Anda di halaman 1dari 19

5

PROFIL DAN EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS MDR


REGIMEN JANGKA PENDEK DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
PADA TAHUN 2019-2021

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
Muhammad Haykal Abdi Hidayatullah
NIM 182210101163

BAGIAN FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Bakteri ini disebut juga dengan Basil Tahan
Asam (BTA) dikarenakan memiliki bentuk batang dan bersifat tahan asam.
Bakteri ini sebagian besar menginfeksi paru dan menyebabkan tuberkulosis paru,
namun juga dapat menyebabkan TB ekstra paru karena memiliki kemampuan
untuk menginfeksi organ tubuh lain (Kemenkes, 2020). TB menginfeksi 2 miliar
orang di dunia dan menyebabkan sekitar 1,5 juta orang meninggal dunia tiap
tahun (Dipiro, 2021). Tujuan utama dari pengobatan TB adalah membunuh
bakteri secara cepat, mencegah munculnya resistensi, dan menghilangkan basil
tuberkel persisten untuk mencegah kekambuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pengobatan TB harus disesuaikan dengan keadaan klinis dan sosial setiap pasien
untuk memastikan kepatuhan dan penyelesaian dari regimen pengobatan.
Pengobatan TB yang efektif memerlukan periode yang substansial (minimal 6
bulan) terapi obat intensif dengan setidaknya dua obat bakterisida aktif.
Optimalisasi pengobatan fase awal ini mencegah munculnya resistensi dan
memastikan keberhasilan terapi TB (Koda Kimble, 2020).
Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT sangatlah penting
guna meningkatkan kesembuhan, mencegah penularan dan resisten obat.
Pengobatan TB harus dipantau untuk melihat respon terapi pada pasien. Respon
terapi tersebut dapat dipantau dengan sputum BTA. Pasien yang diterapi dengan
OAT lini pertama pada TB kasus baru maupun pengobatan ulang
direkomendasikan oleh WHO untuk melakukan pemeriksaan sputum BTA pada
akhir fase intensif pengobatan. Apabila pemeriksaan sputum BTA didapatkan
hasil positif maka menandakan pengobatan gagal sehingga perlu dilakukan
diagnosis cepat TB-MDR (Tuberculosis Multi Drug Resistance) (Kemenkes,
2020). TB-MDR merupakan salah satu kondisi TB resisten obat (TB-RO)
disebabkan oleh bakteri MTB yang resisten terhadap rifampisin (RIF) dan
isoniazid (INH) (Ahmad dkk, 2016). Penggunaan OAT tidak tepat dosis pada
pasien yang sensitif terhadap regimen OAT akan menyebabkan terjadinya
resistensi obat (Komalasari, 2020).
Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2020, Indonesia menempati
urutan ke-10 untuk negara dengan beban TB-MDR tertinggi di dunia. Prevalensi
TB-MDR di Indonesia tahun 2019 pada kasus baru sebesar 2,4% dan pada kasus
pengobatan ulang sebesar 13% (WHO, 2020). Tata laksana TB-MDR mengikuti
Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat (MTPTRO)
dengan kerangka kerja sama seperti strategi Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) (Komalasari, 2020). WHO merekomendasikan strategi DOTS
sebagai metode pengawasan serta pendukung pasien dalam menelan obat yang
diterapkan secara fleksibel. Strategi ini melibatkan PMO (pengawas menelan
obat) sebagai orang yang dipilih bersama pasien serta sebaiknya telah dilatih
dalam mengawasi setiap asupan obat yang ditelan pasien agar tepat dosis, tepat
obat, dan tepat interval (Kemenkes, 2020). TB-MDR yang tidak diterapi dengan
tuntas akan berkembang menjadi Extensively drug-resistant (TB-XDR) yang
resisten terhadap OAT golongan florokuinolon dan OAT lini kedua jenis suntikan
sehingga akan menurunkan angka kesuksesan dalam pengobatan TB (Komalasari,
2020).
WHO pada tahun 2016 telah merekomendasikan penggunaan regimen jangka
pendek pengobatan TB-MDR dengan tujuan untuk mengurangi biaya pengobatan,
dan meningkatkan kepatuhan serta kesembuhan pasien. Regimen jangka pendek
dengan durasi pengobatan 9-11 bulan dapat digunakan sebagai pengganti regimen
konvensional yang biasanya berdurasi hingga dua tahun (Prasad, 2017). Pasien
dapat memulai pengobatan dengan panduan jangka pendek apabila telah
melakukan uji kepekaan resistensi florokuinolon dan obat injeksi lini kedua
dengan hasil negatif, dan tidak terdapat intoleransi terhadap obat-obat yang
digunakan dalam regimen jangka pendek (Kemenkes, 2020). Penelitian Prasad
dkk, (2017) menyatakan bahwa penggunaan regimen jangka pendek pada
pengobatan TB-MDR telah berhasil diterapkan di Bangladesh. Hasil penelitian di
Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Purwokerto menunjukkan faktor
risiko yang berpengaruh pada kejadian MDR-TB adalah motivasi rendah dan
ketidakteraturan minum obat.Pada penilitian di RSUD Dr.H Abdul Moeloek
Provinsi Lampung pemeriksaan TB-MDR pada tahun 2015 mengalami
peningkatan yang cenderung stabil disebabkan beberapa faktor tingkat kepatuhan
pasien meminum obat yang rendah dikarenakan tidak nyaman terhadap efek
samping obat dan lama pengobatan. Oleh karena itu pengobatan TB-MDR
regimen jangka pendek menjadi sarana pemilihan obat yang relative digunakan
untuk saat ini.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui profil pasien dan
evaluasi pengobatan TB-MDR dengan mengevaluasi obat yang digunakan pasien
secara kualitatif menggunakan metode klasifikasi DRP sesuai dengan klasifikasi
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) v9.00 tahun 2019. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan terapi obat
yang dapat mengganggu hasil terapi yang diinginkan. Profil dan evaluasi
pengobatan TB-MDR sangatlah penting untuk menunjang keberhasilan
pengobatan TB-MDR regimen jangka pendek yang masih sangat minim dan RSD
dr. Soebandi sebagai tempat untuk meneliti TB-MDR dikerenakan rumah sakit
rujukan kabupaten Bondowoso, Lumajang, Banyuwangi, dan Jember. Untuk
mengetahui hal tersebut peneliti melakukan penelitian tentang profil dan evaluasi
pengobatan pasien TB-MDR di RSD dr. Soebandi Jember.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana profil pasien TB-MDR regimen jangka pendek di RSD dr.
Soebandi Jember?
2) Bagaimana profil pengobatan TB-MDR regimen jangka pendek di RSD. dr.
Soebandi Jember?
3) Bagaimana evaluasi DRP pengobatan TB-MDR pasien kategori selesai
pengobatan maupun tidak lanjut pengobatan regimen jangka pendek?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1) Untuk mengetahui profil kasus pasien TB-MDR di RSD dr.Soebandi Jember
pada tahun 2019 - 2021.
2) Untuk mengetahui pola pengobatan TB-MDR di RSD dr.Soebandi Jember
pada tahun 2019 - 2021.
3) Untuk mengetahui evaluasi DRP pengobatan TB-MDR pasien kategori
selesai pengobatan maupun tidak lanjut pengobatan regimen jangka pendek.

1.4 Manfaat Penelitian


1) Bagi Mahasiswa
Dapat digunakan sebagai informasi mengenai profil kasus TB-MDR.
2) Bagi Instansi
Untuk memperoleh profil pada kasus TB-MDR di RSD dr.Soebandi dari
tahun 2019-2021.
3) Bagi Program Studi
Penelitian ini bermanfaat menambah pengalaman serta pengetahuan peneliti,
termasuk menunjang pengembangan dibidang penelitian terkait profil kasus
Tuberculosis Multi Drug Resistace (TB-MDR) regimen jangka pendek di
RSD dr. Soebandi Jember.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tuberkulosis MDR


Tuberkulosis (TB) terus menjadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian
di dunia, sejak 2015 dan hingga pandemi COVID-19, penyebab utama kematian
dari agen infeksi tunggal (peringkat di atas HIV/AIDS), bertanggung jawab untuk
1,3 juta kematian di antara orang yang tidak terinfeksi human immunodeficiency
virus (HIV) dan tambahan 214.000 kematian di antara orang yang terinfeksi HIV.
Munculnya strain Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang resisten terhadap obat
yang paling efektif merupakan salah satu masalah utama yang berkontribusi
terhadap lambatnya penurunan kasus TB. (JURNAL OBAT2 TB MDR)
Pasien yang terinfeksi strain yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin,
yang disebut TB multi drug resistant (MDR), praktis tidak dapat disembuhkan
dengan pengobatan lini pertama standar. Saat ini, penyebaran MDR-TB yang
berkelanjutan merupakan salah satu tantangan paling mendesak dan sulit yang
dihadapi pengendalian TB global. Pada tahun 2012, terdapat sekitar 450.000
kasus baru MDR-TB dan 170.000 kematian. Secara global, MDR-TB hadir pada
3,8% pasien TB baru dan 20% pasien yang memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya. Tingkat MDR tertinggi ditemukan di negara-negara Eropa Timur dan
Asia Tengah, di mana galur MDR mengancam untuk menjadi umum seperti galur
pan-susceptible. Di beberapa negara, jenis MDR menyebabkan hingga 20% kasus
TB baru dan lebih dari 50% pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumya.
(SEUNG 2015)
Penyebab yang mempengaruhi terjadinya resistensi obat anti tuberkulosis
(OAT) meliputi pemakaian obat yang tidak teratur, penggunaan obat yang tidak
adekuat, dan pengetahuan pasien dengan penyakit TB. Infeksi TB MDR dapat
mengakibatkan gangguan nutrisi, menurunnya asupan makanan dan perubahan
metabolisme tubuh (Putri dkk., 2015).
2.1.1 Epidemiologi TB MDR
Peningkatan jumlah kasus MDR-TB telah disorot oleh empat laporan dari
Global Project of Antituberculosis Drug Resistance Surveillance, yang diterbitkan
bersama sejak tahun 1996 oleh World Health Organization (WHO) dan the
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union).
(CAMINERO 2010). Menurut WHO tahun 2012 prevalensi tuberkulosis (TB
MDR) penyakit dengan kematian (mortalitas) dengan total kasus 450.000 di
dunia. Secara global tingkat kasus TB MDR sangat tinggi dibeberapa negara
terutama di Indonesia setelah China dan India dengan total kasus TB MDR di
Indonesia 6.900 pada tahun 2012 (Putri dkk., 2015). Di Indonesia dalam kasus TB
MDR juga sangatlah tinggi dengan perkiraan 2% TB MDR primer dan 19% TB
MDR sekunder (Rinanda, 2015).

2.1.3 Patogenesis
Penularan Tuberkulosis diawali ketika penderita TB batuk yang
menyebabkan kuman Mycrobacterium Tuberculosis dalam percik renik (droplet
nuclei) patogen dapat masuk menuju paru melalui udara dan bertempat tinggal
dalam bentuk aerosol yang mengandung kuman TB. Kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB. Fokus Primer GOHN merupakan tempat dimana koloni
kuman TB diparu pasien. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis TB MDR dengan cara sebagai berikut;
1. Anamnesis (Riwayat Pentakit)
Mendiagnosis penyakit TB MDR dengan mengetahui gejala umum dan riwayat
penyakit penderita TB MDR seperti batuk pasien selama 2 minggu atau lebih
dan diikut debgan gejala demam, sesak nafas, batuk berdarah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dilihat dari keadaan umum pasien seperti berat badan
yang menurun, kurus, suhu badan yang panas, dan sesak napas.
3. Pemeriksaan Laboratorium
1) Secara konvensional
Metode konvensional dengan menggunakan data LJ (Lowestein Jensen)
atau disebut dengan media cair MGTT dengan menguji resistensi terhadap
obat TB yaitu isoniazid, levofloksasin, kanamisin, kapreomisin, dan
moksifloksasin.
2) Metode genotype
a. Pemeriksaan uji tes cepat molekuler menggunakan Xpert MTB/ RIF
untuk mengetahui asam nukleat deteksi TB serta uji kepekaan obat
rifampisin.
b. LPA (Line Probe Assay) dengan menggunakan Hain Test/Genotyoe
MTB DR plus digunakan dalam uji kepekaan rifampisin dan isoniazid.

2.1.5 Faktor Risiko


Beberapa faktor terjadinya resistensi obat anti tuberkulosis MDR seperti
pemberian monoterapi atau regimen dengan obat yang tidak efektif, dosis obat
yang tidak adekuat, tidak menerapkan DOTS untuk terapi, kepatuhan pasien yang
buruk, keteraturan obat yang rendah dan kualitas obat yang buruk (Aristiana dan
Wartono, 2018). Faktor lain yang menyebabkan terjadinya TB MDR yakni infeksi
HIV, jenis kelamin, usia, mengkonsumsi alkohol, status gizi, merokok, sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, rekam medis riwayat diabetes, dosis obat yang tidak
tepat, dan pasien rujukan. (Caminero, 2010)
2.1.6 Efek Samping
Efek samping efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Nyeri Sendi Pirazinamid Denagn memberikan


aspirin

Urine berwarna Rifampisin Tidak diberikan apa-apa


kemerahan

Kesemutan dan rasa Isoniazid Memberikan vitamin B6


terbakar dikaki (piridoxin) 100mg

Mual, sakit perut, tidak Rifampisin Semua OAT diminum


adanya nafsu makan sebelum tidur

Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Muntah-muntah dan Hampir semua OAT Hentikan semua OAT


bingung sampai icterus
menghilang
(Dikarenakan awal
ikterus)

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan


diganti dengan
Etambutol

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol

Purpura dan syok Rifampisin Hentikan Rifampisin

2.1.7 Pengobatan
Pengobatan TB-MDR sesuai dengan DOT (Directly Observed Treatment)
diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Dalam fase intensif
pengobatannya dengan cara menggunakan obat injeksi seperti kanamisin atau
kapreomisin digunakan selama kurang lebih 4 atau 6 bulan setelah terjadi biakan
sementara fase lanjutan yaitu fase dimana obat injeksi dihentikan selama 18 bulan
setelah konversi biakan. Obat panduan terstandart untuk pengobnatan TB MDR
saat ini yang sering digunakan yakni Obat Km - Eto - Lfx - Cs - Z-(E) / Eto - Lfx -
Cs - Z-(E). Pasien yang mendapatkan panduan OAT terstandart untuk fase awal
yang diberikan minimal 6 bulan penderita yang tidak memiliki kontraindikasi
diberikan obat kanamisin 1x750 mg, Levofloksasin 1x750 mg, Sikloserin 1x500
mg, Etionamid 1x500 mg, Pirazinamid 1x1500 mg, Etambutol 1x1200 mg, serta
Piridoksin 1x100 mg. Pada pasien fase lanjutan diberikan pada bulan ke 8 selama
6 hari (senin-sabtu) dengan dosis komposisi obat Levofloksasin 1x750 mg,
Sikloserin 1x500 mg, Etionamid 1x500 mg, Pirazinamid 1x1500 mg, Etambutol
1x1200 mg, Pirikdoksin 1x100 mg. Obat tuberculosis harus diminum rutin
selamat 6 bulan tanpa henti dan harus diawasi oleh anggota keluarga. Jika
pengobatan pasien terputus kurang dari 6 bulan, maka terjadi resisten obat
tuberkulosis pada pasien yang memengaruhi proses keberhasilan pengobatan.
Pengobatan tuberkulosis yang terputus dapat mengakibatkan munculnya kasus
kekebalan multi terhadap obat anti TB yang lebih kuat disebut dengan Multi Drug
Resistant (TB-MDR) (Mansur dkk., 2021). Menurut panduan penatalaksaan TB-
MDR reversi terjadi jika pasien yang sudah memasui fase lanjutan tetapi hasil
dinyatakan positif maka evaluasi pasien dilakukan setiap 2 bulan. Dalam
pengobtan TB-MDR keberhasilan pengobatan dapat dipantau dengan pemeriksaan
bakteriologis untuk memonitori pasien setiap bulan selama tahap intesif dan setiap
2 bulan tahan lanjutan. Pasien dinyatakan gagal pengobatan jika terjadi
pemeriksaan tahap lanjutan kedua dinyatakan positif disebut dengan reversi. (Crti
and Emerg,2016)
Paduan pengobatan jangka pendek diberikan pada pasien TB MDR sesuai
dengan kriteria :
1. Tidak ada bukti resistan terhadap fluorokuinolon / obat injeksi lini kedua
2. Tidak ada kontak dengan pasien TB pre/XDR
3. Tidak pernah mendapat OAT lini kedua selama ≥ 1 bulan
4. Tidak terdapat intoleransi terhadap obat-obat pada paduan standar jangka
pendek
5. Tidak hamil
6. Bukan kasus TB ekstra paru berat (meningitis TB, tuberkuloma otak,
spondilitis TB

2.2 Tinjauan RSD dr.Soebandi Jember


RSD dr. Soebandi Jember diresmikan pada tahun 1955 terletak di Kreongan
yang awalnya memiliki tiga dokter, yaitu dr. Mahzar (kepala kesehatan), dr. Med.
Otto Beiiser (ahli bedah) dan dr. Ong Tjing An (dokter kelas satu). RSU dr.
Soebandi Jember kemudian berpindah tempat ke Jalan dr. Soebandi Jember pada
tahun 1964 dan tahun namanya menjadi RSD dr. Soebandi Jember pada tahun
1972 ber akreditasi C. Pada tanggal 15 Desember 1993, Nomor
1162/Menkes/SK/XII/1993 RSD dr. Soebandi Jember naik akreditasinya menjadi
B Non pendidikan dan pada tahun 2002 ditetapkan menjadi rumah sakit kelas B
Pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1097/Menkes/SK/IX/2002. Dalam pelayanannya, RSD dr. Soebandi
Jember memiliki beberapa prestasi yang telah diraih yaitu:
1) Tahun 2000, mendapatkan sertifikasi akreditasi pada standar pelayanan di
rumah sakit dalam pelayanan di IGD, keperawatan, rekam medis
2) Tahun 2004, menjadi rumah sakit dengan pelaksana terbaik kedua pada
program Rumah Sakit Sayang Ibu (RSSI) dan bayi
3) Tahun 2008 ditunjuk menjadi rumah sakit rujukan penyakit flu burung
4) RSD dr. Soebandi Jember merupakan Badan Layanan Umum Daerah atau
BLUD bertahap di tahun 2009 dan BLUD penuh di tahun 2011 sehingga
lebih cepat dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan dapat
mengelola keuangannya sendiri
5) Tahun 2011, berhasil lolos tingkat lengkap akreditasi dalam 16 pelayanan.
6) Tahun 2012, RSD dr. Soebandi Jember mendapatkan akreditasi paripurna
dalam melaksanakan pelayanan kesehatan melalui mutu dan keselamatan
pasien
7) Tahun 2013, sesuai pelaksanaan regional sistem rujukan propinsi Jawa
Timur. RSD dr. Soebandi Jember ditunjuk menjadi rumah sakit rujukan
regional dari daerah Jember, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, dan
Banyuwangi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor
188/786/KPTS/013/2013
Fasilitas pelayanan yang ada di RSD dr. Soebandi terus di tingkatkan dari
waktu ke waktu untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang
komprehensif dan kondisi saat ini RSD dr. Soebandi Jember memiliki 21
poliklinik, 22 instalasi penunjang, ≥ 400 tempat tidur, ≥ 19 dokter yang terdiri dari
dokter umum dan gigi, 58 tenaga dokter spesialis, ≥ 450 tenaga perawat dan
bidan, dan ≥ 480 karyawan lain. Pasien dengan keluhan penyakit dalam terdapat
pada ruang kelas 1 dan 2 yaitu bangsal nusa indah, catleya dan alamanda, ruang
kelas 3 yaitu adenium dan antorium, ruang VIP yaitu paviliun anggrek. Pada
penelitian kali ini dilakukan pada bangsal penyakit dalam RSD dr. Soebandi
Jember ruang kelas 3 adenium dan antorium, dipilih 2 bangsal tersebut karena
pasien pada bangsal tersebut hanya untuk pasien dengan diagnosis penyakit
dalam, untuk mempermudah peneliti dalam pengambilan datanya supaya lebih
terkonsentrasi pada 2 bangsal tersebut (Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soebandi
Jember, 2020)
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian dilakukan dengan rancangan deskriptif obeservasional dengan
metode Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) v9.00 untuk mengevaluasi
penggunaan obat TB-MDR pada pasien dan retrospektif dengan cara meneliti data
rekam medis pasien TB-MDR di RSD dr.Soebandi Jember pada tahun 2019-2021.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Studi pendahuluan dan pengambilan data penelitian ini dilakukan di bagian
rekam medis RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Agustus – selesai. Data yang
didapat selanjutnya dianalisis di Fakultas Farmasi Universitas Jember.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu (Sugiono,2013). Populasi pada
penelitian ini adalah pasien TB-MDR regimen jangka pendek di RSD dr.
Soebandi Jember pada tahun 2019-2021. Sampel adalah bagian dari sejumlah
karakteristik yang dimiliki oleh populasi digunakan dalam penelitian
(Sugiono,2013). Pemilihan sampel pasien TB-MDR regimen jangka pendek mulai
tanggal 1 januari - 31 desember pada tahun 2019-2021 di RSD dr.Soebandi
Jember. Sampel penelitian ini menggunakan metode pengambilan data dengan
kriteria sebagai berikut;
1. Kriteria inklusi
Profil pasien TB MDR regimen jangka pendek yang berusia ≥ 18 tahun
memiliki data rekam medis lengkap dengan pasien mulai pengobatan hingga
selesai.
2. Kriteria ekslusi
Pasien yang meninggal.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini adalah:
a. Profil pasien TB-MDR regimen jangka pendek terdiri atas karakteristik
nomor rekam medis, nama pasien, usia, jenis kelamin, riwayat pengobatan,
dan riwayat penyakit penyerta (komorbid).
b. Gambaran pofil pengobatan TB-MDR regimen jangka pendek di RSD dr.
Soebandi Jember pada tahun 2019 – 2021 yang tercatat dalam rekam
medis, meliputi: nama obat, jenis obat dan rute pemberian obat.
c. Evaluasi pengobatan TB-MDR regimen jangka pendek meliputi beberapa
Drug Relate Problems (DRP) yang terjadi selama proses pengobatan
sampai tuntas pengobatan maupun tidak tuntas di RSD dr. Soebandi
Jember pada tahun 2019-2021. DRP yang digunakan adalah
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) dengan formulir registrasi
PCNE V9.00 yang kategori nya berupa permasalahan dan penyebab.

3.5 Pengambilan Data


Pengumpulan data melalui rekam medis RSD dr. Soebandi diketahui jumlah
dan nomor Data Medis Kesehatan (DMK) pasien dengan diagnosa TB-MDR
regimen jangka pendek. Dari data pengolahan DMK dilanjutkan dengan
pemilihan sampel secara inklusi. Kemudian hasil data yang didapat ditulis di
Lembar Pengumpul Data (LPD) yang berisi nomor rekam medis, nama pasien,
usia, nama obat, jenis obat, riwayat pengobatan, riwayat penyakit penyerta.

3.6 Analisis Data


Pengolahan analisis data menggunakan jenis analisis data kualitatif.
Digunakan untuk mengetahui fenomena yang ada dilapang berdasarkan data
rekam medis di RSD dr. Soebandi Jember sebagai berikut:
a. Profil Pasien
Profil pasien TB-MDR di RSD dr. Seoebandi Jember Kabupaten Jember
akan dikelompokkan berdasarkan karakteristik nomor rekam medis, nama
pasien, usia, jenis kelamin, riwayat pengobatan, dan riwayat penyakit
penyerta (komorbid). Data tersebut kemudia disajikan dalam presentase
menggunakan rumus sebagai berikut:
Frekuensi masing−masing kelompok
x 100 %
Jumlah frekuensi total
b. Profil Penggunaan Obat
Profil penggunaan obat pada pasien TB-MDR di RSD dr. Soebandi Jember
dapat diketaui dengan cara melakukan pencatatan pengobatan yang
diterima oleh pasien meliputi nama obat, jenis obat, dan rute pengobatan,
selanjutnya hasilnya disajikan dalam presentase menggunakan rumus
sebagai berikut:
Frekuensi masing−masing kelompok
x 100 %
Jumlah frekuensi total
c. Identifikasi DRP
Identifikasi DRP bisa dilakukan secara menganalisis suatu kejadian DRP
pada data yang sudah tersedia, Untuk mengidentifikasi DRP dengan cara
melihat bagian PCNE V9.00 dengan kode P1,P2 sebagai permasalahan dan
C1,C2,C3,C4,C5, dan C6 sebagai penyebab. Data yang akan disajikan
dalam presentase dengan rumus sebagai berikut:

Frekuensi masing−masing kelompok


x 100 %
Jumlah frekuensi total

3.7 Alur Perizinan


1. Mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas Jember
2. Mengajukan surat izin penelitian ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
3. Menyerahkan proposal penelitian dan surat izin penelitian kepada RSD
dr.Soebandi Jember.
3.7 Alur Penelitian

Mengambil data rekam medis pasien dewasa kasus TB-MDR regimen jangka pendek di
RSD dr. Soebandi Jember pada tahun 2019-2021

Mendapatkan data rekam medis pasien TB-MDR regimen jangka pendek di RSD dr.
Soebandi Jember

Dikelompokkan data rekam medis sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Stop

Analisis kriteria pasien


Evaluasi DRP pengobatan TB Analisis profil penggunaan
(usia, jenis kelamin,
MDR pasien pengobatan obat TB MDR (nama,
riwayat pengobatan,
berhasil dan tidak lanjut golongan, rute pemberian)
riwayat komornid)

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3.2 Kerangka kerja penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Aristiana, C. D. dan M. Wartono. 2018. Faktor-faktor yang mempengaruhi


kejadian multi drug resistance tuberkulosis (mdr-tb). Jurnal Biomedika Dan
Kesehatan. 1(1):65–74.
Gillespie, S. H. 2002. Evolution of drug resistance in mycobacterium tuberculosis:
clinical and molecular perspective. Antimicrobial Agents and Chemotherapy.
46(2):267–274.
Lorenza, G. 2021. Pola penggunaan obat antituberkulosis dan efek samping obat
pada pasien tb mdr yang menggunakan regimen jangka pendek dengan
jangka panjang di rsup dr. Mohammad hoesin palembang
Mansur, M., B. Suprapti, M. Hidayati, dan U. Fatmawati. 2021. Gambaran
pemanjangan interval qtc pada terapi jangka pendek pasien tb mdr. Jurnal
Media Kesehatan. 14(1):8–17..
Nugroho, F. S., Z. Shaluhiyah, dan S. Adi. 2018. Gambaran perilaku pengobatan
pasien tb mdr fase intensif di rs dr moewardi surakarta. Jurnal Kesehatan.
11(1):32–42.
Putri, A. V., I. Yovi, dan D. Fauzia. 2015. Profil pasien tuberculosis multidrug
resistance (tb-mdr) di poliklinik tb-mdr rsud arifin achmad provinsi riau
periode april 2013-juni 2014. JOM FK. 1(2)
Rinanda, T. 2015. Kajian molekuler mekanisme resistensi mycobacterium
tuberculosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 15(3):162–167.
Sarwani, A. D., S. Nurlaela, dan I. Zahrotul. 2012. Faktor risiko multidrag
resistant tuberculosis (mdr-tb). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 8(Vol 8, No 1
(2012)):60–66.
WHO. 2020. WHO Consolidated Guidelines on Tuberculosis. Module 4:
Treatment - Drug-Resistant Tuberculosis Treatment. Online Annexes. Who.

Anda mungkin juga menyukai