Anda di halaman 1dari 41

SARI PUSTAKA

JULI 2019

PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN

MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)

GHAMAL ARIF HANAFIAH

Narasumber: dr. Parluhutan Siagian, M.Ked (Paru), SpP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN
2019
LEMBARAN PENGESAHAN

Sari Pustaka yang berjudul

PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN

MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)

dibacakan oleh dr. Ghamal Arif Hanafiah

Telah dilakukan koreksi oleh dr. Ella Rhinsilva

dan perbaikan sesuai dengan hasil koreksi dari pembimbing

Medan, Juli 2019

Diketahui oleh
Ketua Program Studi Narasumber
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU

Dr.dr.Amira P. Tarigan, M.Ked, SpP(K) dr. Parluhutan Siagian, M.Ked,SpP(K)


NIP: 197202281999032002 NIP: 196304051989121001

i
PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN
MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)

ABSTRAK

Sejak tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (Global Emergency) hal ini karena situasi TB didunia yang semakin
memburuk, dimana jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan. Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).

Pengobatan terhadap kasus MDR TB sangat komplek dimana membutuhkan waktu yang
lama biaya besar dan pengawasan yang ketat. Keadaan ini pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya epidemi kasus TB yang sulit ditangani. Manajemen Terpadu
Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2009.

Pengobatan MDR TB memerlukan durasi pengobatan yang lama (20-24 bulan) sehingga
meningkatkan tingginya angka loss to follow up. Pada bulan Mei 2016 WHO
mengeluarkan rekomendasi pengunaan paduan pengobatan standar jangka pendek 9-11.
Angka keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar jangka pendek mencapai
82% dibandingkan dengan angka keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar
jangka panjang hanya mencapai 62%.

ii
DEVELOPMENT OF MANAGEMENT
MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)

ABSTRACT

Since 1994 the World Health Organization (WHO) has launched TB as a global
emergency because this situation of TB in the world has worsened, with the number of TB
cases increasing and can not being cured. The number of TB cases in Indonesia according
to WHO Report 2015, it is estimated that there are 1 million new TB cases per year (399
per 100,000 population) with 100,000 deaths per year (41 per 100,000 population).

Treatment of MDR TB cases is very complex where it requires a long time and large costs
and strict supervision. This situation will eventually lead to epidemics of TB cases that are
difficult to treat. Management of Drug Resistant TB Control (MTPTRO) has been
implemented in Indonesia since 2009.

Treatment of MDR TB requires a long duration of treatment (20-24 months) so that it


increases the rate of loss to follow up. In May 2016 WHO issued a recommendation for the
use of a standard 9-11 short-term treatment. Treatment success rates using short-term
regimen standard reach 82% compared to treatment success rates using long-term regimen
standard reaching only 62%.

iii
DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN ...................................................................................... i


ABSTRAK ....................................................................................................................... ii
ABSTRACT ...................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
2.1. Definisi Kasus Resistensi Obat Tuberkulosis ........................................... 3
2.2. Epidemiologi ............................................................................................. 3
2.3. Alur Diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa ............... 4
2.4. Alur Diagnosis TB Resisten Obat ............................................................. 5
2.5. Penatalaksanaan TB Resisten Obat dan MDR TB dari Masa ke Masa .... 8
2.5.1 Penatalaksanaan MDR TB Pedoman WHO 2008 ..................................... 8
2.5.2 Penatalaksanaan MDR TB Pedoman Peraturan Kemenkes 2013 ............. 9
2.5.3 Penatalaksanaan MDR TB Kemenkes Adendum 2015 ............................. 11
2.5.4 Penatalaksanaan MDR TB sesuai PMK 2016 ........................................... 12
2.5.5 Pedoman Penatalaksanaan MDR TB Jangka Pendek 2017....................... 18
2.5.6 Pedoman Tatalaksana MDR TB WHO 2018 ............................................ 22
2.5.7 Regimen Pengobatan untuk TB MDR/RR di Afrika Selatan 2019 ........... 26
BAB III. KESIMPULAN .............................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 34

iv
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal


Tabel 2.1 Dosis OAT Pengobatan Konvensional............................................ 15

v
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal


Gambar 2.1 Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pasien Dewasa 5
Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB pada Faskes dengan Layanan TCM 6
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB pada Faskes tanpa Layanan TCM 7
Gambar 2.4 Pengelompokkan OAT berdasarkan Grup1-5 9
Gambar 2.5 Pengelompokkan OAT lini Kedua 13
Gambar 2.6 Follow Up Pengobatan standar Konvensional 17
Gambar 2.7 Alur penatalaksanaan TB RO Standar Pendek 19
Gambar 2.8 dosis OAT untuk Pengobatan Jangka Pendek 20
Gambar 2.9 Jadwal pemeriksaan selama pengobatan jangka Pendek 21
Gambar 2.10 Pengelompokkan OAT MDT TB WHO 2018 23
Gambar 2.11 Kriteria pengobatan standar Jangka Pendek 26

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

Saat ini Tuberkulosis (TB) terutama TB paru masih menjadi masalah kesehatan
yang penting didunia baik negara berkembang dan juga disebagian negara maju. Sejak
tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (Global Emergency) hal ini karena situasi TB didunia yang semakin
memburuk, dimana jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan (Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2014).
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB
baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan, dengan 1,5 juta kematian
karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan
1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah
perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta
kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun
(41 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang
berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB
dengan pengobatan ulang.2 Berdasarkan laporan WHO diperkirakan selama tahun 2007
didapatkan kasus MDR TB sekitar 0,5 juta kasus. Kasus MDR TB terbanyak didapatkan di
India (131.000), China (112.000), Rusia (43.000), Afrika Selatan (16.000), dan
Bangladesh (15.000). Kasus MDR TB ini bersifat mematikan, infeksius dan sukar
disembuhkan (WHO TB Report, 2009).
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) telah
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2009. Paduan obat standar TB resisten obat ganda di
Indonesia adalah minimal 6 bulan fase intensif dengan paduan obat pirazinamid,
etambutol, kanamisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin dan dilanjutkan 18 bulan fase
lanjutan dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, levofloksasin, etionamid, sikloserin
(6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs). Namun rekomendasi WHO tahun 2011
menyebutkan fase intensif yang direkomendasikan paling sedikit 8 bulan ((Kemenkes RI
Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2013).
Pada bulan Mei 2016 WHO mengeluarkan rekomendasi penggunaan paduan
pengobatan standar jangka pendek 9-11 bulan untuk tiga kelompok pasien, yaitu: pasien

1
TB resisten rifampisin (TB RR) atau MDR yang belum pernah diobati dengan OAT lini
kedua; atau pada pasien yang kemungkinan kecil terjadi resistensi; atau terbukti tidak
resisten terhadap fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua. Rekomendasi ini berdasarkan
pada hasil kajian dari berbagai studi observasional mengenai penggunaan paduan
pengobatan jangka pendek di beberapa negara Asia dan Afrika yang menunjukkan angka
keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar jangka pendek mencapai 84%
dibandingkan dengan angka keberhasilan pengobatan menggunakkan paduan standar
jangka panjang hanya mencapai 62%. Rendahnya angka keberhasilan pada paduan jangka
panjang diperkirakan oleh durasi pengobatan yang lama (20-24 bulan) sehingga
meningkatkan tingginya angka loss to follow up (Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis.
Jakarta, 2017).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kasus Resistensi Obat Tuberkulosis


Resistensi kuman M. tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana kuman
tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT, secara umum resistensi terhadap
OAT dibagi menjadi (WHO TB, 2012):
a. Resistensi primer yaitu apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Resistensi initial yaitu apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.
c. Resistensi sekunder yaitu apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan
OAT minimal 1 bulan.
Menurut WHO (2013) dan dalam buku petunjuk Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2013 klasifikasi resistensi OAT yaitu
(Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2013):
a. Monoresitance: resisten terhadap salah satu OAT misalnya resisten isoniazid (H).
b. Polyresistance: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid
(H) dan rifampisin (R), misalnya resistensi isoniazid dan etambutol (HE),
rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin
etambutol dan streptomisin (RES).
c. Multi Drug Resistance (MDR): resisten terhadap isoniazid dan rifampisin dengan
atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya HR, HRE, HRES.
d. Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resisten terhadap salah satu
obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
e. TB Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap rifampisin (monoresisten,
poliresisten, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip
atau genotip dengan atau tanpa resisten OAT lainnya.

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2011, Badan kesehatan dunia (World Health Organization/ WHO)
memperkirakan di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus TB yang resistan terhadap INH
3
dan Rifampisin (TB MDR) setiap tahunnya dengan angka kematian sekitar 150.000. Dari
jumlah tersebut baru sekitar 10% yang telah ditemukan dan diobati. Secara Global
diperkirakan 480.000 orang terkena MDR TB dan 190.000 orang meninggal karena MDR
TB. Pada 2015, 105 negera telah melaporkan sedikitnya 1 kasus XDR-TB (Curry
International Tuberculosis Center, 2016).
Indonesia telah melakukan beberapa survei resistansi OAT untuk mendapatkan
data resistansi OAT. Survei tersebut diantaranya dilakukan di Kabupaten Timika Papua
pada tahun 2004, menunjukkan data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah
sebesar 2%; di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006, data kasus TB MDR di antara
kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus TB MDR pada TB yang pernah diobati sebelumnya
adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun 2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru
TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %.
Hasil Survei terbaru yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010
menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. Secara
global, WHO pada tahun 2011 menggunakan angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk
kasus pengobatan ulang untuk memperkirakan jumlah kasus TB MDR di Indonesia
(Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2013).

2.3 Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada pasien Dewasa (tanpa
kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resisten Obat)
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap
dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
tes cepat dan biakan.
Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh
uji. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi. Pemberian AB
(antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan
Kuinolon. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
penilaian lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB. Semua
terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI (Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan (Kemenkes RI Nasional
Tuberkulosis. Jakarta, 2014).

4
Gambar 2.1: Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada pasien Dewasa

2.4 Alur Diagnosis TB Resisten Obat (TB RO)


Prinsip penegakan diagnosis TB paru pada dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis, tes cepat molekular (TCM) dan
biakan). Faskes yang mempunyai alat pemeriksaan TCM, penegakkan diagnosis TB
menggunakan alat TCM. Untuk pasien–pasien yang terduga TB RO dan terduga TB
dengan HIV (+), harus tetap diupayakan penegakkan dengan TCM, dimana faskes yang
tidak memiliki alat TCM harus merujuk ke faskes yang memiliki alat TCM (Kemenkes RI
Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2017).
Kriteria suspek TB RO adalah pasien yang mempunyai gejala TB dengan satu atau lebih
kriteria dibawah ini yaitu (Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2014):
1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2. Pasien TB pengobatan Kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan
5
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun bakteriologis
terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal tidak menggunakan
GeneXpert)
Pasien dengan hasil Mtb resisten Rifampisin tetapi pasien tersebut bukan berasal dari
kriteria pasien suspek TB RO maka harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil maka hasil akhir yang menjadi acuan untuk tindakan selanjutnya.
Jika di dapati hasil indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang, jika tetap
indeterminate maka penatalaksanaan menggunakan pengobatan Lini I.

Gambar 2.2: Alur Diagnosis TB pada Faskes dengan Akses TCM

6
Faskes yang tidak mempunyai alat TCM penegakkan diagnosis menggunakan
mikroskopis. Pasien dengan hasil BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh dahak
menunjukkan hasil (+). Pasien dengan BTA (-), maka penegakkan diagnosis dapat
dilakukan secara klinis menggunakan pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter. Apabila hasil negatif dan
tidak memiliki akses radiologi, TCM dan biakan maka dilakukan dengan pemberian
antibiotik non OAT dan non quinolon terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada
perbaikan, dan pasien memiliki faktor resiko TB tinggi (terbukti kontak dengan pasien TB,
ada penyakit komorbid HIV, DM dan tinggal didaerah resiko tinggi TB seperti lapas/rutan,
tempat pengungsian) maka dapat diobati sebagai TB klinis (Kemenkes RI Nasional
Tuberkulosis. Jakarta, 2017).

Gambar 2.3: Alur Diagnosis TB pada Faskes tanpa Layanan TCM

7
2.5 Penatalaksanaan TB Resistensi Obat dan MDR TB dari Masa ke Masa
2.5.1 Penatalaksanaan MDR TB pedoman WHO 2008
Secara umum prinsip pengobatan TB RO, khususnya TB dengan MDR,, harus
menggunakan minimal 4 obat anti Tuberkulosis (OAT) yang masih efektif. Pada tahun
2009, WHO mengelompokkan OAT berdasarkan, efikasi, kegunaan sebelumnya dan kelas
obat untuk pengobatan MDR TB. Semua OAT lini pertama masuk pada grup 1, kecuali
streptomisin yang masuk ke dalam terapi injeksi lain di grup 2. Semua OAT grup 2-5
merupakan OAT lini kedua (WHO TB 4th ed, 2009).
Obat pada Grup 1 adalah yang paling poten, jika riwayat sebelumnya menunjukkan
obat di grup 1 efektif, maka obat tersebut harus diberikan, jika tidak maka dilihat
berdasarkan hasil DST. Semua pasien harus mendapatkan obat injeksi di grup 2, pilihan
utama adalah kanamisin atau amikasin jika terbukti sensitif. Semua pasien harus
mendapatkan obat di grup 3, yaitu golongan quinolon generasi tinggi seperti levofloksasin
dan moksifloksasin. Pada grup 4 obat seperti ethionamid harus diberikan sebagai obat
tambahan, agar terpenuhi 4 obat efektif, untuk tambahan etionamid, sikloserin lebih
dipertimbangkan dibandingkan PAS karena mempertimbangkan efek samping obat. Obat
pada grup 5 tidak diberikan secara rutin mengingat efikasi dari obat tersebut masih belum
jelas. Obat di grup 5 dipertimbangkan pada keadaan dimana obat di grup 1-4 tidak bisa
digunakan, dan hal ini memerlukan pertimbangan khusus oleh ahli (WHO TB 4th ed,
2009).
Pada pengobatan MDR tahun, fase intensif didefinisikan sebagai durasi pengobatan
dengan obat injeksi. Pengobatan dengan obat injeksi harus dilanjutkan minimum selama 6
bulan, dan sedikitnya 4 bulan setelah kultur negatif. Konversi sputum dengan kultur
negatif merupakan penentu untuk menentukan lamanya pengobatan. Pada pedoman WHO
edisi 4 tahun 2009 tentang pengobatan TB lama pengobatan dilanjutkan minimun selama
18 bulan setelah konversi kultur sputum menjadi negatif. Adapun regimen yang dapat
diberikan fase intensif dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, kanamisin,
levofloksasin, etionamid, sikloserin dan dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan
obat pirazinamid, etambutol, levofloksasin, etionamid, sikloserin (6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs /
18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs) (WHO TB 4th ed, 2009).
Untuk menilai respon pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan hapusan sputum
dan kultur sputum setiap bulan hingga konversi. Konversi dimaksudkan dengan 2 kali
berturut-turut pemeriksaan kultur negatif dalam jarak waktu 30 hari.
8
Gambar 2.4: Pengelompokkan OAT berdasarkan Grup1-5
2.5.2 Penatalaksanaan MDR TB Pedoman peraturan KEMENKES 2013
Pengobatan TB resisten obat ditetapkan sebagai bagian dari program pengendalian
TB nasional, kegiatan ini pada awalnya dikenal sebagai Programmatic Management of
Drug Resistant TB (PMDT). Pedoman pengobatan TB MDR sesuai peraturan Kemenkes
2013, pada dasarnya mengacu pada pengobatan standar sesuai WHO 2008 dimana
pengobatan menggunakan OAT lini kedua dan lini pertama yang tercantum dalam 5
kelompok (grup 1-grup 5). Strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR ataupun resistan Rifampisin
berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis baik dengan tes cepat maupun
metode konvensional dapat mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini
kedua dan lini pertama.
c. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
Pilihan paduan OAT MDR di Indonesia saat ini adalah paduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien
TB MDR (Kemenkes RI, 2014).

9
1. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah :
Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-(E)
2. Paduan OAT MDR standar diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/MDR secara laboratoris.
3. Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada resistensi,
misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan TB
sebelumnya maka diberikan levofloksasin dosis tinggi.
4. Paduan OAT MDR standar akan disesuaikan paduan atau dosisnya jika:
a. Terdapat tambahan resistensi terhadap OAT lainnya berdasarkan hasil uji
kepekaan. Contoh:
• Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan
• Apabila pasien terbukti resistan terhadap Kanamisin maka Kanamisin diganti
dengan Kapreomisin
b. Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui, maka obat
bisa diganti bila tersedia obat pengganti, contoh:
•Apabila pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena sikloserin
maka sikloserin dapat diganti dengan PAS.
•Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena kanamisin, maka
kanamisin dapat diganti dengan kapreomisin
c. Dosis atau frekuensi disesuaikan bila:
• terjadi perubahan kelompok berat badan
• terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia
5. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto –Cs –Z – (E) / Lfx – Eto – Cs –Z – (E)
6. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
7. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Lama pengobatan paling sedikit 18 bulan setelah konversi biakan, dimana lama
pengobatan tahap awal sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi

10
konversi biakan satuan bulan yang dipakai adalah bulan sesuai dosis dimana 1 bulan
pasien mendapatkan 28 dosis. Obat diberikan dengan cara sebagai berikut :
- Tahap awal: suntikan diberikan 5 hari seminggu (Senin-Jumat), obat per-oral
ditelan 7 hari seminggu (setiap hari, Senin-Minggu) didepan PMO. Jumlah obat
oral yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan minimal 120
dosis.
- Tahap lanjutan: Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
(Senin-Sabtu, hari Minggu pasien tidak minum obat) didepan PMO. Obat
suntikan sudah tidak diberikan pada tahap ini.

2.5.3 Penatalaksanaan MDR TB Kemenkes Adendum 2015


Pada tahun 2015 Kemenkes RI mengembangkan tatalaksana terbaru pengobatan
TB RO yang disahkan pada januari 2016. Perubahan pada pengobatan meliputi; jenis,
paduan, dan cara pemberian. Perubahan pada jenis obat berupa (Kemenkes RI TB RO,
2016):
a. Rifapentin dan Rifabutin belum masuk ke paduan pengobatan TB standar yang
direkomendasikan WHO. Rifapentin digunakan untuk pengobatan TB laten dan Rifabutin
dipakai untuk pasien TB HIV yang memperoleh protease inhibitor.
b. Streptomisin dipakai untuk pengobatan TB non resistan, tidak termasuk obat suntik lini
kedua.
c. Ofloksasin sudah tidak termasuk dalam daftar obat anti tuberkulosis golongan-3 karena
efek terhadap MTB sangat lemah dibanding golongan kuinolon yang lain.
d. Gatifloksasin dipakai dibeberapa negara dimana obat ini masih boleh digunakan. Karena
potensi menimbulkan disglikemia berat obat ini sudah ditarik dari peredaran di beberapa
negara.
e. Terizidon merupakan alternatif untuk sikloserin, tetapi data mengenai pemakaian obat
tersebut oleh program masih sangat terbatas.
f. Klavulanat merupakan obat adjunctive/ komplementer dari Imipenem/ Cilastatin dan
Meropenem.
g. Klaritromisin dan Thioacetazone belum memiliki data yang cukup untuk menentukan
efikasinya dalam pengobatan TB resistan.
Saat ini program telah menyediakan OAT grup-5 (Bedaquiline, Linezolide,
Clofazimin) dalam jumlah dan pemakaian terbatas hanya di tiga rumah sakit yaitu RSUP
Persahabatan Jakarta, RSUD dr. Soetomo Surabaya, dan RSUP dr. Hasan Sadikin
11
Bandung sebagai alternatif dari paduan standar yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sehingga obat grup 5 diperuntukkan pada keadaan :10
1. Alternatif paduan bagi pasien TB XDR dimana semua obat injeksi lini dua dan
kuinolon cadangan sudah pernah dipakai.
Eto – Cs – PAS – Z – (E) – Bdq – Lnz – Cfz /
Eto – Cs – PAS – Z – (E) – Lnz – Cfz
2. Pasien TB Pre XDR resistan kuinolon tetapi sensitif dengan obat injeksi lini kedua
Km - Eto – Cs – PAS – Z – (E) - Bdq/ Eto – Cs – PAS – Z – (E)
3. Pasien TB Pre XDR resistan obat injeksi lini kedua tetapi sensitif dengan kuinolon
Lfx - Eto – Cs – PAS – Z – (E) – Bdq / Lfx - Eto – Cs – PAS – Z – (E)
4. Pasien dengan alergi atau efek samping berat terhadap 2 atau lebih dari obat
bakteriostatik oral lini kedua (Grup 4) sedangkan injeksi lini kedua dan golongan
kuinolon masih bisa dipakai.
Km – Lfx – (Eto/Cs/PAS) – Z – (E) - Bdq – (Lnz /Cfz) /
Lfx – (Eto/Cs/PAS) – Z – (E) – (Lnz /Cfz)
Pada adendum 2015, juga terdapat perubahan dalam lama tahap awal mengacu
pada perbaharuan sesuai pedoman WHO 2011. Lama pengobatan minimal 20 bulan atau
18 bulan setelah konversi dimana lama tahap awal minimal 8 bulan atau 4 bulan setelah
konversi biakan. Pada adendum juga terdapat perubahan dalam cara pemberian obat pada
tahap lanjutan dimana obat oral sudah diberikan setiap hari (Kemenkes RI TB RO, 2016):

2.5.4 Penatalaksanaan MDR TB sesuai PMK 2016


Pada PMK 2016 sudah terdapat pengobatan MDR jangka pendek seperti yang
direkomendasikan oleh WHO 2016. Jadi pada tahun 2016 terdapat dua panduan standar
yaitu pengobatan OAT standar konvensional (20-26 bulan) dan OAT standar jangka
pendek (9-11 bulan). Ada juga Paduan OAT Individual yang diberikan kepada pasien yang
memerlukan perubahan paduan pengobatan yang fundamental dari pengobatan OAT
standar yang sudah digunakan sebelumnya. Panduan individual diberikan pada Pasien
terkonfirmasi sebagai pasien TB pre-XDR atau TB XDR sejak awal, atau terjadi resistensi
tambahan terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua
selama pengobatan OAT standar diberikan. Panduan individual juga diberikan pada pasien
TB RO yang mengalami efek samping berat terhadap OAT lini kedua golongan
fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua (Kemenkes RI TB, 2016; WHO TB 2016).

12
Pada pedoman PMK 2016 terdapat perubahan dalam pengelompokkan OAT lini 2 seperti
pada Gambar 5.

Gambar 2.5: Pengelompokkan OAT lini Kedua

a. Panduan standar konvensional


Panduan standar konvensional diberikan jika ada kontraindikasi untuk pemberian OAT
standar jangka pendek. Prinsip pengobatan standar konvensional berdasarkan
pengelompokkan obat harus terdiri dari 5 obat efektif selama fase awal. 5 obat efektif
tersebut termasuk pirazinamid ditambah 4 obat dari obat lini 2 ( satu obat grup A, 1 obat
grup B dan sedikitnya 2 grup C). Jika obat tersebut tidak dapat diberikan maka untuk
melengkapi 5 obat efektif boleh ditambahkan obat dari grup D2 atau D3. Lama tahap awal
untuk pengobatan stadar konvensional adalah minimal 8 bulan atau 4 bulan setelah
konversi, dimana suntikan diberikan selama fase awal (senin-jumat) dan obat oral

13
diberikan setiap hari baik fase awal maupun lanjutan. Berikut ini adalah regimen standar
konvensional (Kemenkes RI TB, 2016; WHO TB 2016):
8-12 Km - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H

b. Panduan standar jangka pendek


Paduan ini diindikasikan untuk pasien yang diperkirakan tidak resistan terhadap
fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua berdasarkan riwayat pengobatan dan atau hasil
uji kepekaan obat baik molekuler maupun fenotipik. Pasien yang terbukti resistan atau
kemungkinan resistan terhadap FQ dan/atau obat injeksi lini kedua atau memiliki
kontraindikasi penggunaan paduan pengobatan 9 bulan akan diberikan paduan pengobatan
sesuai dengan tipe resistensinya. Adapun syarat untuk mendapatkan OAT standar jangka
pendek sebagai berikut (Kemenkes RI TB, 2016; WHO TB 2016):
a. Terbukti resistan atau diduga akan terjadi ketidakefektifan terhadap salah satu obat
yang digunakan dalam paduan OAT standar jangka pendek (kecuali INH).
b. Pernah menggunakan satu atau lebih OAT lini kedua yang digunakan dalam paduan
OAT standar jangka pendek (Km, Mfx, Eto dan Cfz) selama lebih dari 1 bulan.
c. Intoleransi terhadap lebih dari 1 OAT yang dipakai dalam paduan OAT standar
jangka pendek, atau terdapat resiko toksisitas karena terjadi interaksi obat dengan
obat lain yang digunakan pasien.
d. Kehamilan
e. Kasus TB ekstraparu
f. Bila ada satu OAT dari paduan OAT standar jangka pendek tidak tersedia.
OAT standar pada tahun 2016 masih diperkenalkan dan akan segera digunakan pada
JULI 2017 pada beberapa pelayanan kesehatan rujukan TB RO. Regimen panduan jangka
pendek :
4-6 Km – Mfx – Eto(Pto) – Hdt – Cfz – E-Z / 5 Mfx – Cfz – E-Z

c. Panduan individual
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memilih regimen individual diantaranya:
1. Paduan OAT Individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap
fluoroquinolon tetapi sensitif terhadap OAT suntik lini kedua, maka dapat
diberikan OAT dari grup A lain ditambahkan D3 atau grup A digantikan dengan
D2.

14
2. Paduan OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap
OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap fluorokuinolon. Maka dapat diganti
dengan grup B lain atau salah satu dari grup D2.
3. Paduan OAT individual untuk pasien yang alergi / mengalami efek samping berat
terhadap salah satu dari OAT Grup C yang dipakai (Eto atau Cs) maka OAT
penggantinya diambilkan salah satu OAT Grup C (Cfz atau Lnz) atau D2 (Bdq)
atau D3 (PAS) yang tersedia supaya tetap memenuhi standar minimal 4 macam
OAT inti lini kedua.
4. Jika terdapat alergi atau kontraindikasi dalam pemberian pirazinamid maka
pirazinamid dapat digantikan dengan grup C atau grup D (D2 atau D3) agar
terpenuhi 5 obat efektif. D1 yang lain dapat diberikan pada pasien ini dengan
pemberian INH dosis tinggi jika terbukti tidak resisten.

Tabel 2.1: Dosis OAT pada Pengobatan Konvensional


Jenis OAT Dosis Berat Badan (BB) > 30 kg
Harian 30-35 kg 36-45 46-55 56-70 >70 kg
kg kg kg
Levofloksasin 750-1000 750 mg 750 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
mg/ hr
Moksifloksasin 400 mg/ 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
hr
Kanamisin 15-20 500 mg 625-750 875- 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hr mg 1000 mg
Kapreomisin 15-20 500 mg 600-750 750-800 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hr mg mg
Streptomisin 12-18 500 mg 600-700 800 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hr mg
Sikloserin 500-750 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
mg/ hr
Etionamid 500-750 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
mg/ hr.
Linezolid 600 mg/ 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg
hr

15
Klofazimin 200–300 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300mg
mg/ hr
Pirazinamid 20-30 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg
mg/kg/hr
Etambutol 15-25 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
mg/kg/hr
Isoniasid 4-6 150 mg 200 mg 300 mg 300 mg 300 mg
mg/kg/hr
Bedaquilin 400 mg/ 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
hari
Asam PAS 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Sodium PAS 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g

Keterangan :
a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi
untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam
dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS yaitu 8gr
kandungan aktif obat dan bisa diberikan dalam dosis terbagi.
c. Bedaquilin diberikan 400 mg / hari dosis tunggal selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan
selama 22 minggu (minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian
Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal
selama 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.

16
Gambar 2.6: Follow Up Pengobatan standar Konvensional

Penetapan hasil pengobatan TB RO dengan pengobatan standar konvensional:


a. Sembuh
• Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman
pengobatan TB RO tanpa bukti terdapat kegagalan, dan
• Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak
pemeriksaan minimal 30 hari selama tahap lanjutan.
b. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan
TB RO tetapi tidak ada hasil pemeriksaan biakan yang terdokumentasi
untuk memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
c. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB RO.

17
d. Gagal
Pengobatan TB RO dihentikan atau membutuhkan perubahan rejimen ≥ 2
OAT RO yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah
ini yaitu :
1) Tidak ada respon yang adekuat terhadap pengobatan yang ditandai
dengan tidak terjadinya konversi sampai dengan akhir bulan ke-8
pengobatan.
2) Terjadi reversi (hasil biakan kembali menjadi positif) pada fase lanjutan
(setelah sebelumnya konversi).
3) Pengobatan dihentikan oleh TAK atau Dokter terlatih Fasyankes TB
RO karena terjadi efek samping obat yang berat yang tidak dapat
ditangani.
4) Pasien membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB RO yaitu ≥ 2
OAT RO karena terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat
golongan kuinolon dan obat injeksi lini kedua.

2.5.5 Pedoman Penatalaksanaan MDR TB jangka Pendek 2017


Penatalaksanaan jangka pendek sudah direncanakan sejak 2016. Pelaksanaan mulai
dilakukan di beberapa pelayanan kesehatan rujukan MDR pada Juli 2017. Pasien dengan
TB RO harus dipertimbangkan untuk diberikan pengobatan standar jangka pendek jika
memenuhi syarat sebegai berikut (Kemenkes RI TB, 2017):
1. Tidak ada bukti resisten terhadap FQ/injeksi lini 2
2. Tidak ada kontak dengan TB PRE/XDR
3. Tidak mendapat OAT lini kedua selama ≥1 bulan
4. Tidak terdapat intoleransi terhadap obat-obat standar jangka pendek
5. Tidak hamil
6. Bukan kasus TB ekstraparu berat
Alur pengobatan TB MDR di Indonesia pada tahun 2017 dapat dilihat pada
algoritma di bawah ini;

18
Gambar 2.7: Alur penatalaksanaan TB RO Standar Pendek

Pasien yang memenuhi kriteria akan diberikan panduan pengobatan standar jangka
pendek sedangkan pasien yang tidak memenuhi kriteria akan mendapatkan pengobatan
standar konvensional. Jika hasil kultur/uji kepekaan sudah keluar maka hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut (Kemenkes RI TB, 2017):
1. Untuk pasien yang mendapatkan pengobatan jangka pendek dan hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil yang sensitif terhadap FQ/injeksi Lini 2 maka
pengobatan jangka pendek dapat dilanjutkan.
2. Untuk pasien yang mendapatkan pengobatan jangka pendek dan hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil yang resisten terhadap FQ/injeksi Lini 2 maka
pengobatan jangka pendek harus dihentikan dan pasien memulai dari awal
pengobatan individual sesuai hasil uji kepekaan.

19
3. Pasien yang memulai pengobatan dengan standar konvensional dan
menunjukkan hasil uji kepekaan yang sensitif maka pertimbangan untuk
perubahan panduan berdasarkan kondisi klinis dan penilaian TAK, perubahan
kepanduan standar jangka pendek tidak boleh dilakukan jika pengobatan
dengan standar konvensional sudah berlangsung >1 bulan.

Regimen jangka pendek ;


4-6 Km – Mfx – Eto(Pto) – Hdt – Cfz – E-Z / 5 Mfx – Cfz – E-Z

Gambar 2.8: dosis OAT untuk Pengobatan Jangka Pendek


Ket: jika kanamisin tidak dapat diberikan maka dapat diganti dengan kapreomisin dengan
dosis yang sama.

a. Cara Pemberian Obat5


1. Pasien mendapatkan pengobatan selama minimal 9 bulan ( 4 bulan tahap awal dan
5 bulan tahap lanjutan.
2. Pada tahap awal obat oral dan injeksi diberikan setiap hari. Pada tahap lanjutan
obat injeksi dihentikan dan obat oral dilanjutkan dan di berikan setiap hari.
3. Jika bulan ke 4 tidak terjadi konversi BTA maka tahap awal dilanjutkan selama 2
bulan hingga total tahap awal 6 bulan ( bulan ke 5 dan ke 6 obat injeksi diberikan
3x seminggu) dan obat oral setiap hari.
4. Jika bulan ke-6 belum terjadi konversi BTA, maka pengobatan jangka pendek
dihentikan dan dinyatakan gagal
20
Gambar 2.9: Jadwal pemeriksaan selama pengobatan jangka Pendek
Pada pengobatan jangka pendek, konversi dinyatakan menggunakan pemeriksaan
BTA. Hasil BTA 2 x berturut-turut dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil
negatif.
Definisi hasil pengobatan janngka pendek disesuaikan dengan ktriteria WHO yaitu:5
a. Sembuh :
1. Pasien menyelesaikan pengobatan sesuai durasi pengobatan yang ditetapkan
2. Pemeriksaan BTA pada akhir pengobatan (bulan 9 atau 11) hasilnya negatif.
3. Pasien dengan pengobatan jangka pendek dinyatakan sembuh bila biakan 3 kali
berturut-turut dengan jarak minimal 30 hari hasil negatif pada tahap lanjutan.5

b. Gagal
1. Pemeriksaan BTA pada akhir bulan ke-6 hasilnya positif
2. Pemeriksaan BTA pada akir pengobatan hasilnya positif

21
3. Terjadi reversi pada tahap lanjutan
4. Terjadi efek samping berat dimana pengobatan jangka pendek harus dihentikan
5. Terjadi resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua golongan FQ dan atau injeksi
lini kedua.
Pemantauan selesai pengobatan dilakukan pada bulan keenam dan kedua belas setelah
akhir pengobatan atau bila muncul gejala TB (Kemenkes RI TB, 2017).

2.5.6 Penatalaksanaan MDR TB Pedoman WHO 2018


Pada pedoman WHO tahun 2018, terdapat perbedaan pada kelompok regimen OAT
MDR. Dahulu pengelompokkan OAT MDR jangka panjang dibagi menjadi 4 kelompok.
Tahun 2018 WHO mengganti kelompok OAT jangka panjang menjadi 3 kelompok demi
meningkatkan manfaat dan menurunkan kerugian (efek samping).
Pada pengobatan MDR tahun 2018, WHO merancang pengobatan jangka panjang
regimen MDR yang terdiri dari 4 obat aktif yaitu 3 dari kelompok A, 1 dari kelompok B.
Apabila ada salah satu obat di kelompok A atau B tidak dapat digunakan maka dapat di
tambahkan obat dari kelompok C. (Tabel 7)
Beberapa hal penting yang perlu diketahui untuk pengobatan MDR terbaru yang
direkomendasikan WHO 2018 (WHO TB, 2019):
1. Kanamisin dan kapreomisin tidak termasuk ke dalam regimen pengobatan MDR
jangka panjang.
2. Levofloksasin atau moksifloksasin harus dimasukkan ke dalam regimen jangka
panjang
3. Bedaquiline harus dimasukkan ke dalam regimen jangka pada pasien usia >18 tahun.
Bedaquilin juga dapat digunakan pada pasien usia 6-17 tahun
4. Linezolide harus dimasukkan dalam pengobatan jangka panjang
5. Clofazimin dan sikloserin mungkin dimasukkan ke dalam regimen jangka panjang
6. Delamanid mungkin digunakan pada pasien usia >3 tahun pada regimen jangka
Panjang.
7. Etambutol dan Pirazinamid mungkin dimasukkan ke dalam regimen jangka Panjang.
8. Etionamid, PAS mungkin digunakan pada regimen MDR jangka panjang jika hanya
bedaquiline, linezolid, clofazimin atau delamanid tidak digunakan atau jika tidak
memungkinkan digunakan.

22
9. Amikasin mungkin digunakan jika masih terbukti susceptibillity pada pasien diatas
18 tahun, perlu dilakukan monitoring untuk efek samping. Jika amikasin tidak
tersedia dapat diberikan streptomisin.

Gambar 2.10: Pengelompokkan OAT MDT TB WHO 2018


• Lama Pengobatan TB MDR JANGKA PANJANG
1. Lama Pengobatan TB MDR jangka panjang 18-20 bulan tergantung dengan respon
terapi.
2. Pengobatan TB MDR jangka panjang dengan waktu 15-17 bulan setelah kultur
konversi. Lama pengobatan tergantung respon klinis terhadap pengobatan.
3. Jika menggunakan amikasin atau streptomisin, fase intensif yang disarankan 6-7
bulan dan dapat bervariasi bergantung respon terapi (WHO TB, 2019).

Pertimbangan pada Kelompok Tertentu


1. TB MDR/RR sendiri atau dengan resistansi tambahan.
Pada pasien dengan resistensi terhadap amikacin dan streptomisin, ketentuan
nomor 3 tidak berlaku. Lama pengobatan pengobatan mungkin perlu lebih dari 20 bulan
secara keseluruhan dalam kasus TB MDR/RR dengan resistensi tambahan, tergantung
pada respon klinis terhadap pengobatan.
2. Pasien yang memakai regimen tanpa amikacin / streptomisin.

23
Pada pasien yang menggunakan regimen yang tidak mengandung agen injeksi
dalam fase intensif, ketentuan nomor 3 tidak berlaku dan lamanya pengobatan ditentukan
oleh rekomendasi pada total durasi dan waktu setelah konversi kultur. Ini diharapkan
berlaku di masa depan yang diobati hanya dengan regimen oral. Jika bedaquiline atau agen
lain (mis. Linezolid, delamanid) diberikan hanya untuk bagian awal regimen, periode ini
tidak sama dengan "fase intensif" kecuali agen injeksi digunakan bersamaan.
3. Pasien dengan penyakit TB yang luas.
Durasi konversi pasca kultur pengobatan mungkin dimodifikasi sesuai dengan
respons pasien terhadap terapi (misal konversi biakan sebelum 2 bulan pengobatan) dan
faktor resiko lain untuk kegagalan pengobatan atau kambuh. Ini harus dipertimbangkan
pada pasien dengan penyakit TB yang luas.
4. Anak-anak.
Rekomendasi ini berlaku juga untuk anak-anak. Penggunaan amikasin atau
streptomisin pada anak-anak harus digunakan hanya ketika pilihan lain tidak
memungkinkan, saat pengujian mengkonfirmasi kerentanan dan kemungkinan untuk
memantau ototoksisitas dan nefrotoksisitas yang ada. Mengingat bahwa banyak pasien
dalam kelompok usia anak hanya dapat didiagnosis secara klinis atau memiliki penyakit
luar paru, itu diharapkan bahwa durasi pengobatan sebagian besar akan dipandu oleh
ketentuan no. 1, tergantung pada respon pengobatan. Memperpendek total durasi
pengobatan menjadi kurang dari 18 bulan dapat dipertimbangkan dalam kasus anak-anak
tanpa penyakit parah.
5. Ibu Hamil.
Karena potensi efek teratogenik, agen injeksi biasanya kontraindikasi pada
kehamilan dan oleh karena itu ketentuan nomor 3 akan memiliki relevansi yang sangat
terbatas pada kelompok ini.

Pemantauan dan Evaluasi

Pasien yang memakai regimen pengobatan TB-MDR jangka panjang perlu


dimonitor untuk respon pengobatan, kegagalan dan keamanan. Respon pengobatan dan
toksisitas dipantau melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, radiografi dada, tes khusus
seperti audiometri, tes ketajaman visual, elektrokardiografi dan laboratorium pemantauan.
Menggunakan mikroskop smear atau biakan untuk menilai konversi status bakteriologis
adalah sarana penting untuk menilai respons dan sebagian besar pasien biasanya

24
diperkirakan telah melakukan konversi ke status dahak negatif dalam beberapa bulan
pertama memulai pengobatan.

• Penggunaan dari Pengobatan Standar TB MDR JANGKA PENDEK


Pada pasien MDR yang belum pernah diberikan lebih dari 1 bulan dengan
pengobatan dengan obat-obatan lini kedua yang digunakan dalam pengobatan jangka
pendek regimen TB-MDR atau yang resisten terhadap fluoroquinolon dan obat suntik lini
kedua telah dikeluarkan, pengobatan jangka pendek regimen TB-MDR 9-12 bulan dapat
digunakan sebagai pengganti regimen jangka panjang.
Keputusan untuk memulai pengobatan pasien yang baru didiagnosis pada
pengobatan standar TB-MDR jangka pendek, yang tidak memiliki salah satu dari kondisi
berikut harus dibuat sesuai dengan preferensi dan penilaian klinis pasien.
1. Resistensi terhadap atau diduga tidak efektifnya obat dalam regimen pengobatan TB-
MDR jangka pendek (kecuali resistensi Isoniazid).
2. Pajanan terhadap satu atau lebih obat lini kedua dalam regimen selama > 1 bulan
(kecuali kerentanan terhadap obat lini kedua ini dikonfirmasi).
3. Intoleransi terhadap obat apa pun dalam regimen pengobatan TB-MDR jangka
pendek atau risiko toksisitas dari obat di regimen yang lebih pendek (misal interaksi
obat-obat).
4. Kehamilan.
5. Diseminasi, meningeal atau TB SSP.
6. Penyakit ekstrapulmoner pada pasien HIV.

Durasi pada pengobatan jangka pendek dari regimen 9-12 bulan adalah keuntungan
utama bagi pasien dan meningkatkan kemungkinan berakhirnya pengobatan dan
kembalinya pasien ke tempat kerja dan aktivitas sosial sebelumnya. Manfaat ini perlu
disesuaikan dengan kerugian dari regimen yang mengandung suntikan dibandingkan
dengan pendekatan pengobatan yang lebih baru.

Pemantauan dan Evaluasi


Penggunaan elektrokardiografi masih dianjurkan, terutama untuk pasien yang
menerima 800 mg / hari dosis moksifloksasin. Audiometri juga harus tersedia.

25
Mutasi yang resisten terhadap fluoroquinolon dan agen injeksi lini kedua terdeteksi
menggunakan MDRTBsl harus dianggap sebagai kontraindikasi untuk regimen
pengobatan jangka pendek. Begitu juga dengan kehadiran kedua mutasi inhA dan katG
adalah kontraindikasi untuk penggunaan regimen pengobatan jangka pendek. Resistensi
terhadap pyrazinamide (atau komponen lain dari regimen pengobatan jangka pendek),
ketika ditentukan menggunakan reliabel DST, juga dianggap sebagai kriteria pengecualian.
Pasien mungkin dimulai dengan rejimen yang lebih pendek sampai hasil DST pirazinamid
tersedia. Jika hasil tes pada akhirnya menunjukkan resistansi terhadap pengobatan dengan
regimen TB-MDR jangka pendek, yang perlu dilakukan oleh dokter memutuskan apakah
akan beralih ke regimen pengobatan TB-MDR jangka lama berdasarkan respon pasien
terhadap pengobatan dan pertimbangan lainnya.

Gambar 2.11: Kriteria pengobatan standar Jangka Pendek

2.5.7 Regimen Pengobatan untuk TB MDR/RR di Afrika Selatan 2019


Ada beberapa regimen pengobatan yang saat ini ditawarkan untuk TB-RR dalam
Program TB Nasional di Afrika Selatan (Interim Clinical Guidance in South Africa, 2019):

26
1. Sebagian besar pasien dengan TB MDR/RR masih menerima regimen jangka panjang
yang terdiri dari KM - MFX - ETO - TRD – Z (durasi 18-20 bulan).
2. Beberapa pasien dengan TB MDR/RR sudah memulai regimen TB MDR jangka
pendek (9-11 bulan) dengan agen suntik: (4-6) KM - MFX - ETO –INHhd - CFZ - Z –
E / (5) MFX - CFZ - Z – E.
3. Beberapa pasien telah menerima BDQ untuk menggantikan agen suntik dalam kasus
toksisitas atau intoleransi, dalam regimen TB MDR jangka pendek atau regimen
jangka panjang.
4. Pasien dengan TB pre XDR dan TB XDR saat ini menerima regimen individual jangka
panjang yang mengandung obat baru dan yang digunakan kembali.

• Pengobatan Regimen Jangka Lama dan Jangka Panjang: Gambaran Umum dan
Lama Pengobatan
Pada Juli 2018, regimen dengan tanpa suntikan telah dihapus secara rutin di Afrika
Selatan. Regimen jangka pendek dengan pengobatan tanpa suntikan dapat digunakan untuk
TB MDR/RR asalkan kriteria spesifik terpenuhi. Orang dewasa dan anak-anak yang tidak
memenuhi kriteria inklusi untuk regimen jangka pendek akan dianjurkan pemberian
regimen pengobatan jangka Panjang yang tanpa suntikan. Beberapa pasien dapat memulai
pengobatan dengan regimen jangka pendek tetapi kemudian beralih ke regimen jangka
panjang begitu diagnostik atau informasi lain yang relevan tersedia.

• Lama Pengobatan dengan Regimen Pengobatan Jangka Pendek tanpa suntikan


untuk TB MDR/RR
Regimen pengobatan jangka pendek tanpa suntikan diberikan untuk durasi total 9-
11 bulan. Regimen pengobatan dimulai dengan tujuh obat: Linezolid (LZD), Isoniazid
dosis tinggi, Bedaquiline (BDQ), Levofloxacin (LFX), Clofazimine (CFZ), Pyrazinamide
(Z) dan Ethambutol (E). Ethionamide tidak termasuk lagi dalam regimen pengobatan
jangka pendek. Linezolid hanya akan diberikan selama 2 bulan pertama fase intensif.
Bedaquiline menggantikan agen injeksi dan akan diberikan selama 6 bulan, terlepas dari
durasi fase intensif. Levofloxacin menggantikan Moxifloxacin. Fase intensif adalah 4
bulan dan dapat diperpanjang hingga 6 bulan tergantung pada respons pasien terhadap
pengobatan (mis. Konversi sputum dan respons klinis pada pengobatan bulan ke 4). Fase

27
lanjutan adalah 5 bulan karena itu, total durasi adalah 9 hingga 11 bulan; kemungkinan
bahwa sebagian besar pasien akan menerima 9 bulan perawatan secara total.

• Lama Pengobatan dengan Regimen Pengobatan Jangka Panjang tanpa suntikan


untuk TB MDR/RR
Regimen pengobatan jangka Panjang tanpa suntikan diberikan untuk total durasi
18-20 bulan. Regimen pengobatan jangka panjang akan termasuk obat-obatan inti:
Linezolid (LZD), Bedaquiline (BDQ), Levofloxacin (LFX), Clofazimine (CFZ) dan
Terizidone (TRD), berdasarkan pada kelompok WHO yang baru dari agen anti-TB.
Linezolid akan diberikan selama fase intensif. Moxifloxacin dapat digunakan sebagai
pengganti Levofloxacin jika dianggap perlu. Fase intensif adalah 6 bulan dan dapat
diperpanjang hingga 8 bulan tergantung pada respons pasien terhadap pengobatan (mis.
konversi kultur sputum dan respons klinis pada pengobatan bulan ke 4). Oleh karena itu
fase lanjutan adalah 12 bulan, total durasi adalah 18 hingga 20 bulan; kemungkinan bahwa
sebagian besar pasien akan menerima 18 bulan perawatan secara total.

• Lama Pengobatan untuk Penyakit SSP dan TB MDR/RR dengan Resistensi


Fluoroquinolone
Regimen pengobatan jangka panjang untuk TB MDR/RR yang resistan terhadap
FLQ atau TB sistem saraf pusat biasanya diberikan untuk total durasi 18-20 bulan.

• Regimen Pengobatan Jangka Panjang (9-11 BULAN) untuk TB MDR/RR


Kriteria yang diharapkan untuk Regimen Pengobatan Jangka Pendek
Pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi untuk regimen pengobatan jangka
pendek (9-11 bulan) harus menerima regimen pengobatan jangka panjang (18-20 bulan)
untuk TB MDR/RR atau TB pre-XDR / XDR.

Kriteria inklusi untuk regimen pengobatan jangka pendek:


1. Pasien dengan TB MDR/RR, tanpa riwayat pengobatan OAT sebelumnya (lebih dari
1 bulan) untuk pengobatan anti TB lini kedua; ini termasuk:
• TB yang resistan terhadap rifampisin (RR): resistensi terhadap setidaknya
rifampisin, berdasarkan pada hasil GenExpert awal, sambil menunggu hasil LPA
genotip lini pertama dan kedua lebih lanjut.

28
• Rifampicin mono-resistant TB: resistensi terhadap Rifampicin dan kerentanan
terhadap Isoniazid - refleks fenotipik INH DST akan dilakukan untuk
mengkonfirmasi kerentanan INH.
• Multidrug resistant (MDR) TB: resistansi terhadap Rifampicin dan Isoniazid
(dengan mutasi inhA atau katG, tetapi tidak keduanya) dan rentan terhadap FLQ
dan INJ.
2. Ekstra pulmonary TB dengan TB MDR/RR tanpa komplikasi misal Limfadenopati,
efusi pleura.
3. Pasien dengan HIV: sudah memakai ARV atau akan memulai kembali ARV.
4. Wanita hamil: dengan TB paru dengan atau tanpa Ekstra pulmonary Tuberkulosis
tanpa komplikasi dapat menerima regimen pengobatan jangka pendek.
5. Anak-anak < 12 tahun: anak-anak yang lebih muda dengan TB MDR/RR yang
dikonfirmasi atau diperkirakan juga memenuhi syarat untuk regimen pengobatan
jangka pendek dan harus dirawat tanpa obat suntikan. Bedaquiline mungkin harus
diganti dengan obat alternatif sampai tersedia data dosis lebih lanjut.

Kriteria eksklusi untuk regimen pengobatan jangka pendek:


1. Riwayat sebelumnya terhadap pengobatan lini kedua untuk TB RR selama lebih dari
1 bulan, terlepas dari hasil pengobatan yang berhasil.
2. Pasien dengan TB pre XDR dan XDR.
3. Pasien TB MDR dengan resistensi tambahan terhadap Bedaquiline, Clofazimine atau
Linezolid.
4. Pasien TB MDR dengan mutasi pada katG dan inhA.
5. Pasien TB MDR dengan kasus dimana dijumpai sangkaan resistensi terhadap obat
lini ke 2.
6. Penyakit TB MDR/RR yang ekstra pulmonary dengan kelainan yang berat dan
dengan adanya komplikasi, misalnya meningitis, osteo articular, efusi perkardial, TB
abdominal, semua pasien dengan kasus ini dengan regimen pengobatan jangka lama.
7. Pasien TB MDR/RR dengan penyakit luas misal kavitasi paru serta bilateral yang
luas.
8. Keadaan lain di mana dokter tidak yakin dengan kelayakan pasien untuk regimen
pengobatan jangka pendek.

29
• Komposisi Regimen Pengobatan Jangka Pendek
Regimen pengobatan jangka pendek (9-11 bulan), tanpa suntikan dapat digunakan
untuk mengobati TB MDR/RR pada orang dewasa dan anak-anak dari segala usia yang
memenuhi kriteria inklusi seperti yang disebutkan di atas. Regimen awalnya terdiri dari
tujuh obat: LZD - BDQ - LFX - CFZ - INHdosis tinggi - Z – E.

• Prinsip Dasar Regimen Pengobatan dengan Jangka Pendek


Dalam kebanyakan kasus, lama pengobatan fase intensif adalah 4 bulan, jika
apusan sputum mikroskopis bulanan menunjukkan konversi apusan dari positif menjadi
negatif pada fase intensif itu.
Pasien dengan apusan sputum mikroskopis negatif pada awal pengobatan dan tetap
negatif pada akhir bulan ke 4 melalui pengobatan hanya akan menerima 4 bulan dari
pengobatan fase intensif.
Perubahan dari fase intensif ke fase lanjutan ditunjukkan dengan tidak membuat
sediaan INH dosis tinggi. Bedaquiline diberikan selama setidaknya 6 bulan, tetapi dalam
beberapa keadaan dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Fase lanjutan untuk pasien dari segala usia akan terdiri dari empat obat (LFX, CFZ,
Z, E) dengan lama pengobatan selama 5 bulan. Jika fase intensif tidak diperpanjang
melebihi 4 bulan, fase lanjutan juga akan mencakup 2 bulan BDQ (untuk memungkinkan
pemberian penuh BDQ selama 6 bulan). Jika fase intensif diperpanjang hingga 6 bulan
karena penundaan konversi BTA, maka BDQ dapat diperpanjang hingga 9 bulan, dalam
hal ini fase lanjutan juga akan mencakup 3 bulan BDQ (untuk memungkinkan pemberian
BDQ selama 9 bulan yang diperpanjang).
Selain dari BDQ, semua obat diberikan setiap hari. BDQ diberikan setiap hari
selama 14 hari pertama dan kemudian tiga kali seminggu sesudahnya.
Obat TB harus diberikan di bawah pengawasan ketat selama masa pengobatan.
Spesimen dahak (dalam kasus PTB) diambil setiap bulan untuk mikroskopis dan kultur TB
BTA.

• Regimen Pengobatan Jangka Panjang (18-20 Bulan) untuk TB MDR/RR


Yang Diharapkan untuk Regimen Pengobatan Jangka Panjang
Regimen pengobatan jangka panjang dapat diberikan kepada siapa pun dengan TB
MDR/RR yang tidak memenuhi kriteria inklusi untuk regimen pengobatan jangka pendek

30
dan yang tidak memiliki TB MDR/RR dengan resistensi FLQ atau meningitis TB dengan
TB MDR/RR; ini termasuk pasien dengan TB MDR/RR dan:
1. Riwayat pengobatan TB RR sebelumnya selama > 1 bulan.
2. Hb <8g / dL, neutrofil <0,75 x109 / L atau trombosit <50 x109 / L pada awal atau
saat terpapar LZD selama 2 bulan pertama regimen pengobatan jangka pendek.
3. TB ekstra paru dengan komplikasi (misal Penyakit perikardial atau osteoartikular),
atau TB paru dengan kavitasi luas).
4. Baik mutasi katG dan inhA pada LPA lini pertama (tetapi rentan terhadap FLQ).
5. Hubungan kontak yang dekat dengan pasien dengan TB MDR/RR dengan mutasi
katG dan inhA.
6. Pasien TB MDR/RR dengan resistensi obat suntik pada LPA lini ke-2, tetapi peka
terhadap FLQ (mis., TB yang resistan terhadap INJ sebelum XDR).

• Prinsip Dasar dengan Regimen Pengobatan Jangka Panjang


Lama pengobatan fase intensif biasanya selama 6 bulan tetapi dapat diperpanjang
hingga 8 bulan (sehingga total durasi pengobatan 20 bulan) dalam situasi berikut:
1. Sesuai kebijakan dokter dalam kasus dari respon klinis yang lambat pada pengobatan
(misalnya kenaikan berat badan yang buruk, gejala TB yang sedang berlangsung,
kelainan yang buruk pada foto toraks, penundaan konversi kultur sputum).
2. Penyakit paru bilateral dengan kavitasi luas.
3. Konversi kultur sputum yang tertunda (misalnya Kultur M. tuberculosis positif pada
bulan ke 4).
4. Kasus di mana hasil LPA lini 2 tidak dapat ditentukan / kerentanan FLQ tidak
dikonfirmasi.

Dalam kasus kontra-indikasi atau toksisitas terhadap salah satu dari lima obat inti
dalam fase intensif, atau jika Hb <8g / dL, neutrofil <0,75x109 / L atau trombosit <50
x109 / L pada awal atau selama pengobatan saat pada LZD atau riwayat psikosis atau
pasien mengalami psikosis pada pengobatan, merujuk pada Komite Penasihat Klinis
Nasional. TRD dapat diganti dengan dua obat kategori C jika ada riwayat psikosis atau
pasien mengalami psikosis pada pengobatan.
LFX dapat diubah menjadi MFX selama fase lanjutan setelah BDQ selesai.

31
• Regimen Pengobatan Jangka Panjang untuk Fluoroquinolone (Flq) Resistan TB
Saat ini tidak ada konsensus internasional tentang lama pengobatan TB yang
resisten terhadap FLQ karena itu prinsip yang sama seperti untuk pengobatan TB
MDR/RR berlaku. Diagnosis TB yang resistan terhadap FLQ biasanya hanya diperoleh
setelah TB RR. Pasien yang ditemukan memiliki TB RR biasanya dimulai dengan regimen
pengobatan standar yang terdiri dari BDQ, LZD, LFX, INH dosis tinggi, CFZ, Z dan E.
Pada saat memulai pengobatan, tes refleks dikirim untuk membangun resistensi terhadap
FLQ. Hasil pemeriksaan ini mungkin hanya 14 hari hingga 6 minggu kemudian. Oleh
karena itu, dua dari obat inti untuk pengobatan TB yang resisten terhadap FLQ, BDQ dan
LZD mungkin diberikan tanpa obat pendukung yang efektif.
Regimen pengobatan untuk TB yang resistan terhadap FLQ harus dengan
pengobatan jangka lama, tergantung pada individu, riwayat pengobatan pasien, hasil DST
dan toksisitas dan intoleransi obat.
1. Fase intensif yang mencakup minimal 4 obat yang diketahui atau diprediksi efektif.
2. Hal ini diikuti oleh fase lanjutan yang mencakup minimal 3 obat yang diketahui atau
diprediksi efektif.
3. Obat yang telah digunakan dalam regimen pengobatan sebelumnya, di mana kultur
pasien tetap positif selama 12 bulan atau lebih, tidak boleh dimasukkan karena sangat
mungkin resisten bahkan jika DST melaporkan kerentanan.
4. Semua pasien harus memiliki konseling kepatuhan intensif dan memiliki tantangan
untuk kepatuhan yang ditangani sebelum memulai pengobatan.
5. Kepatuhan dan efek samping harus ditinjau kembali selama pengobatan.

32
BAB 3
KESIMPULAN

Penatalaksanaan MDR terus mengalami perubahan karena semakin meningkatnya


jumlah kasus yang ditemukan dan diobati, dan didapati penurunan angka keberhasilan
seiring berjalannya waktu. Berbagai penelitian dan pengembangan pengobatan terbaru
terus dilakukan demi meningkatkan efektifitas pengobatan. Saat ini sedang dijalankan
pengobatan MDR dengan jangka pendek yang memberikan hasil pengobatan yang lebih
tinggi (84%) dibandingkan pengobatan standar konvensional (62%).

33
DAFTAR PUSTAKA

Adendum Petunjuk Teknis Managemen Terpadu Pengobatan TB Resisten Obat. s.l. :


Kemenkes RI, 2016.
Flood, J M dan Pascopella, L. Epidemiology & Background. [pengar. buku] P M
Barry, et al. Drug Resistant Tuberculosis A Survival Guide for Clinician.
California : Curry International Tuberculosis Center, 2016.
Interim Clinical Guidance on Implementation of the Modified Short and Long
Treatment Regimens for People with Rifampicin Resistant Tuberculosis (RR-
TB) in South Africa, 2019.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta; 2014.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. RI, Kementerian
Kesehatan. Jakarta : s.n., 2013.
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. 2016, Peraturan Menteri Kesehatan republik
Indonesia No 67 Tahun. Jakarta : s.n., 2016.
Peraturan Menteri Kesehatan RI, Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 2016.
Petunjuk Teknis Pengobatan Pasien TB Resisten Obat dengan Paduan Standar Jangka
Pendek du fasyankes TB Resisten Obat.Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta : s.n., 2017.
RI, Kemenkes. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI, 2014. ISBN 978-602-235-535-9.
WHO. Global TuberculosisReport 2012.Geneva: WHO Press,2012.
WHO. Treatment of Tuberculosis Guidelines Fourth Edition. Geneva : WHO, 2009.
WHO. WHO treatment guidelines for drugresistant tuberculosis 2016
Update.Geneva;WHO 2016.
WHO. WHO consolidated guidelines on drug resistant tuberculosis treatment 2019;
WHO 2019.
World Health Organization Global Tuberculosis Report 2009-Global TB Control 2009;
Epidemiology,Strategy,Financing. Geneva;WHO,2009p 1-33.

34

Anda mungkin juga menyukai