JULI 2019
PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN
PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Narasumber
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU
i
PERKEMBANGAN PENATALAKSANAAN
MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)
ABSTRAK
Sejak tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (Global Emergency) hal ini karena situasi TB didunia yang semakin
memburuk, dimana jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan. Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).
Pengobatan terhadap kasus MDR TB sangat komplek dimana membutuhkan waktu yang
lama biaya besar dan pengawasan yang ketat. Keadaan ini pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya epidemi kasus TB yang sulit ditangani. Manajemen Terpadu
Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2009.
Pengobatan MDR TB memerlukan durasi pengobatan yang lama (20-24 bulan) sehingga
meningkatkan tingginya angka loss to follow up. Pada bulan Mei 2016 WHO
mengeluarkan rekomendasi pengunaan paduan pengobatan standar jangka pendek 9-11.
Angka keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar jangka pendek mencapai
82% dibandingkan dengan angka keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar
jangka panjang hanya mencapai 62%.
ii
DEVELOPMENT OF MANAGEMENT
MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TUBERCULOSIS (TB)
ABSTRACT
Since 1994 the World Health Organization (WHO) has launched TB as a global
emergency because this situation of TB in the world has worsened, with the number of TB
cases increasing and can not being cured. The number of TB cases in Indonesia according
to WHO Report 2015, it is estimated that there are 1 million new TB cases per year (399
per 100,000 population) with 100,000 deaths per year (41 per 100,000 population).
Treatment of MDR TB cases is very complex where it requires a long time and large costs
and strict supervision. This situation will eventually lead to epidemics of TB cases that are
difficult to treat. Management of Drug Resistant TB Control (MTPTRO) has been
implemented in Indonesia since 2009.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
Saat ini Tuberkulosis (TB) terutama TB paru masih menjadi masalah kesehatan
yang penting didunia baik negara berkembang dan juga disebagian negara maju. Sejak
tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (Global Emergency) hal ini karena situasi TB didunia yang semakin
memburuk, dimana jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan (Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2014).
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB
baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan, dengan 1,5 juta kematian
karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan
1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah
perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta
kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun
(41 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang
berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB
dengan pengobatan ulang.2 Berdasarkan laporan WHO diperkirakan selama tahun 2007
didapatkan kasus MDR TB sekitar 0,5 juta kasus. Kasus MDR TB terbanyak didapatkan di
India (131.000), China (112.000), Rusia (43.000), Afrika Selatan (16.000), dan
Bangladesh (15.000). Kasus MDR TB ini bersifat mematikan, infeksius dan sukar
disembuhkan (WHO TB Report, 2009).
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) telah
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2009. Paduan obat standar TB resisten obat ganda di
Indonesia adalah minimal 6 bulan fase intensif dengan paduan obat pirazinamid,
etambutol, kanamisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin dan dilanjutkan 18 bulan fase
lanjutan dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, levofloksasin, etionamid, sikloserin
(6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs). Namun rekomendasi WHO tahun 2011
menyebutkan fase intensif yang direkomendasikan paling sedikit 8 bulan ((Kemenkes RI
Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2013).
Pada bulan Mei 2016 WHO mengeluarkan rekomendasi penggunaan paduan
pengobatan standar jangka pendek 9-11 bulan untuk tiga kelompok pasien, yaitu: pasien
1
TB resisten rifampisin (TB RR) atau MDR yang belum pernah diobati dengan OAT lini
kedua; atau pada pasien yang kemungkinan kecil terjadi resistensi; atau terbukti tidak
resisten terhadap fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua. Rekomendasi ini berdasarkan
pada hasil kajian dari berbagai studi observasional mengenai penggunaan paduan
pengobatan jangka pendek di beberapa negara Asia dan Afrika yang menunjukkan angka
keberhasilan pengobatan menggunakan paduan standar jangka pendek mencapai 84%
dibandingkan dengan angka keberhasilan pengobatan menggunakkan paduan standar
jangka panjang hanya mencapai 62%. Rendahnya angka keberhasilan pada paduan jangka
panjang diperkirakan oleh durasi pengobatan yang lama (20-24 bulan) sehingga
meningkatkan tingginya angka loss to follow up (Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis.
Jakarta, 2017).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2011, Badan kesehatan dunia (World Health Organization/ WHO)
memperkirakan di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus TB yang resistan terhadap INH
3
dan Rifampisin (TB MDR) setiap tahunnya dengan angka kematian sekitar 150.000. Dari
jumlah tersebut baru sekitar 10% yang telah ditemukan dan diobati. Secara Global
diperkirakan 480.000 orang terkena MDR TB dan 190.000 orang meninggal karena MDR
TB. Pada 2015, 105 negera telah melaporkan sedikitnya 1 kasus XDR-TB (Curry
International Tuberculosis Center, 2016).
Indonesia telah melakukan beberapa survei resistansi OAT untuk mendapatkan
data resistansi OAT. Survei tersebut diantaranya dilakukan di Kabupaten Timika Papua
pada tahun 2004, menunjukkan data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah
sebesar 2%; di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006, data kasus TB MDR di antara
kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus TB MDR pada TB yang pernah diobati sebelumnya
adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun 2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru
TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %.
Hasil Survei terbaru yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010
menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. Secara
global, WHO pada tahun 2011 menggunakan angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk
kasus pengobatan ulang untuk memperkirakan jumlah kasus TB MDR di Indonesia
(Kemenkes RI Nasional Tuberkulosis. Jakarta, 2013).
2.3 Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada pasien Dewasa (tanpa
kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resisten Obat)
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap
dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
tes cepat dan biakan.
Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh
uji. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi. Pemberian AB
(antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan
Kuinolon. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
penilaian lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB. Semua
terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI (Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan (Kemenkes RI Nasional
Tuberkulosis. Jakarta, 2014).
4
Gambar 2.1: Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada pasien Dewasa
6
Faskes yang tidak mempunyai alat TCM penegakkan diagnosis menggunakan
mikroskopis. Pasien dengan hasil BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh dahak
menunjukkan hasil (+). Pasien dengan BTA (-), maka penegakkan diagnosis dapat
dilakukan secara klinis menggunakan pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter. Apabila hasil negatif dan
tidak memiliki akses radiologi, TCM dan biakan maka dilakukan dengan pemberian
antibiotik non OAT dan non quinolon terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada
perbaikan, dan pasien memiliki faktor resiko TB tinggi (terbukti kontak dengan pasien TB,
ada penyakit komorbid HIV, DM dan tinggal didaerah resiko tinggi TB seperti lapas/rutan,
tempat pengungsian) maka dapat diobati sebagai TB klinis (Kemenkes RI Nasional
Tuberkulosis. Jakarta, 2017).
7
2.5 Penatalaksanaan TB Resistensi Obat dan MDR TB dari Masa ke Masa
2.5.1 Penatalaksanaan MDR TB pedoman WHO 2008
Secara umum prinsip pengobatan TB RO, khususnya TB dengan MDR,, harus
menggunakan minimal 4 obat anti Tuberkulosis (OAT) yang masih efektif. Pada tahun
2009, WHO mengelompokkan OAT berdasarkan, efikasi, kegunaan sebelumnya dan kelas
obat untuk pengobatan MDR TB. Semua OAT lini pertama masuk pada grup 1, kecuali
streptomisin yang masuk ke dalam terapi injeksi lain di grup 2. Semua OAT grup 2-5
merupakan OAT lini kedua (WHO TB 4th ed, 2009).
Obat pada Grup 1 adalah yang paling poten, jika riwayat sebelumnya menunjukkan
obat di grup 1 efektif, maka obat tersebut harus diberikan, jika tidak maka dilihat
berdasarkan hasil DST. Semua pasien harus mendapatkan obat injeksi di grup 2, pilihan
utama adalah kanamisin atau amikasin jika terbukti sensitif. Semua pasien harus
mendapatkan obat di grup 3, yaitu golongan quinolon generasi tinggi seperti levofloksasin
dan moksifloksasin. Pada grup 4 obat seperti ethionamid harus diberikan sebagai obat
tambahan, agar terpenuhi 4 obat efektif, untuk tambahan etionamid, sikloserin lebih
dipertimbangkan dibandingkan PAS karena mempertimbangkan efek samping obat. Obat
pada grup 5 tidak diberikan secara rutin mengingat efikasi dari obat tersebut masih belum
jelas. Obat di grup 5 dipertimbangkan pada keadaan dimana obat di grup 1-4 tidak bisa
digunakan, dan hal ini memerlukan pertimbangan khusus oleh ahli (WHO TB 4th ed,
2009).
Pada pengobatan MDR tahun, fase intensif didefinisikan sebagai durasi pengobatan
dengan obat injeksi. Pengobatan dengan obat injeksi harus dilanjutkan minimum selama 6
bulan, dan sedikitnya 4 bulan setelah kultur negatif. Konversi sputum dengan kultur
negatif merupakan penentu untuk menentukan lamanya pengobatan. Pada pedoman WHO
edisi 4 tahun 2009 tentang pengobatan TB lama pengobatan dilanjutkan minimun selama
18 bulan setelah konversi kultur sputum menjadi negatif. Adapun regimen yang dapat
diberikan fase intensif dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, kanamisin,
levofloksasin, etionamid, sikloserin dan dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan
obat pirazinamid, etambutol, levofloksasin, etionamid, sikloserin (6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs /
18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs) (WHO TB 4th ed, 2009).
Untuk menilai respon pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan hapusan sputum
dan kultur sputum setiap bulan hingga konversi. Konversi dimaksudkan dengan 2 kali
berturut-turut pemeriksaan kultur negatif dalam jarak waktu 30 hari.
8
Gambar 2.4: Pengelompokkan OAT berdasarkan Grup1-5
2.5.2 Penatalaksanaan MDR TB Pedoman peraturan KEMENKES 2013
Pengobatan TB resisten obat ditetapkan sebagai bagian dari program pengendalian
TB nasional, kegiatan ini pada awalnya dikenal sebagai Programmatic Management of
Drug Resistant TB (PMDT). Pedoman pengobatan TB MDR sesuai peraturan Kemenkes
2013, pada dasarnya mengacu pada pengobatan standar sesuai WHO 2008 dimana
pengobatan menggunakan OAT lini kedua dan lini pertama yang tercantum dalam 5
kelompok (grup 1-grup 5). Strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR ataupun resistan Rifampisin
berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis baik dengan tes cepat maupun
metode konvensional dapat mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini
kedua dan lini pertama.
c. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
Pilihan paduan OAT MDR di Indonesia saat ini adalah paduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien
TB MDR (Kemenkes RI, 2014).
9
1. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah :
Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-(E)
2. Paduan OAT MDR standar diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/MDR secara laboratoris.
3. Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada resistensi,
misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan TB
sebelumnya maka diberikan levofloksasin dosis tinggi.
4. Paduan OAT MDR standar akan disesuaikan paduan atau dosisnya jika:
a. Terdapat tambahan resistensi terhadap OAT lainnya berdasarkan hasil uji
kepekaan. Contoh:
• Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan
• Apabila pasien terbukti resistan terhadap Kanamisin maka Kanamisin diganti
dengan Kapreomisin
b. Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui, maka obat
bisa diganti bila tersedia obat pengganti, contoh:
•Apabila pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena sikloserin
maka sikloserin dapat diganti dengan PAS.
•Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena kanamisin, maka
kanamisin dapat diganti dengan kapreomisin
c. Dosis atau frekuensi disesuaikan bila:
• terjadi perubahan kelompok berat badan
• terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia
5. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto –Cs –Z – (E) / Lfx – Eto – Cs –Z – (E)
6. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
7. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Lama pengobatan paling sedikit 18 bulan setelah konversi biakan, dimana lama
pengobatan tahap awal sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
10
konversi biakan satuan bulan yang dipakai adalah bulan sesuai dosis dimana 1 bulan
pasien mendapatkan 28 dosis. Obat diberikan dengan cara sebagai berikut :
- Tahap awal: suntikan diberikan 5 hari seminggu (Senin-Jumat), obat per-oral
ditelan 7 hari seminggu (setiap hari, Senin-Minggu) didepan PMO. Jumlah obat
oral yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan minimal 120
dosis.
- Tahap lanjutan: Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
(Senin-Sabtu, hari Minggu pasien tidak minum obat) didepan PMO. Obat
suntikan sudah tidak diberikan pada tahap ini.
12
Pada pedoman PMK 2016 terdapat perubahan dalam pengelompokkan OAT lini 2 seperti
pada Gambar 5.
13
diberikan setiap hari baik fase awal maupun lanjutan. Berikut ini adalah regimen standar
konvensional (Kemenkes RI TB, 2016; WHO TB 2016):
8-12 Km - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) – H
c. Panduan individual
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memilih regimen individual diantaranya:
1. Paduan OAT Individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap
fluoroquinolon tetapi sensitif terhadap OAT suntik lini kedua, maka dapat
diberikan OAT dari grup A lain ditambahkan D3 atau grup A digantikan dengan
D2.
14
2. Paduan OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap
OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap fluorokuinolon. Maka dapat diganti
dengan grup B lain atau salah satu dari grup D2.
3. Paduan OAT individual untuk pasien yang alergi / mengalami efek samping berat
terhadap salah satu dari OAT Grup C yang dipakai (Eto atau Cs) maka OAT
penggantinya diambilkan salah satu OAT Grup C (Cfz atau Lnz) atau D2 (Bdq)
atau D3 (PAS) yang tersedia supaya tetap memenuhi standar minimal 4 macam
OAT inti lini kedua.
4. Jika terdapat alergi atau kontraindikasi dalam pemberian pirazinamid maka
pirazinamid dapat digantikan dengan grup C atau grup D (D2 atau D3) agar
terpenuhi 5 obat efektif. D1 yang lain dapat diberikan pada pasien ini dengan
pemberian INH dosis tinggi jika terbukti tidak resisten.
15
Klofazimin 200–300 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300mg
mg/ hr
Pirazinamid 20-30 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg
mg/kg/hr
Etambutol 15-25 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
mg/kg/hr
Isoniasid 4-6 150 mg 200 mg 300 mg 300 mg 300 mg
mg/kg/hr
Bedaquilin 400 mg/ 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
hari
Asam PAS 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Sodium PAS 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Keterangan :
a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi
untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam
dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS yaitu 8gr
kandungan aktif obat dan bisa diberikan dalam dosis terbagi.
c. Bedaquilin diberikan 400 mg / hari dosis tunggal selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan
selama 22 minggu (minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian
Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal
selama 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.
16
Gambar 2.6: Follow Up Pengobatan standar Konvensional
17
d. Gagal
Pengobatan TB RO dihentikan atau membutuhkan perubahan rejimen ≥ 2
OAT RO yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah
ini yaitu :
1) Tidak ada respon yang adekuat terhadap pengobatan yang ditandai
dengan tidak terjadinya konversi sampai dengan akhir bulan ke-8
pengobatan.
2) Terjadi reversi (hasil biakan kembali menjadi positif) pada fase lanjutan
(setelah sebelumnya konversi).
3) Pengobatan dihentikan oleh TAK atau Dokter terlatih Fasyankes TB
RO karena terjadi efek samping obat yang berat yang tidak dapat
ditangani.
4) Pasien membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB RO yaitu ≥ 2
OAT RO karena terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat
golongan kuinolon dan obat injeksi lini kedua.
18
Gambar 2.7: Alur penatalaksanaan TB RO Standar Pendek
Pasien yang memenuhi kriteria akan diberikan panduan pengobatan standar jangka
pendek sedangkan pasien yang tidak memenuhi kriteria akan mendapatkan pengobatan
standar konvensional. Jika hasil kultur/uji kepekaan sudah keluar maka hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut (Kemenkes RI TB, 2017):
1. Untuk pasien yang mendapatkan pengobatan jangka pendek dan hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil yang sensitif terhadap FQ/injeksi Lini 2 maka
pengobatan jangka pendek dapat dilanjutkan.
2. Untuk pasien yang mendapatkan pengobatan jangka pendek dan hasil uji
kepekaan menunjukkan hasil yang resisten terhadap FQ/injeksi Lini 2 maka
pengobatan jangka pendek harus dihentikan dan pasien memulai dari awal
pengobatan individual sesuai hasil uji kepekaan.
19
3. Pasien yang memulai pengobatan dengan standar konvensional dan
menunjukkan hasil uji kepekaan yang sensitif maka pertimbangan untuk
perubahan panduan berdasarkan kondisi klinis dan penilaian TAK, perubahan
kepanduan standar jangka pendek tidak boleh dilakukan jika pengobatan
dengan standar konvensional sudah berlangsung >1 bulan.
b. Gagal
1. Pemeriksaan BTA pada akhir bulan ke-6 hasilnya positif
2. Pemeriksaan BTA pada akir pengobatan hasilnya positif
21
3. Terjadi reversi pada tahap lanjutan
4. Terjadi efek samping berat dimana pengobatan jangka pendek harus dihentikan
5. Terjadi resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua golongan FQ dan atau injeksi
lini kedua.
Pemantauan selesai pengobatan dilakukan pada bulan keenam dan kedua belas setelah
akhir pengobatan atau bila muncul gejala TB (Kemenkes RI TB, 2017).
22
9. Amikasin mungkin digunakan jika masih terbukti susceptibillity pada pasien diatas
18 tahun, perlu dilakukan monitoring untuk efek samping. Jika amikasin tidak
tersedia dapat diberikan streptomisin.
23
Pada pasien yang menggunakan regimen yang tidak mengandung agen injeksi
dalam fase intensif, ketentuan nomor 3 tidak berlaku dan lamanya pengobatan ditentukan
oleh rekomendasi pada total durasi dan waktu setelah konversi kultur. Ini diharapkan
berlaku di masa depan yang diobati hanya dengan regimen oral. Jika bedaquiline atau agen
lain (mis. Linezolid, delamanid) diberikan hanya untuk bagian awal regimen, periode ini
tidak sama dengan "fase intensif" kecuali agen injeksi digunakan bersamaan.
3. Pasien dengan penyakit TB yang luas.
Durasi konversi pasca kultur pengobatan mungkin dimodifikasi sesuai dengan
respons pasien terhadap terapi (misal konversi biakan sebelum 2 bulan pengobatan) dan
faktor resiko lain untuk kegagalan pengobatan atau kambuh. Ini harus dipertimbangkan
pada pasien dengan penyakit TB yang luas.
4. Anak-anak.
Rekomendasi ini berlaku juga untuk anak-anak. Penggunaan amikasin atau
streptomisin pada anak-anak harus digunakan hanya ketika pilihan lain tidak
memungkinkan, saat pengujian mengkonfirmasi kerentanan dan kemungkinan untuk
memantau ototoksisitas dan nefrotoksisitas yang ada. Mengingat bahwa banyak pasien
dalam kelompok usia anak hanya dapat didiagnosis secara klinis atau memiliki penyakit
luar paru, itu diharapkan bahwa durasi pengobatan sebagian besar akan dipandu oleh
ketentuan no. 1, tergantung pada respon pengobatan. Memperpendek total durasi
pengobatan menjadi kurang dari 18 bulan dapat dipertimbangkan dalam kasus anak-anak
tanpa penyakit parah.
5. Ibu Hamil.
Karena potensi efek teratogenik, agen injeksi biasanya kontraindikasi pada
kehamilan dan oleh karena itu ketentuan nomor 3 akan memiliki relevansi yang sangat
terbatas pada kelompok ini.
24
diperkirakan telah melakukan konversi ke status dahak negatif dalam beberapa bulan
pertama memulai pengobatan.
Durasi pada pengobatan jangka pendek dari regimen 9-12 bulan adalah keuntungan
utama bagi pasien dan meningkatkan kemungkinan berakhirnya pengobatan dan
kembalinya pasien ke tempat kerja dan aktivitas sosial sebelumnya. Manfaat ini perlu
disesuaikan dengan kerugian dari regimen yang mengandung suntikan dibandingkan
dengan pendekatan pengobatan yang lebih baru.
25
Mutasi yang resisten terhadap fluoroquinolon dan agen injeksi lini kedua terdeteksi
menggunakan MDRTBsl harus dianggap sebagai kontraindikasi untuk regimen
pengobatan jangka pendek. Begitu juga dengan kehadiran kedua mutasi inhA dan katG
adalah kontraindikasi untuk penggunaan regimen pengobatan jangka pendek. Resistensi
terhadap pyrazinamide (atau komponen lain dari regimen pengobatan jangka pendek),
ketika ditentukan menggunakan reliabel DST, juga dianggap sebagai kriteria pengecualian.
Pasien mungkin dimulai dengan rejimen yang lebih pendek sampai hasil DST pirazinamid
tersedia. Jika hasil tes pada akhirnya menunjukkan resistansi terhadap pengobatan dengan
regimen TB-MDR jangka pendek, yang perlu dilakukan oleh dokter memutuskan apakah
akan beralih ke regimen pengobatan TB-MDR jangka lama berdasarkan respon pasien
terhadap pengobatan dan pertimbangan lainnya.
26
1. Sebagian besar pasien dengan TB MDR/RR masih menerima regimen jangka panjang
yang terdiri dari KM - MFX - ETO - TRD – Z (durasi 18-20 bulan).
2. Beberapa pasien dengan TB MDR/RR sudah memulai regimen TB MDR jangka
pendek (9-11 bulan) dengan agen suntik: (4-6) KM - MFX - ETO –INHhd - CFZ - Z –
E / (5) MFX - CFZ - Z – E.
3. Beberapa pasien telah menerima BDQ untuk menggantikan agen suntik dalam kasus
toksisitas atau intoleransi, dalam regimen TB MDR jangka pendek atau regimen
jangka panjang.
4. Pasien dengan TB pre XDR dan TB XDR saat ini menerima regimen individual jangka
panjang yang mengandung obat baru dan yang digunakan kembali.
• Pengobatan Regimen Jangka Lama dan Jangka Panjang: Gambaran Umum dan
Lama Pengobatan
Pada Juli 2018, regimen dengan tanpa suntikan telah dihapus secara rutin di Afrika
Selatan. Regimen jangka pendek dengan pengobatan tanpa suntikan dapat digunakan untuk
TB MDR/RR asalkan kriteria spesifik terpenuhi. Orang dewasa dan anak-anak yang tidak
memenuhi kriteria inklusi untuk regimen jangka pendek akan dianjurkan pemberian
regimen pengobatan jangka Panjang yang tanpa suntikan. Beberapa pasien dapat memulai
pengobatan dengan regimen jangka pendek tetapi kemudian beralih ke regimen jangka
panjang begitu diagnostik atau informasi lain yang relevan tersedia.
27
lanjutan adalah 5 bulan karena itu, total durasi adalah 9 hingga 11 bulan; kemungkinan
bahwa sebagian besar pasien akan menerima 9 bulan perawatan secara total.
28
• Rifampicin mono-resistant TB: resistensi terhadap Rifampicin dan kerentanan
terhadap Isoniazid - refleks fenotipik INH DST akan dilakukan untuk
mengkonfirmasi kerentanan INH.
• Multidrug resistant (MDR) TB: resistansi terhadap Rifampicin dan Isoniazid
(dengan mutasi inhA atau katG, tetapi tidak keduanya) dan rentan terhadap FLQ
dan INJ.
2. Ekstra pulmonary TB dengan TB MDR/RR tanpa komplikasi misal Limfadenopati,
efusi pleura.
3. Pasien dengan HIV: sudah memakai ARV atau akan memulai kembali ARV.
4. Wanita hamil: dengan TB paru dengan atau tanpa Ekstra pulmonary Tuberkulosis
tanpa komplikasi dapat menerima regimen pengobatan jangka pendek.
5. Anak-anak < 12 tahun: anak-anak yang lebih muda dengan TB MDR/RR yang
dikonfirmasi atau diperkirakan juga memenuhi syarat untuk regimen pengobatan
jangka pendek dan harus dirawat tanpa obat suntikan. Bedaquiline mungkin harus
diganti dengan obat alternatif sampai tersedia data dosis lebih lanjut.
29
• Komposisi Regimen Pengobatan Jangka Pendek
Regimen pengobatan jangka pendek (9-11 bulan), tanpa suntikan dapat digunakan
untuk mengobati TB MDR/RR pada orang dewasa dan anak-anak dari segala usia yang
memenuhi kriteria inklusi seperti yang disebutkan di atas. Regimen awalnya terdiri dari
tujuh obat: LZD - BDQ - LFX - CFZ - INHdosis tinggi - Z – E.
30
dan yang tidak memiliki TB MDR/RR dengan resistensi FLQ atau meningitis TB dengan
TB MDR/RR; ini termasuk pasien dengan TB MDR/RR dan:
1. Riwayat pengobatan TB RR sebelumnya selama > 1 bulan.
2. Hb <8g / dL, neutrofil <0,75 x109 / L atau trombosit <50 x109 / L pada awal atau
saat terpapar LZD selama 2 bulan pertama regimen pengobatan jangka pendek.
3. TB ekstra paru dengan komplikasi (misal Penyakit perikardial atau osteoartikular),
atau TB paru dengan kavitasi luas).
4. Baik mutasi katG dan inhA pada LPA lini pertama (tetapi rentan terhadap FLQ).
5. Hubungan kontak yang dekat dengan pasien dengan TB MDR/RR dengan mutasi
katG dan inhA.
6. Pasien TB MDR/RR dengan resistensi obat suntik pada LPA lini ke-2, tetapi peka
terhadap FLQ (mis., TB yang resistan terhadap INJ sebelum XDR).
Dalam kasus kontra-indikasi atau toksisitas terhadap salah satu dari lima obat inti
dalam fase intensif, atau jika Hb <8g / dL, neutrofil <0,75x109 / L atau trombosit <50
x109 / L pada awal atau selama pengobatan saat pada LZD atau riwayat psikosis atau
pasien mengalami psikosis pada pengobatan, merujuk pada Komite Penasihat Klinis
Nasional. TRD dapat diganti dengan dua obat kategori C jika ada riwayat psikosis atau
pasien mengalami psikosis pada pengobatan.
LFX dapat diubah menjadi MFX selama fase lanjutan setelah BDQ selesai.
31
• Regimen Pengobatan Jangka Panjang untuk Fluoroquinolone (Flq) Resistan TB
Saat ini tidak ada konsensus internasional tentang lama pengobatan TB yang
resisten terhadap FLQ karena itu prinsip yang sama seperti untuk pengobatan TB
MDR/RR berlaku. Diagnosis TB yang resistan terhadap FLQ biasanya hanya diperoleh
setelah TB RR. Pasien yang ditemukan memiliki TB RR biasanya dimulai dengan regimen
pengobatan standar yang terdiri dari BDQ, LZD, LFX, INH dosis tinggi, CFZ, Z dan E.
Pada saat memulai pengobatan, tes refleks dikirim untuk membangun resistensi terhadap
FLQ. Hasil pemeriksaan ini mungkin hanya 14 hari hingga 6 minggu kemudian. Oleh
karena itu, dua dari obat inti untuk pengobatan TB yang resisten terhadap FLQ, BDQ dan
LZD mungkin diberikan tanpa obat pendukung yang efektif.
Regimen pengobatan untuk TB yang resistan terhadap FLQ harus dengan
pengobatan jangka lama, tergantung pada individu, riwayat pengobatan pasien, hasil DST
dan toksisitas dan intoleransi obat.
1. Fase intensif yang mencakup minimal 4 obat yang diketahui atau diprediksi efektif.
2. Hal ini diikuti oleh fase lanjutan yang mencakup minimal 3 obat yang diketahui atau
diprediksi efektif.
3. Obat yang telah digunakan dalam regimen pengobatan sebelumnya, di mana kultur
pasien tetap positif selama 12 bulan atau lebih, tidak boleh dimasukkan karena sangat
mungkin resisten bahkan jika DST melaporkan kerentanan.
4. Semua pasien harus memiliki konseling kepatuhan intensif dan memiliki tantangan
untuk kepatuhan yang ditangani sebelum memulai pengobatan.
5. Kepatuhan dan efek samping harus ditinjau kembali selama pengobatan.
32
BAB 3
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34