Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN MINI PROJECT

TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT ANTI


TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PENEBEL 1
PERIODE OKTOBER 2023

Oleh:
Cicilia Putri Kurniawati Sinaga

Pembimbing:
dr. Ni Wayan Restuti Handayani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPTD PUSKESMAS PENEBEL 1
KABUPATEN TABANAN
PROVINSI BALI
TAHUN 2024

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya
maka laporan mini project yang berjudul “Gambaran Kebiasaan Makan Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Puskesmas Penebel 1” dapat selesai pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
mini project ini. Laporan mini project ini disusun sebagai salah satu tugas internsip di
Puskesmas Penebel 1. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. I Nyoman Suarya, selaku Kepala Puskesmas Penebel 1 yang telah
memberikan kesempatan untuk internsip di puskesmas ini.
2. dr. I Wayan Restuti Handayani, selaku pembimbing internsip yang telah
memberikan bimbingan dalam pembuatan mini project ini.
3. Teman sejawat penulis yaitu Steffi Patricia Sanjaya, dan Roderick Wilson
Tendean yang membantu penulis dalam pengambilan sampel mini project ini.
4. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan moral dan material kepada penulis.
Penulis menyadari laporan mini project ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik pembaca yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan mini project ini. Semoga laporan mini project
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penebel, Januari 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB II 7
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 7
2.1.1 Definisi 7
2.1.2 Epidemiologi 7
2.1.3 Patogenesis DM tipe 2 7
2.1.4 Diagnosis 8
2.1.5 Tatalaksana 9
2.2 Konsep Perilaku 12
2.2.1 Perilaku Kesehatan 12
2.2.2 Perilaku Sakit 13
2.3 Bentuk-bentuk Perilaku 13
2.3.1 Pengetahuan (Knowledge) 13
2.3.2 Sikap (Attitude) 14
2.3.3 Tindakan (Practice) 14
BAB III 16
3.1 Desain Penelitian 16
3.2 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 16
3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 16
3.4 Populasi dan Sampel 16
3.5 Metode Pengumpulan Data 17
3.6 Instrumen Penelitian 17
3.7 Definisi Operasional 17
3.8 Pengukuran 18
3.9 Metode Pengolahan dan Penyajian Data 19

3
BAB IV 20
4.1 Karakteristik Responden 20
4.2 Kejadian Diabetes Melitus 21
4.3 Perilaku Responden 22
4.3.1 Pengetahuan 22
4.3.2 Sikap 23
4.3.3 Tindakan 25
BAB V 28
5.1 Simpulan 28
5.2 Saran 28

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi menular dengan angka
penularan yang masih tinggi. Pada tahun 2022 Kementerian Kesehatan bersama dengan
seluruh tenaga kesehatan berhasil mendeteksi penderita Tuberkulosis (TBC) lebih dari
700 ribu kasus. Angka tersebut merupakan capaian tertinggi sejak TBC dinyatakan
sebagai program prioritas nasional. Saat ini diketahui bahwa Indonesia menempati
peringkat kedua setelah india terkait penyakit tuberkulosis (TBC), yaitu dengan jumlah
kasus sebanyak 969 ribu dan kematian 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian
per jam. Dikutip dari Global TB Report tahun 2022, juga diketahui bahwa jumlah kasus
TBC terbanyak di dunia, menyerang kelompok usia produktif terutama pada usia 45
sampai 54 tahun.

Provinsi Bali menunjukkan peningkatan kasus dari tahun 2015 (84,9%) ke tahun
2017 (90,71%)[2]. Tatalaksana pengobatan telah difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia
menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) berjumlah 4-5 obat yang diberikan setiap
hari selama 6 bulan (fase awal2 bulan dan fase lanjutan 4 bulan). Hal tersebut bertujuan
untuk penyembuhan, memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya kekambuhan,
resistensi obatdan kematian[3]. Walaupun demikian angka keberhasilan pengobatan TB
di Indonesia pada tahun 2018 belum mencapai ketentuan minimal (90%) yang
dipersyaratkan oleh World Health Organization (WHO), yaitu sebesar 88,7%[4].

Studi penelitian memaparkan salah satu faktor penyebab kegagalan pengobatan


TB adalah kepatuhan minum obat[5]. Pada beberapa penelitian dijabarkan bahwa tingkat
kepatuhan pengobatan pasien TB termasuk kategorirendahdi berbagai negara yaitu India
(50%)[6], Etiopia (24,5%)[7]danIndonesia(24-38,1%)[8]. Kepatuhan terkait pengobatan
adalah suatu perilakuseseorangyang sesuai dengan anjuran tenaga kesehatanuntuk
menjalankan pengobatan yang diterima[9]. Kepatuhan pada pengobatan TB menjadi
faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi gunamencegah risiko
kekambuhan dan resistensi bakteri TB terhadap OAT secara meluas atau yang lebih
dikenal dengan Multi Drug Resistence(MDR). Pasien TB MDR berisiko untuk menjadi

5
sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat sehingga hal ini akan mempersulit
pengendalian dan pemberantasan kasus TB. Selain itu ketidak patuhan dapat
meningkatkan risiko terjadinya kematian[10]. Penelitian menyebutkan ketidakpatuhan
disebabkan karena pasien tidak nyaman dalam menjalankan pengobatan TB yaitu
mengharuskan minum obat setiap hari dalam waktu yang lama, timbul efek samping obat
yang kerap dirasakan yaitu mual dan muntah serta kurangnya dukungan dari keluarga
dan orang terdekat[11].
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan primer memiliki peranan penting dalam
membantu memberikan edukasi, pengetahuan kepada pasien agar tercapai keberhasilan
pengobatan TB. Meskipun kepatuhan pengobatan pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain seperti jarak rumah ke Puskesmas, kecermatan PMO sehingga dapat terjadi
kepatuhan pengobatan. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui Tingkat kepatuhan
pengobatan TB di Puskesmas Penebel 1.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “Bagaimana
Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis di Puskesmas Penebel 1 Periode
Oktober 2023?”

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan obat anti tuberkulosis di Puskesmas
Penebel 1 periode Oktober 2023
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien TB di Puskesmas Penebel 1

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan mengenai kepatuhan penggunaan obat anti tuberkulosis
2. Manfaat bagi Puskesmas
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan primer dapat meningkatkan pelayanan dengan
memberikan edukasi yang tepat agar tercapai kepatuhan berobat tuberkulosis
3. Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini dijadikan sebagai mini project sebagai program wajib dokter internsip.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TBC)


2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh
kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya(10).

Mycobacterium tuberculosa panjangnya satu sampai 4 mikron, lebarnya antara


0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 370C dengan
tingkat PH optimal pada 6,4 sampai 7,0 untuk membelah dari satu sampai dua
(generatiomtime) kuman membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis terdiri
dari lemak dan protein(10).

2.1.2 Penularan penyakit TBC


Tubekulosis adalah penyakit menular. Sumber penularan adalah pasien yang pada
pemeriksaan dahaknya di bawah mikroskop ditemukan adanya kuman TB, disebut
dengan basil tahan asam (BTA) makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut(3).
Karena ditularkan melalui percikan dahak, maka kuman TB akan masuk ke dalam
saluran napas dan lalu masuk ke paru. Pada mereka yang daya tahan tubuhnya buruk
maka kuman TB yang masuk itu akan terus berkembang di dalam7 paru dan
menimbulkan berbagai keluhan. Sementara itu, pada mereka yang daya tahan tubuhnya
baik maka tidak akan terjadi penyakit. Hanya saja, mungkin saja kuman itu tidak
menimbulkan penyakit tetapi tetap ada di dalam paru dalam keadaan seperti “tidur”,
dimana kalau belakangan (setelah bertahun-tahun misalnya) daya tahan tubuh orangnya
turun maka kuman yang “tidur” akan “bangun” dan menimbulkan penyakit(3)

7
2.1.3 Tanda dan Gejala Penyakit TBC
Gejala yang dirasakan pasien Tuberkulosis dapat bervariasi, mulai dari batuk,
batuk darah, nyeri dada, badan lemah dan lain-lain. Batuk terjadi karena adanya iritasi di
saluran napas, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian
pecah. Batuk darah ini dapat hanya ringan saja, sedang ataupun berat tergantung dari
berbagai faktor. Suatu hal yang harus diingat adalah tidak setiap batuk darah dengan
disertai gambaran lesi di paru secara radiologis adalah tuberkulosis. Batuk darah juga
terjadi pada berbagai penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektasis,
kanker paru, dan lain-lain. Secara umum dapat disampaikan bahwa gejala penyakit
Tuberkulosis ini adalah:
a. Batuk berdahak lebih dari 3 minggu
b. Dapat juga batuk darah atau batuk bercampur darah
c. Sakit/nyeri dada
d. Demam
e. Penurunan berat badan
f. Hilangnya nafsu makan
g. Keringat malam
h. Sesak napas
Tentu tidak semua pasien Tuberkulosis punya semua gejala di atas, kadang-kadang
hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga amat
bervariasi(3)
2.1.4 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan tergantung dari organ yang terkena. Pada TB
paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru, biasanya pada
apekslobus atas dan apekslobus bawah dapat ditemukan berbagai bunyi napas pada
auskultasi. Pada pasien TBC tergantung dari jumlah cairan di rongga pleura, pada
perkusi pekak, auskultasi suara napas melemah hilang. Pada limfadenitistuberkulosa,
terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, di ketiak dapat
menjadi “coldabscess”(11).
2. Pemeriksaan bakteriologik
Walaupun urin dari kateter, cairan otak, dan isi lambung dapat diperiksa secara
mikroskopik, tetapi pemeriksaan bakteriologik yang paling penting untuk diagnosis TBC

8
adalah pemeriksaan sputum. Metode pewarnaan Ziehl Neelsen dapat dipakai. Sediaan
apusan digenangi dengan zat karbolfuksin yang dipanaskan, lalu dilakukan dekolorisasi
dengan alcohol asam. Sesudah diwarnai lagi dengan metilen biru atau brilliant green.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
-S) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TBC datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada
hari kedua.
-P ( Pagi ) : dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua,segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas disarana pelayanan kesehatan.
-S ( Sewaktu ) : dahak dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari kedua saat
menyerahkan dahak pagi(11).
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik berupa foto toraks PA, foto lateral, top-lordotik, oblik,
CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberigambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran lesi aktif berupa bayangan berawan
segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior lobusbawaah, kavitasi lebih
dari satu dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular, bercak milier, efusi pleura
unilateral/bilateral, fibrotik, kalsifikasi, penebalan pleura (scharte)(11).
4. Pemeriksaan khusus
Salah satu maslah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendektesi DNA,
termasuk DNA M.tuberkulosis. salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR
dapat membantu untuk menegakan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil
pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk

9
diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tuberkulosis tersebut diatas,
bahan/spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai
dengan organ yang terlibat.
2) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode, yaitu :
a) EnzymLinkedImmunosorbentAssay (ELISA)
b) ICT (Immunochromatographic)
c) Mycodot
d) uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
e) Uji serologi yang baru / IgG TB (11).

2.1.5 Pengobatan TBC


Pengobatan TBC bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh karena
tuberkulosis atau dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan
tuberkulosis, menurunkan penularan tuberkulosis, mencegah terjadinya dan penularan
tuberkulosis resisten obat. Kini pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat,dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seseorang
pengawas menelan obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal intensif dan tahap
lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat 3 atau 4 obat sekaligus setiap hari
selama 2 bulan dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat,biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 1-2 bulan
2) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, 2 macam saja,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama biasanya 4 bulan. Obat dapat diberikan
setiap hari maupun secara intermitten, beberapa kali dalam 1 minggu, tahap lanjutan
penting adalah untuk mencegah terjadinya kekambuhan(3).

10
2.1.6 Pola Pengobatan TBC

Pola pengobatan TBC ada dua fase yaitu :

1. Fase intensif terdiri dari terapi Isoniazida yang dikombinasikan dengan Rimfamfisin
dan Pirazinamida selama 2 bulan untuk prevensi resistensi ditambah lagi Etambutol lebih
disukai karena dapat digunakan per orang.

2. Fase pemeliharaan menggunakan Isoniazida bersama Rimfafisin selama 4 bulan lagi.


Sehingga seluruh masa pengobatan menjadi 6 bulan. Studi baru memperlihatkan bahwa
jangka pendek selama 6 bulan, yakni 2 bulan dengan 4 obat dan 4 bulan dengan 2 obat
sama efektifnya dengan presentaseresiditif yang juga lebih kurang sama. Yang terpenting
untuk berhasilnya pengobatan adalah kesetiaan terapi dari penderita serta dapat minum
obat terus-menerus secara teratur selama 6 bulan(3).

2.1.7 Obat TBC


1. Etambutol
Derivat etilendiamin ini (1961) berkhasiat spesifik terhadap M. Tuberculosa dan
M. Atipis tetapi tidak terhadap bakteri lain. Daya kerja bakteristatiknya sama kuatnya
dengan INH. Efek samping yag terpenting adalah neuritisoptica (radang saraf mata) yang
mengakibatkan gangguan penglihatan, kurang tajamnya penglihatan dan buta warna
terhadap warna merah dan hijau. Reaksi toksik ini baru timbul pada dosis besar (di atas
50 mg/kg/hari). Etambutol juga meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat
penurunan ekskresinya oleh ginjal. Dosis: oral sekaligus 20-25 mg /kg/hari , selalu dalam
kombinasi dengan INH . I.v(infus) 1 dd 15 mg/kg dalam 2 jam(12).
2. Isoniazida
Derivat asam isonikotinat ini (1952) berkhasiat tuberkulostatik paling kuat
terhadap M. Tuberculosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil
yang sedang tumbuh pesat. Isoniazida masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting
terhadap berbagai jenis tuberkulosa dan selalu digunakan sebagai multiple terapi dengan
rifampisin dan pirazinamida.
Efek samping pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang terjadi dan ringan
(gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering timbul bila dosis melebihi 400 mg, yang
terpenting polineuritis, yakni radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan
penglihatan, perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia juga sering kali

11
timbul. Untuk menghindari efek samping ini biasanya diberikan pridoksin (vitamin B6)
10 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg.
Dosis : oral/i.m. dewasa dan anak-aanak 1 dd 4-8 mg/kg/hari atau 1 dd 300-400
mg, atau sebagai dosis tunggal bersama rifampisin, pagi hari sebelum makan atau
sesudah makan bila terjadi gangguan lambung(12).
3. Pirazinamida
Pirazin dari nikotinamida ini (1952) bekerja sebagai bakterisid (pada suasana
asam: PH 5-6) atau bakteriostatik,tergantung pada PH dan kadarnya di dalam darah.
Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M.tuberculosis. Efek samping yang
sering kali terjadi dan berbahaya adalah kerusakan hati dengan ikterus adalah kerusakan
hati dengan ikterus (hepototksik), terutama pada dosis diatas 2 g sehari. Pengobatan
harus segera dihentikan bila tanda –tanda kerusakan hati. Pada hampir semua pasien,
pirazinamidamenghambat pengeluaran asam urat sehingga meningkatkan kadarnya
dalam darah (hiperurcemia) dan menimbulkan serangan encok (gout). Obat ini juga dapat
menimbukan gangguan saluran cerna, fotosensibilisasi dengan reaksi kulit (menjadi
merah-cokelat), artalgia, demam, malise dan anemia, juga menurunkan kadar gula darah.
Dosis oral 1 dd 30 mg/kg selama 2-4 bulan, maksimal 2 g sehari, pada meningitis TB 50
mg/kg/hari(12).
4. Rifampisin
Antibiotikum ini adalah derivat semisintetik dari rifampisin B (1965) yang
dihasilkan oleh streptomycsmediterranai, suatu jamur tanah yang berasal dari prancis
selatan. Penggunaan pada Tuberkulosis paru sangat dibatas leh harganyaa yang cukup
mahal. Efek samping yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning,
terutama bila dikombinasi dengan INH yang juga toksik bagi hati. Pada penggunaan
lama dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini juga agak sering
menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, skit ulu hati, kejang perut
dan diare. Dosis oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, karena
kecepatan kadar resorpsi dihambat oleh isi lambung. Selalu diberikan dalam kombinasi
dengan INH 300 mg dan untuk 2 bulan pertama juga ditambah dengan 1,5-2 g
pirazinamida setiap hari(12).

2.2 Kepatuhan Minum Obat


Kepatuhan pasien penderita tuberkulosis dalam menjalani pengobatan merupakan
salah satu faktor dominan yang dapat menjadi parameter keberhasilan pengobatan

12
tuberkulosis.Jika penderita tuberkulosis tidak patuh terhadap terapi yang dijalankannya,
akibatnya adalah resistensi kuman mycobacterium tuberculosis terhadap obat yang di
berikan(13). Pengobatan TBC menggunakan OAT dengan metode Directly Observal
Treatment Shortcourse (DOTS). DOTS adalah suatu strategi yang sudah dibakukan oleh
badan kesehatan dunia (WHO) dalam program pemberantasan TBC. Tujuan utama
adalah agar pengobatan yang diberikan pada pasien TBC diberikan secara benar dan
dijamin kesembuhannya. DOTS mempunyai 5 komponen, salah satunya adalah
pemberian obat sesuai standar (short-course) selama minimal 6 bulan. Obat ini harus
diyakini selalu diminum secara teratur(14). Penderita dikatakan lalai jika tidak datang
lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih
dari 2 bulan berturut-turut tidak datang setelah dikunjungi petugas kesehatan.

13
BAB III
METODOLOGI

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional yang menggambarkan
kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis yang sedang berobat jalan di
Puskesmas Penebel 1 pada bulan Agustus 2023.
3.2 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Poli Umum Puskesmas Penebel 1. Karakteristik
sampel dilengkapi dengan data sesuai rekam medis yang ada di Puskesmas Penebel 1.
Penelitian ini dilakukan sepanjang bulan Oktober 2023.
3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
- Pasien yang rutin berobat TBC di Puskesmas Penebel 1
- Pasien segala usia yang rutin berobat TBC di Puskesmas Penebel 1
- Pasien TBC yang bersedia untuk mengikuti penelitian
- Pasien tidak mengalami gangguan memori dan bicara
2. Kriteria Eksklusi
- Pasien TBC dengan komplikasi
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien TBC yang berobat rutin setiap
tanggal ketentuan berobat ke Puskesmas Penebel 1 sedangkan populasi terjangkau
penelitian ini adalah pasien TBC yang datang kontrol di bulan Oktober 2023. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Perhitungan jumlah
2
Zα x P x Q
sampel menggunakan rumus besar sampel deskriptif kategorik13 yaitu n= 2 .
d
Zα (deviat baku alfa) sebesar 1,96; d (presisi) sebesar 5%; dan nilai P (proporsi
kategori variabel yang diteliti) menggunakan prevalensi TBC di Kabupaten Tabanan
berdasarkan Riskesdas 20.. sebesar …%. Dengan menggunakan rumus tersebut
didapatkan bahwa minimal sampel yang dibutuhkan untuk penelitian deskriptif kategorik
ini ialah…… responden.

14
3.5 Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan mengumpulkan hasil pengisian instrumen
kuesioner yang terdiri dari karakteristik pasien dan kebiasaan makan pasien DM tipe
2 di Puskesmas Penebel 1
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari rekam medis untuk memastikan pasien merupakan
pasien TBC yang rutin kontrol setiap tanggal ketentuan
3.6 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan kuesioner untuk mengetahui karakteristik pasien
dewasa dengan DM tipe 2 dan perilakunya terhadap pola makan. Kuesioner akan
dibagikan untuk pasien yang sedang kontrol rutin DM di poli umum, poli lansia, dan
prolanis. Pasien yang bersedia untuk mengikuti penelitian akan mengisi kuesioner dan
berperan menjadi responden.
3.7 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
.
1 Pendidikan jenjang pendidikan secara formal yang pernah ditempuh
responden
2 Pekerjaan kegiatan yang dilakukan responden untuk mendapatkan
penghasilan
3 Jenis kelamin status yang sesuai dengan keadaan alat reproduksi yang
dikategorikan atas laki-laki dan perempuan
4 Riwayat DM tipe apabila ada orang tua atau saudara sekandung yang
2 mengalami diabetes melitus.

5 Lama menderita jenjang waktu ketika telah didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter
DM tipe 2 hingga sekarang

6 Pengetahuan segala sesuatu yang responden ketahui tentang kebiasaan


makan penderita diabetes
7 Sikap respon/penilaian responden yang masih tertutup dari
penderita DM tipe 2 mengenai kebiasaan makan.
8 Tindakan perbuatan nyata pasien DM tipe 2 mengenai kebiasaan
makan.
9 Kebiasaan makan segala sesuatu yang biasa di makan berdasarkan jumlah,
jenis, dan frekuensi makanan yang dikonsumsi pasien DM
tipe 2

15
3.8 Pengukuran
Menurut Arikunto14, nilai dikategorikan dari seluruh pertanyaan didapatkan total
nilai terbesar adalah 75%. Di klasifikasikan dalam 3 kategori :
a. Nilai baik: nilai yang diperoleh >75% dari seluruh skor yang ada.
b. Nilai cukup: nilai yang diperoleh 45-75% dari seluruh skor yang ada.
c. Nilai kurang: nilai yang diperoleh <45% dari seluruh skor yang ada.
Cara pengukuran yang dilakukan pada penelitian ini ialah sebagai berikut :
a. Memberi skor yang sesuai pada tiap butir pertanyaan/pernyataan.
b. Menjumlahkan skor dari seluruh pertanyaan/pernyataan.
c. Memberikan penilaian tiap kategori
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui penderita DM tipe 2 terhadap
pola makan yang diukur dengan 10 pertanyaan. Pengetahuan diukur dengan skoring
terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Apabila jawaban baik skornya 3, jawaban
cukup skornya 2, dan jawaban kurang skornya 1.
Sikap dapat diukur dengan skoring terhadap kuesioner dengan menggunakan skala
likert yang mana jawaban setiap butir pertanyaan menggunakan skala yaitu: sangat
setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
a. Untuk soal no 1, 5 s/d 10
- Jawaban “sangat setuju” diberikan skor 4
- Jawaban “setuju” diberikan skor 3
- Jawaban “tidak setuju” diberikan skor 2
- Jawaban “sangat tidak setuju” diberikan skor 1
b. Untuk soal no 2 s/d 4
- Jawaban “sangat setuju” diberikan skor 1
- Jawaban “setuju” diberikan skor 2
- Jawaban “tidak setuju” diberikan skor 3
- Jawaban “sangat tidak setuju” diberikan skor 4
Tindakan adalah bentuk nyata dari perilaku penderita diabetes mengenai pola makan
dengan yang dinilai melalui 10 pertanyaan. Tindakan dapat diukur dengan skoring
terhadap kuesioner. Apabila jawaban “ya” diberikan skor 3, jawaban “kadang-kadang”
diberikan skor 2, dan jawaban “tidak pernah” diberikan skor 1.

16
3.9 Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang terkumpul diedit dan diolah dengan bantuan komputer dan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisa data yang diguanakan melalui program
komputer SPSS dan dianalisis secara deskriptif.

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari setiap


variabel yang diteliti mulai dari karakteristik responden, kejadian diabetes melitus, dan
perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) responden. Sebanyak 21 responden
berpartisipasi dalam penelitian ini.

4.1 Karakteristik Responden


Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
Usia n %
18-59 tahun 10 47,6
≥60 tahun 11 52,4
Jumlah 21 100
Hasil distribusi penyebaran responden berdasarkan usia menunjukan jumlah pasien
lansia sebanyak 11 orang sedangkan pasien dewasa sebanyak 10 orang. Hal ini sesuai
dengan data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi DM tertinggi terjadi pada
kelompok usia 55-64 tahun yakni sebanyak 6,3% diikuti dengan kelompok usia 65-74
tahun dengan 6%.5 Seiring bertambahnya usia, terjadi intoleransi glukosa yang
meningkat secara progresif. Penurunan kapasitas kompensasi sel beta pankreas
menyebabkan resistensi insulin yang ditandai oleh hiperglikemia postprandial pada
lansia.15

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin n %
Laki-laki 6 28,6
Perempuan 15 71,4
Jumlah 21 100
Dari hasil penelitian yang dilakukan, jumlah responden perempuan lebih banyak
daripada laki-laki dengan perbandingan 5:2. Gambaran jenis kelamin ini sesuai dengan
Riskesdas 2018 yang mana jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki yang
mengalami diabetes melitus tipe 2.5 Menurut Zhang dkk., perbedaan gender tidak
bermakna dalam prevalensi DM tipe 2 meskipun ditemukan jika laki-laki lebih sering
mengalami DM tipe 2 daripada perempuan. Faktor risiko independen yang terjadi pada
kedua gender ialah kelebihan berat badan, obesitas, tingkat trigliserida yang tinggi, dan
hipertensi.16

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Tingkat Pendidikan n %
Tidak sekolah 3 14,3
SD 6 28,6

18
SMP 5 23,8
SMA 4 19,0
Pendidikan tinggi 3 14,3
Jumlah 21 100
Tingkat pendidikan responden yang paling banyak ialah SD yaitu sebesar 28,6%,
SMP 23,8%, dan SMA 19%. Jumlah responden yang tidak sekolah setara dengan
responden yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 3 orang. Efek kesehatan dari
pendidikan akan menciptakan kesadaran diri yang lebih baik secara keseluruhan pada
kesehatan pribadi dan membuat akses ke tingkat pelayanan kesehatan menjadi lebih
mudah.17

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan


Pekerjaan n %
Pensiunan/tidak bekerja 4 19,0
PNS/POLRI/TNI/BUMN 2 9,5
Wiraswasta/pedagang/petani 8 38,1
Ibu rumah tangga 7 33,3
Jumlah 21 100
Berdasarkan pekerjaannya, responden lebih banyak bekerja di sektor informal seperti
wiraswasta, pedagang, petani yaitu sebanyak 8 orang dan sebagai ibu rumah tangga yaitu
sebanyak 7 orang. Pekerjaan berkorelasi dengan tingkat pendidikan responden. Jenjang
pendidikan terakhir yang responden tempuh paling banyak tingkat SD dan dilanjutkan
dengan SMP. Hasil ini menyebabkan sebagian besar responden bekerja di sektor-sektor
informal.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pernah atau Tidaknya


Mendapatkan Penyuluhan
Penyuluhan n %
Tidak pernah 5 23.8
Pernah 16 76,2
Jumlah 21 100
Dari 21 responden yang ikut penelitian ini, sebanyak 76,2% responden pernah
mendapatkan penyuluhan mengenai diabetes melitus tipe 2. DM tipe 2 merupakan silent
killer karena penyakit ini dapat merusak berbagai organ. Penyakit kronik ini memerlukan
tatalaksana jangka panjang sehingga pasien perlu mendapatkan informasi yang lengkap
mengenai penyakit hingga tatalaksana yang patut dilakukan selama rawat jalan. Menurut
Laumara dkk., penyuluhan memberikan pengaruh yang baik terhadap pengetahuan dan
kepatuhan diet DM tipe 2. Meskipun pasien yang sudah pernah mendapat penyuluhan
sudah lebih dari 75%, alangkah baiknya jika dilakukan penyuluhan berkala. Penyuluhan
dapat menjadi upaya promotif dan preventif dalam mengatasi diabetes melitus tipe 2. 18

4.2 Kejadian Diabetes Melitus


Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Menderita DM
Lama menderita DM n %

19
< 1 tahun 3 14,3
≥ 1 tahun 18 85,7
Jumlah 21 100
Responden yang ikut dalam penelitian ini rata-rata sudah mengalami diabetes melitus
selama lebih dari 1 tahun. Semakin lama pasien telah mengalami diabetes melitus tipe 2
dapat menyebabkan penyakit semakin berkembang jika tidak mendapatkan tatalaksana
yang adekuat. DM tipe 2 merupakan penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya infark
miokard, stroke, kejadian mikrovaskular dan kematian yang terkait dengan kondisi
hiperglikemia yang dialami pasien.19 Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi secara rutin
mengenai pengobatan, pola makan, aktivitas fisik, dan komplikasi pada pasien.
Komplikasi jangka panjang akibat penyakit DM tipe 2 berupa gangguan pada
pembuluh darah baik mikrovaskular atau makrovaskular. Komplikasi makrovaskular
umumnya mengenai pembuluh darah besar, otak, dan jantung sedangkan komplikasi
mikrovaskular dapat terjadi pada organ ginjal dan mata. Selain itu, keluhan neuropati
sering dialami oleh pasien DM tipe 2 baik berupa neuropati motorik, sensotik maupun
otonom.1

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Keluarga


Riwayat Keluarga n %
Tidak ada penderita DM 14 66,7
Ada penderita DM 7 33,3
Jumlah 21 100
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat keluarga, 2/3
responden tidak memiliki riwayat keluarga yang mengalami DM tipe 2. Faktor genetik
memiliki pengaruh yang relevan terhadap risiko DM tipe 2. Studi pada keluarga dan
kembaran menunjukkan bahwa DM tipe 2 memiliki komponen bawaan yang kuat
(diperkirakan 50%). Akan tetapi, kecenderungan faktor genetik dapat berkembang
menjadi penyakit DM tipe 2 dipengaruhi oleh faktor lingkungan “diabetogenik” seperti
nutrisi berkalori tinggi dan kurang olahraga.20,21

4.3 Perilaku Responden


4.3.1 Pengetahuan
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Berdasarkan Pertanyaan
3 (baik) 2 (cukup) 1 (kurang)
No Pertanyaan Pengetahuan
n % n % n %
1 Apakah Anda tahu apa pengertian 5 23,8 7 33,3 9 42,9
diabetes melitus?
2 Berapakah seharusnya kadar gula yang 7 33,3 2 9,5 12 57,1
normal?
3 Apakah gejala-gejala umum yang terjadi 18 85,7 3 14,3 0 0
akibat diabetes melitus?
4 Apakah yang dapat menyebabkan 11 52,4 0 0 10 47,6
diabetes melitus?

20
5 Cara praktis yang bisa dilakukan dalam 19 90,5 1 4,8 1 4,8
penyajian jumlah makanan untuk
penderita diabetes melitus
6 Jenis makanan yang dianjurkan untuk 16 76,2 1 4,8 4 19,0
penderita diabetes melitus dalam
pengaturan pola makan
7 Jadwal makan yang dianjurkan bagi 3 14,3 8 38,1 10 47,6
penderita diabetes melitus dalam
pengaturan pola makan
8 Aturan jadwal makan yang dianjurkan 4 19,0 15 71,4 2 9,5
bagi penderita diabetes melitus dalam
pengaturan pola makan
9 Cara yang tepat untuk mengatur pola 17 81,0 2 9,5 2 9,5
makan untuk penderita diabetes melitus
adalah dengan cara diet, tujuan diet
10 Menurut Anda bagaimana 13 61,9 8 38,1 0 0
menanggulangi penyakit diabetes
melitus?
Tingkat pengetahuan dinilai dengan mengajukan 10 pertanyaan kepada setiap responden.
Pengetahuan diukur dengan skoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Apabila
jawaban baik skornya 3, jawaban cukup skornya 2, dan jawaban kurang skornya 1.
Pertanyaan yang mendapatkan skor 3 (baik) paling banyak ialah pertanyaan mengenai
penyajian jumlah makanan yang praktis untuk pasien DM tipe 2 yaitu dengan cara “1 piring
makan biasa diisi dengan separuhnya sayur, seperempatnya dengan nasi dan sisanya dengan
lauk setiap kali makan”. Pertanyaan yang mendapatkan skor 2 (cukup) paling banyak ialah
pertanyaan mengenai jadwal makan yang dianjurkan bagi penderita DM tipe 2. Sebagian
besar responden memilih makan 3x sehari tanpa makan kecil di malam hari padahal pasien
masih boleh diberikan makanan selingan seperti buah sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari. Pertanyaan yang mendapat skor 1 (kurang) paling banyak ialah pertanyaan tentang
kadar gula darah yang normal. Hampir setengah dari jumlah responden tidak mengetahui
kadar glukosa darah yang normal padahal pengetahuan mengenai kadar glukosa darah baik
dalam keadaan puasa atau tidak penting untuk menilai respons terapi.

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan


Pengetahuan Responden n %
Baik 13 61,9
Cukup 8 38,1
Kurang 0 0
Jumlah 21 100

21
Keseluruhan jawaban dari kuesioner pengetahuan dijumlahkan untuk menilai tingkat
nilai yang baik, cukup, dan kurang. Nilai baik jika diperoleh >75% dari seluruh skor yang ada
sedangkan nilai cukup jika diperoleh 45-75% dari seluruh skor yang ada. Pada penelitian ini
sebanyak 13 responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan 8 orang responden
memiliki tingkat pengetahuan yang cukup.

4.3.2 Sikap
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Berdasarkan Pernyataan
4 3 2 1
No Pernyataan Sikap Responden
n % n % n % n %
Kadar gula darah pada waktu
puasa < 126 mg/dL dan kadar
1 4 19,0 10 47,6 7 33,3 0 0
gula darah sewaktu > 200 mg/dL
disebut dengan diabetes melitus
Kadar gula darah meningkat
2 sesuai dengan usia adalah hal 1 4,8 7 33,3 9 42,9 4 19,0
yang wajar
Diabetes melitus yang tidak
3 ditanggulangi akan sembuh 18 85,7 3 14,3 0 0 0 0
dengan sendirinya
Saat gula darah saya sudah atau
mendekati normal, saya
4 15 71,4 3 14,3 2 9,5 1 4,8
diperbolehkan dengan leluasa
memilih makanan yang saya mau
Pengaturan makan mencakup
jumlah makanan, jenis makanan,
5 dan jadwal makan harus 11 52,4 7 33,3 2 9,5 1 4,8
dilakukan dibawah pengawasan
petugas kesehatan
Sebagai penderita diabetes
melitus saya merasa tidak
6 5 23,8 10 47,6 3 14,3 3 14,3
terbebani dalam melakukan
pengaturan pola makan
Makanan yang dikonsumsi
penderita diabetes melitus
7 9 42,9 12 57,1 0 0 0 0
sehari-hari disusun agar
memperbaiki kesehatan
Jenis makanan yang perlu
dihindari atau dibatasi untuk
8 penderita diabetes adalah yang 12 57,1 7 33,3 0 0 2 9,5
mengandung banyak gula
sederhana
9 Pengaturan pola makan 6 28,6 12 57,1 1 4,8 2 9,5
bertujuan untuk menarik dan

22
mudah diterima penderita
diabetes melitus
Dasar penyusunan pola makan
penderita diabetes diupayakan
10 dari biasanya sehingga makanan 6 28,6 13 61,9 0 0 2 9,5
dapat mudah diterima oleh
penderita
Sikap responden dinilai dengan mengajukan 10 pernyataan lalu responden
menggunakan skala likert untuk menjawab pernyataan dengan jawaban “sangat setuju”,
“setuju”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”. Pernyataan yang dinilai paling banyak
yang tepat ialah pernyataan “Diabetes melitus yang tidak ditanggulangi akan sembuh dengan
sendirinya” dengan jawaban sangat tidak setuju. Pernyataan yang dinilai paling banyak
kurang tepat ialah pernyataan “Kadar gula darah meningkat sesuai dengan usia adalah hal
yang wajar” dengan jawaban sangat setuju.

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap


Sikap Responden n %
Baik 8 38,1
Cukup 13 61,9
Kurang 0 0
Jumlah 21 100
Keseluruhan jawaban dari kuesioner sikap dijumlahkan untuk menilai tingkat nilai yang
baik, cukup, dan kurang. Nilai baik jika diperoleh >75% dari seluruh skor yang ada
sedangkan nilai cukup jika diperoleh 45-75% dari seluruh skor yang ada. Pada penelitian ini
sebanyak 8 responden memiliki sikap yang baik dan 13 orang responden memiliki sikap yang
cukup. Responden yang memiliki sikap yang cukup perlu mendapatkan informasi mengenai
DM tipe 2 melalui tenaga kesehatan dan persuasi dari kelompok sosialnya.

4.3.3 Tindakan
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Tindakan Responden Berdasarkan Pertanyaan
3 (baik) 2 (cukup) 1 (kurang)
No Pertanyaan Tindakan
n % n % n %
1 Ketika ada gejala diabetes melitus seperti
banyak kencing, banyak makan, banyak
21 100 0 0 0 0
minum dan lain-lain, apakah yang paling
utama yang Anda lakukan?
2 Apa yang Anda lakukan setelah 19 90,5 1 4,8 1 4,8
menjalani pengobatan diabetes melitus
dari dokter/petugas kesehatan lainnya
dan dinyatakan bahwa kadar gula darah

23
Anda sudah normal?
3 Sebagai penderita diabetes melitus
apakah Anda selalu menerapkan pola 16 76,2 5 23,8 0 0
makan yang baik?
4 Kapan Anda menerapkan pengaturan
10 47,6 4 19,0 7 33,3
pola makan yang baik?
5 Selain nasi, makanan apa yang Anda
8 38,1 11 52,4 2 9,5
konsumsi untuk memenuhi kebutuhan?
6 Berapa selang waktu yang Anda berikan
5 23,8 12 57,1 4 19,0
dari makan besar ke makan kecil?
7 Dalam pola makan yang Anda konsumsi
apakah ada bahan makanan seperti ikan
6 28,6 14 66,7 1 4,8
asin, telur asin, dan makanan yang
diawetkan?
8 Untuk menu makanan yang Anda
konsumsi, apakah ada mengandung gula
6 28,6 14 66,7 1 4,8
sederhana seperti kue manis, cake atau
jeli?
9 Apakah Anda makan sebelum merasa
11 52,4 4 19,0 6 28,6
lapar?
10 Apakah Anda mengkonsumsi susu untuk
4 19,0 4 19,0 13 61,9
penderita diabetes?
Tindakan dinilai dengan mengajukan 10 pertanyaan kepada setiap responden. Tindakan
responden diukur dengan skoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Apabila
jawaban baik skornya 3, jawaban cukup skornya 2, dan jawaban kurang skornya 1.
Pertanyaan yang mendapatkan skor 3 (baik) paling banyak ialah pertanyaan “Ketika ada
gejala diabetes melitus seperti banyak kencing, banyak makan, banyak minum dan lain-lain,
apakah yang paling utama yang Anda lakukan?”. Seluruh respoden langsung memeriksakan
diri ke dokter/petugas kesehatan jika memiliki gejala-gejala DM tipe 2. Pertanyaan yang
mendapatkan skor 2 (cukup) paling banyak ialah pertanyaan mengenai kebiasaan makan
berupa makan ikan asin, telur asin, dan makanan yang diawetkan serta makanan yang
mengandung gula sederhana. Sebanyak 14 responden masih kadang-kadang mengkonsumsi
makanan yang sepatutnya tidak dikonsumsi oleh pasien DM tipe 2. Pertanyaan yang
mendapat skor 1 (kurang) paling banyak ialah pertanyaan ”Apakah Anda mengkonsumsi susu

24
untuk penderita diabetes?”. Sebanyak 13 responden tidak mengkonsumsi susu khusus
diabetes disebabkan karena rasanya yang tidak enak, tidak terbiasa mengkonsumsi susu, dan
harganya yang mahal.

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tindakan


Tindakan Responden n %
Baik 15 71,4
Cukup 6 28,6
Kurang 0 0
Jumlah 21 100
Keseluruhan jawaban dari kuesioner tindakan dijumlahkan untuk menilai tingkat nilai
yang baik, cukup, dan kurang. Nilai baik jika diperoleh >75% dari seluruh skor yang ada
sedangkan nilai cukup jika diperoleh 45-75% dari seluruh skor yang ada. Secara keseluruhan,
sebanyak 15 responden memiliki tindakan yang baik dan 6 responden memiliki tindakan yang
cukup dalam pengaturan pola makan pada pasien DM tipe 2. Pada penelitian ini tindakan
diukur secara tidak langsung melalui kuesinoner. Untuk lebih akuratnya tindakan dapat
dinilai secara langsung melalui observasi sehingga tidak menghasilkan hasil yang bias.

25
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
a. Berdasarkan hasil penelitian dari 21 responden sebanyak 15 berjenis kelamin
perempuan dengan jumlah responden lansia sebanyak 11 responden. Sebanyak 6
responden menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dengan pekerjaan terbanyak di
sektor wiraswasta, pedagang, dan petani. Sebanyak 16 respoden telah mendapatkan
penyuluhan mengenai DM tipe 2.
b. Berdasarkan hasil penelitian dari 21 responden sebanyak 18 responden mengalami
DM tipe 2 lebih dari 1 tahun dan sebanyak 1/3 dari responden yang memiliki riwayat
keluarga dengan DM tipe 2.
c. Berdasarkan hasil penelitian dari 21 responden sebanyak 13 responden
berpengetahuan baik, 8 responden bersikap baik, dan 15 responden miliki tindakan
yang baik terhadap kebiasaan makan dan pola makan penderita DM tipe 2.
5.2 Saran
a. Meningkatkan peran aktif seluruh pihak terkait pengelolaan pasien DM tipe 2 di
Puskesmas Penebel 1 dengan melakukan edukasi yang disesuaikan dengan kondisi
masing-masing pasien mengenai pola makan DM tipe 2 yang baik.
1) Menyediakan edukator khusus tentang DM tipe 2 yang secara berkala
mengevaluasi pola makan pasien
2) Menggunakan berbagai sarana dalam edukasi mulai dari leaflet, poster, dan
video edukasi
3) Menyediakan logbook untuk mencatat pola makan, aktivitas fisik, obat, dan hasil
GDP agar pasien menjadi lebih awas tentang kondisinya
b. Meningkatkan kesadaran pasien DM tipe 2 untuk selalu menerapkan pola makan
yang dianjurkan untuk pasien DM tipe 2 dan selalu memantau gula darah untuk
menilai keberhasilan terapi.
c. Meningkatkan partisipasi aktif keluarga pasien selaku pelaku rawat pasien agar
pasien selalu menerapkan kebiasaan makan yang baik bagi pasien DM tipe 2.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soelistijo SA, Suastika K, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto K, dkk. Pedoman


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Insonesia 2021. Jakarta: PB
PERKENI; 2021.

2. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas [Internet]. 10 ed. 2021. Tersedia
pada: https://diabetesatlas.org

3. Khan MAB, Hashim MJ, King JK, Govender RD, Mustafa H, Al Kaabi J. Epidemiology
of Type 2 Diabetes – Global Burden of Disease and Forecasted Trends. J Epidemiol Glob
Health. Maret 2020;10(1):107–11.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Provinsi Bali Riskesdas 2018.


Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;

7. WHO. Diabetes [Internet]. [dikutip 17 Desember 2022]. Tersedia pada:


https://www.who.int/health-topics/diabetes

8. CDC. Type 2 Diabetes [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention. 2022
[dikutip 17 Desember 2022]. Tersedia pada:
https://www.cdc.gov/diabetes/basics/type2.html

9. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.; 2003.

10. Janz NK, Becker MH. The Health Belief Model: a decade later. Health Educ Q.
1984;11(1):1–47.

11. Sarwono S. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press; 2004.

12. Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. 1 ed. Jakarta: PT Rineka Cipta;
2007.

13. Dahlan M. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2010. 36 hlm.

14. Arikunto S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta;
1998.

15. Yakaryılmaz FD, Öztürk ZA. Treatment of type 2 diabetes mellitus in the elderly. World
J Diabetes. 15 Juni 2017;8(6):278–85.

16. Zhang H, Ni J, Yu C, Wu Y, Li J, Liu J, dkk. Sex-Based Differences in Diabetes


Prevalence and Risk Factors: A Population-Based Cross-Sectional Study Among Low-

27
Income Adults in China. Front Endocrinol [Internet]. 2019 [dikutip 30 Januari 2023];10.
Tersedia pada: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fendo.2019.00658

17. Raghupathi V, Raghupathi W. The influence of education on health: an empirical


assessment of OECD countries for the period 1995–2015. Arch Public Health. 6 April
2020;78(1):20.

18. Laumara N, Mien M, Syahwal M. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap


Pengetahuan Dan Kepatuhan Diet Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Ruang Rawat
Inap Blud Rumah Sakit Konawe. J Ilm Karya Kesehat. 25 November 2021;2(01):35–41.

19. Fonseca VA. Defining and Characterizing the Progression of Type 2 Diabetes. Diabetes
Care. November 2009;32(Suppl 2):S151–6.

20. Rathmann W, Scheidt-Nave C, Roden M, Herder C. Type 2 Diabetes: Prevalence and


Relevance of Genetic and Acquired Factors for Its Prediction. Dtsch Ärztebl Int. Mei
2013;110(19):331–7.

21. Ali O. Genetics of type 2 diabetes. World J Diabetes. 15 Agustus 2013;4(4):114–23.

28

Anda mungkin juga menyukai