Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmatnya penelitian yang
berjudul hubungan antara asupan nutrisi dengan kesembuhan tetanus di RSUP
Fatmawati pada Bulan januari 2014 Desember 2014 dapat diselesaikan dengan
baik.

Penulis menyadari dalam penulisan penelitian ini banyak mengalami kendala


namun berkat bantuan dari berbagai pihak sehingga kendala yang dihadapi dapat
diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada RSUP
Fatmawati Jakarta Selatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta
Barat yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan
penelitian ini, selaku Dosen pembimbing yang selalu memberikan pengarahan dan
bimbingan Dr. Bambang Budiarto, Sp. B, orangtua dan teman-teman peneliti yang
selalu memberikan petunjuk dan arahan kepada peneliti guna menyelesaikan
masalah yang dihadapi.

Akhir kata mohon maaf yang sebesarnya apabila masih ada banyak kekurangan
pada penelitian ini, sehingga peneliti menerima segala kritik dan saran yang
bersifat membangun.

Jakarta, Juni 2015


Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar belakang 4
1.2 Perumusan masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.3.1 Tujuan umum 4
1.3.2 Tujuan khusus 4
1.4 Hipotesis 5
1.5 Manfaat 5
1.5.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan 5
1.5.2 Manfaat bagi profesi 5
1.5.3 Manfaat bagi masyarakat 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

BAB III KERANGKA KONSEP 26


3.1 Kerangka konsep 26
3.2 Variabel penelitian 26
3.2.1 Variabel bebas 26
3.2.2 Variabel tergantung 26

BAB IV METODE 27
4.1 Desain penelitian 27
4.2 Lokasi dan waktu penelitian 27
4.3 Populasi dan sampel penelitian 27
4.3.1 Populasi 27
4.3.1.1 Populasi target 27
4.3.2 Sampel
27
4.3.2.1 Besar sampel 27

2
4.3.2.2 Teknik pengambilan sampel 27
4.4 Bahan dan instrumen penilitian 28
4.5 Analisis data 28
4.5.1 Analisis univariat 28
4.5.2 Analisis bivariat 28
4.6 Alur kerja penelitian 29
4.7 Etika penelitian 29

BAB V HASIL 30

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 31


7.1 Kesimpulan 31
7.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di
90 negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang
yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Prognosis tetanus ditentukan
salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara
intensif. Jika tetanus didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka
dapat menurunkan angka kematian. Salah satu penanganan yang perlu
diperhatikan pada tetanus adalah pemberian asupan nutrisi yang cukup. Hal ini
berkaitan dengan prognosis dari tetanus, dimana penderita dengan undernutrisi
mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Maka
dari itu, peneliti melakukan penelitian hubungan antara asupan nutrisi dengan
kesembuhan tetanus di RSUP Fatmawati dalam jangka waktu Januari 2014 sampai
Desember 2014.

1.2 Perumusan masalah

Apakah ada hubungan antara asupan nutrisi dengan kesembuhan tetanus ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

1. Mengetahui hubungan antara asupan nutrisi dengan kesembuhan tetanus


di RSUP Fatmawati
1.3.2 Tujuan khusus

4
1. Mengetahui cara pemberian nutrisi dengan kesembuhan tetanus pada
pasien rawat tetanus di RSUP Fatmawati
2. Mengetahui frekuensi makan dengan kesembuhan tetanus pada pasien
rawat tetanus di RSUP Fatmawati

1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara asupan nutrisi dengan kesembuhan tetanus

1.5 Manfaat

1.1.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan


Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan referensi mengenai
hubungan asupan nutrisi dengan kesembuhan tetanus
1.5.2. Manfaat bagi profesi
Diharapkan nantinya para praktisi medis dapat lebih memperhatikan
tatalaksana dibidang nutrisi pada pasien tetanus
1.5.3 Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada masyarakatakan tentang
penyakit tetanus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1 Tetanus

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan


penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak
adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap
tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih
besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor
walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada
tetanus dengan masa inkubasi yang lama.

Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada


lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang. Angka kejadian
dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan
negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan
pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum
pada tahun 1988 sebesar 10,9 dan tahun 1992 sebesar 7,3 . Angka tersebut
cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan
jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun
1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8
dan 4,2 secara berurutan.

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan


yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus
mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat
didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan
angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh
pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.1

2.2 Definisi

6
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang
disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan
rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi
spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak
pada sistem saraf perifer atau otot.2

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram


positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini
menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran
tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan
terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat
dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda.
Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk
vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan
menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. 3

2.3 Patofisiologi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka


dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya
penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.

7
Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik
perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian
berdasarkan atas percobaan pada hewan. Penyebaran toksin Toksin yang
dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
berikut3 :

1. Masuk ke dalam otot


Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar
luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden
melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke
dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke
peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem
limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka.
Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting
sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian
besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran
darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang
sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke
organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung
meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut
saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf
motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior
medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung
dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.4

8
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

1. Tetanus lokal. Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi


terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup
untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka.
2. Tetanus sefal. Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma
pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh
nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.
3. Ascending Tetanus. Suatu bentuk penyakit tetanus yang pada awalnya
berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar
mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka
masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.
4. Tetanus umum. Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke
dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini
biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan
dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan
setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus
otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai
urutan panjang saraf

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin


mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai
patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik


pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting
untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan

9
toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil
mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan
dengan sel saraf.

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4

Perubahan akibat toksin tetanus:


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological
enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi
tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang.
Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi.
Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan
saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang
(interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi
toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.4

Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat

10
tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel
saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak,
seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau
antikonvulsan yang diberikan.4

2. Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP
tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP.
Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis
nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik
dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas
neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot
yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai
beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis,
hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem
tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang
berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu
anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom
bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran
cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat
pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

11
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen;


otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila
kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan
rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering
mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan
hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari
saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena
adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk
dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi
untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia,
bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi.
Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal,
oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula
karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang
mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat


pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa
kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis
tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita
mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat


pernafasan pada penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang


berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme

12
dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam
beberapa menit sampai -1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya
meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh


penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena
kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres
pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai
hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi
seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan
keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem
kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik
mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya


kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik
dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus
tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai
percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen,
katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi
albumin.

13
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah
dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP,
keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali
toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang
dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita
tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.5

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai


terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode
hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi
sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya
aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-
hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron
lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga
karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin.6

8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara


langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal.
Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis
hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara
klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan
fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan
semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari

14
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis
karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat
saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi
sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler
pada organ tertentu.

2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis


1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat,
trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus
sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap
prognostik.7
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan
angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme
yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2
hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan
disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum

15
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat
berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan,
kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta
ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang
umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara
dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi
tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik
dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang
sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan,
irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik :
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus
yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas
atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian
biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi
dan kegagalan jantung paru.7

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :


a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,
disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu
dan disfagia ringan
c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan,
takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan
aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan

16
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak
berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat,
maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat
tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher,
punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta
kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal
maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang
diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit
tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum
seringnya tidak ditemukan. - Kreatinin fosfokinase dapat
meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.4 Diagnosis banding dan komplikasi


1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah
Meningitis bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom
Shiffman, Efek samping fenotiazin, Peritonsiler abses.8

2. Komplikasi

17
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan
pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya
karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran
nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis.
Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia,
aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat
menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat
terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran
kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.8
2.5 Penatalaksanaan

1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas
kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap
penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin,
karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka
terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau
penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15
mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan,
kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian
metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam
dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal
ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka

18
kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan
respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat
digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis
maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin
200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang
sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.8
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing
dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita
mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali
pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila
perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000
unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan
secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum
tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis
yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat
juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS
intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang
disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada
tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan
sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada
neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian

19
intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah
timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak
memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat
menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG
500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis
yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991)
mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM
untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi
ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal
menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan,
terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan
pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),
pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada
neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada
tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya
diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk
neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat
menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan
segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10
menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat

20
diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25
mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin
tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih
pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan
dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan
penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV
glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi
50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap.
Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian
oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus
dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi
dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak
terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 < >
3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan
lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus


a. Tetanus ringan

21
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi
pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan
perawatan suportif seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan
intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam
anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi
secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang
perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator
sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme
sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV
diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas
simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol.8
2.6 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi,
masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan
tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini
meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.8
Tabel 1. Philips Score
Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 10 hari 3 Kejang terbatas 3

22
2 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak langsung) 8 Selalu apnea setelah kejang 8
Mengancam nyawa 10 Perlu trakeostomi 10

2.7 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus
yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid.
Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi
dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi
terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis
kelamin.

23
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun
dan jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih
dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga
harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM.
Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua
individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya
mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade
pertengahan seperti 35, 45 dan seterusnya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk,
luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus.
Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan
anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk
pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali
pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan
apapun ke dalam punting tali pusat
- Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi
tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab

24
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka konsep

Kesembuhan Asupan nutrisi


tetanus

Gambar 1. Kerangka Konsep

3.2. Variabel penelitian

3.2.1 Variabel bebas : Kesembuhan Tetanus

3.2.2 Variabel tergantung : Asupan nutrisi

25
BAB IV
METODE

4.1 Desain penelitian


Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yang bersifat analitik observasional dan
menggunakan desain cross sectional (potong silang) dimana peneliti melakukan observasi atau
pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Variabel bebas di dalam penelitian ini adalah
kesembuhan tetanus. Sedangkan asupan nutrisi adalah variabel tergantungnya.

4.2 Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati pada kurun waktu Mei 2015 sampai
dengan Juni 2015 yang diawali dengan pengumpulan data, mengolah hasil dan penulisan laporan
penelitian.

4.3 Populasi dan sampel penelitian


4.3.1 Populasi
4.3.1.1 Populasi target
Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien yang dirawat di RSUP
Fatmawati dengan diagnosis tetanus dalam kurun waktu Januari 2014 sampai dengan
Desember 2014.

4.3.2 Sampel
4.3.2.1 Besar sampel
Besar sampel penelitian ini berdasarkan data pasien pada rekam medis yang
diakses adalah 20 sampel.
4.3.2.2 Teknik pengambilan sampel
Dalam proses pengambilan sampel peneliti menggunakan teknik purposive
sampling dimana dari total seluruh pasien yang dirawat di RSUP Fatmawati dari kurun
waktu Januari 2014 sampai dengan Desember 2014 peneliti memilih dan memasukkan
sampel dengan memberikan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu.

26
-Kriteria inklusi: Seluruh pasien yang dirawat di RSUP Fatmawati dengan diagnosis
tetanus pada kurun waktu Januari 2014 sampai dengan Desember
2014.
-Kriteria eksklusi: - Pasien tanpa riwayat atau diagnosis sakit tetanus
- Pasien yang dirawat diluar kurun waktu Januari 2014 Desember
2014

4.4 Bahan dan instrumen penilitian


Data didapat melalui data sekunder yang tersedia di Bagian Instalasi Rekam Medis RSUP
Fatmawati.

4.5 Analisis data

Proses pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer


SPSS (Statistic Package for Sosial Science). Proses pertama dilakukan editing untuk memeriksa
ketepatan dan kelengkapan data. Selanjutnya dilakukan proses pengkodean atau coding, yakni
mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Proses ketiga
dilakukan entry , yaitu pemasukan data ke dalam komputer. Setelah semua data selesai
dimasukkan, dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-
kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau
koreksi. Proses terakhir adalah saving, data yang telah dimasukkan dan telah diperiksa disimpan
dalam folder.

Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk
mendeskripsikan karakter masing-masing variabel yang diteliti. Analisis bivariat adalah analisis
yang melibatkan dua variabel yaitu satu variabel bebas dan satu variabel tergantung. Hubungan
antar variabel dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square, dengan nilai kemaknaan p
< 0,05. Bila syarat tidak memenuhi, dilakukan uji Fisher.

27
4.6 Alur kerja penelitian

Pengajuan Pengajuan izin Pengumpulan


Judul akses rekam medis data
RSUP Fatmawati

Presentasi Pengumpulan Pengolahan data


laporan penelitian
dan revisi

Gambar 2. Alur kerja penelitian

4.7 Etika penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan didahului oleh persetujuan dari pihak RSUP Fatmawati
dimana peneliti memberikan permohonan untuk dapat mengakses rekam medis yang dibutuhkan
untuk mendapatkan data secara sekunder dalam pengumpulan sampelnya tanpa melanggar
hokum dan etika yang berlaku.

28
BAB V
HASIL

Pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta


Selatan. Dengan responden penelitiannya ialah pasien yang dirawat di RSUP Fatmawati pada
kurun waktu Januari 2014 sampai dengan Desember 2014 dengan diagnosa tetanus. Total sampel
penelitian ini berjumlah 20 sampel.

Tabel 2. Karakteristik responden


Variabel Jumlah presentase
Asupan nutrisi
NGT 12 60%
Per oral 8 40%
Lama rawat
<7 hari 8 40%
>7 hari 12 60%

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak dua belas pasien yang menggunakan NGT dan
delapan pasien yang mendapat asupan nutrisi secara per oral. Lama rawat pasien dikelompokkan
menjadi dua yaitu lama rawat lebih dari 7 hari dan lama rawat pasien yang kurang dari tujuh hari.
Sebanyak delapan pasien yang lama rawat kurang dari tujuh hari dan duabelas pasien yang lama
rawat lebih dari tujuh hari.

Tabel 3. Hubungan antara asupan nutrisi dan kesembuhan tetanus

Asupan Nutrisi
Variabel NGT Per oral P
N N
Lama Rawat
<7 hari 4 4 0,648
>7 hari 8 4
n = jumlah , Uji Fisher, < 0,05 (perbedaan bermakna)

Berdasarkan tabel 3, Hasil uji hubungan antara asupan nutrisi dan lama rawat (p = 0,648),
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna.

29
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:

Berdasarkan data yang didapat, jumlah pasien yang lama rawat kurang dari tujuh hari
sebanyak delapan pasien, empat diantaranya mendapat asupan nutrisi secara oral dan
empat lainnya secara NGT
Jumlah pasien yang lama rawat lebih dari tujuh hari sebanyakdua belas, delapan
diantaranya mendapat asupan nutrisi melalui NGT dan empat pasien mendapat nutrisi
secara per oral
Dari hasil uji fisher didapatkan p value: 0.648 maka hipotesis peneliti yang
mengatakan adanya hubungan antara asupan nutrisi dan kesembuhan tetanus ditolak.

Frekuensi asupan nutrisi pada pasien yang dapat makan secara per oral sebanyak tiga kali
yaitu pagi, sore dan malam. Sedangkan frekuensi makan pada pasien yang dipasang NGT
sebanyak enam kali dalam satu hari dan diet makan cair.

Walaupun hasil dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara
asupan nutrisi dan kesembuhan tetanus, namun kita juga tidak dapat mengabaikan peranan
nutrisi dalam kesembuhan tetanus. Jika tubuh kekurangan nutrisi tentunya akan memperburuk
keadaan pasien.

6.2 Saran
1. Bagi Masyarakat
Hendaknya masyarakat luas berhati-hati di setiap aktivitas sehari-harinya dan
menghindarkan diri dari potensi terinfeksi tetanus. Dalam pelaksanaannya dapat
dibiasakan dengan penggunaan alas kaki yang aman dan layak sebagai alat pelindung
diri, perawatan yang baik dan benar ketika terluka, dan berhati-hati setiap melakukan
aktivitas yang berisiko tinggi terhadap terjadinya luka yang mengakibatkan adanya pintu
masuk yang berpotensi terhadap infeksi kuman tetanus.

2. Bagi penelitian

30
Bagi penelitian selanjutnya peneliti sangat berharap akan adanya penelitian
lainnya dengan jumlah sampel, waktu dan tempat yang berbeda mengenai penelitian yang
berhubungan dengan kesembuhan tetanus. Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian
sejenis, disarankan untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan kesembuhan tetanus seperti jenis kelamin dan usia.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784
8. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pemberantasannya.
Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33

LAMPIRAN

32
Statistics

Asupan nutrisi Lama rawat

Valid 20 20
N
Missing 0 0
Mean 1.60
Range 1

Asupan Nutrisi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent
NGT 12 60.0 60.0 60.0

Valid Oral 8 40.0 40.0 100.0

Total 20 100.0 100.0

Lama Rawat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

<7 8 40.0 40.0 40.0

Valid >7 12 60.0 60.0 100.0

Total 20 100.0 100.0

33

Anda mungkin juga menyukai