Anda di halaman 1dari 17

PENGABDIAN MASYARAKAT PESISIR

“PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR


DENGAN KONSEP FAMILY FARMING UNTUK
PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING DI
KABUPATEN KONAWE SELATAN”

LAPORAN NUTRIPRENEUR
ZYUR (SAYUR GEN Z) BERANTAS STUNTING

OLEH:
J1B119012 NUR
HAERATI
J1B119026 ASWINDA
DARWIS

PROGRAM STUDI GIZI UNIVERSITAS HALU OLEO

ASOSIASI INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI GIZI


INDONESIA

2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di negara berkembang stunting menjadi masalah kesehatan


masyarakat yang serius dan prevalensinya tetap tinggi. Stunting
disebabkan kekurangan asupan gizi dalam waktu lama pada
masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang merupakan masa
kritis.Balita setelah diukur panjang atau tinggi badan menurut
umurnya, bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-
scorenya kurang dari - 2SD dikategorikan pendek, dan
dikategorikan sangat pendek jika nilai z-score nya kurang dari -
3SD. (Kementerian Kesehatan RI, 2016)

Secara global, pada tahun 2011 lebih dari 25% jumlah


anak yang berumur dibawah lima tahun yaitu sekitar 165 jutaan
anak mengalami stunting, sedangkan untuk tingkat Asia, pada
tahun 2005-2011 Indonesia menduduki peringkat kelima
prevalensi stunting tertinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
untuk skala nasional, prevalensi anak balita stunting di Indonesia
sebesar 37,2%. Menurut WHO, apabila masalah stunting di atas
20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari


beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kemiskinan
termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan lingkungan dan
keseluruhan hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Ada
lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial
dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi,
kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan status gizi kronis
pada anak balita tidak sama antara wilayah perkotaan dan
pedesaan, sehingga upaya penanggulangannya harus disesuaikan
dengan faktor yang mempengaruhi. Sedangkan kondisi stunting
juga memiliki gangguan kesehatan jangka panjang (Setiawan, E,
2018).

Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun


(balita) Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari
sepertiga atau sekitar 8,8juta balita mengalami masalah gizi
dimana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya.
Prevalensi stunting balita Indonesia ini terbesar kedua di
kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai
43,8%.Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017,
balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka
tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan
19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya
merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak
balita usia 59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.
Guna menekan masalah gizi balita, pemerintah melakukan
gerakan nasional pencegahan stunting dan kerjasama kemitraan
multi sector (Bhutta et al., 2010; UNICEF, 2017).

Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa Provinsi


Sulawesi Tenggara masuk dalam 10 besar angka gizi kurang dari
34 provinsi di Indonesia, salah satunya stunting pada angka
28,7%. Sedangkan berdasarkan hasil Survei Status Gizi
Indonesia 2021 angka stunting naik menjadi 30,2%. Salah satu
Kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara yang masih memiliki
angka stunting yang tinggi yaitu Kabupaten Konawe Selatan
(28,5%). Berdasarkan observasi awal terdapat permasalahan
salah satunya adalah sulitnya masyarakat dalam memperoleh
sayur, karena sayur sulit untuk dibudidayakan di daerah pesisir
seperti di desa Wawatu, yang menjadi pilihan kami berdasarkan
hasil observasi awal. Disisi lain kondisi posyandu kurang
memadai, pemberdayaan kader posyandu masih terbilang
kurang, dan masih minim pengetahuan tentang pengelolaan
pangan laut yang tersedia.
Maka dari itu perlu dilakukan penilaian status gizi
perseorangan atau kelompok yaitu survey konsumsi pangan.
Penilaian konsumsi makanan adalah metode penentuan status
gizi secara langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat yang
dikonsumsi. Tujuan dari penilaian konsumsi makanan adalah
untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat
kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu,
kelompok, dan rumah tangga serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut.
Menurut Supriasa metodde pengukuran konsumsi makanan
untuk individu dibagi menjadi beberapa metode yaitu metode
Food Recal 24 Jam, Metode Estimated Food Records, Metode
Penimbangan Makanan (Food Weighing), Metode Dietary
History, serta Metode Frequency Makanan (Food Frequency).
Pada kegiatan kali ini, untuk mengetahui frequency makan pada
ibu hamil dengan menggunakan Food Frequency Questionere
(FFQ).
Intervensi dan strategi yang benar-benar tepat diperlukan
mengingat tingginya insiden dan tingkat keparahan akibat yang
ditimbulkan oleh stunting. Intervensi spesifik sesuai dengan
karakteristik daerah diharapkan untuk mendukung suksesnya
upaya dan promosi kesehatan. Selain itu juga perlu
mempertimbangkan faktor makanan dan perilaku makan
(Rakotomanana et al, 2017). Pangan merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia. Sebagai kebutuhan pokok, pangan
harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu,
terjangkau, beragam jenis, dan bergizi (Bulkism S., 2021)
Sehingga kegiatan ini dilaksanakan dalam menunjang
pendampingan percepatan penurunan stunting serta
pendampingan di salah satu wilayah pesisir Kabupaten Sulawesi
Tenggara.

1.2 Tujuan dan Luaran

Tujuan dari kegiatan yang dilaksanakan baik kegiatan


wajib ataupun kegiatan tambahan adalah sebagai berikut :

1. Membina masyarakat setempat untuk dapat


melaksanakan konsep Family Farming di lingkungan
keluarganya
2. Memperoleh informasi pola konsumsi pangan pada ibu
hamil dengan menggunakan FFQ.

Adapun luaran kegiatan yang dirancang dalam proposal ini


memiliki tiga bentuk luaran yaitu:
1. Laporan akhir kegiatan

2. Berbagai foto kegiatan serta posting di media sosial


dengan me-mention media sosial AIPGI
3. Log book pelaksanaan kegiatan

1.3 Manfaat
1. Terbinanya masyarakat dalam melaksanakan konsep family farming
2. Adanya data penilaian konsumsi pangan pada ibu hamil sebagai acuan
pada konsep family farming
BAB II
PERMASALAHAN DESA DAN SOLUSI YANG DI TAWARKAN
2.1 Gambaran Umum Lokasi

Gambar 1.Foto Desa Wawatu (1)


Gambar 2. Foto Desa Wawatu (2)

Lokasi kegiatan akan dilaksanakan di desa wawatu, kecamatan


moramo utara kabupaten konawe selatan pada tahun 2022. Desa Wawatu
terletak sekitar 24 km dari Ibu kota Provinsi Sultra dengan jarak tempuh
kurang lebih 1 jam perjalanan. Desa Wawatu memiliki luas wilayah 22,50
km2, dengan tanah perkebunan seluas 426 ha, hutan lindung 78 ha, hutan
produksi seluas 160 ha dan terdapat lahan terlantar seluas 87 ha. Jumlah
peduduk di Desa Wawatu adalah 1.518 orang, kepala keluarga berjumlah
363 KK dengan rata-rata Suku Tolaki 55,4% dan Suku Bajo 25,4%,
sisanya suku Bugis, Muna dan Jawa. Sebagian besar penduduk Desa
Wawatu bermata pencaharian sebagai petani 623 orang (48,04%) dan
nelayan 212 orang (19,6 %), dan lainnya berkerja di tambang, PNS dan
swasta.
2.2 Permasalahan Desa

Letak Geografis masyarakat yang berada dipesisir mengakibatkan tanaman


jangka pendek seperti sayuran sulit untuk tumbuh dengan baik, hal ini berdampak
pada konsumsi pangan sayur dimasyarakat kurang . Pra sarana serta fasilitas
seperti adanya pasar juga belum memenuhi konsumsi pangan dikarenakan harga
yang ditawarkan di masyarakat cukup tinggi dan tidak begitu banyak, sehingga
masyarakat pesisir lebih memilih untuk jarang mengonsumsi sayur sayuran.
Selain karena letak geografisnya, masyarakat juga lebih cenderung sebagai
masyarakat yang konsumtif sehingga mengandalkan terhadap apa yang dijual saja
dan hasil laut yang didapatkan para suami hasil nelayan.

2.3 Solusi yang ditawarkan

1. Melakukan penilaian status gizi yaitu penilaian konsumsi pangan dengan


menggunakan FFQ pada masyarakat untuk mengetahui seberapa besar
dampak dari kurang konsumsi pangan sayur
Edukasi dan sosialisasi terkait program family farming pada masyarakat.
BAB III
METODE PELAKSANAAN
PENILAIAN KONSUMSI PANGAN

3.1 Waktu dan tempat


Kegiatan penilaian konsumsi pangan dengan menggunakan FFQ ini
dilakukan di desa Wawatu, Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe
Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini dilaksanakan pada Maret
sampai bulan agustus 2022
3.2 Sasaran
Sasaran dalam kegiatan ini adalah ibu-ibu hamil yang bertempat
tinggal di desa wawatu.
3.3 Alur Pelaksanaan Program

Diagram alur tata laksana program


Studi
pendahuluan

Pembuatan
kuisioner

Interview
langsung

Menghitung skor

Gambar 3. Diagram Alir Tata Laksana Program

1. Studi pendahuluan
Pengukuran yang sistematis pada metode FFQ maupun semi FFQ adalah diawali
dengan studi pendahuluan. Studi pendahuluan bertujuan untuk mengidentifikasi
bahan makanan yang akan dimasukkan dalam daftar FFQ maupun Semi FFQ. Daftar
bahan makanan disesuaikan dengan besarnya korelasi dengan risiko paparan
konsumsi dan timbulnya penyakit. Penyakit yang dimaksudkan adalah penyakit yang
terbukti berhubungan dengan risiko gizi salah. Makanan yang tidak ada kaitannya
dengan risiko gizi salah (malnutrition) sebaikan dihapus dalam daftar FFQ maupun
semi FFQ.
2. Pembuatan kuisioner
Setelah melakukan studi pendahuluan maka di susunlah daftar bahan
makanan yang telah di pilih. Daftar bahan makanan atau minumann diperoelh
dari hasil studi pendahuluan. Pada pembuatan kuisioner maka dibuatkan
kelompok bahan makanan dimulai dari kelompok bahan makanan pokok,
lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah. Selain itu, terdapat 6 kategori
untuk frekuensi makanan-makanan yang tersedia : 3 kali sehari, 1 kali sehari,
3-6 kali seminggu, 1-2 kali /minggu, 2 kali sebulan, dan tidak pernah.
3. Interview langsung
Interview atau wawancara adalah kegiatan tanya-jawab secara lisan untuk
memperoleh informasi. Wawancara langsung dilakukan dengan menemui
secara langsung orang yang memiliki informasi dibutuhkan.
1) Prosedur wawancara
a. Alat dan bahan wawancara :
a) Kuisioner
b) Alat tulis
c) Formulir wawancara/kuisioner FFQ
b. Langkah-langkah metode FFQ :
a) Responden diminta untuk memberikan tanda pada daftar
makanan yang tersedia pada kuisioner mengenai frekuensi
penggunaannya.
b) Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis
bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan
sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.
4. Pemberian skor konsumsi pangan
Metode ini adalah metode yang didasarkan pada skor konsumsi bukan pada
jumlah yang dikonsumsi. Penekanan pada jenis makanan lebih penting karena ingin
mengukur keragaman. Jika skor konsumsi tinggi berarti makanan yang dikonsumsi
beragam.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
1. Responden 1 : Ibu Fitriani

Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 780.


2. Responden 2 : Ibu Hasnawati

Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 520.

3. Responden : Ibu Iren


Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 355.

4. Responden : Ibu Manda

Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 475.

5. Responden : Ibu Linda


Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 430.

6. Responden : Ibu Mulyani

Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 340.

7. Responden : Ibu Nurliana


Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 685.

8. Responden : Ibu Reren

Hasil repaitulasi skor penilaian FFQ adalah 535.

9. Responden : Ibu Sarwati


Hasil rekapitulasi skor penilaian FFQ adalah 480.

10. Responden : Ibu Taning

Hasil Rekapitulasi skor Penilaian FFQ adalah 340.

4.2 Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai