Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan

pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium

Tuberkulosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru

atau berbagi organ tubuh lain yang terkena parasite yang tinggi. Masalah

pada penderita Tuberkulosis TBC adalah pengobatan yang tidak patuh dan

pasien yang bosan berobat, terkadang penderita memutuskan untuk

menghentikan pengobatan disebabkan karena sudah terlalu lama berobat

dan penderita mulai bosan karena tidak kunjung sembuh. Ketidakpatuhan

minum obat dapat menyebabkan resistensi obat yang dapat menimbulkan

kegagalan pengobatan. Dampak apabila pasien putus obat akan mengalami

meninges, ginjal,paru, nodus limfe bahkan kematian (Valita, 2007).

Indonesia merupakan Negara dengan pasien TBC terbanyak ke-5 di

dunia setelah India, Cina, Afrika selatan dan Nigeria (WHO, 2009).

Jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TBC

di dunia. Jumlah ini akan terus bertambah mengingat setiap orang yang

terinfeksi TBC akan menularkan 10-15 orang setiap tahunnya bahkan

dinyatakan setiap detik seorang terinfeksi. World Health Organization

(WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi

kuman TBC (WHO, 2014). Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk

1
dunia terinfeksi kuman TBC (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus

TBC terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara

(28%), dan wilayah Mediterania Timur. (17%) (WHO, 2015). Pada tahun

2017 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 425.089 kasus,

meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan

pada tahun 2016 yang sebesar 360.565 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang

dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu

Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga

provinsi tersebut sebesar 43% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di

Indonesia.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti

didapatkan banyak puskesmas di Kabupaten Madiun yang mengalami

peningkatan jumlah kasus tuberkolosis. Salah satunya adalah Puskesmas

Dimong, Data yang peneliti peroleh dari Puskesmas Dimong penderita

TBC mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 yaitu 67 orang jumlah ini

terus meningat dari tahun 2018 yang berjumlah 119 orang.

Kendala utama pada penanganan TBC adalah ketidakpatuhan minum

obat dapat menyebabkan resistensi obat yang dapat menimbulkan

kegagalan pengobatan. Tentu perlu adanya pengaturan penggunaan obat

sesuai tujuannya terutama obat seperti yang dikehendaki. Aturan minum

obat sangat berpengaruh pada kepatuhan penderita. Faktor yang

mempengaruhi kepatuhan minum obat adalah faktor internal yaitu

karakteristik pasien TBC contohnya usia, jenis kelamin, pengetahuan

2
pasien, dan kemauan pasien untuk sembuh. Faktor ekstenalnya yaitu

petugas fasilitas kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan, dukungan dan

motivasi dari keluarga dan mendampingi pasien TBC selama dalam waktu

pengobatan (Khamidah et al 2016).

Peran PMO (Pengawas Menelan Obat) sangat penting untuk

mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal. Tugas

seorang PMO adalah agar pasien TBC patuh dalam pengobatannya oleh

karena itu PMO harus mengawasi pasien TBC agar menelan obat secara

teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar

mau berobat teratur, mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak

pada waktu yang telah ditentukan. Memberi informasi penting yang perlu

dipahami oleh seorang PMO adalah penyebab TBC bukan penyakit

keturunan atau kutukan melainkan disebabkan oleh kuman TBC yaitu

Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan oleh penderita TBC langsung

dari percikan batuk atau bersin bahkan hembusan nafas jika penderita

tersebut menderita Multidrug Resistant Tuberkulosis MDR-TB, TB dapat

disembuhkan dengan berobat teratur, harus memahami gejala-gejala yang

mencurigakan dan cara pencegahannya, cara pemberian pengobatan pasien

berupa tahap intensif dan lanjutan, pentingnya pengawasan supaya pasien

berobat secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan

perlunya segera meminta pertolongan ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan)

(Depkes RI. 2009).

3
Pemberian informasi mengenai Penggunaan obat yang benar sesuai

dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya

jenis TBC yang resisten agar memastikan kepatuhan, terutama pada fase

lanjutan setelah kita merasa sembuh. WHO menerapkan Stategi DOTS

(Directly Observed Therapy Short Course atau pengobatan dengan

pengawas langsung). Pengawasan ini dilakukan oleh Pengawas Minum

Obat (PMO), yang bertugas untuk mendampingi pasien dalam menjalani

pengobatan sampai tuntas. Seorang anggota keluarga atau petugas

kesehatan yang mudah terjangkau oleh pasien TBC dapat memainkan

peranan sebagai PMO. Peran PMO memang sangat dibutuhkan bagi

penderita TB paru yang dapat menghindari penderita dari kejadian Droup

Out dan dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam berobat dan

meminum obatnya tanpa terputus sampai penderita dikatakan sembuh

(Depkes RI. 2009).

Dari uraian diatas peneliti tertarik melakukan penelitian tentang

hubungan PMO (Pengawasan Menelan Obat) dengan kepatuhan minum

obat pada pasien Tuberkulosis di wilayah kerja Pukesmas Dimong

Kabupaten Madiun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan layar belakang di atas, maka dirumuskan suatu

pernyataan yaitu adalah hubungan PMO (Pengawasan Menelan Obat)

dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Dimong Kabupaten Madiun?

4
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan PMO(Pengawasan Menelan Obat)

dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Dimong Kabupaten Madiun.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi PMO (Pengawasan Menelan Obat) pada pasien

tuberculosis di wilayah kerja Pukesmas Dimong Kabupaten Madiun.

2. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien tuberculosis di

wilayah kerja Pukesmas Dimong Kabupaten Madiun.

3. Menganalisis hubungan PMO (Pengawasan Menelan Obat) dengan

kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Dimong Kabupaten Madiun.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat

sebagai berikut:

1. Bagi Institusi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat membantu program pengobatan TBC dan

sebagai sumber referensi berkaitan dengan hubungan PMO (Pengawas

Menelan Obat) dengan kepatuhan minum obat pada pasien

Tuberkulosis.

5
2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan

pustaka berkaitan dengan hubungan PMO (Pengawas Menelan Obat)

dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya dengan berbagai

variabel yang lebih baik.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Difinisi tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular secara langsung yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang

dapat hidup terutama di paru arau diberbagi organ tubuh yang lainnya

yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini

mempunyai kandungan klemak yang tinggi membnran selnya, sehingga

menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan

dan kumannyya berlangsung secara lambat (Tabrani, 2010).

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh berbagai

strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis

biasanya menyerang paru-paru, namun juga bisa berdampak pada bagian

tubuh lainnya. Tuberkolusis menyebar melulai udara ketika seseorang

dengan infeksi TB aktif batuk, bersin atau menyabarkan butiran ludah

mereka melalui udara. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten

yang berkembang menjadi penyakit aktif (Obi Andareto, 2015).

2.1.2 Etiologi

1
Penyebab penyakit TB paru adalah mycobacterium tuberculosis,

bakteri tersebut pertama kali dideskripsikan oleh Robert Koch pada

tanggal 24 maret 1882. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang

lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 µm. Pewarnaan

Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk mengidentifikasi bakteri tersebut.

Bakteri tersebut mempunyai sifat istimewa, yaitu terhadap

pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga serimng disebut

tahan asam (BTA). Kuman tuberkulosis juga bersifat sorman dan aerob.

Mycobacterium tuberkulosis mati pada pemanasan 100℃ selama 5-10

menit sedangkan dengtan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri

tersebut tahan lama 1-2 jam di udara terutama di tempat lembab dan gelap

(bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara.

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100℃ selama 5-10 menit

atau pada pemanasan 60℃ selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95%

selama 15-30 detik. Bakteri tersebut tahan selama 1-2 jam di udara

terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun

tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara (Masriadi, 2012)

2
Mycobacterium Tuberculosis, Gram Positif, Organisme Obligat Aerob

2.1.3 Manifestasi klinis

Menurut Masriadis, (2017) manifestasi klinis dari tuberkulosis

diantaranya :

1. Fase limfadenitis TB

Pada fase limfadenitis TB ini merupakan massa palpable yang


dijumpai sekitar 75% dan pasien tanpa gejala khas. Demam,
penurunan berat badan dan keringat malam bervariasi pada 10%
hingga 100% pasien. Lama timbulnya pembesaran nodus limfe
biasanya disertai rasa sakitnya disebabkan periadenitis dan adhesi
pada struktur jaringan sekitar yang dijumpai pada 50-70 kasus.
Keterkibatan lokasi multiple dijumpai lebih dari 20% pasien,
termasuk inflamasi kulit.
2. Fase limfadenitis mikobakterium non TB ini merupakan
terlokalisasi pada lokasi terlibat dan tumbuh secara cepat, jarang
berhubungan dengan manifestasi sistemik. Komplikasi
terlokalisasi pada lokasi nodus limfe yang terlibat seperti
inflamasi kulit.

3
2.1.4 Tanda Gejala

Menurut Obi Andareto, (2015) Penderita yang diserang basil

tersebut biasanya akan mengalami dema tapi tidak terlalu tinggi dan

berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disetai keringat malam.

Kadang-kadang searngan demam seperti influenza dan bersifat hilang

timbul. Gejala lain, penurunan nafsu makan dab berat badan, batuk-batuk

selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah), perasaan tidak

enak (malaise), dan lemah.

Agar bisa mengantisifasi penyakit ini sejak dini, berikut gejala-

gejala penyakit tuberkulosis yang perlu diketahui.

Gejala utama:

Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga pekan atau lebih.

Gejala tambahan yang sering dijumpai

 Dahak bercampur darah atau batuh darah

 Demam atau meriang lebih dari sebulan

 Berkeringat pada malam hari tanpa penyebab yang jelas

 Badan lemah dan lesu

 Nafsu makan menurun dan terjadi penurunan berat badan

2.1.5 Patofisiologi

Patofisiologi tuberkulosis menurut masriadi 2017 yaitu:

4
1. Tahap prepatogenesis dengan penderita TB paru positif yang

sangat menular. Penderita TB paru positif ketika menyebarkan

dahak yang mengandung kuman BTA ke udara, maka individu

tersebut dapat menghirup kuman BTA hingga mencapai paru-paru.

2. Tahap patogenesis di bagi menjadi empat tahap yaitu:

a. Tahap inkubasi yaitu masa inkubasi TB paru adalah 4-12 minggu.

Pada tahap ini terjadi reaksi daya tahan tubuh untuk menghentikan

perkembangan kuman BTA, walaupun terdapat reaksi daya tahan

tubuh, namun ada sebagian BTA yang menetap sebagai kuman

persister atau dormant (tidur). Apabila daya tahan tubuh tidak

dapat menghentikan perkembangan kuman, maka dalam beberapa

bulan akan menjadi penderita TB paru dan memberikan gejala.

b. Tahap penyakit dini tahap tersebut dimulai dari penderita

mengalami gejala awal penyakit, yang biasanya dikarenakan oleh

adanya penurunan daya tahan tubuh, sehingga pada tahap ini

terjadi kerusakan paru secasra luas dab terjadinya kavitasi atau

pleura.

c. Tahap penyakit lanjutan pada tahap tersebut, penderita TB paru

pada mengalami komplikasi seperti pendarahan saluran nafas

bawah yang dapat menyebabkan kematian, kolaps dari lobus

akibat rekrasi bronkial, pelebaran bronkus dan pembentukann

jaringa ikat, adanya udara di dalam rongga pleura, penyebaran

5
infeksi pada organ lain seperti otak, tulang dan ginjal, serta dapat

juga terjadi insufisiensi kardiopulmoner.

d. Tahap akhir penyakit pada tahap ini penyakit, penderita TB paru

dapat menjadi sembuh atau meninggal. Penderita TB paru dapa

sembuh apabila penyakit yang dialami tidak sampai pada tahan

penyakit lanjut atau terjadi komplikasi. Penderita juga dapat

sembuh apabila dilakukan pengobatan TB paru yang sesuai.

Kematian dapat terjadi apabila terdapat komplikasi atau penderita

tidak melaksankan pengobatan yang dianjurkan.

Limfedenirtis terberkulosis merupakan manifestasi yang paling

sering terjadi pada tuberkulosis non-respiratory. Limfedenitis TB

dijumpai seiring dengan infeksi tuberkulosis primer atau hasil dari

reaktifasi fokus dorman atau akibat perluasan langsung dari congtiguaus

focus. Tuberkulosis pulmonari primer, basili masuk kedalam tubuh

melalui inhalusi dan kabterium. Hilus, mediastinal dan paratracheal

lymph node adalah temapat pertama penyebaran infeksi dari parenkim

paru.

Infeksi menyebar melalui limfatik ke cervinal lymph node yang

terdekat. Keterkibatan supraclavicular lymph node merefleksikan rute

drainase limfatik untuk penyakt mikrobakterium paremkin paru.

Limfadenitis TB cervical menunjukan penyebaran dari fokus primer

infeksi ke dalam tonsil, adenoid, sinonasal atau osteomyelitis dari tulang

etmoid.

6
Limfadenitis TB juga dapat disebabkan oleh penyebaran luimfatik

langsung dari fokus primer TB di luar paru. Bila kelenjar limfe

merupakan bagian sari kompleks primer, pembesaran akan timbul

pertama kali dekat tempat masuk basil TB. Limfedenitis TB inguinal atau

femoral yang unilateral merupakan penyebaran dari fokus primer di kulit

atau subkutan paha. Limfedenitis TB di leher pada beberapa kasus dapat

disebabkan oleh infeksi primer di tonsil, akan tetapi kasus ini jarang

terjadi kecuali di beberapa negara yang memiliki prevalensi TB oleh M.

bovine yang tinngi.

Stadium awal dari keterlibatan lymph node superfisial, multiplikasi

progresif dari basili tuberkel, onset hipersensitifikasi tipe lambat diikuti

dengan hyperemia dan swelling, nekrosis dan kaseosa pada sentral nodus,

kemudian dikuti dengan inflamasi perinodal, progressive swelling dan

bersatu dengan nodus lain membentuk kelompok. Adhesi pada lapisan

kulit mungkin dijumpai.

Sentral dari pembesaran massa menjadi lunak kaseosa, material

ruptur ke dalam jaringan sekitarnya atau memasuki kulit dengan formasi

sinus. Jika tidak di terapi discharging sinus dapat disembuhkan hingga

bertahu-tahun, tetapi jika sembuh akan mengalami scarring dan

kalsidikasi.

Akhir-akhir ini ditemukan satu gen yang disebut NRAMP1 (natural

resistance associared macrophage protein 1) yang diperkirakan peran

pada aktifitas awal mikrobisida dan gen tersebut berperan dalam

7
perkembangan tuberkulosis pada manusia. Polimorfisme tertentu pada

alel NRAMP1 telat dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insidensi

tuberkulosis dan dipostulasikan bahwa variasi genotip NRAMP1 ini

mungkin menyebabkan penurunan fungsi mikrobisida. Oleh karena itu,

fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum

tersentifikasi ditandai pada proliferasi basil tanpa hambatan di dalam

makrofag alveolus dan rongga udara sehingga terjadi bacterium dann

penyamaian di banyak tempat. Walaupun terjadi bacterium sebagai

penderita tahan terhadap tahan ini, asimtomatik atau mengalami gejala

mirip flu. Timbulnuya imunitas seluler sekitar 3 minggu setelah terpajan,

antigen mikobakterium yang terlelah diproses mencapai kelenjar getah

bening regional dan disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor

kelas II oleh makrofag ke sel THO CD4+ uncommitted yang memiliki

reseptor sel Tαβ. Di bawah pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh

makrofag, sel THO ini mengalami ʻʻpematanganʼʼ menjadi sel T CD4+

subtype TH 1 yang mampu mengeluarkan IFN-γ yang dikeluarkan oleh sel

T CD4+ yang sangat penting untuk mengaktifkan makrogaf.

Makrogaf yang telah aktif mengeluarkan berbagai mediator yang

mempunyai efek: TNF berperan merekrut monosit yang pada akhirnya

mengalami pengaktifan dan berdiferensiasi menjadi ʻʻhistoisit epiteloidʼʼ

yang menadai respons granulomatosa. IFN-γ bersama dengan TNF

mengaktifkan gen inducible nitric synthase (iNOS) yang menyebabkan

meningkatnya kadar nitrat oksida di tempat onfeksi. Nitrat oksigen adalah

8
oksidator yang kuat dan menyebabkan terbentuknya zat antara nitrogen

reaktif dan radikal bebas lain yang mampu menimbulkan kerusakan

oksidatif pada beberapa konstituen mikrobakterium dari dinding sel

hingga BNA.

Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah

terbentuknya sel T sitotoksik CD8+, yuga dapat mematikan makrofag

yang terinfeksi oleh tuberkulosis. Sebagian besar respons imun yang

diperantarai oleh sel Tαβ, penelitian terakhir berfokus pada peran

komplementer sel T γδ dalam resistensi tubuh terhadap pathogen intrasel

seperti mikrobakterium. Sel γδ tidak saja mengeluarkan IFN-γ sehingga

mengaktifkan mikrofag, tetapi juga dapat berfungsi sebagai sel efektor

sitotosik yang menyebabkan kerusakan makrofag yang terinfeksi oleh

tuberkulosis. Defek di setiap langakh respons T H1 (termasuk

pembentukan IL-12, IFN-γ atau nitrat oksida) menyebabkan granuloma

tidak terbentuk sempurna, tidak adanya resistensi dan terjadinya

perkembangan penyakit. Imunitas terhadap infeksi tuberkulosis

diperantarai terutama oleh sel T dan ditandai dengan pembentukan dua

cabang hipersentifitas dan munculnya resistensi terhadap organisme

(masriadi, 2017).

2.1.6 Cara penularan Tuberlulosis

Penyakit TB paru ditularkan melalui udara (droplet nuclei), saat

penderita batuk, bersin atau berbicara, kuman TB paru yang terbentuk

droplet akan bertebaran di udara. Droplet yang sangat kecil kemudian

9
mongering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman

TB paru. Kuman tuberkulosis dapat terhadap di udara selama beberapa

jam lamanya, sehingga cepat atau lambat droplet yang mengandung unsur

kuman TB paru akan tgerhirup oleh orang lain. Droplet tersebujt apabila

telah dihirup dab bersarang di dalam diri (berkembang biak), dari sini lah

akan terjadi infeksi.

Risiko berhungbungan dengan lama dan kualitas paparan dengan

sumber infeksi akan tetapi tidak berhubungan dengan faktor genetic dan

faktor pejamu lainnya. Resiko tertinggi perkembangnya penyakit TB paru

yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, risiko rendah pada masa kanak-

kanak dan meningkatkan lagi pada masa remaja, dewasa muda, dan usia

lanjut.

2.1.7 Program penaggulangan TB paru Strategi DOST

Program penanggulangan TB paru secara nasional mengacu pda

strategi DOTS (Directly Observed Therapy Short Course) yang

direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai

penularan TB paru. Komponen utama strategi DOST meliputi:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk

dukungan dana.

2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikrokopik BTA dalam

dahak.

10
3. Terjaminnya persediaan obat anti tuberkulosis (OAT).

4. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan

pengawasan langsung oelh pengawas minum obat (PMO).

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk menantau dan

mengevaluasi program penaggulangan TB paru (Masriadi, 2012).

2.1.8 Cara Pencegahan

TBC bisa diobati, asalkann benar-benar mempunyai keinginan dan

semangat yang besar untuk sembuh. Dorongan dari keluarga dan orang

sekitar anda sangatlah diperlukan. Pemeriksaan yang intensif dan teliti

serta disiplin minum obat yang diberikan dokter harus dilakukan oleh

penderita agar penytakit yang dideritanya segera sembuh.pengobatan

yang dilakukan dapat bertujuan unrtuki menyembuhkan, mencegah

kematian, dan kekambuhan.

Tindakan pencegahan menurut (Obi Andareto, 2015)

1. Selalu brusaha mengurangi kontak dengan penderita TBC paru aktif.

2. Selalu menjaga standar hidup yang baik, cara bisa dengan

mengkonsumsi makanan yang bernilai zat tinggi, menjaga

lingkungan selalu sehat baik itu dirumah maupun ditempat kerja

(kantor), dan menjaga kebugaran tubuh dengan cara menyempatkan

dan meluangkan waktu untuk berolahraga.

3. Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya kasus

infeksi TBC yang lebih berat. Vaksin BCG secara rutin diberikan

kepada semua balita.

11
4. Beri penyuluhan kepada masyarakat tenyang cara penularan dan

pemberantasan seta manfaat penegakan diagnosis dini.

5. Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil

yang cukup efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TBC laten

menjadi TBC klinis.

2.1.9 Penngobatan TBC (Depkes RI, 2011)

1. Tujuan pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT).

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT


Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 obat Lini pertama  Insoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)
 Enthambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 / obat suntik/ suntikan kini kedua  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
 Capreomycin (Cm)
Golongan-3 / golongan Floroquinolone  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
 Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4 / obat bakteriostatik lini kedua  Ethionamide (Eto)  Para amino salisilat
 Prothionamede (PAS)
(Pto)  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / obat yang belum terbukti  Clofazimine (Ctz)  Thoacetazone (Thz)
efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh  Linezolid (Lzd)  Clarithromycin
WHO  Amonxilin- (Clr)
Clavulanate (Amx-  Imipenem (Ipm)
Clv)

Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

12
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Hari 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

2. Pengobatam tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

a. OAT harus diberikan dengan bentuk kombinasi beberapa jenis

obat, dakam jumlah yang cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal

(monoterapi). Pemkain OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-

KST) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dikalukan

pengawasan langsung (DOT = Directy Observed Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan Tb diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

3. Tahap awal (intensif)

13
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendaptakn obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat.

b. Bila pengobtan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu.

c. Sebaigian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 minggu.

4. Tahap lanjutan

a. Pada tahap lanjujtan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.10 Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

a. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

 Kategori 1 : 2(HRZE)/(HR)3E3.

 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan panduan obat

sispan (HRZE).

b. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin,

14
Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS,

serta OAT lini-1, yaitu Pirazinamid dan Etambutol.

c. Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk

paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT

KDT ini terdiri darib kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu

tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien,. Panduan

ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

d. Paket kombipak.

Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terjadi dari

Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas

dalam bentuk blister. Panduan OAT ini disediakan program untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek

samping OAT KDT.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TBC:

1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat danm mengurangi efek samping.

2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan

penulisan resep.

3) Jumlah tablet yang dirtelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian

obat menjadi sederhana dan menungkatkan kepatuhan pasien.

Panduan OAT lini pertama dan peruntukannya

a. Kategori-1 (2HRZE/ 43R3)

15
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien baru TB paru BTA positif.

 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.

 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
selama 56 hari RHZE 16 minggu RH (150/150)
(150/75/400/275)
30 -37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT


55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel 2.4 Dosis panduan OAT-Kombipak untuk kategori 1

Tahap Lama Dosis per hari / kali


pengobata pengobatan Jumlah
n
Tablet Tablet Tablet Tablet hari/kali
isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori-2 (HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang

telah diobati sebelumnya:

 Pasien kambuh

16
 Pasien gagal

 Pasien dengan pemngobtan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.5 Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) Tahap Lanjutan 3 kali


+S seminggu RH (150/150) + E
Berat (400)
badan Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tablet 4KDT + 500 mg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet


Streptomisin injeksi Etambutol
38-70 kg 3 tablet 4KDT + 750 mg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet
Streptomisin injeksi Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet
+ 1000 mg streptomisin Etambutol
injeksi
71 kg 5 tablet 4KDT + 1000 mg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet
streptomisin injeksi Etambutol

Tabel 2.6 Dosis panduan OAT Kombipak untuk kategori 2

Tahap Lama Tablet Tablet Tablet Etambutol strepto Jumlah


pengobatan pengob Isoniasi Rifampi Pirazina Tablet Tablet misin hari/kali
atan d 300 sin 450 mid 500 250 400 injeksi menelan
mgr mgr mgr mgr mgr obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
intensif 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis
harian)

Tahap 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
Catatan :

17
 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas disos

maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa

memperhatikan berat badan.

 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam

keadaan khusus.

 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan

menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga

menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).

c. OAT sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paket untuk tahap intensif

kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT
38 -54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 2.8 Dosis Kombipak untuk sisipan

Tahap Lamanya Tablet Tablet Tablet Tablet E Jumlah


pengobatan pengobatan Isoniasid Ripamfisin Pirazinam tambutol hari/kali
@ 300 @ 450 mgr id @ 500 @ 250 menelan
mgr mgr mgr obat
Tahap intensif
(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 28
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida

(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjukan

18
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena

potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.

Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya resiko

resistensi OAT lini kedua.

2.2 Konsep Pengawas Menelan Obat (PMO)

19
2.2.1 Definisi PMO

Menurut Depkes RI (2011) PMO (Pengawas Menelan Obat)

merupakan komponen DOTS (Directly Observed Therapy Short Course)

pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

menelan obat pada pasien tuberkulosis, dengan tujuan untuk memastikan

pasien menelan semua obat yang dianjurkan. PMO adalah seseorang yang

ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan juga menantau penderita

tuberkulosis dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas.

1 Persyaratan PMO

a Seseorang yang dikenal, dipercayai dan disetujui, baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani

dan dihormati oleh pasien.

b Seseorang yang tinggal didekat dengan pasien.

c Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d Bersedia dilatih dan atau mendapatkan penyuluhan

bersama-sama dengan pasien.

2 Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan

di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain-

lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO

dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau

tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarag.

3 Tugas seorang PMO

20
a Mengawasi pasien TBC agar menelan obat secara teratur

smapai selesai pengobatan.

b Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c Mengingatkan pasien untuk periksa kembali ualang dahak

pada waktu yang telah dirtentukan.

d Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien

TBC yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TBC

untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas pelanyanan

kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari unit pelayanan ksehatan.

4 Informasi penting yang perlu dihadapi PMO untuk sampai kepada

pasien dan keluarganya.

a TBC disebabkan kuman, bukan pemnyakit keturunan aratau

kutukan

b TBC dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur.

c Cara memberikan pengobatan pasien (tahap intensif dan

lanjutan).

d Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara

teratur.

e Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya

segera meminta pertolongan ke fasyankes.

2.3 Konsep Kepatuhan

21
2.3. 1 Pengertian

Kepatuhan merupakan menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan suatu

sikap yang menunjukkan rasa patuh dengan menerima dan melakukan

tuntutan atau perintah dari orang lain. (Taylor dalam Fathin 2016).

Kepatuhan merupakan hubungan dengan harga diri seseorang

dimata orang lain. Orang yang telah memiliki konsep bahwa dirinya

adalah orang yang pemurah, akan menjadi malu apabila dia menolak

memberikan sesuatu ketika orang lain meminta sesuatu padanya.

Kebebasan untuk bersikap, juga seringkali mendorong orang untuk

mengikuti kemuan orang lain. Semakin orang dibebaskan untuk memilih,

semakin cenderung orang tersebut untuk patuh. Umami dalam Fathin

2016).

2.3. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah sesuatu yang

dapat meningkatkan atau menurunkan kepatuhan penderita terhadap

pengobatan.

1. Faktor Prredisposisi (Predisposing Factors)

Faktor-faktor predisposisi (Predisposing Factors), faktor

sebelum terjadinya suatu perilaku yang termasuk dalam faktor

predisposisi:

22
a. Usia

Usia sebagai salah satu sifat karakteristik tentang

orang yang dalam studi epidemologi merupakan variabel

yang cukup penting karena cukup banyak penyakit

ditemukan dengan berbagai variabel frekuensi yang

disebabkan oleh umur. Penyakit TBC yang paling sering

ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun

b. Jenis kelamin

Berdasarkan penilitian Kondoy dkk (2014) jumlah

pasien lebih banyak terjadi pada laki-laki 63,2%

dibandingkan perempuan 36,8%. Tingginya angka pasien

laki-laki meningkat penularan yang sangat laus. Hal ini

dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakkan keluar rumah

mencari nafkah, dengan fekuansi keluar rumah yang

menungkinkan terjadinya penularan TBC, mobilitas yang

tinngi dari pada perempuan laki-laki dapat menurunkan

kekebalan tubuh sehingga mudah terkena TBC. Selain itu

kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat

menurunkan kekebalan tubuh sehingga dapat mudah

terkena TBC.

c. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan landasan seseorang

dalam berbuat sesuatu, membuat lebih mengerti dan

23
memahami sesuatu, atau menerima dan menolak sesuatu.

Tingkat pendidikan juga memungkinkan perbedaan

pengetahuan dan pengambilan keputusan. Pada pasein yang

tidak patuh berobat adalah pasien dengan pendidikan yang

rendah hal ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan

seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang,

seperti mengenali rumah yang memenuhi syarat kesehatan

dan pengetahuan tentang penyakit TBC. Sehingga dengan

pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba

untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

d. Status pekerjaan

Pekerjaan merupakan sesuatu yang dilakukan untuk

mencari nafkah. Untuk melakukan suatu pekerjaaan tentu

membutuhkan waktu yang relatif lama, kemungkinan untuk

memperhatikan lingkungan cenderung menurun. Selain itu,

dengan kondisi pekerjaan yang menyita banyak waktu

ditambah dengan pendapatan yang relatif rendah

masyarakat akan cenderung untuk lebih memikirkan hal-hal

pokok antara lain pangan, sandang, papan.

2. Faktor pendukung (Enabling Factors)

Faktor-faktor pendukung (enabling factors), agar terjadi

perilaku tertentu dipelukan suatu motivasi, yang terwujud dalam

24
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas

atau sarana-sarana kesehatan.

a. Efek samping OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

Penderita TBC sebagai besar dapat mengalami efek

samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkian

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama

pengobatan. Pada umumnya gejala efek samping obat yng

ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, maul muntah,

serta sakit sendi tulang. Gejala efek samping obat dapat

terjadi pada fase intensif atau awal pengobatan bahwa obat

yang harus diminum penderita sangat banyak sehingga

membuat penderita malas untuk minum obat.

b. Tipe pasien

Pada pengobatan ulang penderita TBC BTA positif

kategori 2 dapat menimbulkan resitensi kuman TBC

terhadap BTA. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi

kesembuhan penderita TBC BTA positif karena

pengobatannya akan lebih lama daripada penderita yang

mendapatkan OAT kategori 1 (penderita yang baru).

c. Kepemilikan kartu asuransi kesehatan

Sistem pembiayaan yang sering digunakan ke

pelayanan kesehatan di Indonesia, antara lain biaya

sendiri, umum dan asuransi kesehatan. Jaminan kesehatan

25
diselenggarakan dengan tujuan agar peserta memperoleh

manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam

memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, hal ini merupakan

bentuk agar masyarakat dapat dengan mudah melakukan

akses ke fasilitas kesehatan.

d. Akses ke pelayanan kesehatan

Akses yang dapat menghambat yaitu tidak

tersedianya alat transportasi menuju tempat berobat dan

tidak tersedianya biaya untuk menjangkau ke pelayanan

kesehatan yang juah dari rumah tempat tinggal penderita.

Jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan juga

dapat mempengaruhi ketideakpatuhan dalam pengobatan.

3. Faktor pengkuat (Reinforce Factors)

Faktor-faktor pengkuat (Reinforce Factors) merupakan

faktor perilaku yang memberikan peran bagi menetapkan suatu

perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku dukungan

keeluarga dan peran pertugas kesehatan.

a. Peran petugas kesehatan

Peran petugas kesehatan merupakan suatu sistem

pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan berupa

informasi atau nasehat dan bantuan nyata. Peran petugas

kesehatan dalam melayani pasien TBC diharapkan dapat

26
membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur

kinerja petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap

kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatn

terhadap pasien TBC yang secara langsung atau tidak

langsung akan berpengaruh terhadap keteratuhan berobat.

b. Dukungan keluarga

Keluarga adalah orang yang dekat dengan dengan

pasien. Peran keuarga sangatlah dibutuhkan dalam

memperhatikan anggota keluarganya. Sebagai keluarga

harus memberikan dukungan dan motivasi agar penderita

dapat meneyelesaikan pengobatan secara rutun dan tuntas.

27
BAB 3

KERANGKA KONSETUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Yang dimaksud dengan kerangka konsep merupakan suatu uraian atau

visualisai hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang

lainnya, atau antara variabel satu dengan variabel yang lain dari masalah yang

akan ditekiti.

Konsep merupakan suatu abstrksi yang dibentuk dengan

mengeneralisasikan suatu penelitian. Oleh karena itu, konsep tidak dapat

diukur dan diamati secara langsung. Agar bisa diamati dan diukur, maka

konsep tersebut harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel. Dari variabel

itulah konsep dapat diamati dan diukur. (Notoatmojo, 2010).

Faktor Penguat
Peran
28 PMO
Faktor Predisposisi
1. Usia pasien
2. Jenis kelamin pasien
3. Tingkat pendidikan pasien
4. Status pekerjaan pasien

Faktor Pendukung
1. Efek samping OAT
2. Tipe pasien Kepatuhan Minum Obat
3. Kepemilikan kartu asuransi
kesehatan
4. Akses ke pelayanan kesehatan

Faktor Penguat
1. Dukungan keluarga
 PMO

Keterangan :

: Diteliti : Berpengaruh

: Tidak Diteliti : Berhubungan

Dapat dijelaskan mekanisme hubungan PMO (Pengawas Menelan Obat) dengan

kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis. Pada pasien yang mengalami

Tuberkulosis berhubungan dengan faktor predisposisi, faktor pendukung dan

faktor pengkuat. Tingkat kepatuhanFaktor


minumPenguat
obat antara lain patuh dan tidak

Peran PMO 29

Kepatuhan Minum Obat


patuh. Agar penderita Tuberkulosis patuh obat maka diperlukan seorang

pengawas menelan obat agar pengobatan tidak putus di tengah pengobatan

karena waktu pengobatan yang relatif lama.

3.2 Hipotesa

Hipotesa merupakan jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Biasanya hipotesis ini dirumuskan dalam dalam bentuk hubungan dua

variabel, variabel bebas dan variabel terikat. Hipotesis berfungsi untuk

menentukan kearah pembuktian, artinya hipotesa tersebut terbukti maka

menjadi thesis. Lebih dari itu rumusan hipotesis itu sudah akan tercermin

variabel-variabel yang akan diamatai atau diukur, dan bentuk hubungan antara

variabel-variabel yang akan dihipotesakan. Oleh karena itu, hipotesis akan

dapat diamati artau diukur. (Notoatmodjo, 2010).

H1 : Ada hubungan antara PMO (Pengawas Menelan Obat) dengan kepatuhan

minum obat pada pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas

Kabupaten Madiun

30

Anda mungkin juga menyukai