Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS MULTIDRUG RESISTANT TUBERCULOSIS

(MDR-TB)

Oleh:
CICIK RAHAYU
NIM.G0A019008

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2022
ANALISIS MULTIDRUG RESISTANT TUBERCULOSIS
(MDR-TB)

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular kronis yang


masih menjadi prioritas utama kesehatan di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis atau lebih sering disebut dengan nama Basil
Tahan Asam (BTA), Penularan antar manusia biasanya melalui percikan droplet
pada saat batuk, bersin ataupun bicara. Bakteri ini mempunyai kemampuan
menginfeksi parenkim paru sehingga menyebabkan TB paru, dan menginfeksi
organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan
organ ekstra paru lainnya. Menurut World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa penyakit Tuberkulosis Paru (TB) saat ini telah menjadi
ancaman global, karena hampir sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi.
Sebanyak 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. TB merupakan penyebab kematian nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan peringkat ketiga dari 10 penyakit
pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan 100.000 kematian setiap
tahunnya. Tingginya insidens dan prevalens TB terutama kasus TB BTA positif
merupakan ancaman penularan TB yang serius di masyarakat, karena sumber
penularan TB adalah penderita TB BTA positif. (A Dwi Sarwani; Nurlaela, Sri,
2012)

Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam
bulan berturut-turut tanpa henti. Kedisiplinan pasien dalam menjalankan
pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal
serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat.
Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu
akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten
sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Beberapa faktor yang
harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, seperti
lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat,
daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi penderita yang tidak kalah
pentingnya. Pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai dengan standar DOTS
juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan multi terhadap obat anti TB
yang memunculkan jenis kuman TB yang lebih kuat, yang dikenal dengan Multi
Drug Resistant (MDR-TB). Pengobatan MDR-TB membutuhkan biaya yang lebih
mahal dan waktu yang lebih lama dengan keberhasilan pengobatan yang belum
pasti. MDR-TB merupakan permasalahan utama di dunia. Banyak faktor yang
memberikan kontribusi terhadap resistensi obat pada negara berkembang
termasuk ketidaktahuan penderita tentang penyakitnya, kepatuhan penderita
buruk, pemberian monoterapi atau regimen obat yang tidak efektif, dosis tidak
adekuat, instruksi yang buruk, keteraturan berobat yang rendah, motivasi
penderita kurang, suplai obat yang tidak teratur, bioavailibity yang buruk dan
kualitas obat memberikan kontribusi terjadinya resistensi obat sekunder.(Restinia
et al., 2021)

Faktor risiko lain untuk terjadinya MDR–TB adalah infeksi HIV, sosial
ekonomi, jenis kelamin, kelompok umur, merokok, konsumsi alkohol, diabetes,
pasien TB paru dari daerah lain (pasien rujukan), dosis obat yang tidak tepat
sebelumya dan pengobatan terdahulu dengan suntikan dan fluoroquinolon (Balaji
et al., 2010). Sumber lain menyebutkan bahwa faktor risiko MDR-TB adalah jenis
kelamin perempuan, usia muda, sering bepergian, lingkungan rumah yang kotor,
konsumsi alkohol dan merokok serta kapasitas paru-paru.(Restinia et al., 2021)

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB MDR yang


menjalani pengobatan MDR paduan jangka pendek (Short-term Regimen) sejak
tahun 2018 yakni sebanyak 342 pasien. Adapun sampel dalam penelitian ini yakni
sebanyak 114 pasien yang diperoleh dengan teknik purposive sampling. Adapun
kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang Form TB 01 MDR tidak
ditemukan atau rusak dan sudah tidak bisa terbaca. Pengumpulan data sekunder
dengan menggunakan form penelitian yang mengikuti Form TB 01 MDR dari
Kementerian Kesehatan RI. Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini yakni
karakteristik responden (nama, umur, jenis kelamin, status parut BCG), Tipe
pasien, riwayat pengobatan sebelumnya, status konversi, status diabetes mellitus,
berat badan, tinggi badan, dan status IMT. Data yang telah diperoleh kemudian
diolah secara deskriptif menggunakan SPSS untuk mendapatkan gambaran pasien
TB MDR di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2019.(Dwiastuti & Djano,
2020)

Tabel 1 menunjukkan distribusi pasien TB MDR berdasarkan karakteristik


pasien diantaranya ratarata umur pasien adalah 43,4 tahun (SD= ±15,2). Dari 113
pasien TB MDR diketahui terdapat sebanyak 60,2% laki-laki dan 39,8%
perempuan. Status parut BCG merupakan salah satu variabel yang terdapat di
dalam form 01 TB MDR, dari 80 pasien TB MDR terdapat 48,8% pasien yang
memiliki tanda jelas pada parut BCG, 43,8% yang tidak ada parut BCG dan
terdapat 7,5% yang memiliki tanda parut BCG meragukan. Sedangkan dari 114
pasien diketahui terdapat 80,7% pasien yang memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya dan 44,7% merupakan pasien yang kambuh. Berdasarkan tabel 2
diketahui distribusi pasien TB MDR berdasarkan status konversi, status diabetes
mellitus dan status gizi. Dari 43 pasien terdapat sebanyak 89,6% yang mengalami
konversi sputum. Dari 109 pasien terdapat 27,5% pasien yang positif menderita
diabetes mellitus. Dan terdapat sebanyak 62,2% pasien yang status gizinya kurus.
Penelitian ini menemukan bahwa rata-rata umur pasien TB MDR adalah 43,4
(±15,2) tahun. Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang serupa yakni
penelitian Reviono dkk (2014) menemukan TB MDR lebih banyak terjadi pada
pasien yang berumur >41 tahun. Usia produktif memiliki risiko lebih besar
mengalami kejadian TB MDR disebabkan karena lebih banyak beraktivitas selain
itu kemungkinan lain disebabkan pengobatan yang tidak tepat atau tidak lengkap
di masa lalu. (Dwiastuti & Djano, 2020)

Variabel jenis kelamin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor risiko TB
MDR dalam beberapa penelitian. Sebagian besar pasien TB MDR dalam
penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 60,2% (68 pasien dari 113 pasien).
Penelitian Feleke M, dkk di Ethiopia menemukan sebanyak 64,5% pasien TB
MDR adalah laki-laki (Mekonnen et al., 2015). Laki-laki memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi untuk tidak mematuhi pengobatan anti-TB dibandingkan
perempuan, sehingga meningkatkan risiko TB MDR. Pada penelitian ini juga
mendapatkan hasil terkait status parut BCG yakni terdapat sebanyak 43,8% pasien
yang tidak memiliki parut BCG dan 48,8% memiliki tanda yang jelas pada parut
BCG. Penelitian yang dilakukan oleh Putri P, dkk menemukan adanya hubungan
antara riwayat BCG dengan kejadian TB MDR (Pamungkas, Rahardjo and Murti,
2018). Karena vaksin BCG dapat menurunkan risiko TB. Peluang kejadian TB
MDR lebih besar pada pasien TB MDR yang telah memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya. Pada penelitian ini diketahui terdapat 80,7% yang memiliki riwayat
pengobatan sebelumnya dan terdapat sebanyak 44,7% merupakan pasien yang
kambuh. Dalam penelitian Muluken D, dkk mengidentifikasi bahwa riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan penentu utama dalam kejadian TB MDR.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata umur responden yakni 43,4
tahun; terdapat sebanyak 60,2% pasien laki-laki dan 39,8% pasien perempuan;
sebagian besar tipe pasien adalah kambuh sebanyak 44,7% dan 80,7% adalah
pasien yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. Terdapat sebanyak 27,5%
pasien yang positif menderita DM; pasien yang memiliki status gizi kurus terdapat
sebanyak 62,2% dan hanya 89,6% pasien yang mengalami konversi sputum.
(Dwiastuti & Djano, 2020)

Identifikasi faktor resiko penyebab MDR-TB dibagi menjadi 3 kelompok


yaitu karakteristik responden, riwayat TB dan pengobatan serta komorbiditas.
Faktor resiko dinilai signifikan jika terdapat perbedaan signifikan antara
kelompok kontrol dan kasus menggunakan uji Chi Square. Faktor karakteristik
responden yang diidentifikasi memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian
MDR TB adalah akses ke fasilitas kesehatan, dukungan keluarga, pengetahuan
dan usia produktif. Jarak rumah dengan fasilitas kesehatan juga merupakan faktor
yang perlu dipertimbangkan karena dapat menyebabkan resiko terjadinya MDR-
TB. Responden yang menempuh jarak lebih dari 5 km mengalami banyak
hambatan untuk dapat rutin kontrol berobat. Nurdin (2020) juga melaporkan
bahwa jarak rumah yang jauh mempengaruhi kepatuhan pengobatan sehingga
meningkatkan resikon terjadinya MDR TB. Dalam hal ini, pasien TB perlu
dipertimbangkan mendapatkan fasilitas kesehatan tingkat satu seperti
PUSKESMAS atau klinik yang terdekat dari tempat tinggal. (Restinia et al., 2021)

Menurut Muhammad & Fadli (2019) responden yang tidak mendapatkan


dukungan keluarga memiliki faktor resiko 5 kali terjadinya MDR TB
dibandingkan responden yang mendapatkan dukungan keluarga. Adanya
dukungan keluarga dapat meningkatkan harapan dan kualitas hidup responden.
Responden dengan dukungan keluarga mampu stabil secara psikologis, sosial dan
fisik.

Deshmukh et al., (2017) menyimpulkan bahwa dukungan keluarga


merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien MDR TB dan
juga menentukan tingkat keberhasilan pengobatan. Pengetahuan responden
terhadap penyakit tuberkulosis yang dideritanya juga merupakan faktor resiko
terjadinya MDR-TB. Responden yang kurang memahami TB dan pengobatannya
3,124 kali beresiko terjadinya MDR TB. Pasien TB perlu diberikan edukasi yamg
komprehensif terhadap obat dan pengobatannya. Edukasi yang diberikan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat. Usia produktif memiliki
resiko lebih tinggi terhadap MDR TB.

Hasil studi yang dilakukan oleh Triandari dan Rahayu (2018)


menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan resiko MDR. Pasien
usia muda lebih sensitif terhadap obat dibandingkan pasien dengan usia lanjut.
Workicho et al., (2017) juga mendapatkan hasil yang sama bahwa usia merupakan
faktor resiko terjadinya MDR TB dimana pasien dengan usia dibawah 30 tahun
lebih beresiko dibandingkan dengan usia di atas 30 tahun. Pasien TB
mendapatkan pengobatan intensif selama 6 bulan. Salah satu faktor penentu
keberhasilan adalah kepatuhan. Terdapat 7 dari 9 artikel yang dianalisa pada studi
ini menyebutkan bahwa kepatuhan pasien minum obat sangat berpengaruh
terhadap munculnya MDR-TB. Responden yang tidak patuh minum obat memiliki
resiko terjadinya MDR TB 16 kali dibandingkan responden yang teratur minum
obat. Salah satu tahapan terpenting dalam pengobatan TB adalah kepatuhan
minum obat. TB yang merupakan salah satu penyakit infeksi dan diterapi dengan
antibiotik. Pasien yang tidak teratur minum antibiotik sangat beresiko terjadinya
resistensi bakteri MTB terhadap antibiotik yang digunakan. Upaya dalam
meningkatkan kepatuhan pasien sangat diperlukan dalam mencegah jumlah kasus
MDR TB. Pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB memiliki resiko lebih
tinggi terhadap kejadian MDR TB. Terdapat 4 dari 9 artikel menyebutkan bahwa
responden yang memiliki riwayat pengobatan TB lebih beresiko terjadinya
resistensi obat.

Janan (2019) menyebutkan bahwa responden yang memiliki riwayat


pengobatan TB sebelumnya lebih beresiko putus obat dan resistensi dibandingkan
dengan kelompok tanpa riwayat pengobatan TB. Studi yang dilakukan di Brazil
juga menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan riwayan pengobatan TB 18,98
kali lebih beresiko terjadinya MDR. Studi lainnya yang dilakukan di Bhutan juga
menunjukkan bahwa pasien TB dengan riwayat pengobatan memiliki resiko 5,9
kali. Hasil sistematik review yang dilakukan oleh Pradipta et al., (2018) terhadap
hasil studi di beberapa negara memperoleh hasil bahwa faktor resiko penyebab
MDR TB adalah adanya riwayat penyakit dan pengobatan TB, usia, tidak bekerja,
tidak memiliki asuransi kesehatan, adanya efek samping obat, tidak patuh adanya
penyakit penyerta seperti HIV, DM, Penyakit Paru Obstuktif Kronis, adanya
Riwayat kontak dengan pasien TB Pengawas minum obat sangat diperlukan
dalam pengobatan TB. Hasil studi yang dilakukan oleh Muhammad & Fadli
(2019) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara keaktifan
pengawas minum obat dalam memantau pasien terhadap resiko terjadinya MDR
TB. Triandari (2018) juga memperoleh hasil yang sama pasien dengan pengawas
minum obat yang tidak aktif beresiko 5,636 kali mengalami MDR TB. Pengawas
Menelan Obat adalah salah satu faktor keberhasilan program DOTS (Directly
Observed Therapy Short-course) dan keberhasilan terapi karena mempengaruhi
kepatuhan minum obat sehingga penderita rajin dan termotivasi untuk meminum
obat. Seorang PMO sebaiknya dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan, maupun pasien.
PMO adalah seseorang yang tinggal dekat rumah atau satu rumah dengan
penderita TB sehingga dapat memantau dan memastikan obat benar-benar ditelan
oleh penderita TB. TB diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik sehingga
munculnya efek samping obat juga perlu diamati. Studi yang dilakukan oleh
Alyensi (2017) menemukan bahwa terjadinya TB MDR lebih banyak pada
kelompok yang mengalami efek samping obat. Pasien cenderung menghentikan
pengobatan ketika muncul efek samping obat dan meningkatkan resiko terjadinya
MDR TB. Hal ini juga mendasari perlu adanya pengawasan minum obat bagi
pasien TB. PMO tidak selalu harus tenaga kesehatan tetapi dapat juga keluarga
terdekat. Suatu studi di Surakarta, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara
implementasi program pengawas minum obat dengan kejadin MDR TB.
Ketepatan dosis, frekuensi dan durasi antibiotik yang digunakan dalam terapi TB
juga menentukan keberhasilan terapi. Studi yang dilakukan oleh Janan (2019)
menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan pengobatan tidak sesuai dengan
dosis pengobatan beresiko 5,3 kali terjadinya MDR TB dibandingkan dengan
responden yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan ketentuan program.
Analisa sistematik review yang dilakukan menunjukkan bahwa pasien dengan
DM memiliki resiko lebih tinggi terhadap kejadian DM dibandingkan kelompok
non DM (Nurdin, 2020). Pasien DM memiliki imunitas tubuh lebih rendah
sehingga resiko penyebaran infeksi TB lebih cepat. Menurut Maranatha (2010)
terdapat perubahan kurva disosiasi oksigen akibat hiperglikemia pada pasien DM
mengakibatkan kegagalan sistem imunitas tubuh dalam melawan infeksi TB.
Pasien TB dengan DM juga ditemukan peradangan yang lebih luas pada paru-paru
pasien. (Restinia et al., 2021)

Faktor riwayat TB dan pengobatan merupakan faktor resiko utama untuk


terjadinya MDR-TB. Pasien dengan usia produktif, tanpa ada dukungan keluarga,
pengetahuan TB yang terbatas, jarak rumah jauh dari fasilitas kesehatan, tidak
patuh minum obat, memiliki riwayat pengobatan TB, pengawas minum obat tidak
aktif, adanya efek samping obat, kesesuaian dosis dan penyakit DM harus
diberikan edukasi yang lebih komprehensif dan dimonitor secara lebih hati-hati
selama pengobatan TB untuk menghindari terjadinya MDR-TB.(Dwiastuti &
Djano, 2020)

DAFTAR PUSTAKA

A Dwi Sarwani; Nurlaela, Sri, I. Z. S. R. (2012). Faktor risiko Multidrag


RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat,
8(Vol 8, No 1 (2012)), 60–66.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/2260

Dwiastuti, I., & Djano, N. A. R. (2020). Studi Deskriptif Pasien Tb Mdr Di


Sulawesi Selatan. An-Nadaa: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(2).
https://doi.org/10.31602/ann.v6i2.2678

Restinia, M., Khairani, S., & Manninda, R. (2021). Faktor Resiko Penyebab
Multidrug Resistant Tuberkulosis: Sistematik Review. Pharmaceutical and
Biomedical Sciences Journal (PBSJ), 3(1), 9–16.
https://doi.org/10.15408/pbsj.v3i1.20049

Anda mungkin juga menyukai