PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
ASEP SAEPUDIN
0661 15 082
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti 2
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat 2
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Tinjauan Pustaka 4
2.1.1 Definisi, Etiologi dan Epidemiologi Tuberculosis 4
2.1.2 Morfologi Mycobacterium tuberculosis 4
2.1.3 Patogenesis Tuberculosis Paru 4
2.1.4 Patologis Tuberculosis 5
2.1.5 Diagnosis tuberculosis 5
2.1.5.1 Diagnosis TB Paru 5
2.1.5.2 Diagnosis TB Ekstrak Paru 6
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang 7
2.1.6.1 Pemeriksaan Bakteriologik 7
2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologi 7
2.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang lainnya 8
2.1.7 Pengobatan Tuberculosis 8
2.1.8 Hasil pengobatan Pasien TB Paru dengan BTA Positif 8
2.1.9 Efek Samping OAT 8
2.2 Kepatuhan berobat 9
2.2.1 Pengertian kepatuhan 9
2.2.2 Cara mengukur kepatuhan 10
2.3 Rumah Sakit 10
2.3.1 Definisi Rumah Sakit 10
3
DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN 19
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberculosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini cukup cepat dan masih menjadi
masalah global yang sulit untuk dipecahkan sehingga penyakit ini muncul sebagai
penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskular dan saluran pernafasan
(syamsudin, 2013)
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2011
menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries
terhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2013 WHO melaporkan terdapat 9 juta
penderita TB baru dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB setiap tahunnya (WHO, 2014).
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di dunia, terutama di Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi
pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari
semua pihak. Tuberkulosis menjadi tantangan global dan salah satu penyakit yang
penanggulangannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals
(MDGs) Indikator pencapaian MDGs 2015 yaitu meningkatkan proporsi jumlah kasus
TB Paru yang terdeteksi mencapai 70% serta meningkatkan proporsi kasus TB Paru yang
diobati dan sembuh mencapai 85% (Kemenkes RI,2012).
Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator
yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan
(success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan
(curerate) dan angka pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 terjadi penurunan angka
keberhasilan pengobatan dibandingkan 6 tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 angka
keberhasilan pengobatan sebesar 81,3%. WHO menetapkan standar angka keberhasilan
pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun 2014, Indonesia tidak mencapai
standar tersebut. Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal
88% untuk angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut,
capaian angka keberhasilan pengobatan tahun 2013 yang sebesar 81,3% juga tidak
memenuhi target Renstra tahun 2014.(Kemenkes RI, 2015)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TinjauanPustaka
Dikutipdari :
Buku
Panduan
Nasional
(BPN) tahun
2011
2.1.6
Pemeriksaan Penunjang
2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
5. Ditemukan>10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Cara penegakan diagnosis yang paling tepat adalah menggunakan kultur biakan
menggunakan media biakan lawenstwinJensen. Koloni maturkan tampak berwarna
krem atau kekuningan dan berbentuk seperti kembangkol. Kuman TB memerlukan
waktu 6-12 minggu untuk dapat tumbuh bila menggunakan tes biokimia yang biasa.
(Kemenkes RI,2011)
Pada orang dewasa, pada tempat predileksi TB terlihat lesi homogen dengan dengan
densitas pekat, biasanya bilateral. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan
● Sembuh :Pasien telah berobat secara lengkap, pada akhir pengobatan dan
pemeriksaan dahak sebelumnya BTA sputum negative.
● Pengobatan Lengkap : Pasien yang telah berobat secara lengkap tetapi tidak
ada pemeriksaan dahak ulang pada akhir pengobatan sebelumnya.
● Meninggal : Pasien yang meninggal selama masa pengobatan karena sebab
apapun.
● Gagal : Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain dan hasil pengobatannya
tidak diketahui.
● Putus Obat : Pasien yang pada masa pengobatan tidak meminum obat
selama 2 bulan atau lebih.
● Keberhasilan pengobatan : Jumlah pasien yang sembuh dan pengobatan
lengkap. (Kemenkes RI, 2011)
menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6
bulan sampai dengan 8 bulan. (Natoadmojo, Soekidjodkk, 2005)
Dimatteo, Dinicola, Thorne dan Kyngas melakukan penelitian dan mendiskusikan
bahwa ada dua factor yang berhubungan dengan kepatuhan yaitu faktor internal dan
eksternal. Adapun factor internal meliputi karakter sipenderita seperti usia, sikap, nilai
sosial dan emosi yang disebabkan oleh penyakit.17 Adapun faktor eksternal yaitu dampak
dari pendidikan kesehatan, interaksi penderita dengan petugas kesehatan (hubungan di
antarakeduanya) dan tentunya dukungan dari keluarga, petugas kesehatan dan teman.
Kemudian menurut Niven ada 4 faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan yaitu :
● Pemahaman tentang intruksi
● Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien;
● Isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan,
● Sikap dan kepribadian
Kepatuhan pasien akan meningkat secara umum bila semua intruksi yang di berikan
oleh petugas medis jelas. Diantaranya pengobatan jelas, pengobatan yang teratur serta
adanya keyakinan bahwa kesehatannya akan pulih, dan tentunya harga terjangkau.
Hubungan status ekonomi yang rendah terhadap ketidakpatuhan dilaporkan dalam
penelitian. Dua faktor yang memperlihatkan penurunan kepatuhan akibat status ekonomi
rendah memerlukan waktu yang lama untuk menunggu selama pengobatan di klinik.
Kedua, adanya kurang konsisten antara hubungan pasien dengan dan dokter. Bahwa orang
yang tidak bekerja kepatuhannya lebih buruk dari yang bekerja. (Niven N,2002)
2.3.1 Definisi
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyelenggarakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Anonim,2014).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan farmasi adalah obat, bahan
obat, obat tradisional dan kosmetik (Anonim, 2014).
Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah memberikan perlindungan
kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh atau menetapkan sediaan farmasi,
mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetuhuan dan teknologi serta memberikan kepastian
hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian (Anonim,2004)
Terdiri dari dua jenis yaitu rumah sakit Pendidikan dan rumah sakit nonpendidikan.
Rumah sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang mengadakan program
pelatihan residensi dalam medik, bedah, pediatrik, dan bidang spesialis lain
(Siregar, 2004)
“Menjadi Rumah Sakit Rujukan Penyakit Paru yang Berkualitas dengan Unggulan
Kanker Paru Tahun 2019“
● Misi
- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru dan upaya rujukan secara
paripurna;
- Melaksanakan kegiatan pelatihan dan pendidikan serta penelitian;
- Pengembangan di bidang kesehatan paru secara terpadu dan
berkesinambungan;
- Menyelenggarakan tata kelola rumah sakit yang akuntabel, transparan,
dan responsibel
Motto
“KEPUASAN ANDA KEBAHAGIAAN KAMI”
2.4 KerangkaPemikiran
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.4 kriteriaSampel
1. Kriteria Inklusi
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di Bkpm Pati.
2011
8. Sylvia A,P. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.
10. Crofton J, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. London : Oxford; 1999. 9-22
11. Kumar V, Coftran RS, Robbins SL, Editor. Pathologic basic of disease 7th ed. Vol.2.
13. Pare, A L dkk. Hubungan antara pekerjaan, PMO. Pelayanan Kesehatan, Dukungan
Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru. Fakultas Kesehatan
14. Natoadmojo, Soekidjodkk. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka
15. Smet B. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. 1974. Hal 250-256
16. Niven N. Psikologi Kesehatan pengantar untuk perawat dan professional kesehatanlain.
17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
18. Misnadiarly. Mengenal Mencegah Menanggulangi TBC Paru. Ekstrak Paru Anak dan
20. Natoadmodjo S dkk. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
2005
22
21. Dipiro, J.T. 2006. Pharmacotherapy Handbook. New York : Mc Graw Hill Medical
Publishing
22. Thay, H.T dan Rahardja, K 2007. Obat-obat pening. Edisi VI. Jakarta : Gramedia
23. Siregar, C.J.P &Endang, K. 2006. Farmasi Klinis Teori dan Penerapan. Jakarta :
Kedokteran EGC
24. Dey. C (2002). Global burden of tuberculosis estimated insidance prevalence and
LAMPIRAN