Anda di halaman 1dari 24

1

PENGARUH EDUKASI MENGGUNAKAN MEDIA LEAFLET TERHADAP TINGKAT


KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU DI RS PARU
DR. M. GOENAWAN PARTOWIDIGDO CISARUA PERIODE OKTOBER-
NOVEMBER 2019

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
ASEP SAEPUDIN
0661 15 082

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR
2019
2

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti 2
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat 2
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Tinjauan Pustaka 4
2.1.1 Definisi, Etiologi dan Epidemiologi Tuberculosis 4
2.1.2 Morfologi Mycobacterium tuberculosis 4
2.1.3 Patogenesis Tuberculosis Paru 4
2.1.4 Patologis Tuberculosis 5
2.1.5 Diagnosis tuberculosis 5
2.1.5.1 Diagnosis TB Paru 5
2.1.5.2 Diagnosis TB Ekstrak Paru 6
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang 7
2.1.6.1 Pemeriksaan Bakteriologik 7
2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologi 7
2.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang lainnya 8
2.1.7 Pengobatan Tuberculosis 8
2.1.8 Hasil pengobatan Pasien TB Paru dengan BTA Positif 8
2.1.9 Efek Samping OAT 8
2.2 Kepatuhan berobat 9
2.2.1 Pengertian kepatuhan 9
2.2.2 Cara mengukur kepatuhan 10
2.3 Rumah Sakit 10
2.3.1 Definisi Rumah Sakit 10
3

2.3.2 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian 11


2.3.3 Klasifikasi Rumah Sakit 11
2.3.4 Profil lokasi penelitian 11
2.4 Kerangka pemikiran 13

BAB III METODE PENELITIAN 14


3.1 Desain Penelitian 14
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 14
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 14
3.4 Kriteria Sampel 14
3.5 Alat dan Bahan 15
3.6 Alur Kerja 15
3.7 Cara Kerja Penelitian 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 19
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberculosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini cukup cepat dan masih menjadi
masalah global yang sulit untuk dipecahkan sehingga penyakit ini muncul sebagai
penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskular dan saluran pernafasan
(syamsudin, 2013)
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2011
menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries
terhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2013 WHO melaporkan terdapat 9 juta
penderita TB baru dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB setiap tahunnya (WHO, 2014).
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di dunia, terutama di Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi
pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari
semua pihak. Tuberkulosis menjadi tantangan global dan salah satu penyakit yang
penanggulangannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals
(MDGs) Indikator pencapaian MDGs 2015 yaitu meningkatkan proporsi jumlah kasus
TB Paru yang terdeteksi mencapai 70% serta meningkatkan proporsi kasus TB Paru yang
diobati dan sembuh mencapai 85% (Kemenkes RI,2012).
Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator
yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan
(success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan
(curerate) dan angka pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 terjadi penurunan angka
keberhasilan pengobatan dibandingkan 6 tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 angka
keberhasilan pengobatan sebesar 81,3%. WHO menetapkan standar angka keberhasilan
pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun 2014, Indonesia tidak mencapai
standar tersebut. Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal
88% untuk angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut,
capaian angka keberhasilan pengobatan tahun 2013 yang sebesar 81,3% juga tidak
memenuhi target Renstra tahun 2014.(Kemenkes RI, 2015)
5

Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit tuberkulosis serta


mencegah terjadinya resistensi obat telah dilaksanakan program nasional penanggulangan
tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
direkomendasi oleh WHO. Metode DOTS telah diterapkan di Indonesia mulai tahun 1995
dengan 5 komponen yaitu komitmen politik kebijakan dan dukungan dana Penanggulangan
TB,diagnosis TB dengan pemeriksaan secara mikroskopik, pengobatan dengan obat anti
TB yang diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), ketersediaan obat dan
pencatatan hasil kinerja program TB (Kemenkes RI, 2011)
Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi
setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan
menelan obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita, walaupun obat
yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya
hasil pengobatan akan mengecewakan. Kenyataan lain bahwa penyakit TB Paru sulit untuk
disembuhkan karena obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta
pengobatannya makan waktu lama, setidaknya 6 bulan sehingga menyebabkan penderita
banyak yang putus berobat. Hal yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya perhatian
pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB di
berbagai tempat menjadi amat lemah (Kememkes RI, 2011)
Penyakit Tuberkulosis paru adalah penyakit kronik, melemahkan tubuh dan sangat
menular serta memerlukan diagnosis akurat, pemeriksaan mikroskopis, pengobatan jangka
panjang dengan keteraturan dan kepatuhan meminum obat anti Tuberkulosisdalam
mencapai kesembuhan (Utomo, 2005).
Tingkat kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila
pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis terhadap Obat
Anti tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut dengan Multi Drugs Resistence
(MDR) (Depkes RI, 2002)
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka
kegagalan pengobatan penderita TB paru, sehingga akan meningkatkan resiko kesakitan,
kematian, dan menyebabkan semakin banyak ditemukan penderita TB paru dengan Basil
Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan pengobatan standar. Pasien yang resisten tersebut
akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat. . Hal ini tentunya akan
6

mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban


pemerintah (Depkes RI, 2005)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang akan di bahas dalam
penelitian ini adalah, bagaimana Pengaruh edukasi menggunakan Leaflet bergambar pada
penderita Tuberculosis Rawat Jalandi RSPG Cisarua?

1.3 Tujuan Penelitian


Bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepatuhan penderita Tuberculosis
parusetelah di edukasi dengan Leaflet bergambar sehingga termotivasi untuk sembuh di
RSPG Cisarua.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi peneliti
● Untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat kepatuhan minum obat anti
tuberculosis.
● Sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian terutama dalam bidang
kesehatan.
● Sebagai aplikasi dari pembelajaran materi selama perkuliahan.
● Sebagai prasyarat tugas dalam kelulusan pada Program Studi Farmasi di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor.

1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat


Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang manfaat kepatuhan dalam minum obat anti tuberculosis.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi


Hasil penelitian ini diharap kan menjadi landasan untuk melakukan penelitian-
penelitian lainnya yang berkaitan tentang kepatuhan minum obat pada pasien
tuberculosis.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TinjauanPustaka

2. 1.1 Definisi, Etiologi dan Epidemiologi Tuberculosis


Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menular secara langsung. Predileksi utama adalah organ paru,
tetapi bisa menyerang organ lain juga (WHO,2012)
Berdasarkan data Epidemiologi bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah
pasien TB terbanyak nomer lima di dunia, setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria.
Diperkirakan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi
insidensi berjumlah 430.000 kasus baru pertahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya.(Kemenkes RI,2014)
Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk,
sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 22 per 100.000 penduduk. Sementara itu,
angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000
penduduk di bandingkan tahun 1990 sebesar per 100.000 penduduk. Hal itu disebabkan
implementasi strategi DOTS di Indonesia telah dilakukan secara meluas dengan hasil
cukup baik. (Depkes RI)

2.1.2 Morfologi Mycobacterium Tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis adalah kuman berbentuk batang yang tahan asam
karena mengandung banyak lemak dan mudah mengikat pewarnaan Ziehl-Neelsen dan
sulit untuk didekolorisasi. Kuman berbentuk batang ini merupakan bakteri aerob yaitu
merupakan organisme pathogen, namun bersifat saprofit. (Sylvia A,P, 2009)
Bakteriinideringditemukan di lokasi yang kering dan lembab, karena bakteri ini
memiliki sifat tahan panas dan akan mati pada suhu 60oC dalam waktu 15-20 menit. Bakteri
ini dapat mati jika terkena sinar matahari selama 2 jam. (Ramadhani. A 2009/2010)

2.1.3 Patogenesis Tuberculosis Paru


Kuman TB kebanyakan menginfeksi manusia melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil
yang mencapai kedalam alveolus, biasanya di bagian apeks paru atau di bagian atas lobus
8

bawah, kemudian merangsang reaksi peradangan. Pada awalnya sel-selpolimorfonuklear


(PMN) datang memfagosit bakteri namun tidak membunuh kuman tersebut. Beberapa hari
kemudian, kerja leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveolus yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut yang bisa sembuh sendiri atau terus
berlanju bakteri berkembangbiak dalam sel. Kumpulan makrofag yang di dalamnya
terdapat basil akan membentuk sel tuberelepiteloid yang dikelilingi oleh limfosid. Basil
TB juga bisa menyebar ke kelenjar getah bening regional melalui limfogen. Proses ini
memerlukan waktu 10-20 hari. (Amin Z danBahar A, 2009)
Kuman TB dapat menyebar melalui limfogen, hematogen atau bisa keduanya.
Penyebaran hematogen bisa menyebabkan TB milier dimana fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga kuman banyak yang masuk kedalam pembuluh darah dan
menyebar ke berbagai organ tubuh. (Sylvia A.P, 2009)
Nekrosis di bagian tengah tuberkel tampak gambaran relative padat dan seperti keju
yang disebut sebagai nekrosiskaseosa. Lesi primer paru disebut focus ghon,sedangkan
gabungan lesi primer dan getah bening regional yang terserang disebut kompleksghon.
(Sylvia A,P, 2009)

2.1.4 Patologi Tuberculosis


Secara makroskopik pada tuberculosis paru primer tampak kompleks Gohn dimana
terlihat focus abu-abu putih yang paling sering terlihat di bagian bawah lobus atas paru dan
tampak kelenjar getah bening hilus perkijuan. (Kumar V, 2005)
Secara mikroskopik pada lesi aktifakan di dapatkan reaksi peradangan
granulomatosa yang membentuk tuberkel perkijuan dan nonperkijuan. Granuloma
biasanya dikelilingi jaringan fibroblastic dan limfosit yang membentuk seperti cincin
menutupi granuloma. Dapat ditemukan juga sel Datia Langerhans, yaitu sel raksasa berinti
banyak (Kumar V, 2005)

2.1.5 Diagnosis Tuberculosis

2.1.5.1 Diagnosis TB Paru


● Semua yang dicurigai TB parudilakukanpemeriksaandahaktiga kali
dalamwaktu 2 hariyaitusewaktu-pagi-sewaktu (SPS).(Depkes RI,2007)
9

● Diagnosis TB parupada orang dewasabiladitemukannyakuman TB. Di


Indonesia ditemukannya BTA
padapemeriksaandahakmikroskopikmerupakan diagnosis utama.
Pemeriksaansepertiradiologidanujisensitivitasbolehdilakukanuntukmenunj
ang diagnosis sesuaidenganindikasinya. (Depkes RI, 2007)
● PemeriksaanRadiologisbukanmerupakan diagnosis utama TB Paru,
karenagambarannya yang tidakkhas. Bisamenimbulkanoverdiagnosis.
(Depkes RI,2007)

2.1.5.2 Diagnosis TB EkstraParu


Diagnosis ditegakkandarimanifestasiklinis, pemeriksaanbakteriologis,
danpemeriksaanhispatologisdari organ yang terkena. (Depkes RI,2007)

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru


10

Dikutipdari :
Buku
Panduan
Nasional
(BPN) tahun
2011
2.1.6

Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.1 Pemeriksaan Bakteriologik


Pemeriksaan bakteriologik yang paling penting untuk mendiagnosis TB adalah
pemeriksaan sputum. Salah satunya adalah menggunakan metode perwarnaan Ziehl-
Neelsen dimana apus dituangkan zat pewarna primer yaitu fuksinkarbol yang dipanaskan.
Kemudian dilakukan dekolorisasi dengan menuangkan alcohol sampai menutupi seluruh
permukaan apus. Setelah itu, warnai lagi dengan meilen blue yang merupakan zatwarna
sekunder. Apabila dilihat dengan mikroskop akan tampak basil berwarna merah.
(Kemenkes RI, 2011)
WHO merekomendasikan pembacaan hasil pemeriksaan mikroskopis dengan skala
IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :
1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative.
11

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
5. Ditemukan>10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Cara penegakan diagnosis yang paling tepat adalah menggunakan kultur biakan
menggunakan media biakan lawenstwinJensen. Koloni maturkan tampak berwarna
krem atau kekuningan dan berbentuk seperti kembangkol. Kuman TB memerlukan
waktu 6-12 minggu untuk dapat tumbuh bila menggunakan tes biokimia yang biasa.
(Kemenkes RI,2011)

2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologis saja belum dapat memastikan seseorang menderita

penyakit TB karena secara manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya.

Pada orang dewasa, pada tempat predileksi TB terlihat lesi homogen dengan dengan

densitas pekat, biasanya bilateral. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan

gambaran penyakit menyebar. (Kemenkes RI, 2011)

2.1.6.3 Pemerikaan Penunjang Lainnya


Teknik molecular terbaru dapat membaca DNA kuman TB dengan menggunakan
alat Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan sample sputum atau sedian lain yang
dapat mendiagnosis penyakit TB dengan cepat.

2.1.7 Pengobatan penyakit Tuberculosis


Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan
(4-7 bulan). Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang digunakan terdiri dari obat utama dan
obat tambahan. Obat utama atau biasa disebut lini pertama terdiri dari Rimfampisin (R),
isoniazid (H), etambutol (E), Pirazinamid (Z) danstreptomisin (S). Sedangkan obat
tambahan lainnya (lini kedua) yaitu kanamisin, amisakin, kuinolondan lain-lain.

2.1.8 Hasil pengobatan Pasien TB Parudengan BTA Positif


12

● Sembuh :Pasien telah berobat secara lengkap, pada akhir pengobatan dan
pemeriksaan dahak sebelumnya BTA sputum negative.
● Pengobatan Lengkap : Pasien yang telah berobat secara lengkap tetapi tidak
ada pemeriksaan dahak ulang pada akhir pengobatan sebelumnya.
● Meninggal : Pasien yang meninggal selama masa pengobatan karena sebab
apapun.
● Gagal : Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain dan hasil pengobatannya
tidak diketahui.
● Putus Obat : Pasien yang pada masa pengobatan tidak meminum obat
selama 2 bulan atau lebih.
● Keberhasilan pengobatan : Jumlah pasien yang sembuh dan pengobatan
lengkap. (Kemenkes RI, 2011)

2.1.9 Efek Samping OAT


Tabel 2.3 Efek Samping Obat Anti Tuberculosis.
No JenisObat EfekSamping
1. Isoniazid Mual, Muntah, kesmutan, rasa terbakar
pada kaki, hepatotoksik
2. Pirazinamid Mual, muntah nyeri sendi, hepatotoksik
3. Rifampisin Mual, Muntah, BAK Berwarna merah,
purpura, syok, hepatotoksik
4. Etambutol Mual, muntah, neuritis retrobulbar,
hepatotoksik
5. Streptomisin Mual, Muntah, tuli, gangguan
kesimbangan, gatal kemerahan,
hepatotoksik
Dikutip : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis tahun 2011
2.2 Kepatuhan Berobat
2.2.1.Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan (ketaatan) (compliance atau adherence) adalah tingkat pasien
melaksakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang
lain. Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh petugas kesehatan. Penderita yang patuh berobat adalah yang
13

menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6
bulan sampai dengan 8 bulan. (Natoadmojo, Soekidjodkk, 2005)
Dimatteo, Dinicola, Thorne dan Kyngas melakukan penelitian dan mendiskusikan
bahwa ada dua factor yang berhubungan dengan kepatuhan yaitu faktor internal dan
eksternal. Adapun factor internal meliputi karakter sipenderita seperti usia, sikap, nilai
sosial dan emosi yang disebabkan oleh penyakit.17 Adapun faktor eksternal yaitu dampak
dari pendidikan kesehatan, interaksi penderita dengan petugas kesehatan (hubungan di
antarakeduanya) dan tentunya dukungan dari keluarga, petugas kesehatan dan teman.
Kemudian menurut Niven ada 4 faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan yaitu :
● Pemahaman tentang intruksi
● Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien;
● Isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan,
● Sikap dan kepribadian
Kepatuhan pasien akan meningkat secara umum bila semua intruksi yang di berikan
oleh petugas medis jelas. Diantaranya pengobatan jelas, pengobatan yang teratur serta
adanya keyakinan bahwa kesehatannya akan pulih, dan tentunya harga terjangkau.
Hubungan status ekonomi yang rendah terhadap ketidakpatuhan dilaporkan dalam
penelitian. Dua faktor yang memperlihatkan penurunan kepatuhan akibat status ekonomi
rendah memerlukan waktu yang lama untuk menunggu selama pengobatan di klinik.
Kedua, adanya kurang konsisten antara hubungan pasien dengan dan dokter. Bahwa orang
yang tidak bekerja kepatuhannya lebih buruk dari yang bekerja. (Niven N,2002)

2.2.2 Cara mengukur kepatuhan


Kepatuhan berobat dapat diketahui melalui 7 cara yaitu : Keputusan dokter yang
didapat pada hasil pemeriksaan, pengamatan jadwal pengobatan, penilaian pada tujuan
pengobatan, perhitungan jumlah tablet pada akhir pengobatan, pengukuran kadar obat
dalam darah dan urin, wawancara pada pasien dan pengisian formulir khusus. Pernyataan
Sarafino hampir sama dengan sacket yaitu kepatuhan berobat pasien dapat diketahui
melalui tiga cara yaitu perhitungan sisa obat secara manual, perhitungan sisa obat
berdasarkan suatu alat elektronik serta pengukuran berdasarkan biokimia (kadar obat)
dalam darah/urin. (Natoadmojo, Soekidjodkk, 2005)

2.3 Rumah Sakit


14

2.3.1 Definisi
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyelenggarakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Anonim,2014).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan farmasi adalah obat, bahan
obat, obat tradisional dan kosmetik (Anonim, 2014).
Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah memberikan perlindungan
kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh atau menetapkan sediaan farmasi,
mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetuhuan dan teknologi serta memberikan kepastian
hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian (Anonim,2004)

2.3.2 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian


Pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik atau toko obat. Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit menjadi dua
kegiatan yaitu kegiatan managerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik (Anonim, 2014).

2.3.3 Klasifikasi Rumah Sakit


● Klasifikasi berdasarkan kepemilikan
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan terdiri dari rumah sakit pemerintah dan
swasta, Rumah sakit pemerintah terdiri dari rumah sakit pusat yang
langsung dikelola oleh Dinas Kesehatan, rumah sakit pemerintah daerah,
rumah sakit militer, dan rumah sakit BUMN (Siregar, 2004)
● Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan
Dibedakan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
memberikan pelayanan kepada berbagai jenis kesakitan. Rumah sakit
khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan diagnosis dan
pengobatan dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah
(Siregar, 2004)
● Klasifikasasi berdasarkan afiliasi Pendidikan
15

Terdiri dari dua jenis yaitu rumah sakit Pendidikan dan rumah sakit nonpendidikan.
Rumah sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang mengadakan program
pelatihan residensi dalam medik, bedah, pediatrik, dan bidang spesialis lain
(Siregar, 2004)

2.3.4. Profil lokasi penelitian


Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo (RSPG) Cisarua Bogor terletak
di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. RSPG memiliki
luas lahan 69.661m2.Berawal dari sebuah Zending School yang didirikan pada tahun 1908
yang selanjutnya tahun 1928 diambil oleh SCVT. Kemudian pada tanggal 15 Agustus 1938
dilakukan peletakan batu pertama pembangunan serta tanggal 15 Nopember 1938
dilakukan pembukaan pertama Sanatorium vor Lunlojders . Pada tahun 1978 berubah
namanya menjadi RSTP (Rumah Sakit Tuberkulosa Paru-Paru) berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 137/SK/MENKES/IV/78 tanggal 28 April 1978
tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Tuberkulosa Paru-Paru. Kemudian
pada tahun 2004 berubah lagi namanya dari RSTP (Rumah Sakit Tuberkulosa Paru-Paru)
menjadi Rumah Sakit Paru (RSP) dengan nama Rumah Sakit Paru (RSP) Dr.M.Goenawan
Partowidigdo berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 190/Menkes/SK/II/2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Paru. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 251/Menkes/Per/III/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah
Sakit Paru Dr. M.Goenawan Partowidigdo Cisarua Bogor, RSPG mempunyai tugas
menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan secara paripurna, pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan paru secara serasi, terpadu
dan berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan lainnya serta melaksanakan
upaya rujukan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 226/KMK.05/2009
tentang Penetapan Rumah Sakit Paru Dr.M.Goenawan Partowidigdo Cisarua Bogor Pada
Departemen Kesehatan Sebagai Instansi Pemerintah Yang Menerapkan Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan umum, RSPG merupakan instansi pemerintah yang
menerapakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dengan status Badan Layanan
Umum secara penuh (BLU penuh).

Visi dan Misi


● Visi
16

“Menjadi Rumah Sakit Rujukan Penyakit Paru yang Berkualitas dengan Unggulan
Kanker Paru Tahun 2019“

● Misi
- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru dan upaya rujukan secara
paripurna;
- Melaksanakan kegiatan pelatihan dan pendidikan serta penelitian;
- Pengembangan di bidang kesehatan paru secara terpadu dan
berkesinambungan;
- Menyelenggarakan tata kelola rumah sakit yang akuntabel, transparan,
dan responsibel

Motto
“KEPUASAN ANDA KEBAHAGIAAN KAMI”

2.4 KerangkaPemikiran
17

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental atau eksperimen semu dengan
menggunakan rancangan pre test dan post test with control group design,dimana rancangan ini
mengukur perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dengan menggunakan
kelompok kontrol. Kelompok intervensi adalah pasien tuberculosis yang didampingi pengawas
minum obat diberikan edukasi dengan leaflet bergambar, Kelompok kontrol ini adalah pasien
tuberculosis yang di dampingi pengawas minum obat tanpa diberikan edukasi dengan leaflet
bergambar. Perbedaan antara sebelum dan sesudah intervensi di asumsikan merupakan efek dari
intervensi (Polit, Beck & Hungler, 2001)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitiandilakukan di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua Periode Oktober
2019- November 2019

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi yang dijadikan objek penelitian adalah pasien TB paru yang
sedangmenjalanirawatjalan di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi.

3.4 kriteriaSampel
1. Kriteria Inklusi
18

a. Pasien TB Paru yang sudah terdiagnosis TB paru oleh dokter


b. Pasien TB paru dari bulan Januari 2018 sampai denganJanuari 2019
c. Bersedia menjadi responden
d. Responden berada di tempat pengambilan data
e. Mendapatkan pengobatan DOTS
f. Usia di atas 18 Tahun
g. Belum menerima leaflet edukasi TBC bergambar
2. KriteriaEksklusi
a. Penderita TB dengan HIV
b. Penderita TB Anak

3.6 Alat dan Bahan


1. Alat
a. Kuisoner MMAS-8
b. Leaflet
2. Bahan
b. Pasien tuberculosis paru
3.7 AlurKerja
19

3.8 Cara KerjaPenelitian


1. Melakukan persiapan penelitian di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Pakuan Bogor.
2. Mengurus perizinan ke RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua untuk
mengambil data
3. Mengambil data rekam medik yang sesuai dengan persyaratan penelitian dengan
cara seleksi dari inklusi dan eksklusi.
4. Didapatkan pasien sesuai dengan besar sampel yang ditentukan.
5. Diberikan kuisoner tanpa di edukasi (Pretest)
6. 2 minggu kemudian diberikan kembali kuisoner & Diedukasi dengan
menggunakan Leaflet (Postest)
7. Melakukan analisis data berdasarkan hasil kuisoner
8. Menarik kesimpulan
20

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

III. Edisi V. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal 2230-2238

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberculosis. Edisi 2. Jakarta : Gerdunas-TB.2006

3. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009.

Pedoman Penanggulangan Tuberculosis. Cetakan 2011.

4. Gendhis I D, Yunie A, Mamat S. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap Pasien dan

Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Paru di Bkpm Pati.

2011

5. WHO. Global Tuberculosis Report. 2012

6. Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyakit

Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis. 2011

7. Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit

Lingkungan. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014


21

8. Sylvia A,P. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.

2009. Hal 852-859

9. Ramadhani A. Pengaruh Pelaksanaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap

Konversi BTA (+) Pada Pasien TB Paru di RSD tahun 2009/2010

10. Crofton J, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. London : Oxford; 1999. 9-22

11. Kumar V, Coftran RS, Robbins SL, Editor. Pathologic basic of disease 7th ed. Vol.2.

Elsevier Saunders. 2005 p, 756-760

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberculosis.Edisi 2. Jakarta : Gerdunas-TB-2007

13. Pare, A L dkk. Hubungan antara pekerjaan, PMO. Pelayanan Kesehatan, Dukungan

Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Hasanudin Makassar. 2012

14. Natoadmojo, Soekidjodkk. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka

Cpita. 2005. Hal 43-64

15. Smet B. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. 1974. Hal 250-256

16. Niven N. Psikologi Kesehatan pengantar untuk perawat dan professional kesehatanlain.

Jakarta : EGC, 2002. Hal 58-63

17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar, 2010

18. Misnadiarly. Mengenal Mencegah Menanggulangi TBC Paru. Ekstrak Paru Anak dan

Pada Kehamilan. Jakarta : Pustaka Popular Obor. 2006

19. Syafni. M. Faktor-Faktor yang berhubungan Dengan Keteraturan Penderita TB Paru

Dalam Minum OAT di Puskesmad Johar Baru Jakarta Pusat.2010

20. Natoadmodjo S dkk. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

2005
22

21. Dipiro, J.T. 2006. Pharmacotherapy Handbook. New York : Mc Graw Hill Medical

Publishing

22. Thay, H.T dan Rahardja, K 2007. Obat-obat pening. Edisi VI. Jakarta : Gramedia

23. Siregar, C.J.P &Endang, K. 2006. Farmasi Klinis Teori dan Penerapan. Jakarta :

Kedokteran EGC

24. Dey. C (2002). Global burden of tuberculosis estimated insidance prevalence and

mortality by country. 282. (7). Journal of the America Medical Association.

LAMPIRAN

KUESIONER KEPATUHAN MINUM OBAT


(Morisky Medication Adherence Scale)
APENDIKS
Nama : Jenis Kelamin :
Umur : Pendidikan :
Lama menederita Tuberculosis :..... Tahun// Bulan
Jumlah obat yang diminum : ....... Jenis
Efek Samping Obat :....
Pemeriksaan Ulang :.....x /bulan atau......x/Minggu
Pengobatan lain : ....
Jawaban
No Pertanyaan YA TIDAK SKOR
1. Pernahkah kamu lupa minum obat ?
2. Selain lupa, apakah anda pernah lupa minum obat
karena alasan lain dalam 2 mingguterakhir,?
Mengapa?
3. Pernahkah anda mengurangi atau berhenti minum
obat tanpa sepengetahuan dokter karena anda merasa
obat yang diberikan membuat keadaan anda menjadi
lebih buruk?
4. Pernahkah anda lupa membawa obat ketika
berpergian?
5. Apakah anda tidak meminum obat anda kemarin?
6. Apakah anda berhenti minum obat ketika gejala yang
dialami telah teratasi?
23

7. Meminum obat setiap hari merupakan suatu


ketidaknyamanan untuk beberapa orang, Apakah
anda terganggu harus meminum obat setiap hari?
8. Berapa sering anda lupa minum obat?
a. Tidak pernah
b. Sesekali
c. Kadang-kadang
d. Biasanya
e. Selalu
Penilaian :
Pertanyaan No. 1-7 ( YA=1/TIDAK=0)
Pertanyaan No.8
Selalu =7 Kali dalam Seminggu Sesekali = 1 kali dalam seminggu
Sesekali = 4-6 kali dalam seminggu Tidak Pernah = Tidak Pernah lupa
Kadang-kadang = 2-3 kali dalam seminggu

Contoh Leaflet Bergambar TBC


24

Anda mungkin juga menyukai