Anda di halaman 1dari 41

TB-MDR

Epidemiologi

TB resisten obat sudah mulai dikenal sejak 1945-1955 Sampai akhir 1980 ditemukan beberapa kasus di
negara maju. 1970-1990  pemakaian rifampisin secara luas dan managemen kasus yg buruk
menyebabkan timbulnya kasus resisten. XDR mulai ditemukan. Dalam waktu  15 th terjadi peningkatan
MDR-TB sangat hebat Pada beberapa negara bahkan belum mencapai puncak kasus MDR-TB

TB MDR/TB RR  580.000 Kasus di dunia. hanya 125.000 yang berhasil ditemukan dan diobati. Terjadi
penurunan angka keberhasilan pengobatan, yaitu : 67,9% pada tahun 2010 menjadi 51,1% pada tahun
2013, Pengobatan yang memakan waktu Panjang minimal selama 20 bulan. Peningkatan angka loss to
follow up (LFU) dari : 10,7% (2009) menjadi 28,7% (2013).

Epidemiologi Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) di Indonesia cukup tinggi, dengan


diperkirakan terdapat 6800 kasus baru setiap tahunnya.
Global

Data epidemiologi oleh World Health Organization  (WHO) pada tahun 2016 menunjukkan
terdapat 600000 kasus baru Multi drug resistant tuberculosis  (TB MDR) dan TB resisten
rifampicin. Sekitar 4.1% kasus TB MDR ini terjadi pada kasus baru sedangkan 19% kasus terjadi
pada infeksi tuberkulosis yang berulang.[2] Sekitar 22.2% kasus TB MDR ini terdapat di negera
berkembang.[1] Pada tahun 2008, kasus TB MDR ini paling banyak didapatkan di negara India
dan Cina.[7]

Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) ini sama dengan etiologi infeksi
tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis. Pada TB MDR, kuman Mycobacterium
tuberculosis menjadi resisten terhadap paling tidak dua dari pengobatan tuberkulosis yaitu
isoniazid dan rifampicin.[3,5,7]
Faktor Risiko

Kasus TB MDR ini lebih banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya sudah mendapatkan
pengobatan TB. Berdasarkan data di Bombay didapatkan hanya 10% kasus TB MDR terjadi
pada pasien yang mendapatkan pengobatan anti tuberkulosis untuk pertama kali, sedangkan
hampir 50% kasus TB MDR ditemukan pada pasien yang sebelumnya sudah pernah
mendapatkan pengobatan anti tuberkulosis.[8]

FAKTOR KUMAN M.tb - RESISTENSI NATURAL - RESISTENSI DIDAPAT - VIRULENSI KUMAN


FAKTOR KLINIS A. - - - - - - - PENYELENGGARA KESEHATAN DIAGNOSIS LAMBAT PENGOBATAN TIDAK
SESUAI STANDAR PANDUAN OAT TIDAK ADEKUAT GUIDELINE TIDAK ADA KURANG PELATIHAN TB TIDAK
ADA PEMANTAUAN TERAPI ADDITION SYNDROME

B. OBAT - - - - - - ESO (+)  PENGOBATAN TIDAK SELESAI. GANGGUAN PENYERAPAN OBAT (EX. R 
SETELAH MAKAN) KUALITAS OBAT TIDAK BAIK. REGIMEN / DOSIS TIDAK TEPAT OBAT MAHAL OBAT
SERING TERPUTUS

C. PASIEN - - - - - - - PMO TIDAK ADA / TIDAK BERFUNGSI KURANG PENYULUHAN KURANG DANA UNTUK
BEROBAT. SARANA TRANSPORTASI SULIT. ESO MASALAH SOSIAL GANGGUAN PENYERAPAN OBAT

FAKTOR PROGRAM

TIDAK ADA FASILITAS BIAKAN PROGRAM DOTS BELUM BERJALAN BAIK MEMERLUKAN BIAYA BESAR

FAKTOR HIV / AIDS MENYEBABKAN KEMUNGKINAN MDR-TB MENINGKAT KARENA : - GANGGUAN


PENYERAPAN OBAT - KEMUNGKINAN TERJADI ESO LEBIH BESAR
TBC Resistan obat dapat mengenai siapa saja, akan tetapi biasanya terjadi pada orang yang:

 Tidak menelan obat TBC secara teratur atau seperti yang disarankan oleh petugas kesehatan
 Sakit TBC berulang serta mempunyai riwayat mendapatkan pengobatan TBC sebelumnya
 Datang dari wilayah yang mempunyai beban TBC Resistan obat yang tinggi
 Kontak erat dengan seseorang yang sakit TBC Resistan Obat, TBC MDR, atau TBC XDR.

Tiga kelompok dengan probabilitas tinggi untuk menjadi

TB MDR:

1. Kegagalan Kategori II dan kasus TB kronis

TB kronis: pasien yang masih dahak positif pada akhir a

rejimen perawatan

2. Kegagalan Kategori I

3. Kasus TB yang merupakan kontak dekat dari kasus MDR-TB

Grup dengan probabilitas lebih rendah untuk TB-MDR:

Kasus perawatan lain:

Kambuh

Return after default

Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Berpengaruh terhadap Konversi TB MDR

2.2.1 Faktor Risiko Intrinsik

a. Umur
Di Negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah golongan usia

dibawah 50 tahun, namun dinegara maju prevalensi justru tinggi pada usia yang lebih

tua. Pada usia tua, TB mempunyai gejala dan tanda yang tidak spesifik sehingga sulit

terdiagnosis, sering terjadi reaktivasi fokus dorman, selain itu berkaitan dengan

perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated

immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat immunosupresif dan faktor

ketuaan. Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang

dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis dari penderita TB paru. Pada usia tua

angka ketidakteraturan berobat lebih tinggi disebabkan karena lupa dan kepasrahan

mereka terhadap sakit yang diderita (Ratnawati, 2000). Akibat dari ketidakteraturan

berobat inilah yang menjadi pemicu terjadinya resistan terhadap obat TB. Sekitar

75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50

tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu

kerjanya 3 sampai 4 bulan.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal prevalensi dari

jumlah penderita TB MDR. Menurut penelitian Nofizar (2010) bahwa laki-laki lebih

banyak terkena TB MDR (64%) dibandingkan perempuan (36%). Kepatuhan menelan

obat akan mempengaruhi konversi pasien TB. Sama halnya dengan penelitian
Simamora (2004) Terdapat perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal

keteraturan menelan obat dimana 62,30% Perempuan dan 37,7% pada laki-laki.

c. Pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan rendah

mengakibatkan pengetahuan rendah. Rendahnya pendidikan seorang penderita TB

dapat memengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Masih banyak

penderita TB berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal

penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa

yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan sehingga mengakibatkan kuman TB

resisten terhadap obat TB. Faktor pendidikan erat kaitannya dengan kepatuhan

penderita TB berobat dan minum obat secara teratur (Wirdani, 2000). d. Pekerjaan

Penderita TB MDR ada pada berbagai profesi pekerjaan yang berarti

penularan dapat terjadi di mana saja dan ini juga menunjukkan bahwa informasi

mengenai TB ataupun MDR TB harus disebarkan ke banyak tempat. Menurut

penelitian Sinaga (2013) Karakteristik pekerjaan pada subjek penelitian ini

didapatkan pekerjaan yang terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga sebanyak 6

orang (42,87%) dan sebagai petani 4 orang (28,57%). Wiraswasta sebanyak 2 orang
(14,28%), pegawai negeri sipil sebanyak 1 orang (7,14%), dan sebagai mahasiswa

yaitu 1 orang (7,14%).

e. Pengetahuan

Dengan tingkat pengetahuan yang baik terhadap suatu penyakit bisa mencegah

seseorang terhindar dari penularan TB ataupun TB MDR. Seseorang dengan tingkat

pengetahuan yang baik tentang pengobatan TB MDR menyebabkan menelan obat

dengan teratur maka keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Salah satu indikator

keberhasilan pengobatan adalah konversi pasien TB MDR. f. Efek Samping Obat

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB

MDR, karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek

samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama. Semua OAT

yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai kemungkinan untuk

timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat. Bila muncul efek samping

pengobatan, kemungkinan pasien akan menghentikan pengobatan tanpa

memberitahukan TAK/petugas fasyankes (default), sehingga KIE mengenai gejala

efek samping pengobatan harus dilakukan sebelum pasien memulai pengobatan TB

MDR. Penanganan efek samping yang adekuat merupakan salah satu upaya untuk

memastikan kepatuhan pasien TB MDR/ HIV terhadap pengobatan yang diberikan.

Pada pengobatan TB MDR 100% pasien merasakan efek samping. Sejalan

dengan pernyataan responden yang menyatakan merasakan efek samping saat

menjalani pengobatan TB MDR dengan efek samping yang berbeda dan lebih berat
dibandingkan pada pengobatan TB hal ini dikarenakan jenis obat yang diberikan pada

pengobatan TB MDR dosisnya lebih tinggi. Jenis efek samping pada pengobatan TB

MDR adalah mual, pusing, nyeri sendi, gangguan penglihatan, gangguan

pendengaran, dada panas, halusinasi, gangguan hati, gangguan ginjal (Munawwarah,

2013).

g. Tipe Pasien

Setelah pasien didiagnosa sebagai penderita TB MDR maka akan diregistrasi.

Beberapa tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

1) Pasien baru

Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT atau pernah

diobati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan.

2) Pengobatan Ulangan

Pasien yang mendapatkan pengobatan ulangan karena : kasus kambuh, pasien

yang dating kembali setelah putus berobat, kasus gagal pengobatan kategori 2,

kasus gagal pengobatan kategori 1.

3) Transfer In

Pasien TB Resisten Obat yang sudah diobati dan sudah deregister di RS

Rujukan/Sub Rujukan lain.

4) Lain Lain

Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat

dipastikan.
h. Keteraturan berobat

Pasien TB MDR memulai pengobatan bila sudah terkonfirmasi TB MDR

dengan pemeriksaan uji kepekaan M. tuberkulosis. Keteraturan berobat dapat

mencegah resistensi obat yang digunakan sehingga meningkatkan respon pengobatan.

Indikator respon pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. i. Kepuasan Pasien

Kepuasan adalah perasaan senang, puas individu karena antara harapan dan

kenyataan dalam memakai dan pelayanan yang diberikan terpenuhi. Memahami

kebutuhan dan keinginan konsumen dalam hal ini pasien TB MDR adalah hal penting

yang mempengaruhi kepuasan pasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat

berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian

terhadap jasa pilihannya dan tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai, tetapi jika

pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada

orang lain tentang pengalaman buruknya.

2.2.2 Faktor Risiko Ekstrinsik

a. Pendapatan Keluarga

Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biayanya relatih

murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia terutama yang bermukim

di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan pergi ke

rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat. Mereka yang berobat

ke rumah sakit ini tidak jarang terjadi ketidaksanggupan menembus obat karena

ketiadaan dana (Gani, 1999).


Bila hal ini dikaitkan dengan penghasilan keluarga perbulan 72% mengatakan

penghasilan keluarga perbulan kurang dari l juta rupiah, 16% penghasilan l juta s/d 2

juta rupiah dan hanya l2% yang berpenghasilan >2 juta (Nofizar, 2010). b. Perilaku

Petugas Kesehatan

Fasyankes yang melaksanakan Manajemen Terpadu Pengendalian TB

Resistan obat, yang kegiatannya meliputi penjaringan suspek, melanjutkan

pengobatan, pengelolaan logistik dan pencatatan. Kegiatan tersebut dilaksanakan

petugas kesehatan (Permenkes, 2013). Perilaku petugas kesehatan yang ramah,

bertanggung jawab, empati terhadap pasien menyebabkan kenyamanan terhadap

pasien sehingga pasien dengan teratur melanjutkan pengobatan sampai selesai.

c. PMO (Pengawas Menelan Obat)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung. Pengawas Menelan Obat adalah salah satu faktor

keberhasilan program DOTS dan keberhasilan terapi karena mempengaruhi

kepatuhan minum obat sehingga penderita rajin dan termotivasi untuk meminum

obat. Seorang PMO harus dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan, maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien,

seseorang yang tinggal dekat dengan pasien, bersedia membantu pasien dengan

sukarela dan bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan.

Tugas seorang PMO adalah :

1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.


3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala gejala

mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan

(Kemenkes, 2013).

d. Jarak ke Fasilitas Kesehatan

Jarak rumah penderita yang jauh dengan fasilitas pelayanan kesehatan sering menjadi

masalah kelangsungan keteraturan pengobatan, juga kemampuan orang untuk

berjalan menuju ke tempat pelayanan. Jarak tempat tinggal yang jauh dengan fasilitas

pelayanan kesehatan berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk ongkos dan

waktu yang digunakan, hal ini akan mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita

(Darmawan, 2002).

Klasifikasi

Resistensi Primer : Resistensi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan OAT
atau kurang dari 1 bulan.

Resistensi Inisial: Resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

Resistensi Sekunder Resistensi yang terjadi pada pasien yang sudah ada riwayat pengobatan OAT
minimal 1 bulan.

Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR

Klasifikasi TB MDR (berdasarkan lokasi) :

1. Paru

Apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.


2. Ekstra Paru

Apabila kelainan ada di luar parenkim paru.

Bila dijumpai kelainan di paru maupun di luar paru maka pasien di registrasi

sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru. Pasien TB MDR

diregistrasi sesuai dengan klasifikasi pasien berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya sebagai berikut :

Tabel 2.1 Tipe Pasien TB MDR Diregistrasi Sesuai dengan


Pengelompokkan Riwayat Sebelumnya

Tipe Pasien Keterangan


a. Pasien Baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT
kurang dari 1 bulan
b. Pengobatan Ulangan Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena :
• Kasus Kambuh (relaps):
Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB lini pertama atau lini
kedua dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan positif.
• Pasien kembali setelah putus berobat (loss to follow
up)
Yaitu pasien yang kembali berobat setelah putus
berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan TB
lini pertama atau lini kedua serta hasil pemeriksaan
dahak menunjukkan BTA positif.
Tabel 2.1 (Lanjutan)

Tipe Pasien

Keterangan

• Kasus Gagal Pengobatan


Kategori 2:
Yaitu pasien yang
hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi
positif pada
pengobatan dengan
OAT lini pertama
kategori 2. Hal ini
ditunjang dengan
rekam medis dan atau
riwayat pengobatan
TB sebelumnya.

• Kasus Gagal Pengobatan


Kategori 1 :
Yaitu pasien yang
hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi
positif pada
pengobatan dengan
OAT lini pertama
kategori 1.
c. Transfer in Pasien TB Resistan Obat yang sudah diob
diregister di RS Rujukan/Sub Rujukan lai
d. Lain-lain Pasien TB yang riwayat pengobatan sebe
jelas atau tidak dapat dipastikan
Patogenesis dan Patofisiologi
Resistan terhadap obat anti TBC dapat terjadi pemberian obat yang tidak
tepat yaitu pasien tidak menyelesaikan pengobatan yang diberikan, petugas
kesehatan memberikan pengobatan yang tidak tepat baik paduan, dosis,
lama pengobatan dan kualitas obat,demikian pula adanya kendala
suplaiobat yang tidak selalu tersedia.

Konsep dasar terjadinya Resistensi Kuman TB

1. Resistensi Primer : Mutan resisten yang terjadi secara alami pada


populasi kuman TB terhadap berbagai OAT . INH : 1 x 105 – 106
kuman Rifampisin : 1 x 107 – 108 kuman Streptomisin : 1 x 105 –
106 kuman Ethambutol : 1 x 105 – 106 kuman Pirazinamid : 1 x
102 – 104 kuman ? Quinolone : 1 x 105 – 106 kuman ? Lain lain : 1
x 105 – 106 kuman ?

Monoterapi

Resistensi pada monoterapi dapat terjadi pada 3 minggu pertama


pengobatan Streptomisin monoterapi: 20% resisten setelah 3 minggu
60% resisten setelah 2 bulan INH monoterapi: 52 % resisten pada
bulan ke 2 71 % resisten pada bulan ke 3 Bakteri yang tadinya sensitif

mengalami mutasi spontan sehingga menjadi resisten


Patofisiologi Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) paling
banyak didahului oleh infeksi tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis  dan mengalami kekebalan obat
akibat dua faktor yaitu:
Faktor Mikroorganisme

Virulensi kuman menjadi lebih tinggi dengan daya tahan yang


tinggi.[3] Keadaan yang menimbulkan tingginya faktor virulensi
ini adalah sifat kuman yang dapat menginfeksi tubuh pejamu
walaupun dalam jumlah yang kecil dan kemampuan
kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat bermutasi
sehingga dapat menahan diri terhadap reaksi peradangan oleh
makrofag pada tubuh pejamu.

Gambaran Klinis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis yang umumnya
ditularkan dari orang ke orang melalui udara. Tuberkulosis
(TB) menyerang paru-paru dan dapat berpengaruh juga ke
organ penting lainnya seperti otak, ginjal, dan tulang
belakang. 

Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan


intensif dan teratur. Umumnya, penderita TB membutuhkan
setidaknya 6 bulan pengobatan eksklusif dimana pasien
harus minum obat secara teratur dan di bawah
pengawasan. Bila tidak, pasien berisiko memiliki kondisi
yang lebih parah atau kebal terhadap obat (TB MDR). 

Sementara itu, tanda dan gejala TB MDR serupa dengan


gejala saat Anda pertama kali didiagnosis menderita TB.
Ciri-ciri TB MDR meliputi: 

 Batuk secara terus-menerus 


 Batuk berdarah
 Merasa selalu lelah 
 Berat badan menurun
 Demam 
 Berkeringat di malam hari. 

Gejala TB yang Anda derita tidak kunjung membaik hingga


memicu ke kondisi TB yang lebih serius. 

Kriteria terduga TB resistan obat : 1. Pasien TB gagal dengan


pengobatan kategori 2 2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak
konversi setelah 3 bulan pengobatan 3. Pasien TB yang mempunyai
riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan
kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama satu bulan 4.
Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal 5. Pasien TB pengobatan
kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan 6. Pasien TB
kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2 7. Pasien TB yang
kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/ default) 8. Terduga TB
yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR 9. Pasien
ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara baik klinis maupun
bakteriologis dengan pemberian OAT (bila penegakkan diagnosis awal
tidak menggunakan GeneXpert)

. Resistansi terhadap obat anti TB (OAT)

Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT

adalah keadaan dimana bakteri sudah tidak dapat

lagi dibunuh dengan OAT. Terdapat 5 kategori

resistansi terhadap OAT yaitu:


a. Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT,
misalnya resistan isoniazid

(H)

b. Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu


OAT, selain kombinasi isoniazid

(H) dan rifampisin (R), misalnya resistan

isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin

ethambutol (RE),isoniazid ethambutol dan

streptomisin (HES), rifampicin ethambutol dan

streptomisin (RES)

c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap

isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa

OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan

HR, HRE,

HRES

d. Ekstensif Drug Resistan (XDR):

TB MDR disertai resistansi terhadap salah

salah satu obat golongan fluorokuinolon dan

salah satu dari OAT injeksi lini kedua

(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)


e. Total Drug Resistan (Total DR).

Resistansi terhadap semua OAT (lini pertama

dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.

2. Suspek TB Resistan Obat

Suspek TB Resistan Obat adalah semua orang yang

mempunyai gejala TB yang memenuhi satu atau

lebih kriteria suspek di bawah ini:

a. Pasien TB kronik

b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak


konversi

c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan


TB Non DOTS

d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal

e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak

konversi setelah pemberian sisipan.

f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan


kategori 2

g. Pasien TB yang kembali setelah lalai


berobat/default
h. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat
dengan pasien TB MDR

i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon

terhadap pemberian OAT Definisi kasus TB

tersebut di atas mengacu kepada Buku

Pedoman Nasional

1) Kasus Kronik

Yaitu pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih

BTA positif setelah selesai pengobatan ulang

dengan paduan OAT kategori-2. Hal ini ditunjang

dengan rekam medis dan atau riwayat pengobatan

TB sebelumnya.

2) Kasus Gagal Pengobatan

- Yaitu pasien baru TB BTA Positif dengan

pengobatan kategori I yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali positif

pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.
- Pasien baru TB BTA Negatif, foto toraks

mendukung proses spesifik TB dengan

pengobatan kategori I, yang hasil pemeriksaan

dahaknya menjadi positif pada akhir tahap

awal.

3) Kasus Kambuh (relaps)

Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan TB dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan

dahak mikroskopis dan biakan positif.

4) Pasien kembali setelah lalai berobat/default

Pasien yang kembali berobat setelah lalai paling

sedikit 2 bulan dengan pengobatan kategori-1

atau kategori-2 serta hasil pemeriksaan dahak

menunjukkan BTA positif (Kemenkes RI, 2011).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaa Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M. tuberculosis dilakukan


dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
konvensional dan metode tes cepat (rapid test).
a. Metode konvensional

-- Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair


(MGIT).

-- Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT
lini kedua

b. Tes cepat (rapid test).

-- MenggunakanXpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert.


Merupakan tes amplikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.

Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.

Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin --


Menggunakan Line probe assay (LPA):

oo Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus

oo Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 -


48 jam, tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang
ada.

oo Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan Isoniasid

Pemeriksaan laboratorium

Semua fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaan

Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan

Obat merujuk semua suspek TB MDR ke

laboratorium rujukan (Drug Sensitivity Test) DST

dengan melalui fasyankes Rujukan TB MDR.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah:


1) Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis kuman tahan asam

(BTA) dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis

dilaksanakan untuk:

- Pemeriksaan pendahuluan pada suspek TB

MDR, yang dilanjutkan dengan biakan dan

uji kepekaan M.tuberculosis.

- Pemeriksaan dahak lanjutan (follow-up)

dalam waktu-waktu tertentu selama masa

pengobatan, diikuti dengan pemeriksaan

biakan, untuk memastikan bahwa

M.tuberculosis sudah tidak ada lagi.

2) Biakan M. tuberculosis

Biakan M. tuberculosis dapat dilakukan pada

media padat maupun media cair. Masing-

masing metode tersebut memiliki kelebihan

dan kekurangan masing-masing. Biakan

menggunakan media padat relatif lebih murah

dibanding media cair tetapi memerlukan waktu

yang lebih lama yaitu 3-8 minggu. Sebaliknya


bila menggunakan media cair hasil biakan

sudah dapat diketahui dalam waktu 1-2

minggu tetapi memerlukan biaya yang lebih

mahal. Kualitas proses biakan M. tuberculosis

yang dilakukan di laboratorium sangat

menentukan. Proses yang tidak mengikuti

prosedur tetap termasuk pembuatan media,

pelaksanaan biakan dapat mempengaruhi hasil

biakan misalnya: proses dekontaminasi yang

berlebihan atau tidak cukup, kualitas media

yang tidak baik, cara inokulasi kuman dan

suhu inkubasi yang tidak tepat.

3) Uji kepekaan M.tuberculosis terhadap OAT:

Saat ini uji kepekaan terhadap M.tuberculosis

dapat dilakukan dengan cara konvensional dan

cara cepat. Cara konvensional Indonesia telah

mempunyai 5 laboratorium yang telah

disertifikasi dan selalu mengikuti secara aktif

PME oleh laboratorium supra nasional

Indonesia (IMVS Adelaide, Australia).


Ketepatan uji kepekaan M.tuberculosis yang

dilakukan dalam kondisi optimum bergantung kepada

jenis obat yang diuji. Untuk lini pertama ketepatan

tertinggi untuk rifampisin (R) dan isoniazid (H)

disusul untuk streptomisin (S) dan etambutol (E).

Sementara itu uji kepekaan M.tuberculosis untuk

pirazinamid (Z) tidak dianjurkan karena tingkat

kepercayaan dan keterulangannya belum terjamin.

Untuk uji kepekaan M.tuberculosis terhadap

OAT lini kedua, aminoglikosida dan fluorokuinolon

mempunyai tingkat kepercayaan dan keterulangan

baik. Data tentang tingkat kepercayaan dan

keterulangan untuk OAT lini kedua yang lain masih

sangat terbatas bahkan ada yang belum dapat

dilakukan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk uji


kepekaan M.tuberculosis:

- Laboratorium yang melakukan diagnosis TB

MDR harus sudah tersertifikasi (quality assured)

oleh laboratorium supra nasional atau oleh

laboratorium rujukan TB nasional (LRN).


Kemahiran dalam melakukan uji kepekaan

M.tuberculosis

merupakan kombinasi antara kemahiran teknis dan

beban kerja. Kemahiran tersebut terpelihara jika

jumlah spesimen yang diperiksa memadai.

- Adanya jejaring laboratorium TB secara nasional

dan juga dengan laboratorium supra nasional.

Tersedianya jejaring laboratorium TB ini untuk

menjamin kemudahan mendapatkan saran atau

masukan tentang rancang bangun laboratorium,

alur dan proses pengerjaan dahak, keamanan

laboratorium, pemeliharaan alat dan pemantapan

mutu eksternal.

- Strategi pelayanan laboratorium untuk mendukung

program pengendalian TB-MDR harus sistematis

dan mempertimbangkan berbagai keterbatasan uji

kepekaan terhadap berbagai OAT lini kedua.

- Uji kepekaan M.tuberculosis harus difokuskan

hanya terhadap obat yang dipakai dalam P2TB

dan pemeriksaannya sudah terpercaya.


- Uji kepekaan M.tuberculosis rutin untuk OAT lini

kedua dilaksanakan secara selektif sesuai

kebijakan PMDT.

- Pada saat ini uji kepekaan M.tuberculosis rutin

terhadap OAT kelompok 4 (etionamid,

protionamid, sikloserin, terizidon, PAS) dan OAT

kelompok 5 (clofazimin, linezolid, amoksilin-

clavulanat, thiozetazon, clarithromisin, imipenem)

belum dianjurkan karena tingkat kepercayaan dan

keterulangannya belum terjamin.

Saat ini pemeriksaan uji kepekaan

M.tuberculosis secara cepat (rapid test) sudah

direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan

sebagai penapisan. Metode yang tersedia adalah :

a. Line probe assay (LPA)

- Pemeriksaan molekuler yang didasarkan pada

PCR Dikenal sebagai Hain test/ Genotype

MDRTB plus.

- Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu


kurang lebih 24 jam.
- Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar dari M.tuberculosis yang resistan

terhadap rifampisin (R) ternyata juga resistan

terhadap isoniazid (H) sehingga tergolong TB-

MDR.

b. Gene Xpert

- Merupakan tes molekuler berbasis PCR.

- Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara

automatis sebagai sarana deteksi TB dan uji

kepekaan untuk rifampisin.

- Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam

waktu kurang lebih 1- 2 jam. Pemanfaatan

hasil tes cepat untuk penetapan diagnosis dan

pengobatan pasien TB MDR disesuaikan

dengan fasilitas yang ada dan keputusan dari

Tim Ahli Klinis (TAK).

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Strategi Diagnosis TB MDR


Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan

M.tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang

tersedia di Indonesia:

a. Metode konvensional

Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/


LJ) atau media cair (MGIT).

b. Tes Cepat (Rapid Test).

Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.

Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang

dilaksanakan adalah pemeriksaan untuk obat

lini pertama dan lini kedua.

2. Prosedur Dasar Diagnostik Untuk Suspek TB MDR

a. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan

M.tuberculosis untuk OAT lini kedua

bersamaan dengan OAT lini pertama.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk kasus pasien

TB kronis dan pasien TB yang mempunyai

riwayat pengobatan TB Non DOTS Suspek TB

yang mempunyai riwayat kontak erat dengan

kasus TB XDR konfirmasi.


b. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis

untuk OAT lini kedua setelah terbukti

menderita TB MDR.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk kasus pasien

TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi,

pasien pengobatan kategori 1 yang gagal,

pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak

konversi setelah pemberian sisipan, pasien

kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2,

pasien yang berobat kembali setelah lalai

berobat/default, kategori 1 dan kategori 2,

suspek TB yang mempunyai riwayat kontak

erat dengan pasien TB MDR, pasien koinfeksi

TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian

OAT.

c. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis

untuk OAT lini kedua atas indikasi khusus.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk kasus setiap

pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau

setelah bulan ke empat pengobatan

menggunakan paduan obat standar yang


digunakan pada pengobatan TB MDR dan

pasien yang mengalami rekonversi biakan

menjadi positif kembali setelah pengobatan TB

MDR bulan ke empat.

Sambil menunggu hasil uji kepekaan

M.tuberculosis di laboratorium rujukan TB

MDR, maka suspek TB MDR akan tetap

meneruskan pengobatan sesuai dengan

pedoman penanggulangan TB Nasional di

tempat asal rujukan, kecuali pada kasus kronik,

pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek

TB MDR tersebut akan diberikan penyuluhan

tentang pengendalian infeksi. Kesalahan

laboratorium seperti kesalahan pemberian

identifikasi (label) dan kontaminasi silang

diantara spesimen dapat mengakibatkan hasil

positif palsu atau negatif palsu. Mengacu

kepada semua tersebut di atas, hasil

pemeriksaan laboratorium harus selalu

dikaitkan dengan kondisi klinis pasien;

bilamana perlu pemeriksaan laboratorium

dapat diulang (Kemenkes RI, 2013).


Gambar 2.2 Alur Standard
Diagnosis TB MDR
Diagnosis banding
Diagnosis banding pasien dengan TB MDR sesuai
dengan diagnosis banding pada infeksi tuberkulosis umumnya
antara lain infeksi paru aktinomikosis, blastomikosis, infeksi jamur
pada paru, bronkiektasis, histoplasmosis, abses paru. Pada pasien
dengan usia tua penyakit ini sering menyerupai gejala pada non
small cell lung cancer.

Penatalaksanaan Komprehensif
Pengobatan Pasien TB MDR

Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB


MDR mengacu kepada
strategi DOTS.

a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB

MDR dipastikan dapat mengakses pengobatan TB

MDR yang baku dan bermutu.

b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan

standar yang mengandung OAT lini kedua. Paduan

OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi

perubahan hasil uji kepekaan M.tuberculosis

dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka


sebelum memulai pengobatan

harus dilakukan persiapan awal. Pada persiapan awal


yang dilakukan adalah

melakukan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk


mengetahui data awal

berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung dan


elekrolit. Jenis pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis

pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat

(Kemenkes RI, 2011A).

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:


a. Pemeriksaan fisik

1) Anamnesa ulang untuk memastikan

kemungkinan adanya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat

penyakit terdahulu seperti sakit kuning

(hepatitis), diabetes mellitus, gangguan ginjal,

gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai

gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer)

dll.

2) Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat

badan, fungsi penglihatan, pendengaran, tanda-

tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan

dengan pemeriksaan sebelumnya saat pasien

berstatus sebagai suspek TB MDR.

b. Pemeriksaan kejiwaan

Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum

pengobatan TB MDR dimulai, hal ini berguna untuk

menetapkan strategi konseling yang harus

dilaksanakan sebelum, selama dan setelah pengobatan

pasien selesai.

c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji
kepekaan M.tuberculosis

2) Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk

kadar hemoglobin (Hb), jumlah lekosit

3) Pemeriksaan kimia darah; Faal ginjal: ureum,

kreatinin, Faal hati: SGOT, SGPT, Serum

kalium, Asam Urat, Gula Darah

4) Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid


stimulating hormon (TSH)
5) Tes kehamilan

6) Foto dada/ toraks

7) Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri)

8) Pemeriksaan EKG

9) Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

10) PMO untuk pasien TB MDR haruslah seorang


petugas kesehatan terlatih

2.1.5 Tahap Pengobatan TB MDR

1. Tahap awal

Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan

menggunakan obat suntikan (kanamisin atau

kapreomisin) yang diberikan sekurangkurangnya


selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi

konversi biakan.

a. Tahap rawat inap di Rumah Sakit

TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau

tidak. Bila memang diperlukan, rawat inap

akan dilaksanakan maksimal 2 minggu

dengan tujuan untuk mengamati efek samping

obat dan KIE yang intensif. Pada pasien yang

menjalani rawat inap, TAK menenentuan

kelayakan rawat jalan berdasarkan:

- Tidak ditemukan efek samping

pengobatan atau efek samping yang

terjadi dapat ditangani dengan baik.

- Keadaan umum pasien cukup baik.

- Pasien sudah mengetahui cara minum

obat dan jadwal suntikan sesuai dengan

pedoman pengobatan TB MDR.

Sebelum pasien memulai rawat jalan, TAK

menetapkan fasyankes untuk meneruskan

pengobatan. Bila rawat jalan akan

dilaksanakan di fasyankes satelit/sub rujukan


TB MDR dan membuat surat pengantar ke

fasyankes tujuan.

b. Tahap rawat jalan

Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat

minum diberikan oleh petugas kesehatan di

hadapan Pengawas Menelan Obat (PMO)

kepada pasien. Pada tahap rawat jalan obat oral

ditelan dihadapan petugas kesehatan/ kader

kesehatan yang berfungsi sebagai PMO.

1. Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7

hari seminggu (Senin s/d Minggu)

Suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu

(Senin sd Jumat). Pasien menelan obat di

hadapan petugas kesehatan/PMO.

2. Seminggu sekali pasien diupayakan

bertemu dokter di fasyankes untuk

berkonsultasi dan pemeriksaan fisik.

3. Pasien yang diobati di fasyankes satelit

akan berkonsultasi dengan dokter di

fasilitas rujukan minimal sekali dalam

sebulan (jadwal kedatangan disesuaikan


dengan jadwal pemeriksaan dahak atau

pemeriksaan laboratorium lain).

4. Dokter fasyankes satelit memastikan:

- Pasien dirujuk ke fasyankes rujukan TB

MDR untuk pemeriksaan dahak follow

up sekali setiap bulan. Tim Ahli Klinis

fasyankes rujukan TB MDR akan

mengirim sampel dahak ke laboratorium

rujukan. Pasien

mungkin juga dirujuk ke laboratorium

penunjang untuk pemeriksaan rutin lain

yang diperlukan.

- Upayakan agar spesimen dahak atau

pemeriksaan lain diambil di poli TB

MDR untuk lebih mempermudah pasien

dan mengurangi risiko penularan.

- Mencatat perjalanan penyakit pasien

dan melaporkan kepada TAK di

fasyankes rujukan TB MDR bila ada

keadaan/kejadian khusus.

2. Tahap lanjutan
1) Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah

selesai pengobatan tahap awal dan pemberian

suntikan dihentikan.

2) Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali


setiap bulan.

3) Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan

mengunjungi fasyankes Rujukan TB MDR

setiap 2 bulan untuk berkonsultasi dengan

dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan

dahak dan biakan).

4) Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum

obat setiap hari di bawah pengawasan petugas

kesehatan yang bertindak sebagai PMO.

5) Indikasi perpanjangan pengobatan sampai

dengan 24 bulan berdasarkan adanya kasus

kronik dengan kerusakan paru yang luas.

Terapi Farmakologi
Pengobatan TB RO

Jenis OAT untuk Pengobatan TB MDR dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1. Pembagian Kelompok dan Golongan OAT untuk TB RO


Grup Golongan Jenis Obat

A Florokuinolon • Lefofoloksasin (Lfx)

• Moksiflosasin (Nfx)

• Gatifloksasin (Gfx)

B OAT suntik • Kanamisin (Km)

lini kedua • Amikasin (Am)*

• Kapreomisin (Cm)

• Streptomisin (S)**

C AOT oral lini • Etionamid Eto) • Terizidon (Trd)*

kedua • Protionamid (Pto)* • Clofazimin (Cfz)

• Sikloserin (Cs) • Linczolid (Lzd)

A D1 OAT lini • Pirazinamid (Z)


D pertama • Etambutol (E)

D
• Isoniazid (H) dosis

tinggi
O

N D2 OAT baru • Bedaquiline (Bdg)

• Delamanid (Dlm)*
A

D3 OAT •Asam para • Amoksilin clavulanat


G

E tambahan aminosalisilat (PAS) (Amx-Clv)


N • Imipenem-silastatin • Thioasetazon (T)*

T (Ipm)*

S
• Meropenem (Mpm)*

Panduan Pengobatan TB MDR di Indonesia dapat dibagi dalam


dua kategori yaitu :

- Rejimen Standar
Rejimen TB RO standar (20-26 bulan)

Catatan : Ethambutol diberikan bila masih sensitif dari hasil


pemeriksaan resistensi obat / Drug Sensitivity Test (DST)

Rejimen TB RO standar jangka pendek / shorter regiment (9-11 bulan)

- Rejimen Individual

OAT individual untuk pasien TB MDR yang resisten atau alergi


terhadap fluorokuinolon tetapi sensitif terhadap OAT lini kedua (Pre
XDR) Pasien Baru :

Pasien Pengobatan Ulang :

OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi


terhadap OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap
fluorokuinolon (Pre-XDR) Pasien Baru:
Pasien Pengobatan Ulang :
c. Paduan OAT individual untuk pasien TB XDR

Komplikasi dan Prognosis

TB MDR adalah komplikasi dari penyakit TB yang tidak diobati dengan tepat.
Sementara itu, komplikasi TB MDR mungkin terjadi akibat efek samping obat
fluoroquinolone yang meliputi: 

 Sinusitis
 Bronkitis
 Infeksi saluran kemih 

Prognosis Multi drug resistant tuberculosis (TB MDR) adalah kurang baik karena tingginya
risiko komplikasi, relaps, dan kematian.
Prognosis

Kasus TB MDR ini merupakan kasus yang dapat mengancam nyawa karena dapat
menurunkan fungsi sistem pernapasan. Berdasarkan sebuah studi, dikatakan bahwa angka
kesembuhan tanpa relaps hanya mencapai 31%.

Hasil akhir pengobatan kategori IV

 Sembuh ; pengobatan lengkap, kultur negatif minimal 5 kali berturut-turut à


sampel yang diambil minimal 30 hari sebelum12 bulan akhir pengobatan

atau

Jika hanya 1 kultur positif selama waktu itu dan tidak ada perburukan klinik , pantau kultur
negatif minimal 3 X berturut-turutàdari sampel yang diambil minimal 30 hari sebelum 12 bulan
akhir pengobatan

 Lengkap à pengobatan lengkap sesuai program sedikitnya 5 kultur


dikerjakan pada 12 bulan akhir pengobatan

HASIL akhir pengobatan MDR TB


 Gagal ; jika 2 atau lebih dari 5 hasil kultur à

pada 12 bulan akhir pengobatan masih positif

atau

satu dari 3 kultur pada akhir pengobatan masih positif

 Putus berobat ; terputus selama 2 bulanatau lebih berturut-turut

 Pindah ; pasien kat IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil
akhir pengobatan belum diketahui
Angka keberhasilan pengobatan tergantung kepada seberapa cepat kasus TB resistan obat ini teridentifikasi
dan ketersediaan pengobatan yang efektif. TBC resitan obat dan TBC MDR dapat disembuhkan, meskipun
membutuhkan waktu sekitar 18-24 bulan. Harga obat TBC lini kedua jauh lebih mahal (± 100 kali lipat
dibandingkan pengobatan TBC biasa) dan penanganannya lebih sulit. Selain paduan pengobatannya yang
rumit, jumlah obatnya lebih banyak dan efek samping yang disebabkan juga lebih berat.

Anda mungkin juga menyukai