Anda di halaman 1dari 48

GAMBARAN FAKTOR RESIKO YANG MEMENGARUHI

KEJADIAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS PEMBANTU (PUSTU)


POKA, KECAMATAN WAE RI’I, KABUPATEN MANGGARAI
PERIODE JANUARI S/D SEPTEMBER 2019

TUGAS MINIPROJECT

DISUSUN OLEH:
dr. VANESSA PRISCILLIA

PEMBIMBING:
dr. ELISABETH ERNAWATY NDORI

PROGRAM DOKTER INTERNSIP PUSKESMAS TIMUNG, KECAMATAN WAE


RI’I, KABUPATEN MANGGARAI
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat-
Nyalah, peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian berjudul, “Gambaran
Faktor Resiko yang Memengaruhi Kejadian Hipertensi di Puskesmas Pembantu
(Pustu) Poka, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai Periode Januari s/d
September 2019” ini dengan sebaik-baiknya.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kepala Puskesmas Timung yang telah memberikan ijin untuk melakukan
penelitian di wilayah kerja Puskesmas.
2. dr. Elisabeth Ernawaty Ndori selaku pendamping dokter internsip
Puskesmas Timung yang telah membimbing selama penelitian dilakukan.
3. Rekan-rekan di Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka yang telah membantu
dalam pengumpulan data pasien hipertensi di wilayah kerja Pustu Poka.
4. Rekan sejawat para dokter internsip yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian.

Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Ruteng, Oktober 2019

Peneliti

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 5
1.2 RUMUSAN MASALAH 8
1.3 TUJUAN 8
1.4 MANFAAT 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIPERTENSI 10
BAB 3 KERANGKA KONSEP 34
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 DESAIN PENELITIAN 35
4.2 POPULASI DAN SAMPEL 35
4.3 VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI 36
OPERASIONAL
4.4 INSTRUMEN PENELITIAN 36
4.5 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 36
4.6 PROSEDUR PENELITIAN 36
4.7 CARA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 37
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 GAMBARAN JENIS KELAMIN 38
5.2 GAMBARAN UMUR 38
5.3 GAMBARAN RIWAYAT KELUARGA 39
5.4 GAMBARAN KEBIASAAN MEROKOK 40
5.5 GAMBARAN KONSUMSI MAKANAN ASIN 40
5.6 GAMBARAN OBESITAS 41
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 GAMBARAN JENIS KELAMIN 42
6.2 GAMBARAN UMUR 42

3
6.3 GAMBARAN RIWAYAT KELUARGA 42
6.4 GAMBARAN KEBIASAAN MEROKOK 43
6.5 GAMBARAN KONSUMSI MAKANAN ASIN 43
6.6 GAMBARAN OBESITAS 43
6.7 KETERBATASAN PENELITIAN 44
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN 45
7.2 SARAN 45
DAFTAR PUSTAKA 47

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Data WHO tahun 2011 menunjukkan satu milyar orang di dunia menderita
hipertensi, dua pertiga diantaranya berada di negara berkembang yang
berpenghasilan rendah sampai sedang. Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan
darah (TD) sama atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/atau sama atau lebih dari
90 mmHg diastolik yang merupakan salah satu dari penyakit tidak menular (PTM)
dengan peningkatan kejadian setiap tahun. Prevalensi hipertensi akan terus
meningkat tajam dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang dewasa di
seluruh dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah mengakibatkan kematian sekitar
8 juta orang setiap tahun, dimana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara yang
sepertiga populasinya menderita hipertensi sehingga dapat menyebabkan
peningkatan beban biaya kesehatan.
Indonesia saat ini menghadapi pergeseran pola penyakit, dari penyakit
menular menjadi PTM yang disebabkan gaya hidup tidak sehat yang dipacu oleh
urbanisasi, modernisasi dan globalisasi. Data Sample Registration System (SRS)
Indonesia tahun 2014 menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyebab
kematian kelima pada semua umur. Institute for Health Metrics and Evaluation
(IHME) menampilkan data bahwa di tahun 2005 hipertensi menduduk peringkat
ketiga dari 10 faktor risiko yang paling sering menyebabkan kematian di
Indonesia. Hal ini meningkat sebanyak 24,1% di tahun 2016 sehingga naik
menjadi peringkat kedua.
Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia saat ini.
Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan
primer. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi,
yaitu sebesar 34,1% (Riskesdas 2018) yang meningkat dari 25,8% (Riskesdas
2013). Prevalensi tertinggi berada di Kalimantan Selatan (44,1%) dan terendah di
Papua (22,2%) dengan prevalensi rata-rata di Indonesia 34,1%. Nusa Tenggara
Timur memiliki prevalensi hipertensi sebesar 23,2% berdasarkan data Riskesdas

5
2013 dan tidak mengalami perubahan signifikan pada data Riskesdas 2018. Ini
menunjukkan Nusa Tenggara Timur dengan prevalensi hipertensi lebih rendah
dibanding prevalensi rata-rata di Indonesia. Jumlah persentase penderita
hipertensi di Kabupaten Manggarai berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur tahun 2017 adalah 12.301 orang.
Hipertensi terjadi pada kelompok usia 31-44 tahun (31,6%), 45-54 tahun
(45,3%), dan 55-64 tahun (55,2%). Dari prevalensi 34,1% diketahui 8,8%
terdiagnosis hipertensi dan 13,3% yang terdiagnosis hipertensi tidak minum obat
serta 32,3% tidak rutin minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita hipertensi tidak memahami kondisinya sehingga tidak mendapat
pengobatan adekuat. Alasan penderita hipertensi tidak minum obat antara lain
karena merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3%),
minum obat tradisional (14,5%), menggunakan terapi lain (12,5%), lupa minum
obat (11,5%), tidak mampu beli obat (8,1%), terdapat efek samping obat (4,5%),
dan antihipertensi tidak tersedia di fasyankes (2%).
Berdasarkan data Global Burden of Disease tahun 2017, diperoleh bahwa
penyakit kardiovaskular merupakan urutan pertama penyebab kematian di Nusa
Tenggara Timur. Jika hipertensi tidak tertangani dengan baik maka akan
menimbulkan komplikasi seperti stroke, gagal jantung, infark miokard, hingga
koma. Biaya perawatan dan pengobatan dari komplikasi tersebut akan membebani
kondisi keuangan keluarga.
Hipertensi sering disebut silent killer karena sering tanpa keluhan, tetapi
kemudian sudah terdapat penyakit penyulit atau komplikasi dari hipertensi itu
sendiri. Hasil Riskesdas 2013 diketahui bahwa hanya sepertiga penderita
hipertensi (36,8%) yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan hanya 0,7% yang
minum obat.
Dari hasil pengumpulan data profil kesehatan Kabupaten/Kota di Nusa
Tenggara Timur bahwa kasus hipertensi ini belum dilaporkan dengan baik. Pada
tahun 2017 dilaporkan sebanyak 59.257 kasus, namun banyak daerah yang tidak
memiliki data lengkap, termasuk kabupaten Manggarai. Profil Kesehatan Nusa

6
Tenggara Timur (2016) melaporkan bahwa jumlah hipertensi sebesar 76.130
penduduk dan menduduki peringkat keempat.
Di wilayah kerja Puskesmas Timung, hipertensi merupakan salah satu dari
10 penyakit terbesar yang dilaporkan. Dalam manajemen pengelolaan hipertensi,
Puskesmas Timung khususnya Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka melakukan
beberapa kegiatan terkait, yakni prolanis, posyandu lansia, dan posbindu PTM.
Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif
yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan,
dan BPJS kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi para peserta BPJS
kesehatan yang menderita penyakit kronis (hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2)
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan
yang efektif dan efisien. Aktivitasnya meliputi konsultasi medis, edukasi, home
visit, reminder, dan pemantauan status kesehatan.
Posbindu PTM merupakan peran serta masyarakat dalam melakukan
kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor resiko PTM yang dilaksanakan
secara terpadu, rutin, dan periodik. Kelompok PTM utama adalah diabetes
mellitus, kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, PPOK, dan gangguan
akibat kecelakaan dan tindak kekerasan. Sasaran utama adalah kelompok
masyarakat sehat, beresiko, dan berusia 15 tahun keatas.
Puskesmas Timung mengambil kebijakan untuk memberikan konsultasi
medis dalam kegiatan posbindu PTM, khususnya bagi penderita hipertensi dan
diabetes mellitus, agar pengobatan dapat berlanjut sesuai aturan. Keterbatasan
sarana transportasi dan tingkat kesadaran sering menjadi kendala masyarakat
untuk berkunjung ke faskes tingkat pertama sehingga dikhawatirkan penyakit
hipertensi dan diabetes mellitus tidak tertangani dengan baik.
Posyandu lansia adalah suatu wadah pelayanan kesehatan bersumber daya
masyarakat untuk melayani penduduk lansia, yang proses pembentukan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya
masyarakat, lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi
sosial, dan lain-lain, dengan menitikberatkan pelayanan kesehatan pada upaya
promotif dan preventif. Hipertensi menempati urutan pertama dari sepuluh

7
penyakit yang sering diderita lansia pada tahun 2013, yakni usia 55-64 tahun
(45,9%), usia 65-74 tahun (57,6%), dan usia 75 tahun keatas( 63,8%). Selain itu
posyandu lansia juga membantu memacu lansia agar dapat beraktivitas dan
mengembangkan potensi diri. (infodatin lansia 2014). Dalam hal ini Puskesmas
Timung sering menyelenggarakan senam untuk lansia dan melakukan penyuluhan
terkait kondisi kesehatan lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran faktor resiko yang memengaruhi kejadian hipertensi
di lingkungan kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka, Kecamatan Wae Ri’i,
Kabupaten Manggarai?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran faktor resiko yang memengaruhi kejadian
hipertensi di lingkungan kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui intervensi sebagai alternatif pemecahan masalah yang
dapat dilakukan dalam jangka pendek dan memiliki daya ungkit
yang besar dalam menunjang tujuan jangka menengah dan jangka
panjang yang diharapkan.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat untuk Instansi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau
masukan mengenai gambaran hasil faktor resiko yang
memengaruhi kejadian hipertensi sehingga dapat dilakukan
pencegahan primer melalui upaya preventif dan promotif untuk
menurunkan angka kejadian hipertensi.

8
1.4.2 Manfaat untuk Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terutama
responden dalam mengetahui angka kejadian hipertensi dan faktor
resiko yang memengaruhinya. Selanjutnya masyarakat diharapkan
sadar dan termotivasi untuk melakukan tindakan pengendalian
faktor demi menghindari komplikasi yang terjadi.
1.4.3 Manfaat untuk Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan memotivasi peneliti untuk
selanjutkan melakukan penelitian tentang faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi dan ikut mengambil peran
dalam upaya preventif dan promotif dalam pengendalian faktor
resiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi

9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah (TD) sama atau melebihi
140 mmHg sistolik dan/atau sama atau lebih dari 90 mmHg diastolik pada
seseorang yang sedang tidak minum obat antihipertensi. Pengertian hipertensi
menurut Dorland yaitu tekanan darah arterial yang tinggi secara persisten,
mungkin tidak diketahui penyebabnya (esensial, idiopatik, primer) atau terkait
dengan penyakit lain (sekunder).

2.1.2 Epidemiologi
Secara global, peningkatan tekanan darah diperkirakan menjadi penyebab
9,4 juta kematian. Nilai tekanan darah dikaitkan dengan risiko stroke dan penyakit
jantung koroner. Peningkatan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg pada kelompok
usia tertentu akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dua kali lipat
sedangkan penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg menurunkan risiko
penyakit jantung koroner sebanyak 22% dan stroke sebanyak 41%. Prevalensi
hipertensi di dunia pada orang dewasa usia di atas 18 tahun tahun 2014 adalah
sebesar 22% dimana paling tinggi di daerah Afrika dengan prevalensi 30% dan
paling rendah di daerah Amerika sebesar 18%. Diperkirakan 1,39 miliar orang
memiliki hipertensi pada tahun 2010: dengan 349 juta di negara-negara
berpenghasilan tinggi dan 1,04 miliar di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Antara tahun 2000 sampai 2010, prevalensi hipertensi berdasarkan
usia menurun sebesar 2,6% di negara-negara berpenghasilan tinggi, namun
meningkat 7,7% di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Prevalensi hipertensi untuk pria dan wanita berdasarkan usia lebih rendah di
negara berpenghasilan tinggi (18% dan 27%) dibandingkan dengan negara
berpenghasilan menengah (24% dan 30%).

10
Nilai tekanan darah memiliki hubungan linear dengan risiko stroke dan
infark miokard. Studi INTERHEART memperkirakan bahwa 22% infark miokard
di Eropa terkait dengan hipertensi dengan peningkatan risiko hampir dua kali lipat
dibanding orang-orang yang tidak memiliki riwayat hipertensi. Sekitar 35%
populasi orang dewasa memiliki hipertensi di Asia Tenggara, yang menyebabkan
hampir 1,5 juta kematian per tahun. Dari perkiraan 14,5 juta total kematian di
tahun 2008 di wilayah Asia Tenggara, 7,9 juta (55%) disebabkan oleh Non-
Communicable Disease (NCD), dimana 34% terjadi sebelum usia 60 tahun.
Penyakit kardiovaskular mengakibatkan 25% dari semua kematian (3,6 juta),
sementara penyakit pernafasan kronis, kanker dan diabetes masing-masing
mengakibatkan 9,6%, 7,8% dan 2,1% dari semua kematian.

2.1.3 Klasifikasi
Peningkatan tekanan darah atau hipertensi memiliki beberapa klasifikasi
berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolik, yaitu:

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee


(JNC) VII (2007)
Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-Hipertensi 120 139 atau 80 - 89
Hipertensi stage 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Hipertensi sistolik ≥ 140 dan < 90
terisolasi

Tabel 2. Rekomendasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee


(JNC) VIII
Subgrup pasien Target SBP (mmHg) Target DBP (mmHg)
≥ 60 tahun < 150 < 90

11
< 60 tahun < 140 < 90
>18 tahun dengan CKD < 140 < 90
>18 tahun dengan diabetes < 140 < 90
SBP = Systolic Blood Pressure ; DBP = Diastolic Blood Pressure

2.1.4 Faktor Risiko


Penyakit hipertensi dibagi menjadi hipertensi essensial/primer/idiopatik dan
hipertensi sekunder. Pada hipertensi essensial biasanya berhubungan dengan
faktor keluarga yang berinteraksi terhadap faktor lingkungan dan genetik.
Prevalensinya meningkat dengan usia. Bila terjadi peningkatan tekanan darah
pada usia muda, risiko terjadinya hipertensi pada usia tua semakin besar. Pada
pasien hipertensi muncul peningkatan resistensi perifer, penurunan compliance
pembuluh darah dan cardiac output yang normal atau menurun. Faktor risiko
hipertensi terbagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang
dapat dimodifikasi, antara lain:

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:


- Riwayat hipertensi pada keluarga: semakin dekat hubungan
kekerabatan dengan keluarga yang memiliki riwayat hipertensi maka
persentase risikonya akan bertambah besar.
- Usia: semakin bertambahnya usia, risiko hipertensi semakin besar karena
pembuluh darah semakin lama kehilangan compliance. Semakin muda
seseorang memiliki tekanan darah pada ambang pre-hipertensi, maka saat
tua risiko untuk menjadi hipertensi akan semakin besar.
- Jenis kelamin : < 45 tahun, pria akan lebih berisiko terkena hipertensi
daripada wanita. Dari usia 45-64 tahun pria dan wanita memiliki risiko
yang sama, pada usia >65 tahun wanita akan lebih berisiko terkena
hipertensi daripada pria akibat faktor hormonal setelah menopause.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
- Pola hidup tidak sehat: kurangnya aktifitas fisik, pola makan tidak sehat
(tinggi lemak, kalori, gula dan garam).

12
- Obesitas dan sindrom metabolik: pada pasien obesitas dengan indeks
massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2 dan hipertensi, terdapat korelasi langsung
yang linear antara berat badan atau IMT dengan tekanan darah.
- Dislipidemia: kelainan metabolisme lipid dapat menyebabkan
aterosklerosis yang kemudian mengakibatkan peningkatan resistensi
perifer pembuluh darah, sehingga tekanan darah meningkat.
- Konsumsi alkohol berlebih: diduga alkohol menyebabkan peningkatan
kadar kortisol, volume sel darah merah, dan viskositas darah sehingga
meningkatkan tekanan darah.
- Merokok: zat-zat kimia beracun dari rokok akan memasuki sirkulasi
darah dan merusak lapisan endotel arteri sehingga terjadi arteriosklerosis.
- Penyakit pada parenkim ginjal: pada pasien dengan gagal ginjal kronik,
>80% terdapat hipertensi reno-vaskuler. Pada tahap awal akan muncul
aktivasi sistem renin-angiostensin. Sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
- Aldosteronisme primer: peningkatan produksi aldosterone memiliki efek
independen pada sistem renin angiostensin yang menyebabkan retensi
sodium, hipertensi, hipokalemia.
- Lain-lain: sindrom Cushing, feokromositoma,
hipotiroidisme/hipertiroidisme, koartasio aorta, Obstructive Sleep Apnea,
penggunaan obat-obatan (kontrasepsi oral, nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDS), steroid, obat simpatomimetik, kokain, amfetamin).

2.1.5 Patofisiologi
Perlu diketahui faktor-faktor yang terlibat dalam regulasi baik pada
tekanan arterial normal maupun meningkat untuk dapat mengerti patofisiologi
hipertensi. Curah jantung (Cardiac Output/CO) dan resistensi perifer merupakan
dua determinan dari tekanan arterial. Curah jantung ditentukan oleh volume
sekuncup (Stroke Volume/SV) dan denyut jantung (Heart Rate/HR); SV
berhubungan dengan kontraktilitas miokardium dan ukuran dari kompartemen

13
vaskular. Resistensi perifer ditentukan oleh perubahan fungsional dan anatomis
pada arteri-arteri kecil (Ø lumen 100-400 μm) dan arteriol.

Volume Intravaskular
Sodium merupakan ion yang predominan ekstraselular dan merupakan determinan
primer dari volume cairan ekstraselular. Ketika intake NaCl melebihi kapasitas
ginjal untuk mengekskresikan sodium, volume vaskular pada awalnya meningkat
dan CO dapat meningkat. Kebanyakan vascular bed memiliki kapasitas untuk
meregulasi sendiri aliran darah dan bila aliran darah konstan harus dipertahankan
dalam kondisi tekanan arterial yang meningkat, resistensi perlu ditingkatkan
karena aliran darah sama dengan tekanan yang melalui vascular bed dibagi
dengan resistensi vaskular. Elevasi inisial dari tekanan darah sebagai respons
terhadap peningkatan volume pembuluh darah mungkin terkait dengan
peningkatan CO; namun seiring waktu, resistensi perifer meningkat dan CO
kembali normal.
Apakah urutan hipotesis ini terjadi dalam patogenesis hipertensi masih
belum jelas, yang jelas, garam dapat mengaktivasi sejumlah mekanisme neural,
endokrin/parakrin, dan vaskular, dimana semuanya memiliki potensial untuk
meningkatkan tekanan arterial. Efek sodium pada tekanan darah berhubungan
dengan interaksi sodium dengan klorida; sodium dari garam nonklorida memiliki
efek kecil atau tidak ada pada tekanan darah. Seiring meningkatnya tekanan
arterial sebagai respons intake NaCl yang tinggi, ekskresi sodium urin meningkat
dan keseimbangan sodium dipertahankan dengan akibat peningkatan tekanan
arterial. Mekanisme ini mungkin melibatkan peningkatan laju filtrasi glomerulus,
penurunan kapasitas absorbsi tubulus ginjal, dan faktor-faktor hormonal seperti
faktor natriuretik atrial. Pada individu dengan gangguan kapasitas untuk
mengekskresi sodium, peningkatan yang lebih besar diperlukan untuk mencapai
keseimbangan natriuresis dan sodium.
Hipertensi NaCl-dependen dapat merupakan akibat dari penurunan
kapasitas ginjal untuk mengekskresi sodium, karena penyakit renal intrinsik atau
peningkatan produksi hormon yang meretensi sodium (mineralokortikoid) yang

14
mengarah pada peningkatan reabsorbsi sodium. Selain itu hal tersebut juga dapat
disebabkan oleh peningkatan aktivitas neural dari ginjal.

Sistem Saraf Otonom


Refleks adrenergik memodulasi tekanan darah dalam jangka pendek, dan fungsi
adrenergik sejalan dengan faktor-faktor hormonal dan terkait volume,
berkontribusi terhadap regulasi jangka panjang tekanan arterial. Norepinefrin,
epinefrin, dan dopamin memiliki peran penting dalam regulasi kardiovaskular
tonik dan fasik. Aktivitas reseptor adrenergik dimediasi oleh guanosine
nucleotide-binding regulatory protein (protein G) dan konsentrasi intrasel dari
second messenger di ujung. Selain afinitas dan densitas reseptor, responsivitas
fisiologis terhadap katekolamin dapat diubah oleh efisiensi coupling reseptor-
efektor pada lokasi distal dari ikatan reseptor. Lokasi reseptor secara relatif
spesifik baik untuk substansi transmiter dan untuk respons yang ditimbulkan
ketika reseptor ditumpangi.
Berdasarkan fisiologi dan farmakologinya reseptor adrenergik terbagi
menjadi α1, α2, β1, dan β2. Penelitian molekular terbaru telah mengidentifikasi
beberapa subtipe tambahan. Reseptor α ditempati dan diaktifkan lebih banyak
oleh norepinefrin dibanding epinefrin dan kebalikannya pada reseptor β. Reseptor
α1 berada pada sel postsinaptik pada otot halus dan memicu vasokonstriksi. Ketika
diaktifkan katekolamin, reseptor α2 bekerja sebagai pengontrol negative feedback,
menghambat pelepasan norepinefrin lebih lanjut. Di ginjal, aktivasi reseptor α1
adrenergik meningkatkan reabsorbsi sodium pada tubulus ginjal. Beberapa
golongan antihipertensi bekerja menghambat reseptor α1 atau sebagai agonis α2
dan mengurangi aliran keluar simpatik. Aktivasi reseptor β1 juga menstimulasi
pelepasan renin dari ginjal. Golongan antihipertensi lain bekerja dengan
menghambat reseptor β1. Aktivasi reseptor β2 oleh epinefrin merelaksasi otot
polos vaskular dan menyebabkan vasodilatasi.
Konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi dapat memengaruhi jumlah
adrenoreseptor pada berbagai jaringan. Down regulation dari reseptor dapat
merupakan akibat dari kadar katekolamin tinggi yang menetap dan menyediakan

15
penjelasan untuk penurunan responsivitas, atau takifilaksis terhadap katekolamin.
Pengurangan kronis dari substansi neurotransmiter dapat menambah jumlah
adrenoreseptor atau mengalami up regulation, menyebabkan peningkatan
responsivitas terhadap neurotransmiter. Pemberian kronis agen-agen yang
memblok reseptor adrenergik dapat mengarah pada up regulation, dan withdrawal
tiba-tiba dapat menyebabkan hipersensitivitas sementara terhadap stimuli
simpatetik. Misalnya, hipertensi rebound setelah pemberhentian tiba-tiba terapi
klonidin, kemungkinan konsekuensi dari up regulation reseptor α1.
Beberapa refleks mengatur tekanan darah pada basis menit ke menit. Salah
satu barorefleks arterial dimediasi oleh ujung saraf sensorik stretch-sensitive pada
sinus karotikus dari arkus aorta. Angka firing dari baroreseptor ini meningkat
dengan tekanan arterial, dan efek bersihnya adalah penurunan outflow simpatetik,
menyebabkan penurunan tekanan arterial dan denyut jantung. Hal ini merupakan
mekanisme utama untuk proteksi cepat dari fluktuasi akut tekanan arterial yang
dapat terjadi selama perubahan postural, stress perilaku atau fisiologis, dan
perubahan volume darah. Namun, aktivitas barorefleks menurun atau beradaptasi
terhadap peningkatan menetap dari tekanan arterial sehingga baroreseptor diatur
ulang pada tekanan yang lebih tinggi. Pasien dengan neuropati otonom dan
gangguan fungsi barorefleks dapat memiliki tekanan darah yang labil dengan
lonjakan tekanan darah yang sulit di kontrol, yang terkait dengan takikardi.
Hipertensi pada individu dengan berat badan normal atau obesitas
seringkali terkait dengan peningkatan outflow simpatetik. Berdasarkan rekaman
aktivitas saraf otot postganglionik, outflow simpatetik cenderung lebih tinggi pada
pasien hipertensi. Outflow simpatetik meningkat pada hipertensi terkait obesitas
dan hipertensi terkait obstructive sleep apnea. Aktivasi baroreseptor melalui
stimulasi listrik dari saraf aferen sinus karotikus menurunkan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi resisten. Feokromositoma merupakan contoh dari
hipertensi yang terkait dengan produksi katekolamin, pada keadaan ini oleh
tumor. Tekanan darah dapat diturunkan dengan eksisi bedah tumor atau terapi
farmakologis dengan antagonis α1 atau dengan penghambat tirosin hidroksilase
yang merupakan penghambat biosintesis katekolamin.

16
Renin-Angiotensin-Aldosteron
Sistem renin-angiotensin-aldosteron berkontribusi pada regulasi tekanan darah
terutama melalui sifat vasokonstriktor dari angiotensin II dan sifat restriksi
natrium dari aldosteron. Renin adalah aspartil protease yang disintesis sebagai
prekursor enzim yang tidak aktif, prorenin. Kebanyakan renin dalam sirkulasi
darah disintesis pada arteriol aferen ginjal. Prorenin bisa disekresikan langsung ke
sirkulasi atau dapat diaktifkan dalam sel sekretori dan dilepaskan sebagai renin
yang aktif. Meski plasma manusia mengandung dua sampai lima kali lebih banyak
prorenin daripada renin, tidak ada bukti bahwa prorenin berkontribusi terhadap
aktivitas fisiologis sistem ini.
Terdapat tiga stimulus primer yang dapat menyebabkan terjadinya sekresi
renin, yaitu: (1) penurunan transport NaCl di tubulus distal, (2) penurunan tekanan
atau resistensi di dalam aferen arteriol ginjal (mekanisme baroreseptor), dan (3)
stimulasi sistem saraf simpatik sel yang menghasilkan renin melalui
adrenoreseptor β1. Sebaliknya, sekresi renin dihambat oleh peningkatan transport
NaCl di tubulus distal, peningkatan resistensi di dalam arteriol aferen ginjal, dan
blokade reseptor β1. Selain itu, angiotensin II secara langsung menghambat
sekresi renin akibat adanya reseptor angiotensin II tipe 1 pada sel
jukstaglomerular, dan sekresi renin meningkat sebagai respons terhadap obat-
obatan yang memblok reseptor Angiotensin Converting Enzyme (ACE) atau
angiotensin II. Setelah dilepaskan ke dalam sirkulasi, renin yang sudah aktif akan
bekerja pada suatu protein, angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. ACE
yang terdapat pada sirkulasi paru-paru akan mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II.

17
Gambar 1. Mekanisme kerja sistem renin-angiotensin-aldosteron

Angiotensin Converting Enzyme (ACE) juga mengonversi beberapa


peptida lainnya, termasuk menginaktivasi bradikinin. Angiotensin II merupakan
penekan yang kuat untuk sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan mitogen
poten yang merangsang pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah dan miosit.
Selain memberikan efek terhadap hemodinamik, angiotensin II dapat berperan
dalam patogenesis aterosklerosis. Reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2) memiliki
fungsi berkebalikan dengan reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1). Reseptor AT2
menyebabkan vasodilatasi, ekskresi natrium, dan menghambat pertumbuhan sel
dan pembentukan matriks. Penelitian membuktikan bahwa reseptor AT2
meningkatkan remodelling vaskular dengan merangsang apoptosis sel otot polos
dan berkontribusi pada regulasi laju filtrasi glomerulus. Inhibisi pada reseptor AT1
menginduksi peningkatan aktivitas reseptor AT2.
Tumor yang menghasilkan renin adalah contoh jelas dari hipertensi yang
diperantarai renin. Di ginjal, tumor ini termasuk tumor jinak hemangioperisitoma

18
aparatus juxtaglomerular dan yang jarang, karsinoma ginjal, termasuk tumor
Wilms. Tumor yang menghasilkan renin juga ditemukan di paru-paru, hati,
pankreas, usus besar, dan kelenjar adrenal. Dalam hal ini, selain eksisi dan/atau
ablasi tumor, untuk mengobati hipertensi perlu diberikan terapi farmakologis
untuk menghambat produksi atau aktivitas angiotensin II. Hipertensi renovaskuler
adalah bentuk lain dari hipertensi yang diperantarai renin. Obstruksi pembuluh
arteri ginjal menyebabkan penurunan tekanan perfusi, sehingga akan terjadi
stimulasi untuk sekresi renin.
Angiotensinogen, renin, dan angiotensin II juga disintesis di beberapa
jaringan lainnya, termasuk otak, hipofisis, aorta, arteri, jantung, kelenjar adrenal,
ginjal, sel adiposit, leukosit, ovarium, testis, rahim, limpa, dan kulit. Angiotensin
II dalam jaringan dapat dibentuk oleh aktivitas enzimatik renin atau zat lain,
misalnya tonin, chymase, dan cathepsins. Selain mengatur aliran darah,
angiotensin II adalah mitogen yang merangsang pertumbuhan dan berkontribusi
memperbaiki dan remodelling. Kelebihan angiotensin II didalam jaringan dapat
menyebabkan aterosklerosis, hipertrofi jantung, dan gagal ginjal.
Angiotensin II adalah faktor utama yang mengatur sintesis dan sekresi
aldosteron dari zona glomerulosa korteks adrenal. Sintesis aldosteron juga
tergantung pada potasium. Pada individu yang kekurangan potasium, sintesis
aldosteron juga menurun. Peningkatan hormon adrenokortikotropik (ACTH) juga
dapat meningkatkan sekresi aldosteron, namun ACTH bukan termasuk faktor
penting untuk regulasi jangka panjang aldosteron.
Aldosteron adalah mineralokortikoid kuat yang meningkatkan reabsorpsi
sodium melalui amiloride-sensitive epithelial sodium channels (ENaC) yang
terpadat pada permukaan sel prinsipal dari tubulus kolektivus. Saluran ini
dipertahankan dengan adanya pertukaran natrium dengan kalium dan ion
hidrogen. Namun, peningkatan sekresi aldosteron dapat menyebabkan
hipokalemia dan alkalosis.
Kortisol juga mengikat reseptor mineralokortikoid tapi biasanya tidak
sekuat aldosteron karena kortisol diubah menjadi kortison oleh enzim 11 β-
hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2. Kortisol tidak memiliki afinitas terhadap

19
reseptor mineralokortikoid. Aldosteronisme primer adalah contoh hipertensi yang
di mediasi mineralokortikoid. Sintesis aldosteron pada kelenjar adrenal dan
pelepasan aldosteron tidak bergantung pada renin-angiotensin, dan pelepasan
renin dihambat sebagai hasil dari bertambahnya volume. Reseptor
mineralokortikoid terdapat dalam sejumlah jaringan selain ginjal, dan aktivasi
reseptor mineralokortikoid menginduksi perubahan struktural dan fungsional di
jantung, ginjal, dan pembuluh darah, menyebabkan miokardium fibrosis,
nefrosklerosis, serta inflamasi dan remodelling pembuluh darah. Efek ini
diperkuat dengan asupan garam yang tinggi. Oleh karena hemodinamik ginjal
yang tinggi, pada pasien dengan aldosteronisme primer, kadar aldosteron yang
tinggi di darah dapat menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus dan albuminuria. Hal
ini bersifat reversibel setelah kadar aldosteron yang tinggi sudah diterapi dengan
adrenalektomi atau spironolakton. Peningkatan aktivitas dari renin-angiotensin-
aldosteron tidak selalu berhubungan dengan hipertensi. Pada individu dengan diet
rendah natrium, tekanan arteri dan homeostasis dapat dipertahankan dengan
peningkatan aktivitas dari renin-angiotensin-aldosteron. Aldosteronisme sekunder
(yaitu peningkatan aldosteron akibat peningkatan renin-angiotensin), bukan pada
kasus hipertensi, diamati pada keadaan edema seperti pada gagal jantung
kongestif dan penyakit hati.

Mekanisme Vaskular
Radius vaskular dan compliance terhadap resistensi pada arteri merupakan
determinan penting tekanan arterial. Resistensi terhadap aliran berbanding terbalik
dengan perhitungan seperempat radius, dan akibatnya, penurunan kecil dari
ukuran lumen akan meningkatkan resistensi secara signifikan. Pada pasien
hipertensi, perubahan struktural, mekanis, dan fungsional dapat menurunkan
diameter lumen dari arteri kecil dan arteriol. Remodelling merujuk pada
perubahan geometrik pada dinding pembuluh darah tanpa perubahan pada
volumenya. Remodelling vaskular hipertrofik atau eutrofik berakibat pada
penurunan ukuran lumen, sehingga resistensi perifer meningkat. Apoptosis,
inflamasi derajat rendah, dan fibrosis vaskular juga berkontribusi terhadap

20
remodelling. Diameter lumen juga terkait dengan elastisitas pembuluh darah.
Pembuluh darah dengan elastisitas tinggi dapat mengakomodasi peningkatan
volume dengan perubahan yang relatif kecil terhadap tekanan, sedangkan pada
sistem vaskular yang lebih kaku, peningkatan kecil volume akan memicu
peningkatan tekanan yang besar.
Pasien hipertensi dapat memiliki arteri yang lebih kaku karena
arteriosklerosis, dan tekanan darah sistolik yang tinggi dan tekanan nadi yang
lebar merupakan konsekuensi dari compliance vaskular yang menurun. Kekakuan
arterial menyebabkan tekanan darah sentral (aorta dan karotis) dapat tidak
menyamai tekanan arteri brakial. Ejeksi darah ke aorta memicu gelombang
tekanan yang diperbanyak pada kecepatan tertentu. Gelombang yang berjalan
maju membentuk suatu gelombang pantulan yang berjalan berlawanan menuju
aorta asendens. Walaupun mean arterial pressure (MAP) ditentukan oleh curah
jantung dan resistensi perifer, tekanan nadi terkait dengan properti fungsional dari
arteri besar dan amplitudo dan waktu dari insiden dan gelombang yang
dipantulkan. Peningkatan kekakuan arterial mengakibatkan peningkatan kecepatan
gelombang nadi dari gelombang insiden dan pantulan. Karena timing dari
gelombang tersebut, konsekuensinya adalah peningkatan tekanan sistolik aorta
dan penurunan tekanan diastolik aorta, misalnya peningkatan tekanan nadi. Aortic
augmentation index, suatu indeks kekakuan arterial, dihitung sebagai rasio
tekanan arterial sentral terhadap tekanan nadi. Tekanan darah sentral dapat diukur
secara langsung dengan menaruh sebuah sensor pada aorta, atau secara noninvasif
dengan tonometri radial menggunakan alat tertentu. Tekanan darah sentral dan
aortic augmentation index merupakan prediktor independen kuat untuk penyakit
kardiovaskular dan mortalitas all-cause.
Transportasi ion oleh sel otot polos vaskular dapat berkontribusi terhadap
abnormalitas terkait hipertensi dari tonus dan pertumbuhan vaskular, dimana
keduanya dimodulasi oleh pH intraselular. Tiga mekanisme transport ion berperan
dalam regulasi pH yaitu (1) pertukaran Na+-H+, (2) pertukaran Na+-dependent
HCO3—Cl−, dan (3) pertukaran HCO3—Cl−cation-independent. Berdasarkan
pengukuran pada tipe sel yang lebih mudah diakses dibandingkan otot polos

21
vaskular (leukosit, eritrosit, platelet, otot skelet), aktivitas penukar Na+-H+
meningkat pada hipertensi dan hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tonus
vaskular dengan dua mekanisme. Pertama, peningkatan masukan sodium dapat
mengarah pada peningkatan tonus vaskular dengan mengaktivasi pertukaran Na+-
Ca2+, sehingga meningkatkan kalsium intraselular. Kedua, peningkatan pH
memperkuat sensitivitas kalsium terhadap apparatus kontraktil, mengarah pada
peningkatan kontraktilitas untuk konsentrasi kalsium intraselular tertentu. Sebagai
tambahan, peningkatan pertukaran Na+-H+ dapat menstimulasi pertumbuhan sel
otot polos vaskular dengan memperkuat sensitivitas terhadap mitogen.
Fungsi endotelial vaskular juga memodulasi tonus vaskular. Endotel
vaskular mensintesis dan melepas beberapa substansi vasoaktif termasuk nitric
oxide, vasodilator poten. Vasodilatasi endothelium-dependent terganggu pada
pasien hipertensi. Gangguan ini seringkali dinilai dengan ultrasonografi resolusi
tinggi sebelum dan setelah fase hiperemik dari reperfusi yang mengikuti lima
menit iskemia lengan bawah. Secara alternatif, vasodilatasi endothelium-
dependent dapat dinilai sebagai respons terhadap vasodilator endothelium-
dependent yang dimasukkan secara intra-arterial (asetilkolin misalnya).
Endothelin merupakan peptida vasokonstriktor yang diproduksi oleh endotel, dan
antagonis endothelin aktif per oral dapat menurunkan tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi resisten. Saat ini tidak diketahui apakah abnormalitas vaskular
terkait hipertensi pada transpor ion dan fungsi endotel merupakan perubahan
primer atau konsekuensi sekunder akibat peningkatan tekanan arterial. Bukti yang
terbatas menunjukkan bahwa compliance vaskular dan vasodilatasi endothelium-
dependent dapat ditingkatkan dengan latihan aerobik, penurunan berat badan, dan
agen antihipertensif. Belum dipastikan apakah intervensi-intervensi ini
memengaruhi struktur arterial dan kekakuan melalui suatu mekanisme pressure-
independent dan apakah golongan agen-agen antihipertensif berbeda dapat
memengaruhi struktur dan fungsi vaskular.

22
2.1.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan peningkatan tekanan darah terdiri atas intervensi non-
farmakologis dan farmakologis. Intervensi non-farmakologis termasuk perubahan
gaya hidup dan perilaku, serta penyusunan diet, merupakan suatu pendekatan
yang penting dalam mencegah dan mengatasi hipertensi, baik dengan sendirinya
maupun dengan kombinasi bersama terapi farmakologis.

Intervensi non-farmakologis:
- Penurunan berat badan direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan
peningkatan tekanan darah atau hipertensi yang memiliki berat badan
berlebih atau obesitas. Pasien obesitas yang mengalami penurunan berat
badan dalam jumlah kecil sekalipun (5 – 10%) dapat mengalami perbaikan
dalam hal gula darah, tekanan darah, dan kadar kolesterol mereka.
Dianjurkan untuk melakukan penurunan berat badan perlahan-lahan secara
bertahap, secara umum 0,5 – 1 kg per minggu dengan pembatasan kalori
sebesar 500 – 1000 kkal untuk pola makan sehari-hari.
- Diet sehat seperti diet Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH),
yang membantu mencapai berat badan yang ditargetkan,
direkomendasikan untuk orang dewasa dengan hipertensi.
- Pembatasan konsumsi garam (sodium) dan suplementasi potasium
(kalium) terutama melalui modifikasi diet, kecuali bila terdapat
kontraindikasi seperti pada pasien dengan gangguan ginjal kronis atau
pasien yang menggunakan obat yang menurunkan ekskresi kalium.
- Tingkatkan aktivitas fisik dengan program latihan yang terstruktur.
Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga aerobik dengan intensitas
ringan – sedang minimal 150 menit per minggu. Pasien dapat memulai
aktivitas fisik dengan waktu 30 menit, tiga kali seminggu dan dapat
ditingkatkan intensitasnya hingga 45 menit lima kali seminggu.
- Kurangi konsumsi alkohol, untuk laki-laki maksimal dua gelas per hari,
dan untuk wanita maksimal satu gelas per hari.
- Berhenti merokok.

23
Diet DASH
Para ilmuwan yang dibantu oleh National Heart, Lung, and Blood Institute
(NHLBI) melakukan dua studi utama. Mereka menemukan bahwa tekanan darah
dapat turun dengan pemberian makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol.
Pemberian makanan yang dianjurkan adalah buah-buahan, sayuran, dan susu
rendah lemak termasuk juga gandum, ikan, unggas, serta kacang-kacangan.
Makanan yang perlu dikurangi yaitu daging merah, permen, dan semua makanan
dan minuman yang mengandung gula. Prinsip diet DASH berfokus pada
peningkatan asupan dari makanan kaya nutrisi yang diharapkan dapat
menurunkan tekanan darah, terutama mineral (seperti potasium, kalsium, dan
magnesium), protein, dan serat, termasuk makanan kaya nutrisi sehingga bisa
memenuhi kebutuhan lainnya.

Tabel 3. Daily nutrient goals use in the DASH studies


Total Fat 27% of calories Sodium 2,300 mg
Saturated Fat 6% of calories Potassium 4,700 mg
Protein 18% of calories Calcium 1,250 mg
Carbohydrate 55% of calories Magnesium 500 mg
Cholesterol 150 mg Fiber 30 g

Rencana makan DASH yang digunakan bersama dengan perubahan gaya hidup
lainnya bisa membantu untuk mencegah dan mengendalikan tekanan darah.
Kebiasaan makan diubah, menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan,
lebih banyak beraktivitas fisik, dan mengurangi alkohol. Rencana makan DASH
juga memiliki manfaat lain, seperti menurunkan kolesterol, bisa mengurangi
risiko terkena penyakit jantung seiring dengan menurunnya tekanan darah.

Tabel 4. Rencana makan DASH


Kelompok Makanan Porsi sehari Ukuran
Biji-bijian 6-8 1 potong roti

24
1 ons sereal kering
½ centong nasi, pasta,
dan sereal
Sayuran 4-5 1 mangkuk sayur mentah
½ mangkuk sayur mentah
atau dimasak, ½ jus
sayuran
Buah-buahan 4-5 1 buah sedang
¼ gelas buah kering, ½
gelas buah segar, beku
atau kalengan, ½ gelas
jus buah
Susu rendah lemak 2-3 1 gelas susu atau yogurt
Lean meats, unggas, ikan 6 atau kurang 1 daging matang, atau
unggas, atau ikan
1 butir telur
Kacang, biji-bijian, 4-5 per minggu 2 sdm selai kacang
kacang polong 2 sdm atau ½ ons biji-
bijian
½ gelas kacang polong
1/3 gelas kacang
Lemak dan minyak 2-3 1 sdm margarin lembut
1 sdm minyak sayur
1 sdm mayones
2 sdm saus salad
Permen dan penambahan 5 atau kurang per 1 sdm gula pasir
gula minggu 1 sdm jeli atau selai
½ gelas gelatin
1 gelas lemon

25
Anjuran yang dibuat berdasarkan jenis-jenis asupan serta perubahan gaya hidup
untuk pasien dengan hipertensi adalah sebagai berikut:
- Lemak. Meskipun jumlah total lemak makanan, saturated fatty acid
(SFA), dan omega-6 poly unsaturated fatty acid (PUFA) tampaknya tidak
memengaruhi tekanan darah, bukti dari percobaan pemberian makanan
jangka pendek mendokumentasikan bahwa mono unsaturated fatty acid
(MUFA), bila digunakan sebagai pengganti SFA, PUFA, atau karbohidrat,
menurunkan tekanan darah pada beberapa orang dengan hipertensi.
Suplementasi dengan n-3 PUFA (EPA 1 DHA) dalam dosis lebih tinggi
dari 2 g/hari juga dapat memberikan pengurangan sederhana pada Systolic
Blood Pressure (SBP) dan Diastolic Blood Pressure (DBP), terutama pada
orang-orang hipertensi yang tidak diobati.
- Protein. Bukti dari penelitian observasional dan uji klinis menunjukkan
penggantian protein untuk lemak atau karbohidrat dalam diet isokalorik
menurunkan tekanan darah. Suplementasi protein dalam dosis 60 g/hari
mengurangi SBP sebesar 4,9 mmHg dan DBP 2,7 mmHg dibandingkan
dengan 60 g/hari karbohidrat pada orang dengan kelebihan berat badan
dengan prehipertensi dan hipertensi tahap 1 yang tidak diobati.
- Sayur dan buah-buahan. Pola diet berbasis tanaman telah dikaitkan
dengan SBP yang lebih rendah dalam penelitian observasional dan uji
klinis. Rata-rata pengurangan SBP 5 sampai 6 mmHg telah dilaporkan.
- Penurunan berat badan. Ada hubungan yang kuat antara indeks massa
tubuh dan hipertensi pada pria dan wanita di semua kelompok ras atau
etnis dan pada kebanyakan kelompok usia. Hampir semua uji klinis pada
pengurangan berat badan dan tekanan darah mendukung kemanjuran
penurunan berat badan pada penurunan tekanan darah. Untuk setiap
kilogram penurunan berat badan, pengurangan SBP dan DBP sekitar 1
mmHg diharapkan. Pasien hipertensi yang beratnya lebih dari 115% berat
badan ideal harus ditempatkan pada program pengurangan berat badan
individual yang berfokus pada asupan makanan dan diet hipoklorik.
Penurunan berat badan juga memiliki efek sinergistik dengan terapi obat,

26
sehingga dapat mengurangi jumlah obat yang diperlukan untuk
mengontrol tekanan darah.
- Sodium. Bukti dari berbagai penelitian mendukung penurunan tekanan
darah dan risiko penyakit kardiovaskular dengan mengurangi sodium
dalam makanan. Orang dewasa dengan tekanan darah tinggi harus
membatasi konsumsi sodium tidak lebih dari 2400 mg/hari, setara dengan
6 g garam setiap hari.
- Kalsium dan vitamin D. Konsumsi lebih banyak produk susu dikaitkan
dengan risiko hipertensi yang lebih rendah. Secara khusus, asupan susu
rendah lemak mengurangi risiko hipertensi sebesar 13%, sedangkan
asupan suplemen kalsium dan sumber susu berlemak tinggi tidak
berpengaruh. Setidaknya 2,5 porsi susu rendah lemak per hari diperlukan
untuk meningkatkan tekanan darah. Hal ini dapat menurunkan SBP
sebesar 5,5 mmHg dan DBP sebesar 3 mmHg.
- Magnesium. Percobaan suplementasi magnesium telah menunjukkan
penurunan SBP 3-4 mm Hg dan DBP 2-3 mmHg dengan efek yang lebih
besar pada suplementasi sekurang-kurangnya 370 mg / hari.
- Kalium. Dosis tambahan kalium pada kisaran 1900 – 4700 mg/hari
menurunkan tekanan darah kira-kira 2-6 mmHg DBP dan 2-4 mm Hg
SBP.
- Vitamin C dan vitamin E. Dapat menurunkan SBP dan DBP,
mengurangi kekakuan arteri dan meningkatkan fungsi endotelial dengan
meningkatkan antioksidan dalam tubuh. Tetapi konsumsi vitamin E saja
dapat meningkatkan tekanan darah.
- Aktivitas fisik. Olahraga bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah.
Meningkatkan jumlah aktivitas fisik intensitas sedang minimal 40 menit
pada 3-4 hari per minggu merupakan tambahan penting untuk strategi
penurun tekanan darah lainnya.
- Konsumsi alkohol. Jumlah tiga gelas per hari (total 3 oz alkohol) adalah
ambang batas untuk meningkatkan tekanan darah dan dikaitkan dengan
kenaikan SB-3 Hg pada SBP. Untuk mencegah tekanan darah tinggi,

27
asupan alkohol harus dibatasi tidak lebih dari dua gelas per hari (24 oz bir,
10 oz anggur, atau 2 oz wiski) pada pria, dan tidak lebih dari satu gelas
sehari untuk pria dengan bobot lebih ringan dan untuk wanita.

Terapi Farmakologis
Manajemen hipertensi harus difokuskan terhadap kesehatan menyeluruh pasien,
dengan penekanan khusus terhadap penurunan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular di kemudian hari. Semua faktor risiko yang ada pada pasien perlu
diatasi dengan tatalaksana komprehensif terapi non-farmakologis dan
farmakologis. Seiring dengan bertambahnya risiko terjadinya gangguan
kardiovaskular, intensitas manajemen tekanan darah perlu ditingkatkan. Terapi
farmakologis pada umumnya direkomendasikan untuk individu dengna tekanan
darah ≥140/90 mmHg. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10 – 12 mmHg
dan diastolik sebesar 5 – 6 mmHg menurunkan risiko relatif stroke sebesar 35 –
45% dan penyakit kardiovaskular sebesar 12 – 16% dalam waktu 5 tahun sejak
memulai terapi. Risiko gagal jantung menurun >50 %.
Beberapa agen anti-hipertensi yang digunakan antara lain:
- Diuretik. Diuretik tiazid dosis rendah dapat digunakan sendiri atau
kombinasi dengan obat lain. Tiazid menghambat pompa Na+/Cl- pada
tubulus distal sehingga meningkatkan ekskresi sodium. Dalam jangka
panjang juga dapat bekerja sebagai vasodilator. Kombinasi dengan
penyekat beta, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), atau
angiotensin II receptor blocker (ARB) dapat memberikan efek penurunan
tekanan darah yang lebih besar. Kombinasi dengan calcium channel
blocker (CCB) kurang efektif. Karena efek samping metabolik seperti
hipokalemia, resistensi insulin, dan peningkatan kadar kolesterol, dosis
tinggi tidak direkomendasikan.
- Penghambat sistem renin-angiotensin. Obat golongan ACEI
menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan
menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis. Obat golongan ARB
menyebabkan blokade selektif reseptor AT1, dan efek angiotensin II pada

28
reseptor AT2 yang tidak di blok dapat meningkatkan efek penurunan
tekanan darah. Kedua golongan obat tersebut dapat digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan
penyekat alfa. Obat-obatan ACEI dan ARB meningkatkan kerja insulin
dan mengurangi efek samping diuretik terhadap metabolisme glukosa.
Efek samping mencakup insufisiensi ginjal akibat dilatasi arteriolar eferen
renal pada ginjal dengan lesi stenotik dari arteri renal. Batuk kering terjadi
pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang
mengonsumsi ACEI. Hiperkalemia akibat hiperaldosteronisme merupakan
efek samping yang jarang dari ACEI dan ARB. Kombinasi ACEI dan
ARB kurang efektif untuk menurunkan tekanan darah karena mekanisme
kerja yang serupa sehingga manfaat tidak sebanding dengan peningkatan
efek samping yang lebih berat (kematian akibat kejadian kardiovaskular,
infark miokard, stroke, gagal jantung).
- Antagonis aldosteron. Spironolakton merupakan antagonis aldosteron
selektif yang dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
diuretik tiazid. Obat ini dapat efektif terutama pada pasien dengan
hipertensi primer renin rendah, hipertensi resisten, dan aldosteronisme
primer. Angka mortalitas dan rawat inap menurun pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, jika dikombinasikan dengan ACEI, digoksin, dan
diuretik loop. Spironolakton berikatan dengan reseptor progesteron dan
androgen, sehingga memiliki efek samping ginekomastia, impotensi, dan
gangguan menstruasi. Efek samping tersebut tidak terdapat pada agen
terbaru, eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif.
- Penyekat beta. Penyekat beta adrenergik menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan curah jantung, akibat penurunan denyut jantung dan
kontraktilitas. Mekanisme lain mencakup efek sistem saraf pusat dan
inhibisi pelepasan renin. Penyekat beta efektif khususnya pada pasien
hipertensi dengan takikardia, dan efek hipotensifnya diperkuat oleh
kombinasi dengan diuretik.

29
- Penyekat alfa. Antagonis reseptor adrenergik alfa selektif post-sinaptik
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi vaskular perifer.
Obat golongan ini efektif digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi
dengan agen-agen lain. Sayangnya, pada uji klinis pasien hipertensi,
blokade alfa belum menunjukkan penurunan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular atau memberikan efek proteksi terhadap gagal jantung
kongestif dibandingkan obat anti hipertensi lain. Agen ini juga efektif
dalam mengatasi gejala saluran kemih bagian bawah pada laki-laki dengan
hipertrofi prostat. Antagonis non-selektif berikatan pada reseptor pre dan
post-sinaptik digunakan terutama untuk manajemen pasien dengan
feokromositoma.
- Agen simpatolitik. Agonis simpatik alfa 2 kerja pusat menurunkan
resistensi perifer dengan menghambat keluaran simpatis. Obat golongan
ini dapat bermanfaat untuk pasien dengan neuropati otonom yang
memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi baroreseptor.
Efek samping mencakup somnolen, mulut kering, dan hipertensi rebound
saat penghentian obat. Simpatolitik perifer menurunkan resistensi perifer
dan konstriksi vena dengan menurunkan kadar norepinefrin pada ujung
saraf. Walaupun merupakan agen anti-hipertensi potensial, namun
manfaatnya dibatasi oleh efek samping hipotensi ortostatik, disfungsi
seksual, dan beberapa interaksi obat.
- Calcium channel blocker (CCB). Antagonis kalsium menurunkan
resistensi vaskular melalui blokade L-channel, yang menurunkan kadar
kalsium intraselular dan mengurangi vasokonstriksi. Obat golongan ini
merupakan kelompok agen yang mencakup obat-obatan dari tiga kelas,
yaitu: fenilalkilamin (verapamil), benzotiazepin (diltiazem), dan 1,4-
dihidropiridin (kelompok nifedipin). Golongan ini dapat digunakan secara
monoterapi atau kombinasi dengan ACEI, penyekat beta, atau penyakat
adrenergik alfa, yang efektif dalam menurunkan tekanan darah; namun
kombinasi dengan diuretik tidak jelas apakah dapat menurunkan tekanan

30
darah lebih lanjut. Efek samping berupa flushing, sakit kepala, dan edema
karena peningkatan gradien tekanan transkapiler.
- Vasodilator direk. Vasodilator direk menurunkan resistensi perifer dan
secara bersamaan mengaktivasi mekanisme yang melindungi tekanan
arterial, yaitu sisem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
dan retensi sodium. Biasanya bukan merupakan agen lini pertama, namun
efektif bila ditambahkan pada kombinasi yang mencakup diuretik dan
penyekat beta. Hidralazin merupakan vasodilator direk poten yang
memiliki antioksidan dan nitrit oksida, dan minoksidil merupakan agen
poten yang sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi renal yang
refrakter terhadap obat-obat lain. Hidralazin dalam memicu sindrom
lupus-like dan minoksidil dapat menyebabkan hipertrikosis dan efusi
perikardial. Nitroprusid intra vena dapat digunakan untuk mengatasi
hipertensi maligna dan gagal jantung kiri yang mengancam nyawa dengan
peningkatan tekanan arterial.

Algoritme JNC 8 dan pemilihan serta kombinasi obat yang secara umum dipakai
dapat dilihat di bawah ini.

31
32
Gambar 2. Algoritma hipertensi JNC 8
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi hipertensi mencakup gagal jantung, penyakit jantung iskemik,
gangguan katup jantung, gangguan ginjal kronik, penyakit serebrovaskular
termasuk stroke, dan penyakit arterial perifer.

33
BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Faktor risiko yang


Faktor risiko yang
tidak dapat
dapat dimodifikasi:
dimodifikasi: Hipertensi
Asupan nutrisi
Riwayat hipertensi
pada keluarga Berat badan
berlebihan
Usia
Merokok
Jenis kelamin

34
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan
pendekatan observasional retrospektif untuk melihat gambaran faktor resiko yang
memengaruhi kejadian hipertensi di Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka periode
Januari hingga September 2019

4.2 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien dengan hipertensi di
Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka periode Januari hingga
September 2019.
4.2.2 Kriteria Sampel
4.2.2.1 Inklusi
1. Menderita hipertensi esensial
2. Semua jenis kelamin
3. Usia ≥ 30 tahun
4. Domisili di wilayah kerja Puskesmas Pembantu (Pustu)
Poka
5. Terdaftar selama Januari s/d September 2019 di
Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka
4.2.2.2 Eksklusi
1. Data rekam medik tidak lengkap
2. Hipertensi sekunder
4.2.2.3 Sampel
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan total sampling penderita hipertensi esensial yang ada di
wilayah kerja Puskemas Pembantu (Pustu) Poka periode Januari
hingga September 2019.

35
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.3.1 Variabel
4.3.1.1 Variabel Bebas
Faktor resiko hipertensi yang dapat dimodifikasi maupun
tidak dapat dimodifikasi
4.3.1.2 Variabel Terikat
Angka kejadian hipertensi di Puskesmas Pembantu (Pustu)
Poka
4.3.2 Definisi Operasional
1. Faktor resiko hipertensi adalah karakteristik, tanda atau kumpulan
gejala pada penyakit hipertensi yang mana secara statistik
berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus baru berikutnya.
2. Angka kejadian hipertensi adalah penemuan kasus baru maupun
kasus lama pada pasien yang didiagnosa menderita hipertensi di
lingkungan kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka.

4.4 Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis
pasien dengan hipertensi esensial di wilayah kerja Puskesmas Pembantu (Pustu)
Poka periode Januari s/d September 2019.

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka, Kecamatan
Wae Ri’i dengan waktu pelaksanaan adalah bulan Oktober 2019.

4.6 Prosedur Penelitian


Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari:
1. Catatan rekam medis penderita hipertensi esensial di Puskesmas
Pembantu (Pustu) Poka
2. Laporan data penderita hipertensi esensial di Puskesmas Pembantu
(Pustu) Poka

36
4.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan
pendekatan observasional retrospektif yang menilai gambaran faktor resiko yang
memengaruhi angka kejadian hipertensi di Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka.

Data pasien hipertensi


esensial di Pustu Poka

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Sampel penelitian

Perhitungan dengan persentase sesuai


standar kemenkes

Penyajian data

37
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data jenis
kelamin pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Pembantu
(Pustu) Poka periode Januari hingga September 2019 yang disajikan pada
tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien Hipertensi di


Pustu Poka Periode Januari hingga September 2019
Jenis Kelamin N %
Laki-Laki 70 25,5
Perempuan 204 74,5
Total 274 100

Berdasarkan hasil analisa data jenis kelamin, didapatkan penderita


hipertensi pada wilayah kerja Pustu Poka lebih dominan perempuan yaitu
204 orang (74,5%) diikuti oleh laki-laki dengan jumlah 70 orang (25,5%).

5.2 Gambaran Umur


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
umur pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Pembantu (Pustu)
Poka periode Januari hingga September 2019 yang disajikan pada tabel 6
berikut ini.

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Umur Pasien Hipertensi di Pustu Poka


Periode Januari hingga September 2019
Umur N %
40 – 49 19 6,9

38
50 – 59 97 35,4
60 – 69 88 32,1
> 69 70 25,6
Total 274 100

Berdasarkan hasil analisa data umur, didapatkan distribusi penderita


hipertensi pada wilayah kerja Pustu Poka berumur antara 40 – 49 tahun
sebanyak 19 orang (6,9%), 50 – 59 tahun sebanyak 97 orang (35,4%), 60 –
69 sebanyak 88 orang (32,1%), dan > 69 tahun sebanyak 70 orang
(25,6%).

5.3 Gambaran Riwayat Keluarga


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
riwayat keluarga pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
Pembantu (Pustu) Poka periode Januari hingga September 2019 yang
disajikan pada tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga pada Pasien


Hipertensi di Pustu Poka Periode Januari hingga September 2019
Riwayat Keluarga N %
Ya 43 64,1
Tidak 24 35,9
Total 67 100

Berdasarkan hasil analisa data riwayat keluarga, didapatkan 43 penderita


hipertensi pada wilayah kerja Pustu Poka memiliki riwayat keluarga
dengan penyakit hipertensi (64,1%) sementara 24 penderita lainnya tidak
memiliki riwayat keluarga hipertensi (35,9%).

39
5.4 Gambaran Kebiasaan Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
kebiasaan merokok pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
Pembantu (Pustu) Poka periode Januari hingga September 2019 yang
disajikan pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok pada Pasien


Hipertensi di Pustu Poka Periode Januari hingga September 2019
Merokok N %
Ya 21 31
Tidak 46 69
Total 67 100

Berdasarkan hasil analisa data kebiasaan merokok pada penderita


hipertensi, didapatkan bahwa sebanyak 21 penderita hipertensi pada
wilayah kerja Pustu Poka memiliki kebiasaan merokok (31%) sementara
46 sisanya tidak merokok (69%).

5.5 Gambaran Konsumsi Makanan Asin


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
konsumsi makanan asin pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
Pembantu (Pustu) Poka periode Januari hingga September 2019 yang
disajikan pada tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Konsumsi Makanan Asin pada Pasien


Hipertensi di Pustu Poka Periode Januari hingga September 2019
Konsumsi Makanan Asin N %
Ya 53 79
Tidak 14 21
Total 67 100

40
Berdasarkan hasil analisa data konsumsi makanan asin, didapatkan
penderita hipertensi pada wilayah kerja Pustu Poka sebagian memiliki
kebiasaan mengonsumsi makanan asin yaitu sebanyak 53 orang (79%).
Hanya 14 penderita hipertensi yang tidak memiliki kebiasaan
mengonsumsi makanan asin (21%).

5.6 Gambaran Obesitas


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
obesitas pada pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Pembantu
(Pustu) Poka periode Januari hingga September 2019 yang disajikan pada
tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Obesitas pada Pasien Hipertensi di


Pustu Poka Periode Januari hingga September 2019
Obesitas N %
Ya 13 19
Tidak 54 81
Total 67 100

Berdasarkan hasil analisa data obesitas, didapatkan penderita hipertensi


pada wilayah kerja Pustu Poka sebanyak 13 orang menderita obesitas
(19%) dan sebanyak 54 orang tidak menderita obesitas (81%).

41
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Gambaran Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar penderita hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka periode Januari hingga
September 2019 berjenis kelamin perempuan (74,5%) diikuti jenis kelamin laki-
laki (25,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Kaplan (2002) dan
Depkes RI (2006) menyatakan bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi pada
wanita. Kejadian hipertensi lebih besar terjadi pada jenis kelamin perempuan
disebabkan oleh prevalensi perempuan yang lebih banyak pada wilayah kerja
Pustu Poka.

6.2 Gambaran Umur


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa penderita hipertensi
terbanyak pada kelompok usia 50 – 59 tahun yaitu sebanyak 35,4%, diikuti
dengan kelompok usia 60 – 69 tahun sebanyak 32,1%, kelompok usia > 69 tahun
sebanyak 25,6%, dan kelompok usia 40 – 49 tahun sebanyak 6,9%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa tingginya kejadian
hipertensi sejalan dengan bertambahnya usia yang disebabkan oleh perubahan
stuktur pembuluh darah yang semakin sempit dan kaku yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah sistolik.

6.3 Gambaran Riwayat Keluarga


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pasien dengan riwayat
keluarga yang menderita hipertensi sejumlah 64,1% sementara 35,9% sisanya
tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita. Hal ini sejalan dengan penelitian
Hasurungan (2002) yang menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai riwayat
keluarga dengan hipertensi memiliki resiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan
seseorang yang tidak mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi.

42
6.4 Gambaran Kebiasaan Merokok
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pasien hipertensi yang
memiliki kebiasaan merokok sebanyak 31% dan yang tidak memiliki kebiasaan
merokok sebanyak 69%. Menurut teori Black & Hawks (2005), dinyatakan bahwa
kandungan nikotin dalam rokok dapat meningkatkan denyut jantung dan
menyebabkan vasokontriksi perifer yang kemudian akan meningkatkan tekanan
darah. Pada penelitian ini, jumlah penderita pasien hipertensi yang tidak merokok
lebih banyak disebabkan oleh penderita yang dominan jenis kelamin perempuan
yang tidak memiliki kebiasaan merokok.

6.5 Gambaran Konsumsi Makanan Asin


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pasien hipertensi yang
memiliki kebiasaan konsumsi makanan asin sebanyak 79% dan yang tidak
memiliki kebiasaan konsumsi makanan asin sebanyak 21%. Hal ini sejalan
dengan pernyataan yang menyatakan bahwa konsumsi sodium akan mengaktifkan
mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat dan menstimulasi terjadinya
retensi air yang berakibat pada peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian lain
juga menyatakan konsumsi makanan asin meningkatkan resiko 3,95 kali bagi
seseorang untuk terkena hipertensi dibandingkan orang yang tidak mengonsumsi
makanan asin.

6.6 Gambaran Obesitas


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa pasien hipertensi yang
menderita obesitas sebanyak 19% sementara yang tidak menderita obesitas
sebanyak 81%. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa
obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit hipertensi dibandingkan dengan
yang tidak menderita obesitas. Ini dapat disebabkan oleh prevalensi hipertensi
yang tinggi pada usia tua dimana pola dan nafsu makan mulai berkurang sehingga
IMT cenderung normal atau kurang. Selain itu, angka kejadian hipertensi pada
masyarakat di wilayah kerja Pustu Poka dapat disebabkan oleh faktor resiko yang
lain.

43
6.7 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam proses pelaksanaannya, antara
lain :
1. Kesalahan dalam pengukuran tekanan darah atau penggunaan
sphygmomanometer.
2. Kesalahan pembacaan hasil timbangan atau pengukuran tinggi badan yang
berakibat pada kesalahan penghitungan IMT.
3. Keterbatasan dalam pengambilan data berupa kurangnya pemahaman,
kejujuran dan daya ingat responden

44
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian gambaran faktor resiko yang memengaruhi
kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Poka periode
Januari hingga September 2019, dapat disimpulkan bahwa :
1. Penderita hipertensi dominan berjenis kelamin perempuan (74,5%)
dibandingkan jenis kelamin laki-laki (25,5%)
2. Penderita hipertensi terbanyak pada kelompok usia 50-59 tahun (35,4%)
diikuti kelompok usia 60-69 tahun (32,1%), kelompok usia >69 tahun
(25,6%) kemudian kelompok usia 40-49 tahun (6,9%)
3. Penderita hipertensi yang memiliki riwayat keluarga yang menderita
hipertensi sebanyak 64,1% dan yang tidak memiliki riwayat keluarga yang
menderita hipertensi sebanyak 35,9%
4. Penderita hipertensi yang memiliki kebiasaan merokok lebih sedikit (31%)
dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan merokok (69%)
5. Penderita hipertensi yang memiliki kebiasaan konsumsi makanan asin
lebih banyak (79%) dibandingkan yang tidak memiliki kebiasaan
konsumsi makanan asin (21%)
6. Penderita hipertensi yang menderita obesitas lebih sedikit (19%)
dibandingkan dengan yang tidak menderita obesitas (81%)

7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu :
1. Melakukan penyuluhan terhadap penyakit hipertensi dan penyakit lain
secara berkala
2. Melakukan skrining penyakit hipertensi tidak hanya di Puskesmas tetapi
juga di Posbindu PTM dan Posyandu Lansia.
3. Monitoring kepatuhan berobat pada penderita hipertensi dengan cara
pemberian kartu evaluasi tekanan darah

45
4. Memberikan pedoman pola makan dan melakukan demonstrasi pola
makan yang baik bagi penderita hipertensi sesuai dengan prinsip DASH
Diet (Dietary Approach to Stop Hypertension)
5. Mengaktifkan program kaderisasi agar dapat membantu dalam proses
edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar
6. Memotivasi stakeholders antara lain kepala desa, ketua RW dan RT serta
tokoh masyarakat Desa Longko untuk menghimbau warga terutama
penderita hipertensi agar rutin kontrol tekanan darah dan meminum obat
secara teratur

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Department of Health. Basic principles of healthy cities : community


diagnosis. [leaflet]. USA: Department of Health; 2009. Available from :
http://www.chp.gov.hk/files/pdf/hcp_community_diagnosis_en.pdf
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sebagian besar penderita
hipertensi tidak menyadarinya. [internet] Indonesia: KEMENKES; 2017
Mei 17. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/17051800002/sebagian-besar-
penderita-hipertensi-tidak-menyadarinya.html
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Pengendalian
Penyakit Tidak Menular Subdit Pengendalian Jantung dan Pembuluh
Darah. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana hipertensi. Edisi revisi.
Indonesia: KEMENKES; 2013.
4. Institute for Health Metrics and Evaluation. [internet] Indonesia. USA:
IHME; 2017. Available from : http://www.healthdata.org/indonesia

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Praktis


Klinis: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
2015.p.408.
6. Anderson. Dorland’s illustrated medical dictionary. 31st ed. Philadelphia:
Saunders; 2007.
7. World Health Organization. Global status report on noncommunicable
diseases 2014. Geneva: WHO; 2014. p67-77.
8. Mills KT, Bundy JD, Kelly TN, Reed JE, Kearney PM, Reynolds K, et al.
Global disparities of hypertension prevalence and control: a systematic
analysis of population-based studies from 90 countries. Circulation.
2016;134(6):441-50.
9. Timmis A, Gale CP, Flather M, Maniadakis N, Vardas P. Cardiovascular
disease statistics from the european atlas: inequalities between high and
middle income member countries of the ESC. European Heart Journal-
Quality of Care and Clinical Outcomes. 2017.

47
10. Kotchen TA. Obesity-related hypertension: epidemiology,
pathophysiology, and clinical management. American Journal of
Hypertension. 2010;23(11):1170-8.
11. American Family Physicians. JNC 8 guidelines for the management of
hypertension in adults. [internet] USA: AFP. 2014 October 1; 90(7).
Available from: http://www.aafp.org/afp/2014/1001/p503.html
12. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison's principles of internal medicine. 19th edition. Mc-Graw Hill:
New York; 2015.
13. Puar THK, Mok Y, Debajyoti R, Khoo J, How CH, Ng AKH. Secondary
hypertension in adults. Singapore Med J. 2016 May; 57(5): 228-232.
14. Whelton PK, Carey RM, Asronow WS, Casey DE, Collins KJ,
Himmelfarb CD, et al. 2017 ACC /AHA /AAPA /ABC /ACPM /AGS
/AphA /ASH /ASPC /NMA /PCNA guideline for the prevention, detection,
evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report of
the american college of cardiology/american heart association task force
on clinical practice guidelines. Hypertension. 2017.
15. Mahan LK, Raymond JL. Krause’s food and the nutrition process, chapter
33: medical nutrition therapy for cardiovascular disease. 14th edition.
Canada: Elsevier; 2017.
16. Departement of health and human services. Dash eating plan. [internet]
National institutes of health; 2006. Available from:
https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/public/heart/new_dash.pdf]
17. Hasurungan J. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia di kota depok tahun 2002. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia; 2002.
18. Black JM, Hawks JH. Medical surgical nursing: clinical management for
positive outcomes. 7th edition. Elsevier Saunders; 2005.
19. Depkes RI. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi.
Direktoran pengendalian penyakit tidak menular; 2006.
20. Kaplan NM. Clinical hypertension 8th edition. Williams & Wilkins; 2002.

48

Anda mungkin juga menyukai