

e. Untuk mengetahui kegawatdaruratan ibu nifas dengan puerperium, mastitis

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


2.1.1 Pengertian Preeklampsia
Preeklamsia adalah peningkatan tekanan darah dan kelebihan protein dalam urine
yang terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Bila tidak segera ditangani,
preeklamsia bisa menyebabkan komplikasi yang berbahaya bagi ibu dan janin. Salah
satu faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia adalah usia ibu
hamil yang di bawah 20 tahun atau lebih dari 40 tahun. Kondisi ini perlu segera
ditangani untuk mencegah komplikasi atau berkembang menjadi eklamsia yang
dapat mengancam nyawa ibu hamil dan janin.
Preeklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria
danedema yang ditimbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi
dalamtriwulan ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada
molahidatidosa (prawirohardjo, 2005).
Preeklamsia/eklamsia merupakan komplikasi kehamilan dan persalinan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah, proteinuria dan oedema, yang kadang-
kadang disertai komplikasi sampai koma.Gejala preeklampsia ringan seperti
hipertensi, oedema, dan proteinuria sering tidak diperhatikan, sehingga tanpa
disadari dalam waktu singkat dapat timbul preeklampsia berat, bahkan eklampsia
(Prawirohardjo S, 2014: 532).
Gejala preeklamsia dapat dicegah dan dideteksi secara dini.Pemeriksaan
antenatal yang teratur dan yang secara rutin mencari tanda-tanda preeklamsia, sangat
penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia.Ibu hamil yang
mengalami preeklampsia perlu ditangani dengan segera.Penanganan ini dilakukan
untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak (Prawirohardjo S, 2014: 543).
Eklamsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah
tinggi dan kejang sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kondisi gawat darurat ini bisa
terjadi setelah penderitanya mengalami preeklamsia.
Eklamsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklamsia. Eklamsia umumnya
jarang terjadi, tetapi harus segera ditangani karena dapat membahayakan nyawa ibu

4
hamil dan janinnya. Kondisi ini umumnya terjadi saat usia kehamilan mencapai 20
minggu atau lebih.

2.1.2 Patofisiologi Preeklampsia


Patofisiologi Preeklamsia Hingga saat ini etiologi dan patafisiologi dari
preeklamsia masih belum diketahui dengan pasti.Telah banyak hipotesis yang
diaujukan untuk mencari etiologi dan patofisiologinya dari kasus preeklamsia namun
kini belum memuaskan sehingga preeklamsia sebagai “the diseases of
theories”.Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :
a. Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan berperan dalam
patogenesis preeklamsia.Telah dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian
preeklamsia pada wanita yang dilahirkan dari ibu yang menderita preeklamsia.
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetic pada kejadian preeklamsia
adalah peningkatan Human leukocyte antigine (HLA) pada penderita
preeklamsia.Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitus
antigen HLA-DR4 dan proteinurin hipertensi.Diduga ibu dengan HLA haplotype
A23/29, B 44 dan DR 7, memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan
preeklamsia dan IUGR daripada ibu dengan ibu tanpa haplotype tersebut.
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklamsiaberhubungan dengan gen
resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi preeklamsia pada anak perempuan
yang lahir dengan ibu yang mengalami preeklamsia mengindikasikan adanya
pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklamsia.Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklamsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini
secara jelas belum dapat diterangkan (Yulia Fauziyah, 2012: 19-20).
b. Iskemik plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
myometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi
arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada
tunika media dan jaringan otot polos dinding erteri serta mengganti dinding arteri
dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa
ini proses tersebut telah sampai pada deciduomimetrial junction.
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas dimana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih

5
dalam hingga ke dalam myometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap 23
pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo elastis serta
perubahan material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah
pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang
memungkinkan terjadinya dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan. Pada preeklamsia,
proses presentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena
disebabkan 2 hal yaitu :
1. Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas.
2. Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel
trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga
bagian arteri spiralisyang berada dalam myometrium tetap mempunyai
dinding muskulo elastis yang relatif yang berarti masih terdapat resistensi
vaskuler.
Disamping itu juga terjadi arteriosis akut (lesi seperti atherosclerosis) pada
arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan
mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke
plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta. Pada
preeklamsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi vaskular
disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap
kedua.Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervili yang
menyebabkan penurunan perfusi daerah ke plasenta.Hal ini dapat menimbulkan
iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi
intrauteri (IUGR) hingga kematian bayi (Yulia Fauziyah, 2012: 20-22).
c. Hipoksia pada fetus / plasenta
Hipoksia yang terjadi pada fetus atau plasenta merupakan faktor patogenik
pada preeklamsia. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kekurangan oksigen
24 akan menginduksi vasokontroksi fetoplasenta. Pada manusia, resiko
preeklamsia meningkat pada asma dan individu dengan aktivitas yang tinggi,
karena akan mempengaruhi hipoksia plasenta. Aliran darah uang abnormal di
uterus, dan arkuata merupakan faktor prediktor untuk preeklamsia. Lebih lanjut,
pada kehamilan normal, kebutuhan oksigen meningkat, kurva disosiasi
oxyhaemoglobin akan berubah ke kanan dibandingkan dengan wanita yang tidak

6
hamil. Kebalikan pada pasien preeklamsia, kurva disoasi axyhaemoglobin
bergerak ke kiri.
Hal ini menunjukkan terjadi penurunan oksigen. Hipoksia juga dapat
menginduksi kegagalan fungsi trofoblas. Pada penelitian menggunakan media
kultur menunjukkan bahwa kadar oksigen yang rendah pada media kultur akan
menghambat diferensiasi sitotrofoblas pada awal kehamilan Pada kehamilan
normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan myometrium dalam 2
tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu
dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media dan
jaringan otot polos dinding erteri serta mengganti dinding arteri dengan material
fibrinoid. Proses ini selesai oada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomimetrial junction (Yulia Fauziyah, 2012: 22-
24).
d. Disfungsi Endotel
Saat ini salah satu teori tentang preeklamsia yang sedang berkembang adalah
teori disfungsi endotel.Endotel menghasilkan zat-zat penting yang bersifat
relaksasi pembuluh darah, seperti nitric oxide (NO) dan prostasikin (PGE2)
disfungsi endotel adalah suatu keadaan dimana didapatkan adanya
ketidakseimbangan antara faktor vasodilatasi dan vasokontriksi.Prostakilin
merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang berasal dari
asam arakidonat dimana dalam pembuatannya dikatalisir oleh enzim 25
siklooksigenesis.
Prostasikilin akan meningkatkan Camp intraseluler pada sel otot polos dan
trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.
Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan
bantuan enzim siklooksigenase.Tromboksan memiliki efek vasokonstriktor dan
agregasi trombosit.Prostasiklin tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan
dinding pembuluh darah.Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin
oleh jaringan ibu, plasenta dan janin.Sedangkan pada preeklamsia terjadi
penurunan produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi
peningkatan rasio tromboksan A2 dan prostasiklin. Pada preeklamsia terjadi
kerusakan sel endotel akan mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin
karena endotel merupakan tempat pembentukan prostasiklin dan meningkatnya

7
produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel
tersebut.
Preeklamsia berhubungan dengan adanya vasopasme dan aktivasi system
koagulasi hemostatis. Perubahan aktifitas tromboksan memegang peranan sentral
pada proses ini dimana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara tromboksan dan protasiklin. Kerusakan endotel vaskuler pada preeklamsia
menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregasi
trombosit dan fibrinolysis yang kemudian akan diganti thrombin dan plasmin.
Thrombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin.
Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonim
sehingga akan terjadi vasopasme dan kerusakan endotel (Yulia Fauziyah, 2012:
22-23).
e. Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan adaptasi imunologis sebagai
patofisologi dari preeklamsia.Pada penderita preeklamsia terjadi penurunan 26
proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita normotensi yang dimulai sejak
awal trimester dua. Antribodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50%
wanita dengan preeklamsia, sedangkan pada control hanya terdapat 15%.
Malaadaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang
dimediasi oleh peningkatan pelepasan stoking (TNF- dan IL-I), enzim proteolitik
dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF- dan IL-I berperan dalam stress
oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsia.
Didalam mitokondria, TNF-akan merubah sebagian aliran electron untuk
melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutnya akan membentuk lipid
peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan. Radikal bebas yang
dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal
bebas oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan
membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida ole endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan dimana terjadi
peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin
dari endotel vaskuler. Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang

8
ditujukan untuk mencegah terjadinya over produksi dan kerusakan yang
disebabkan oleh radikal bebas.
Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari
radikal bebas diantaranya vitamin E (tocopherol) vitamin C. zat antioksidan ini
dapat digunakan untuk melawan kerusakan sel akibat pengaruh radikal bebas
pada preeklamsia (Yulia Fauziyah, 2012: 23-24).

2.1.3 Klasifikasi Preeklamsia


Preeklamsia dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
A. Preeklamsia Ringan
Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria setelah umur
kehamilan diatas 20 minggu atau segera persalinan.Tetapi dapat juga timbul
sebelum umur kehamilan 20 minggu (PudiastutiR, D, 2012: 163).
B. Preeklamsia Berat Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah
sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg disertai proteinuria
lebih 5g/24 jam atau ≥ +2 (Marmi, dkk, 2014: 68).

2.1.4 Diagnosis Preeklampsia dan Eklampsia


A. Preeklamsia ringan
a. Tekanan darah ≥140/90 mmHG pada usia kehamilan >20 mgg
b. Tes celup urin menunjukkn proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.
B. Preeklamsia berat
a. Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan> 20 mgg
b. Tes celup urin menunjukkn protein ≥2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkn hasil >5g/24 jam
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
 Trombositopenia (<100.000 sel/uL) , hemolisis mikroangiopati
 Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
 Sakit kepala, skotoma penglihatan
 Pertumbuhan janin terlambat, oligohidromnion
 Edema paru dan/ gagal jantung kongestif
 Oliguria (<500 ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl

9
d. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
 Ibu dengan riwayat hipertensi kronik ( sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu )
 Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada kehamilan > 20 minggu
e. Eklampsia
 Kejang umum dan/ koma
 Ada tanda dan gejala preeklampsia
 Tidak ada kemungkinan penyebab lain ( misalnya epilepsi, perdarahan
subarakhnoid dan meningitis )
( Buku saku pelayanan kesehatan Ibu difasilitas kesehatan dasar dan
ryjukan. Kemenkes 2013)

2.1.5 Penyebab Preeklampsia dan Eklampsia


Penyebab preeklamsia masih belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi
ini diduga terjadi akibat kelainan perkembangan dan fungsi plasenta, yaitu organ
yang berfungsi menyalurkan darah dan nutrisi untuk janin.
Kelainan tersebut menyebabkan pembuluh darah menyempit dan muncul
reaksi yang berbeda dari tubuh ibu hamil terhadap perubahan hormon. Akibatnya,
terjadi gangguan pada ibu hamil dan janin.
Meski penyebabnya belum diketahui, ada beberapa faktor yang diduga
memicu preeklamsia, yaitu:
 Riwayat penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, dan gangguan
darah
 Riwayat preeklamsia sebelumnya
 Riwayat preeklamsia dalam keluarga
 Kehamilan pertama
 Kehamilan selanjutnya setelah jeda kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
 Hamil di usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun
 Mengandung bayi kembar
 Obesitas saat hamil
 Kehamilan yang sedang dijalani merupakan hasil metode bayi tabung (in vitro
fertilization)

10
2.1.6 Cara Mendeteksi Preeklampsia dan Eklampsia Postpartum
Preeklampsia pasca persalinan (postpartum pre-eclampsia) atau tekanan
darah tinggi setelah melahirkan ini bisa terjadi pada wanita memiliki tekanan darah
tinggi dan kelebihan protein dalam urinenya setelah melahirkan. Menangani
preeklampsia setelah melahirkan diperlukan penanganan medis segera karena dapat
membahayakan ibu mengalami komplikasi serius setelah melahirkan.
Dian Burhansah, SpOG, M.Kes, FMAS selaku Dokter Spesialis Kebidanan
dan Kandungan dari Primaya Hospital Bekasi Timur menjelaskan bahwa postpartum
pre-eclampsia merupakan hipertensi yang terjadi dalam waktu 48 jam dan bisa
sampai 6 minggu pasca persalinan disertai gangguan organ. Preeklampsia setelah
melahirkan ini memiliki kriteria tensi ≥ 140/90mmHg dan disertai minimal satu
gejala seperti; protenuria ≥ +1, sakit kepala/penglihatan kabur, edema paru,
peningkatan fungsi hati dan ginjal, trombositopenia, serta gangguan pertumbuhan
janin.
Preeklamsia paling sering terjadi selama kehamilan pertama, meski dapat
terjadi pada kehamilan lainnya. Preeklampsia didiagnosis oleh tekanan darah tinggi
yang berkembang untuk pertama kalinya setelah pertengahan kehamilan atau setelah
melahirkan.
Hal tersebut umumnya berhubungan dengan tingginya kadar protein dalam
urien dan/atau bertambah parahnya penurunan trombosit darah, masalah dengan
ginjal atau hati, cairan di paru-paru, atau tanda-tanda gangguan otak seperti sakit
kepala parah dan/atau gangguan penglihatan. Berikut adalah beberapa pemeriksaan
untuk deteksi preeklamsia:
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk deteksi preeklamsia adalah
tekanan darah. Dokter akan mengukur tekanan darah setiap dilakukan janji temu.
Tekanan dapat bervariasi pada lengan yang berbeda, jadi mintalah pada dokter untuk
menggunakan lengan yang sama setiap kali.
Tekanan darah tinggi (Hipertensi) didefinisikan sebagai tekanan darah
sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik, pada dua kali
pemeriksaan berjarak 4 – 6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi.
Bila ditemukan tekanan darah tinggi ( ≥ 140 / 90 mmHg ) pada ibu hamil,
lakukan pemeriksaan kadar protein urine dengan tes celup urine atau protein urine 24

11
jam dan tentukan diagnosis.(Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas
kesehatan dasar dan rujukan. Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013)

2.1.7 Tanda Gejala Preeklamsia


Gejala utama preeklamsia adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan adanya protein
dalam urine (proteinuria). Gejala tersebut umumnya bisa terdeteksi saat pemeriksaan
kehamilan rutin.
Gejala lain preeklamsia yang umum terjadi adalah:
 Sakit-kepala berat
 Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
 Nyeri di ulu hati atau perut kanan atas
 Pusing dan lemas
 Sesak napas
 Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
 Mual dan muntah
 Bengkak pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain
 Berat badan naik secara tiba-tiba
Gejala utama eklamsia adalah kejang yang terjadi sebelum, selama, atau setelah
persalinan. Eklamsia selalu terjadi setelah preeklamsia. Sementara preeklamsia sendiri
dapat timbul sejak kehamilan mencapai usia 20 minggu.
Preeklamsia ditandai dengan tekanan darah yang lebih dari 140/90 mm Hg, adanya
protein dalam urine, dan dapat disertai dengan pembengkakan di tungkai. Jika tidak
mendapatkan penanganan, preeklamsia bisa menyebabkan eklamsia.
Pada beberapa kasus, bisa terjadi impending eclampsia yang ditandai dengan:
 Tekanan darah makin tinggi
 Sakit kepala yang parah
 Mual dan muntah
 Sakit perut terutama di bagian kanan atas
 Bengkak di tangan dan kaki
 Gangguan penglihatan
 Frekuensi dan jumlah urine berkurang (oligouria)
 Peningkatan kadar protein dalam urine
Jika terus berlanjut, penderitanya dapat mengalami kejang. Kejang ini bisa terjadi
sebelum, selama, atau setelah persalinan.

12
Kejang eklamsia dapat terjadi satu kali atau berulang kali. Namun, ada dua fase kejang
yang bisa terjadi saat mengalami eklamsia, yaitu:
 Fase pertama
Pada fase ini, kejang berlangsung selama 15–20 detik, yang disertai dengan kedutan
di wajah, kemudian terjadi kontraksi otot di seluruh tubuh.
 Fase kedua
Kejang fase kedua berlangsung selama 60 detik, yang dimulai dari rahang,
kemudian menjalar ke otot muka, kelopak mata, dan akhirnya menyebar ke seluruh
tubuh. Pada fase ini, kejang eklamsia menyebabkan otot berkontraksi dan rileks
secara berulang-ulang dalam waktu yang cepat.

2.1.8 Menetukan Data Subjektif dan Objektif Preeklampsia eklampsia


1. Pengkajian
a. Anamnesa: Identitas klien, meliputi: Inisial nama, TTL / Usia, Pendidikan
terakhir, suku, pekerjaan, agama, dan alamat tempat tinggal.
b. Data Riwayat Kesehatan ibu :
1. Riwayat Kesehatan yang sekarang: ibu mengalami sakit kepala didaerah frontal,
terasa sakit di ulu hati/nyeri epigastrium, penglihatan kabur, mual muntah,
anoreksia.
2. Riwayat Kesehatan yang lalu: ibu yang sudah pernah mengalami penyakit
hipertensi sebelumnya saat kehamilan, ibu yang memiliki riwayat preeklamsia
dan eklamsia pada kehamilan terdahulu, sehingga sangat mudah terjadi pada ibu
yang obesitas dan Diabetes Mellitus.
3. Riwayat Kesehatan genetic : preeklamsia pada kehamilan sangat sering terjadi
pada klien primigravida / kehamilan pertama, kehamilan ganda, serta semakin
tuanya usia kehamilan.
4. Psikososial spiritual : preeklamsia juga membuat klien emosi yang tidak stabil
dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moral untuk
menghadapi resikonya.

13
c. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum: pada ibu yang menderita preeklamsia biasanya mengalami
kelelahan
2. Tekanan Darah : Klien ditemukan dengan darah sistol >140 mmHg dan diastol
>90 mmHg.
3. Nadi : Klien preeklamsia mengalami nadi yang meningkat
4. Nafas : Klien preeklamsia mengalami nafas pendek, terdengar nafas berisik dan
ngorok
5. Suhu : Klien preeklamsia biasanya suhu normal
6. BB : terjadi peningkatan berat badan lebih dari 1 kg/minggu atau sebanyak 3
kg/bulan.
7. Kepala : kepala terlihat kurang bersih dan berketombe serta ibu yang
mengalami preeklamsia mengeluh sakit kepala
8. Wajah : klien yang preeklamsia wajahnya tampak bengkak / edema
9. Mata : klien yang preeklamsia mata dengan penglihatan yang kabur dan
konjungtiva anemis
10. Mulut : klien yang preeklamsia mukosa bibirnya lembab dan mulut terjadi
pembengkakan vaskuler 28 pada gusi sehingga bisa mengalami pembengkakan
dan pendarahan.
11. Thorax
a) Paru – paru : klien yang preeklamsia terjadi peningkatan respirasi, nafas
pendek dan edema paru.
b) Jantung : klien yang preeklamsia mengalami dekompensasi jantung
c) Payudara : payudara membesar, lebih keras dan padat, areola menghitam
dan putting menonjol
d) Abdomen : terdapat jahitan sectio caesarea, involusi uterus pada persalinan
dengan SC lembih lambat dari pada persalinan normal (Marmi, 2015).
e) Pemeriksaan janin : klien yang preeklamsia Gerakan janin melemah dan
tidak teraturnya bunyi jantung
f) Ektremitas : oedema jari tangan dan tungkai merupakan gejala dari PEB
(Manuaba, 2013)
g) Genitourinaria : jumlah produksi urine ≤ 500 cc/24 jam merupakan tanda
PEB (Manuaba, 2013)

14
d. Data Penunjang
1. Urine : protein urine pada PEB bersifat (+), kadarprotein urine >5 gr/jam atau
+2 pada pemeriksaan kualitatif. Oliguria (≤500cc/24jam) merupakan tanda PEB
(Manuaba, 2013)
2. Darah : trombositopeni berat :

2. Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan pada buku SDKI (2017), beberapa masalah keperawatan yang
muncul pada kasus preeklamsia pada ibu bersalin yaitu:
a. Nyeri akut Definisi Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau
lambar dan berintraksi ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3
bulan Penyebab:
1. Agen pencedera fisiologis ( mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
a. Subjektif
1. Mengeluh Nyeri
b. Objektif:
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. Posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor
a. Subjektif
1. Tidak tersedia
b. Objektif
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah

15
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
Kondisi klinis terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom korener akut
5. Glaucoma
b. Pola nafas tidak efektif
Definisi Inspirasi dana tau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat.
Penyebab:
1. Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan upaya nafas (misalnya nyeri saat bernnafas, kelemahan otot
pernapasan
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuscular
6. Gangguan neurologis (misalnya elektroensefalogram (EEG) Positif, cedera
kepala, gangguan kejang)
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energy
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11. Syndrome hypoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma
13. Cedera pada medulla spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan

16
Gejala dan tanda mayor
a. Subjektif
1. Dispnea
b. Objektif
1. Penggunaan otot bantu pernapasan
2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola nafas abnormal (misalnya takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kusmaul,
cheyne-stokes)
Gejala dan tanda minor
a. Subjektif
1. Ortopnea
b. Objektif
1. Pernapasan pursed-lip
2. Pernapasan cuping hidung
3. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Ekskursi dada berubah
Kondisi klinis terkait
1. depresi sistem saraf pusat
2. cedera kepala
3. trauma thoras
4. gullian barre syndrome
5. multiple sclerosis
6. myasthenia gravis
7. stroke
8. kuadripelgia
9. intoksikasi alkohol
c. Gangguan mobilitas fisik
Defenisi Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih eksremitas
secara mandiri.

17
Penyebab
1. Kerusakan integritas struktur tulang
2. Perubahan metabolisme
3. Ketidakbugaran fisik
4. Penurunan kendali otot
5. Penurunan massa otot
6. Keterlambatan perkembangan
7. Kekakuan sendi
8. Kontraktur
9. Malnutrisi
10. Gangguan muskuloskletal
11. Gangguan neuromuscular
12. Indeks massa tubuh diatas persentil ke 75 sesuai usia
13. Efek agen farmakologis
14. Program pembatasan gerak
15. Nyeri
16. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
17. Kecemasan
18. Gangguan kognitif
19. Keengganan melakukan pergerakan
20. Gangguan sensori persepsi
Gejala dan tanda mayor
a. Subjektif
1. Mengeluh sulit menggerakkan eksremitas
b. Objektif
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan tanda minor
a. Subjektif
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak

18
b. Objektif
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
Kondisi klinis terkait
1. Stroke
2. Cedera medulla spinalis
3. Trauma
4. Fraktur
5. Osteoarthiritis
6. Ostemalasia
Risiko infeksi
Defenisi : Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Faktor resiko
1. Penyakit kronis
2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder Kondisi klinis terkait : AIDS, luka
bakar, PPOK, diabetes mellitus, Tindakan invasive, kondidi penggunaan terapi
steroid, penyalahgunaan obat, KPSW, kanker, gagal ginjal, immunosupresi,
lymphedema, leukositopenia, gangguan fungsi hati.

2.1.9 Penatalaksanaan Preeklamsia Eklampsia


A. Penanganan Umum
a. Segera rawat
b. Lakukan penilaian klinik terhadap keadaan umum, sambil mencari riwayat
penyakit sekarang dan terdahulu dari pasien atau keluarganya
1. Jika pasien tidak bernafas:
a. Bebaskan jalan nafas Berikan O2 dengan sungkup
b. Lakukan intubasi jika diperlukan
2. Jika pasien kehilangan kesadaran / koma:

19
a. Bebaskan jalan nafas
b. Baringkan pada satu sisi
c. Ukur suhu Periksa apakah ada kaku kuduk
3. Jika pasien syok → Lihat Penanganan Syok
4. Jika terdapat perdarahan → Lihat Penanganan Perdarahan
5. Jika pasien kejang (Eklampsia)
a. Baringkan pada satu sisi, tempat tidur arah kepala ditinggikan sedikit untuk
mengurangi kemungkinan aspirasi sekret, muntahan atau darah
b. Bebaskan jalan nafas
c. Pasang spatel lidah untuk menghindari tergigitnya lidah
d. Fiksasi untuk menghindari pasien jatuh dari tempat tidur.
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus
berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia
B. Penanganan kejang
a. Beri obat anti kejang (anti konvulsan)
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, penghisap lendir, masker
oksigen, oksigen)
c. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
d. Aspirasi mulut dan tenggorokan
e. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi
f. Berikan O2 4-6 liter/menit
C. Penanganan umum
a. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan
diastolik antara 90-100 mmHg
b. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih
c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
d. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria Infus
cairan dipertahankan 1,5 - 2 liter/24 jam
e. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat
mengakibatkan kematian ibu dan janin
f. Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1 jam

20
g. Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan
tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan
berikan diuretik (mis. Furosemide 40 mg IV)
h. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi
setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati
D. Anti konvulsan
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi
kejang pada preeklampsia dan eklampsia. Alternatif lain adalah Diasepam, dengan
risiko terjadinya depresi neonatal.
1. Magnesium Sulfat Untuk Preeklampsia Dan Eklampsia
Dosis awal Dosis pemeliharaan Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan
pemeriksaan: Cara pemberian MgSO4 IV/Drip ialah: Hentikan pemberian
MgSO4, jika: Siapkan antidotum MgSO4 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5
menit Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g IM dengan 1 ml Lignokain (dalam
semprit yang sama) Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian MgSO4
Frekuensi pernafasan minimal 16 kali/menit Refleks patella (+) Urin minimal 30
ml/jam dalam 4 jam terakhir Frekuensi pernafasan < 16 kali/menit Setelah
pemberian dosis awal, diberikan 12 gram dalam 500 ml RL dengan tetesan
15/menit (2 gram/jam) Refleks patella (-), bradipnea (< 30 ml/jam pada hari ke 2
Jika terjadi henti nafas: Bantu pernafasan dengan ventilator Berikan Kalsium
glukonas 2 g (20 ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernafasan
mulai lagi
2. Diasepam Untuk Preeklampsia Dan Eklampsia
Dosis awal Dosis pemeliharaan Diasepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit
Jika kejang berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal Diasepam 40 mg dalam
500 ml larutan Ringer laktat melalui infus Depresi pernafasan ibu baru mungkin
akan terjadi bila dosis > 30 mg/jam Jangan berikan melebihi 100 mg/jam
3. Anti hipertensi
Obat pilihan adalah Nifedipin, yang diberikan 5-10 mg oral yang dapat diulang
sampai 8 kali/24 jam Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan
tambahan 5 mg sublingual Nifedipin 10 mg sublingual. Labetolol 10 mg oral.
Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan lagi Labetolol 20 mg oral.

21
4. Persalinan
Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada
eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul Jika terjadi gawat janin
atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan bedah
Caesar Jika bedah Caesar akan dilakukan, perhatikan bahwa: Tidak terdapat
koagulopati. Koagulopati kontra indikasi anestesi spinal. Anestesia yang
aman/terpilih adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB.
Dilakukan anestesia lokal, bila risiko anestesi terlalu tinggi. Jika serviks telah
mengalami pematangan, lakukan induksi dengan Oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml
Dekstrose 10 tetes/menit atau dengan cara pemberian prostaglandin/misoprostol
5. Perawatan post partum
Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang yang terakhir
Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik masih > 90 mmHg Lakukan
pemantauan jumlah urin Rujukan Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, jika:
Terdapat oliguria (< 400 ml/24 jam) Terdapat sindroma HELLP Koma berlanjut
lebih dari 24 jam setelah kejang.

2.2 MASTITIS PADA IBU NIFAS


2.2.1 Pengertian Mastitis
Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara. Biasanya
terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk
melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka.Pada infeksi yang berat atau tidak
diobati, dapat terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara).
Mastitis adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan
sebagai komplikasi sumbatan saluran air susu (Masjoer, 2001).
Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi.Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis
laktasional atau mastitis puerperalis.Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal bila
tidak diberikan tindakan yang adekuat.Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di
dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang
menyebabkan beban penyakit bertambah berat (Sally I, Severin V.X, 2003 dalam
Anonim, 2013).
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus hingga
puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan

22
ketiga pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran ASI yang
tidak efisien akibat teknik menyusui yang buruk.Untuk menghambat terjadinya mastitis
ini dianjurkan untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga
yang baik pada payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).

2.2.2 Etiologi
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada
kulit yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut
bayi yang masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit pada
puting susu.Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering
terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah melahirkan.Sekitar 1-3% wanita menyusui
mengalami mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Soetjiningsih (1997) menyebutkan bahwa peradangan pada payudara (Mastitis) di
sebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement sehingga
jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah terkena
infeksi.

2.2.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa:
a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan kadang terasa
nyeri.
b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi rata.
c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap
ASI sampai pembengkakan berkurang.
d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa dingin
dan tubuh terasa pegal dan sakit.
e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan
payudara yang terkena.

23
Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak karena
sumbatan saluran ASI antara lain :
a. Payudara terasa nyeri
b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti
pecah–pecah, dan badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena
sumbatan tanpa infeksi, biasanya di badan tidak terasa nyeri dan tidak
demam. Pada payudara juga tidak teraba bagian keras dan nyeri serta merah.
Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila
didapat sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan
permukaan kulit tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada
payudara namun tidak disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka hal
tersebut bukan mastitis (Pitaloka, 2001 dalam Anonim, 2013).

2.2.4 Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
a. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus
memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian
mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk
mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan
dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi,
bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial/berlanjut. Pada abses
yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini
dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar
tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan
jenis kumannya.
b. Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau
tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi
makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis

24
berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah
(eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.
c. Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
candida albicans.Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi
antibiotik.Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa
terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Pada
kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik
adalah mengoles nistatin krim yang juga mengandung kortison ke puting dan
areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada
saat yang sama.

2.2.5 Penatalaksanaan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan adalah
pemberian susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik.
Dengan tindakan ini terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat
diberikan sebagai terapi antibiotik.Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan
pembiakan/kultur air susu, supaya penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabilaada
abses maka nanah dikeluarkan,kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah
dapat keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat
sejajar dengan jalannya duktus-duktus tersebut.
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah:
1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyakwanita merasa sakit dan
membuat frustasi.Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri,
wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali
tentang nilai menyusui, yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara
yang terkena tidak akan membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan
pulih, baik bentuk maupun fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas
tentang semua tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana
meneruskan menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit. Klien akan

25
membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan
bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih.
2. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
a. Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan
c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui
dapat dimulai lagi
3. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki
maka Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus
aureus. Untuk organisme gram negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin
paling tepat. Jika mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur
dan sensivitas bakteri antibiotik ditentukan.

Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

26
e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:
1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam
selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10 hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan nyeriyaitu
dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam dan lakukan
evaluasi secara rutin.
Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah pada dokter
antibiotik yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila badan
terasa panas, ibu dapat minum obat turun panas, kemudian untuk bagian payudara
yang terasa keras dan nyeri, dapat dikompres dengan menggunakan air hangat
untuk mengurangi rasa nyeri.
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit, istirahat
yang cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat
kembali. Disamping itu, makan dan minum yang bergizi, minum banyak air putih
juga akan membantu menurunkan demam, biasanya rasa demam dan nyeri itu akan
hilang dalam dua atau tiga hari dan ibu akan mampu beraktivitas seperti semula
4. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan sebagai obat yang
paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol merupakan
alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat penting, karena tirah baring dengan bayinya
dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat memperbaiki pengeluaran susu.
Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat pada payudara yang akan
menghilangkan nyeri dan membantu aliran ASI, dan yakinkan bahwa ibu cukup minum
cairan. Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4 kali/hari.
Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan, sebaiknya dilakukan pemijatan
dan pemompaan air susu pada payudara yang terkena.
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum
terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang.
 Sangga payudara.

27
 Kompres dingin.
 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang kemerahan).
 Diperlukan anestesi umum.
 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak mendorong
saluran ASI.
 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.
 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu
menyusui dan bayinya.

2.2.6 Asuhan Pada Ibu Nifas dengan Mastitis


Asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan mastitis
1. Pengkajian
Pengkajian atau pengumpulan data dasar adalah mengumpulkan semua data
yang dibutuhkan untuk mengevaluasi keadaan pasien. Merupakan langkah
pertama untuk mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber
yang berkaitan dengan kondisi pasien (Ambarwati, 2009). Pada kasus mastitis
keluhan yang terjadi adalah payudara sebelah kanan terasa sakit/nyeri saat di
tekan, bengkak, kemerahan, lecet dan badan terasa panas dingin. (Rukiyah,
2011). Data objektif mastitis adalah suhu naik, saat pemeriksasan payudara
ditemukan tanda berupa panas, bengkak, kemerahan, lecet dan nyeri ketika
diraba. (Rukiyah, 2011).

28
Pada kasus ini pengkajian yang diperoleh berupa data subjektif ibu nifas Ny.
R : ibu mengatakan payudara bengkak, terasa panas, nyeri saat di tekan pada
payudara sebelah kanan, lecet. Cemas karena payudara kanan tampak merah dan
bengkak. Ibu khawatir tidak bisa menyusui bayinya. Sedangkan pada data
objektif ditemukan hasil pemeriksaan suhu : 380C, ada pembesaran pada
payudara sebelah kanan, lecet dan nyeri pada saat dilakukan penekanan. Pada
langkah ini tidak ditemukan kesenjangan antara teori dengan praktek.
2. Interpretasi Data Dasar
Interpretasi data merupakan mengidentifikasi diagnosa kebidanan dan
masalah berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan (Ambarwati, 2009). Dalam kasus ibu nifas dengan mastitis
diagnosa yang di tetapkan yaitu Ny. R umur 28 tahun P2A0 postpartum 8 hari
dengan mastitis. Masalah yang bisa muncul adalah Ny. R merasa cemas dengan
keadaan dan ASI-nya. Sedangkan kebutuhan yang diperlukan Ny. R saat ini
adalah beritahu ibu tentang kondisinya, penkes perawatan payudara, menyusui
bayinya sesering mungkin dan tindakan yang harus dilakukan.Pada kasus Ny. R
masalah dan kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan teori. (Anik, 2009).
Pada kasus ini dapat ditegakkan diagnosa kebidanan yaitu Ny. R Umur 28
tahun P2A0 postpartum 8 hari dengan mastitis masalah ibu merasa cemas.
Kebutuhan memberikan support mental pada ibu dan memberikan konseling
tentang perawatan payudara. Pada langkah ini tidak ditemukan kesenjangan
antara teori dan praktek.
3. Diagnosa Masalah Potensial
Masalah potensial adalah mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
yang mungkin akan terjadi. Pada langkah ini diidentifikasikan masalah atau
diagnosa potensial berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa (Ambarwati,
2009). Pada kasus ini, masalah potensial yang mungkin terjadi adalah abses
payudara bila tidak diatasi dengan baik. Pada kasus tidak terjadi diagnosa
potensial karena mendapat perawatan yang tepat, sehingga tidak terdapat
kesenjangan teori dengan praktik.
4. Tindakan Segera
Tindakan segera yaitu mengidentifikasi dan menetapkan perlunya tindakan
segera oleh bidan atau dokter dan untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama
dengan anggota tim kesehatan lain sesuai dengan kondisi klien (Norma dan

29
Mustika, 2016). Pada kasus ini tidak dilakukan tindakan segera dan dapat
disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dengan praktek.
5. Perencanaan/Intervensi
Langkah-langkah ini ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya yang
merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang telah di identifikasi atau di
antisipasi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang
sudah dilihat dari kondisi pasien atau dari setiap masalah yang berkaitan, tetapi
juga berkaitan dengan kerangka pedoman antisipasi bagi wanita tersebut yaitu
apa yang akan terjadi berikutnya. (Norma dan Mustika, 2016) Sedangkan pada
kasus Ny. R perencanaan asuhan kebidanan yang diberikan yaitu beritahu hasil
pemeriksaan, observasi keadaaan putting susu dan mammae, menjelaskan
tentang mastitis, anjurkan ibu untuk melakukan perawatan payudara, lakukan
kompres air hangat sebelum menyusui dan kompres air dingin setelah disusukan,
anjurkan pada ibu agar sebelum menyusui bayinya untuk membersihkan
payudara terutama pada bagian putting dan aerola, anjurkan pada ibu untuk tetap
menyusui bayinya, berikan terapy : Amoxillin 500 mg 3×1/hari, Paracetamol
1500 mg 3×1/hari, CTM 500 mg 3×1/hari, Antasida 500 mg 3×1/hari,
Dexamethasone 500 mg 3×1/hari. Sehingga dalam langkah ini tidak ditemukan
kesenjangan antara teori dengan praktek.
6. Pelaksanaan/Implementasi
Pada langkah ini terencana asuhan menyeluruh pada klien dan mengarahkan
atau melaksanakan rencana asuhan secara efisien dan aman (Norma dan
Mustika, 2016). Pada kasus dengan mastitis meliputi : beritahu tentang kondisi
ibu, menjelaskan tentang mastitis, anjurkan ibu untuk melakukan perawatan
payudara, anjurkan ibu untuk menyusui bayinya sesering mungkin, anjurkan ibu
untuk melakukan kompres air hangat sebelum menyusui dan kompres air dingin
setelah disusukan, ajarkan teknik menyusui yang benar dan penkes tentang
nutrisi dan therapy. Pada kunjungan pertama ibu mengatakan payudara kanan
tampak nyeri tekan, bengkak dan ASI keluar hanya sedikit. Pada kunjungan
kedua ibu mengatakan payudara kanan masih terasa nyeri tekan, kemerahan,
bengkak dan luka pada putting susu sudah berkurang atau membaik dan ibu
masih cemas dengan keadaannya saat ini. Pada kunjungan ketiga ibu
mengatakan suhu badan sudah tidak panas lagi dan payudara kanan masih

30
terlihat kemerahan dan luka pada putting susu sudah membaik. Pada langkah ini
tidak terjadi kesenjangan teori dengan praktek yang dilakukan dilapangan.
7. Evaluasi
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan dan mengevaluasi keefektifan dari
asuhan yang diberikan, ulangi kembali proses manajemen dengan benar terhadap
setiap aspek asuhan yang sudah dilaksanakan (Norma dan Mustika, 2016).
Evaluasi dari kasus ini, diperoleh hasil pasien sembuh dalam 3 hari, keadaan
umum ibu baik dan hasil observasi tanda-tanda vital dalam batas normal, ASI
lancar, puting susu menojol, bayi dapat menyusui dengan lancar dan mastitis
sudah teratasi. Pada langkah ini tidak ditemukan kesenjangan antara teori dan
praktek.

2.2.7 Penatalaksanaan Menurut Teori


Perawatan payudara Ada beberapa tips perawatan payudara antara lain :
a. Pengurutan harus dilakukan secara sistematis dan teratur minimal 2 kali
sehari
b. Merawat puting susu dengan menggunakan kapas yang sudah diberi baby oil
lalu ditempelkan selama 5 menit
c. Memperhatikan kebersihan sehari-hari
d. Memakai BH yang bersih dan menyokong payudara
e. Jangan mengoleskan krim, minyak, alcohol atau sabun pada puting susu.
(Mustika, 2011)
Teknik Dan Cara Pengurutan Payudara Cara pengurutan payudara (Sarwono,
2010) antara lain :
a. Pengurutan pertama
1. Licinkan telapak tangan dengan sedikit minyak/baby oil
2. Tempatkan kedua tangan diantara payudara
3. Pengurutan dimulai kearah atas, lalu telapak tangan kanan kearah sisi kiri
dan telapak tangan kiri kearah sisi kanan, lakukan terus pengurutan
kebawah dan samping, selanjutnya melintang. Ulangi masing-masing 20-
30 gerakan untuk tiap payudara.
b. Pengurutan kedua
1. Licinkan telapak tangan dengan minyak/baby oil

31
2. Telapak tangan kiri menopang payudara kiri dan jari-jari tangan kanan
saling dirapatkan. Sisi kelingking tangan kanan memegang payudara kiri
dari pangkal payudara kearah puting, demikian pula payudara kanan,
lakukan 30 kali selama 5 menit. (Manuaba, 2010)

c. Pengurutan ketiga
1. Licinkan telapak tangan dengan minyak
2. Telapak tangan kiri menopang payudara kiri. Jari-jari tangan kanan
dikepalkan, kemudian tulang kepalan tangan kanan mengurut payudara dari
pangkal kearah puting susu, lakukan 30 kali dalam 5 menit.

Perawatan payudara pada masa nifas:


1. Menggunakan BH yang menyokong payudara
2. Apabila puting susu lecet oleskan colostrum atau ASI yang keluar pada
sekitar puting susu setiap kali selesai menyusui, menyusui tetap dilakukan
dimulai dari puting susu yang tidak lecet.
3. Apabila lecet sangat berat dapat di istrahatkan selama 24 jam. ASI
dikeluarkan dan diminumkan dengan menggunakan sendok
4. Untuk menghilangkan rasa nyeri ibu dapat minum paracetamol 1 tablet setiap
4-6 jam
5. Apabila payudara bengkak akibat bendungan ASI, lakukan pengompresan
payudara menggunakan kain basah dan hangat selama 5 menit, urut payudara
dari arah pangkal menuju puting susu, keluarkan ASI sebagian dari bagian
depan payudara sehingga puting susu menjadi lunak, susukan bayi setiap 2-3
jam, apabila tidak dapat menghisap ASI sisanya dikeluarkan dengan tangan,
letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui.
Akibat jika tidak dilakukan perawatan payudara Dampak yang terjadi jika tidak
dilakukan perawatan payudara, yaitu :
1. Puting susu tenggelam
2. ASI lama keluar
3. Produksi ASI terbata
4. Pembengkakan pada payudara
5. Payudara meradang

32
6. Payudara kotor
7. Ibu belum siap menyusui
8. Kulit payudara terutama puting akan mudah lecet

Cara Melakukan Perawatan Payudara Adapun cara perawatan payudara (Siti, 2012) antara
lain :
a. Tempelkan kapas yang sudah diberi minyak atau baby oil selama 5 menit,
kemudian puting susu dibersihkan
b. Letakkan kedua tangan diantara payudara
c. Mengurut payudara dimulai dari atas, kesamping lalu kearah bawah
d. Dalam pengurutan posisi tangan kiri kearah sisi kiri, telapak tangan kearah sisi
kanan
e. Melakukan pengurutan kebawah dan kesamping
f. Pengurutan melintang telapak tangan mengurut kedepan kemudian kedua tangan
dilepaskan dari payudara, ulangi gerakan 20-30 kali
g. Tangan kiri menopang payudara kiri, 3 jari tangan kanan membuat gerakan gerakan
memutar sambil menekan mulai dari pangkal payudara sampai pada puting susu,
lakukan tahap yang sama pada payudara kanan
h. Membersihkan payudara dengan air hangat lalu keringkan payudara dengan handuk
bersih, kemudian gunakan bra yang bersih dan menyokong.

33
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Preeklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria danedema
yang ditimbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalamtriwulan ke 3 pada
kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada molahidatidosa
(prawirohardjo, 2005).
Preeklamsia/eklamsia merupakan komplikasi kehamilan dan persalinan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah, proteinuria dan oedema, yang kadang-
kadang disertai komplikasi sampai koma.Gejala preeklampsia ringan seperti hipertensi,
oedema, dan proteinuria sering tidak diperhatikan, sehingga tanpa disadari dalam waktu
singkat dapat timbul preeklampsia berat, bahkan eklampsia (Prawirohardjo S, 2014:
532).
Tekanan darah 2140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu dengan tes celup urin
menunjukkan proteinuri 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil
>300 mg/24 jam.Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
tanpa melihat proteinuri.
Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi.Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis
laktasional atau mastitis puerperalis. Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal
bila tidak diberikan tindakan yang adekuat.Abses payudara, pengumpulan nanah lokal
di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang
menyebabkan beban penyakit bertambah berat (Sally I, Severin V.X, 2003 dalam
Anonim, 2013).
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus hingga
puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran ASI yang
tidak efisien akibat teknik menyusui yang buruk.Untuk menghambat terjadinya mastitis

34
ini dianjurkan untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga
yang baik pada payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).

3.2 SARAN

Preeklamsia berat masih menjadi salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian ibu. Oleh karena itu, kejadian preeklamsia berat baik early onset ataupun late
onset harus dicegah. pelayanan kesehatan dibidang promotif dan preventif. Dokter dan
bidan disarankan untuk selalu memberikan edukasi kepada ibu hamil tentang pentingnya
melaksanakan ante natal care (ANC). Program saat ini adalah melakukan ANC minimal 4
kali selama kehamilan. Sejak kunjungan pertama dari trimester I dokter atau bidan
disarankan sudah mencari faktor-faktor risiko preeklamsia pada ibu hamil.

Bagi ibu hamil yang mempunyai faktor risiko preeklamsia berat disarankan untuk
melakukan pengukuran tekanan darah setiap bulannya kepada dokter atau bidan. Jika
terdapat keluhan tambahan seperti nyeri kepala, nyeri abdomen atas, gangguan penglihatan,
dan kejang, dokter atau bidan dapat menyarankan ibu hamil untuk segera ke puskesmas
agar dapat dirujuk ke rumah sakit karena dicurigai terjadi perburukan dari preeklamsia
berat. Kegiatan edukasi yang dilakukan diharapkan dapat mencegah terjadinya preeklamsia
berat dan mencegah onset yang lebih dini dari preeklamsia berat.

35
36
Mastitis: Pencegahan dan Penanganan
26.08.2013

Mastitis merupakan masalah yang sering dijumpai pada ibu menyusui. Diperkirakan
sekitar 3-20% ibu menyusui dapat mengalami mastitis. Terdapat dua hal penting
yang mendasari kita memperhatikan kasus ini. Pertama, karena mastitis biasanya
menurunkan produksi ASI dan menjadi alasan ibu untuk berhenti menyusui. Kedua,
karena mastitis berpotensi meningkatkan transmisi vertikal pada beberapa penyakit
(terutama AIDS).

Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama setelah bayi lahir (paling
sering pada minggu ke-2 dan ke-3), meskipun mastitis dapat terjadi sepanjang
masa menyusui bahkan pada wanita yang sementara tidak menyusui.

Definisi dan Diagnosis

Mastitis merupakan suatu proses peradangan pada satu atau lebih segmen
payudara yang mungkin disertai infeksi atau tanpa infeksi. Dalam proses ini dikenal
pula istilah stasis ASI, mastitis tanpa infeksi, dan mastitis terinfeksi. Apabila ASI
menetap di bagian tertentu payudara, karena saluran tersumbat atau karena
payudara bengkak, maka ini disebut stasis ASI. Bila ASI tidak juga dikeluarkan,
akan terjadi peradangan jaringan payudara yang disebut mastitis tanpa infeksi, dan
bila telah terinfeksi bakteri disebut mastitis terinfeksi. Diagnosis mastitis ditegakkan
berdasarkan kumpulan gejala sebagai berikut:

 Demam dengan suhu lebih dari 38,5oC


 Menggigil
 Nyeri atau ngilu seluruh tubuh
 Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, dan terasa sangat nyeri.
 Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu
karena ASI terasa asin
 Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.

Berdasarkan jumlah lekosit (sel darah putih), Thomsen dkk. membagi peradangan
payudara dalam 3 kondisi klinis (Tabel 1).

Patofisiologi

Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran


ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan
alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI
menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.
Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma
masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu
respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan
memudahkan terjadinya infeksi.

Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus
sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau
melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering
adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. Kadangkadang
ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita
tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis
mencapai 1%.

Faktor risiko terjadinya mastitis antara lain:

1. Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya.


2. Puting lecet.
Puting lecet menyebabkan timbulnya rasa nyeri yang membuat kebanyakan ibu
menghindari pengosongan payudara secara sempurna.
3. Frekuensi menyusui yang jarang atau waktu menyusui yang pendek.
Biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak memberikan bayinya minum
sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan tergesa-gesa.
4. Pengosongan payudara yang tidak sempurna
5. Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik. Bayi yang hanya mengisap puting
(tidak termasuk areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi atau bibir
sehingga aliran ASI tidak sempurna.
6. Ibu atau bayi sakit.
7. Frenulum pendek.
8. Produksi ASI yang terlalu banyak.
9. Berhenti menyusu secara cepat/ mendadak, misalnya saat bepergian.
10. Penekanan payudara misalnya oleh bra yang terlalu ketat atau sabuk pengaman
pada mobil.
11. Sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh gumpalan ASI, jamur,serpihan
kulit, dan lain-lain.
12. Penggunaan krim pada puting.
13. Ibu stres atau kelelahan.
14. Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah.

Pencegahan

Pencegahan terhadap kejadian mastitis dapat dilakukan dengan memperhatikan


faktor risiko di atas. Bila payudara penuh dan bengkak (engorgement), bayi
biasanya menjadi sulit melekat dengan baik, karena permukaan payudara menjadi
sangat tegang. Ibu dibantu untuk mengeluarkan sebagian ASI setiap 3 - 4 jam
dengan cara memerah dengan tangan atau pompa ASI yang direkomendasikan.
Sebelum memerah ASI pijatan di leher dan punggung dapat merangsang
pengeluaran hormon oksitosin yang menyebabkan ASI mengalir dan rasa nyeri
berkurang. Teknik memerah dengan tangan yang benar perlu diperlihatkan dan
diajarkan kepada ibu agar perahan tersebut efektif. ASI hasil perahan dapat
diminumkan ke bayi dengan menggunakan cangkir atau sendok. Pembengkakan
payudara ini perlu segera ditangani untuk mencegah terjadinya feedback inhibitor of
lactin (FIL) yang menghambat penyaluran ASI.

Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus akibat pakaian yang
ketat dapat menyebabkan ASI terbendung. Ibu dianjurkan untuk segera memeriksa
payudaranya bila teraba benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain itu ibu juga
perlu beristirahat, meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada sisi payudara
yang bermasalah serta melakukan pijatan dan kompres hangat di daerah benjolan.
Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu yang
merasa ASInya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada
peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti atau
lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu. Pada tahap awal
pengobatan dapat dilakukan dengan mengoleskan ASI akhir (hind milk) setelah
menyusui pada puting dan areola dan dibiarkan mengering. Tidak ada bukti dari
literatur yang mendukung penggunaan bahan topikal lainnya.

Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis. Seorang tenaga kesehatan


harus selalu menganjurkan ibu menyusui cukup beristirahat dan juga mengingatkan
anggota keluarga lainnya bahwa seorang ibu menyusui membutuhkan lebih banyak
bantuan.

Ibu harus senantiasa memperhatikan kebersihan tangannya karena Staphylococcus


aureus adalah kuman komensal yang paling banyak terdapat di rumah sakit
maupun masyarakat. Penting sekali untuk tenaga kesehatan rumah sakit, ibu yang
baru pertama kali menyusui dan keluarganya untuk mengetahui teknik mencuci
tangan yang baik. Alat pompa ASI juga biasanya menjadi sumber kontaminasi
sehingga perlu dicuci dengan sabun dan air panas setelah digunakan.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis tidak


selalu diperlukan. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan
kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:

 pengobatan dengan antibiotik tidak -- memperlihatkan respons yang baik dalam 2


hari
 terjadi mastitis berulang
 mastitis terjadi di rumah sakit
 penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang
langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan
terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk
mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan
hasil positif palsu dari kultur. Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala
yang muncul berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas
bakteri.

Tata laksana

Tata laksana suportif

Tata laksana mastitis dimulai dengan memperbaiki teknik menyusui ibu. Aliran ASI
yang baik merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis karena stasis ASI
merupakan masalah yang biasanya mengawali terjadinya mastitis. Ibu dianjurkan
agar lebih sering menyusui dimulai dari payudara yang bermasalah. Tetapi bila ibu
merasa sangat nyeri, ibu dapat mulai menyusui dari sisi payudara yang sehat,
kemudian sesegera mungkin dipindahkan ke payudara bermasalah, bila sebagian
ASI telah menetes (let down) dan nyeri sudah berkurang. Posisikan bayi pada
payudara sedemikian rupa sehingga dagu atau ujung hidung berada pada tempat
yang mengalami sumbatan. Hal ini akan membantu mengalirkan ASI dari daerah
tersebut.

Ibu dan bayi biasanya mempunyai jenis pola kuman yang sama, demikian pula
pada saat terjadi mastitis sehingga proses menyusui dapat terus dilanjutkan dan ibu
tidak perlu khawatir terjadi transmisi bakteri ke bayinya. Tidak ada bukti terjadi
gangguan kesehatan pada bayi yang terus menyusu dari payudara yang
mengalami mastitis. Ibu yang tidak mampu melanjutkan menyusui harus memerah
ASI dari payudara dengan tangan atau pompa. Penghentian menyusui dengan
segera memicu risiko yang lebih besar terhadap terjadinya abses dibandingkan
yang melanjutkan menyusui. Pijatan payudara yang dilakukan dengan jari-jari yang
dilumuri minyak atau krim selama proses menyusui dari daerah sumbatan ke arah
puting juga dapat membantu melancarkan aliran ASI.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah ibu harus beristirahat, mengkonsumsi
cairan yang adekuat dan nutrisi berimbang. Anggota keluarga yang lain perlu
membantu ibu di rumah agar ibu dapat beristirahat. Kompres hangat terutama saat
menyusu akan sangat membantu mengalirkan ASI. Setelah menyusui atau
memerah ASI, kompres dingin dapat dipakai untuk mengurangi nyeri dan bengkak.
Pada payudara yang sangat bengkak kompres panas kadang membuat rasa nyeri
bertambah. Pada kondisi ini kompres dingin justru membuat ibu lebih nyaman.
Keputusan untuk memilih kompres panas atau dingin lebih tergantung pada
kenyamanan ibu.

Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit berat atau tidak ada yang
dapat membantunya di rumah. Selama di rumah sakit dianjurkan rawat gabung ibu
dan bayi agar proses menyusui terus berlangsung.

Penggunaan obat-obatan

Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi obat, ibu dengan
mastitis dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi.

Analgesik

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang berguna
dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri
pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi seperti
ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan
dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen
sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga
direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

Antibiotik

Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari 24 jam, maka
perawatan konservatif (mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah cukup
membantu. Jika tidak terlihat perbaikan gejala dalam 12 - 24 jam atau jika ibu
tampak sakit berat, antibiotik harus segera diberikan. Jenis antibiotik yang biasa
digunakan adalah dikloksasilin atau flukloksasilin 500 mg setiap 6 jam secara oral.
Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang lebih singkat dalam darah dan lebih
banyak efek sampingnya ke hati dibandingkan flukloksasilin. Pemberian per oral
lebih dianjurkan karena pemberian secara intravena sering menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Sefaleksin biasanya aman untuk ibu hamil yang
alergi terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih
dianjurkan klindamisin.

Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14 hari. Biasanya ibu menghentikan


antibiotik sebelum waktunya karena merasa telah membaik. Hal ini meningkatkan
risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi perlu pula diingat bahwa pemberian
antibiotik yang cukup lama dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur pada
payudara dan vagina.

Pada penelitian yang dilakukan Jahanfar diperlihatkan bahwa pemberian antibiotik


disertai dengan pengosongan payudara pada mastitis mempercepat penyembuhan
bila dibandingkan dengan pengosongan payudara saja. Sedangkan penelitian
Jimenez dkk. memperlihatkan bahwa pemberian Lactobacillus salivarius dan
Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan kondisi klinik pada kasus mastitis
yang sementara mendapat antibiotik.

Pemantauan

Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas respon klinik cepat dan
respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam beberapa hari dengan
terapi yang adekuat termasuk antibiotik, harus dipertimbangkan diagnosis banding.
Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman
yang resisten, adanya abses atau massa padat yang mendasari terjadinya mastitis
seperti karsinoma duktal atau limfoma non Hodgkin. Berulangnya kejadian mastitis
lebih dari dua kali pada tempat yang sama juga menjadi alasan dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
massa tumor, kista atau galaktokel.

Komplikasi

Penghentian menyusui dini

Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat seorang ibu
memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian menyusui secara mendadak
dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu juga khawatir kalau obat
yang mereka konsumsi tidak aman untuk bayi mereka. Oleh karena itu
penatalaksanaan yang efektif, informasi yang jelas dan dukungan tenaga
kesehatan dan keluarga sangat diperlukan saat ini.

Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena pengobatan


terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras , merah
dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan kemungkinan
terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut menjadi abses.
Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang
terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi
sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum
secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah.
Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI dari sekitar
tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis
kumannya.

Mastitis berulang/kronis

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak


adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, makanan dengan gizi
berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi
bakteri diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama
masa menyusui

Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi
antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa
terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Di antara waktu menyusu
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Ibu dan
bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang juga
mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi
juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

Kesimpulan

Mastitis merupakan proses peradangan payudara yang mungkin disertai infeksi


atau tanpa infeksi. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama setelah
bayi lahir. Diagnosis mastitis ditegakkan bila ditemukan gejala demam, menggigil,
nyeri seluruh tubuh serta payudara menjadi kemerahan, tegang, panas dan
bengkak. Beberapa faktor risiko utama timbulnya mastitis adalah puting lecet,
frekuensi menyusui yang jarang dan pelekatan bayi yang kurang baik. Melancarkan
aliran ASI merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis. Selain itu ibu perlu
beristirahat, banyak minum, mengkonsumsi nutrisi berimbang dan bila perlu
mendapat analgesik dan antibiotik.

Sumber : Buku Indonesia Menyusui

Penulis : Ema Alasir

Anda mungkin juga menyukai