Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SURVEILANS GIZI

Diajukan sebagai Tugas dalam Mata Kuliah


SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

Dosen Pengampu:
Dr. dr. Wulan P.J. Kaunang, GradDip. M.Kes, DK

Disusun Oleh:
Juan J. Rumondor (NIM. 222021110020)
Sendy W. Lumanauw (NIM. 222021110027)
Grace O. Munaiseche (NIM. 222021110058)
Mouren Mananohas (NIM. 222021110039)

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena hanya karena hikmat dan
penyertaanNya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Surveilans Epidemiologi dengan judul
“Surveilans Gizi” yang dipelajari pada semester II ini khususnya di Pascasarjana
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Peminatan Epidemiologi Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Selesainya penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik itu bantuan berupa materi maupun dorongan spiritual. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah
membantu dalam penyusunan makalah ini dalam aspek apa pun.
Kiranya penulisan ini dapat bermanfaat dan berkenan di hati Dosen Pengajar
dan teman-teman sekalian. Saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kemajuan penulisan selanjutnya.

Manado, 20 Mei 2023


Penyusun,

Kelompok 3

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................2
BAB I ........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Pembelajaran ................................................................................2
1.3. Tujuan Pembelajaran ....................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................3
2.1. Surveilans Gizi .........................................................................................3
2.2. Sejarah Pelaksanaan Surveilans Gizi ..........................................................5
2.3. Kebijakan Program Gizi ............................................................................7
2.4. Masalah Terkait Gizi di Indonesia..............................................................8
2.5. Langkah Pelaksanaan Surveilans Gizi ........................................................9
2.6. Indikator Surveilans Gizi......................................................................... 16
BAB III.................................................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini, Indonesia masih berjuang dalam menghadapi masalah gizi.
Permasalahan tentang gizi buruk yang masih tinggi yang bersamaan dengan
meningkatnya angka obesitas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset
Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2018, prevalensi atau kejadian stunting di
Indonesia sebesar 30,8% dan wasting (kurus) pada balita sebesar 10,2%.
Meskipun demikian, angka stunting telah mengalami penurunan dari 37,2%
pada Riskesdas 2013 menuju 30,8% di tahun 2018. Penurunan yang terjadi,
dinilai belum terlalu signifikan oleh karena angka ini masih dianggap tinggi
mengingat WHO menetapkan batas prevalensi atau angka kejadian gizi
buruk di angka 20%, serta penuntasan stunting termasuk dalam salah satu
target capaian dalam Sustainable Development Goals (SDGs) pada poin
yang ke dua, yaitu ‘Zero Hunger’ atau tidak ada kelaparan yang ditargetkan
bisa teratasi pada tahun 2030 nanti. Selain permasalahan Stunting dan Gizi
buruk, Obesitas juga menjadi salah satu masalah gizi. Diperoleh data bahwa
obesitas pada orang dewasa mengalami kenaikkan prevalensi dari 14,8%
pada tahun 2013 meningkat menjadi 21,8% di tahun 2018. Kemudian
prevalensi berat badan berlebih juga meningkat dari 11,5% pada tahun 2013
menjadi 13,6% pada tahun 2018.
Masa pandemi yang menjangkiti dunia terlebih khusus Indonesia,
menyebabkan ada begitu banyak perubahan pada aspek kehidupan, baik itu
terkait aspek ekonomi, kesehatan, sosial bahkan sampai dengan Pendidikan.
Kesulitan dalam mendapatkan sumber penghasilan mengakibatka n
keterbatasan masyarakat dalam mengakses makanan yang sehat. Peralihan
sistem pekerjaan dari bekerja di kantor menjadi Work From Home (WFH)
juga mengakibatkan kurangnya aktivitas fisik masyarakat dan peningkata n
dalam mengkonsumsi makana siap saji/instant yang biasanya jika
dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan sakit.

1
Surveilans gizi sebagai salah satu cara dalam mengamati masalah
dan program gizi secara terus menerus baik dalam situasi normal maupun
pada saat kejadian darurat, akan sangat berguna dalam mendapatkan
informasi keadaan gizi pada masyarakat secara tepat, akurat dan
berkelanjutan. Dengan adanya surveilans gizi ini maka dapat meningkatka n
efektifitas dari pelaksanaan program dalam upaya perbaikan dan pembinaan
masalah gizi yang terjadi akhir-akhir ini.

1.2. Rumusan Pembelajaran


1. Bagaimana pengertian, prinsip dasar dan tujuan surveilans gizi?
2. Bagaimana sejarah pelaksanaan surveilans gizi?
3. Bagaiman kebijakan program gizi di Indonesia?
4. Bagaiamanakah masalah terkait gizi di Indonesia.
5. Bagaimana langkah-langkah dari pelaksanaan surveilans gizi?
6. Bagaimana indikator pada surveilans gizi?

1.3. Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan pengertian, prinsip dasar dan tujuan surveilans gizi.
2. Menjelaskan sejarah pelaksanaan surveilans gizi.
3. Menjelaskan kebijakan program gizi di Indonesia.
4. Bagaiamanakah masalah terkait gizi di Indonesia.
5. Menjelaskan langkah-langkah dari pelaksanaan surveilans gizi.
6. Menjelaskan indikator pada surveilans gizi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Surveilans Gizi


2.1.1. Pengertian Surveilans Gizi
Surveilans memiliki arti “mengamati tentang sesuatu”. Dalam
bidang kesehatan memiliki arti yang luas sebagai upaya memonitor ing
kesehatan secara ketat di masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar
perencanaan, monitoring, dan evaluasi intervensi kesehatan masyarakat.
Surveilans gizi adalah proses pengamatan masalah dan program gizi
secara teratur dan terus menerus baik situasi normal maupun darurat yang
meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis dan pengkajian data secara
sistematis serta penyebarluasan informasi untuk mengambilan tindakan
sebagai respon segera dan terencana.
Berdasarkan WHO (World Health Oragnization) surveila ns Gizi
merupakan pengamatan yang secara rutin dan sistematis terhadap masalah
gizi serta faktor risiko yang menyebabkan, agar dpaat dilakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses analisis
informasi dari kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan
interpretasi data serta distribusi informasi.
Menurut Kementerian Kesehatan (2010), surveilans Gizi merupakan
kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah
gizi buruk dan indikator pembinaan gizi masyarakat agar dapat melakuka n
tindakan penanggulangan secara efektif, efisien dan tepat waktu melalui
proses pengumpulan data, pengolahan, penyebaran informasi kepada
penyelenggara program kesehatan dan tindak lanjut sebagai respon
terhadap perkembangan informasi.

2.1.2. Prinsip Dasar Surveilans Gizi


1) Tersedianya informasi gizi secara terus menerus dan teratur.
2) Proses analisis/kajian perkembangan informasi gizi: status gizi balita,
distribusi kapsul vitamin A pada balita dan distribusi tablet Fe3.

3
3) Proses penyebarluasan informasi hasil analisis atau kajian
perkembangan untuk menentukan tindakan yang diperlukan.
4) Tindakan kongkrit sebagai respon terhadap perkembangan data status
gizi balita, distribusi vitamin A balita dan distribusi Fe3.

2.1.3. Tujuan Surveilans Gizi


1) Untuk memberikan gambaran perubahan pencapaian kinerja
pembinaan gizi masyarakat dan indikator khsuus lainnya yang
diperlukan secara cepat, akurat, dan berkelanjutan dalam rangka
pengambilan tindakan segera, perencanaan jangka pendek dan
menengah serta perumusan kebijakan
2) Memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respon pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Pada hakekatnya tujuan surveilans gizi adalah memandu interve ns i
kesehatan, karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat
menentukan desain dan implementasi sistem surveilans
3) Mendapat informasi tentang masalah kesehatan meliputi gambaran
masalah kesehatan menurut waktu, tempat dan orang, diketahuinya
determinan, faktor risiko dan penyebab langsung terjadinya masalah
kesehatan tersebut
4) Untuk memonitor kecenderungan (trends) penyakit, mendeteksi
perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
penyakit, memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban
penyakit pada populasi, menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi
program kesehatan, mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan, mengidentifikasi kebutuhan riset.

2.1.4. Ruang Lingkup dan Sasaran Surveilans Gizi


Ruang lingkup dari surveilans Gizi adalah kegiatan pengumpula n
data dari laporan rutin atau survei khusus, pengobatan dan diseminas i

4
hasilnya yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau
tindakan cepat, perumusan kebijakan, perencanaan kegiatan dan evaluas i
hasil kegiatan. Dalam pentunjuk pelaksanaan ini ruang lingkup surveila ns
kesehatan gizi mencakup pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi
masyarakat dan data terkait lainnya diseluruh kabupaten, kota dan
provinsi.

2.2. Sejarah Pelaksanaan Surveilans Gizi


Surveilans Gizi pada awalnya dikembangkan untuk mampu memprediks i
situasi pangan dan gizi secara teratur dan terus-menerus sehingga setiap perubahan
situasi dapat dideteksi lebih awal (dini) untuk segera dilakukan tindakan
pencegahan. Sistem tersebut dikenal dengan Sistem Isyarat Tepat Waktu untuk
Intervensi atau dalam bahasa Inggris disebut Timely Warning Information and
Intervention System (TWIIS), yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sistem
Isyarat Dini untuk Intervensi (SIDI).
Pada periode 1986-1990 SIDI dikembangkan di beberapa provinsi dan pada
periode 1990-1997 berkembang mencakup aspek yang lebih luas, dengan
pertimbangan bahwa masalah gizi dapat terjadi setiap saat tidak hanya diakibatkan
oleh kegagalan produksi pertanian. Sistem yang dikembangkan ini disebut Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang kegiatannya meliputi: SIDI,
Pemantauan Status Gizi, dan Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Pada periode
1990-an kegiatan SKPG sudah ada di seluruh provinsi, tetapi pamornya memudar.
Akhirnya, pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensi pada tahun 1998
dilakukan upaya revitalisasi sehingga SKPG meliputi: (1) pemetaan situasi pangan
dan gizi tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional, (2) memperkirakan situasi
pangan dan gizi di tingkat kecamatan, (3) pemantauan status gizi kelompok rentan
serta kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Pemantauan Konsumsi Gizi
(PKG), dan (4) Surveilans Gizi Buruk.
Pada awal millennium ketiga (tahun 2000-an) Kementerian Kesehatan
melalui Direktorat Bina Gizi, lebih memfokuskan pada Surveilans Gizi yang pada
saat itu lebih ditujukan untuk penanganan masalah balita gizi buruk. Saat ini
masalah gizi (“malnutrition”) bukan hanya masalah kekurangan gizi

5
(“undernutrition”) tetapi sudah terjadi juga masalah kelebihan gizi (“overnutritio n”)
atau dikenal dengan istilah masalah gizi ganda (“double burden”).
Apabila surveilans gizi terhadap akar masalah maupun indikator-indikato r
yang terkait penyebab masalah gizi dilaksanakan secara terus-menerus dan berkala,
maka potensi masalah akan lebih cepat diketahui, dan upaya
penanggulanganmasalah gizi dapat dilakukan lebih dini, sehingga dampak yang
lebih buruk dapat dicegah. Surveilans gizi sangat berguna untuk mendapatkan
informasi keadaan gizi masyarakat secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjuta n,
yang dapat digunakan untuk menetapkan kebijakan gizi. Informasi yang digunakan
mencakup indikator pencapaian gizi masyarakat serta informasi lain yang belum
tersedia dari laporan rutin. Adanya surveilans gizi akan dapat meningkatka n
efektivitas kegiatan pembinaan gizi dan perbaikan masalah gizi masyarakat yang
tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jenis tindakannya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyebutkan bahwa salah satu kewajiban
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten dan Kota adalah melaksanakan
surveilans. Oleh karena itu Dinas Kesehatan kabupaten/Kota dan Puskesmas selaku
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
wajib melaksanakan surveilans gizi.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 141
menyebutkan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkata n
mutu gizi perseorangan dan masyarakat melalui perbaikan pola konsumsi makanan
yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan
kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan
kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG). Surveilans gizi merupakan bagian dari SKPG.

6
2.3. Kebijakan Program Gizi
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan
dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku
(misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasila n),
kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungk in
memperoleh hasil yang diinginkan. Kebijakan dapat pula merujuk pada proses
pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikas i
dari masalah yang ditemukan dan berujung pada prioritas penetapan masalah
dan alternative program penanggulangannya. Kebijakan juga dapat diartikan
sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Bina Gizi, pada awalnya lebih
memfokuskan Surveilans Gizi untuk penanganan masalah gizi buruk yang masih
banyak dijumpai di masyarakat. Kegiatan yang banyak dilakukan adalah investigas i
kasus balita gizi buruk dan sering disebut “pelacakan gizi buruk”. Pada
perkembangan selanjutnya surveilans gizi mencakup beberapa aspek yang dipantau
yaitu aspek input, proses, output dan outcome program gizi. Strategi operasional
surveilans gizi adalah sebagai berikut:
1) Melaksanakan surveilans gizi rutin.
2) Melaksanakan surveilans gizi khusus.
3) Melaksanakan surveilans gizi darurat/bencana
4) Mengintegrasikan surveilen gizi dengan surveilans penyakit.
Dalam pelaksanaan surveilans gizi, beberapa hal yang perlu diperhatika n
dengan seksama, sebagai berikut:
1) Pengumpulan data gizi dan faktor terkait secara terus-menerus dan
teratur.
2) Analisis data tentang keadaan gizi masyarakat.
3) Menyajikan hasil analisis data dalam forum lintas sektor terkait sesuai
dengan kondisi dan situasi birokrasi wilayah.

7
4) Diseminasi informasi.

2.4. Masalah Terkait Gizi di Indonesia


Masalah gizi di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Pertama
adalah Masalah yang telah dapat dikendalikan, kedua adalah maslah gizi yang
belum selesai dan yang ketiga adalah maslah baru yang mengancam kesehatan
masyarakat.
1) Masalah gizi yang telah dapat dikendalikan. Masalah gizi yang
termasuk kelompok ini adalah:
a. Kurang Vitamin A (KVA).
b. Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), dan Anemia gizi besi
pada anak usia 2-5 tahun.
2) Masalah Gizi yang belum selesai (un-finished agenda), antara lain:
a. Balita pendek, dimana Balita Gizi Kurang Prevalensi Balita
Pendek tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, yang
ditunjukkan oleh hasil Riskesdas tahun 2007, 2010 dan 2013.
b. Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk. Gizi buruk adalah keadaan
tubuh yang sangat parah akibat mengalami kekurangan zat gizi
dalam kurun waktu yang lama atau kronis, dan juga disebabkan
oleh infeksi penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan
terganggunya proses pencernaan makanan.
3) Masalah baru yang mengancam kesehatan masyarakat (emerging
problem), yaitu:
a. Kegemukan Usia Balita. Prevalensi balita gemuk hasil Riskesdas
tahun 2001, 2010 dan 2013 menunjukkan angka 12,2%, 14,0%
dan 11,9%. Angka ini sudah jauh di atas prevalensi balita kurus
(7,4%; 7,3% dan 6,8%) maupun balita gizi buruk (5,4%; 4,9%
dan 5,7%).
b. Kegemukan Usia sekolah (5 – 12 tahun)
Pada kelompok anak usia sekolah (5 – 12 tahun), prevalensi anak
gemuk kelompok perempuan tahun 2013 sebesar 10,7% dan
prevalensi anak obesitas sebesar 6,6%, sehingga total prevalens i

8
anak usia sekolah kegemukan sebesar 17,3%. Pada kelompok
laki-laki, angka ini lebih besar, yaitu 10,8% dan 9,7%, sehingga
prevalensi kegemukan anak laki-laki sebesar 20,5%. Kegemukan
akan menjadi faktor risiko yang dapat memicu timbulnya
gangguan metabolik dan timbulnya penyakit degeneratif sebagai
dampaknya pada usia selanjutnya.

2.5. Langkah Pelaksanaan Surveilans Gizi


Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi ditujukan kepada seluruh kelompok
umur dalam siklus kehidupan, yaitu Anak Sekolah dan Remaja, WUS (Wanita Usia
Subur), Ibu Hamil, Ibu Nifas, Ibu Menyusui, Bayi, Balita, Dewasa, dan Lanjut Usia.
Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi dilakukan mulai dari Posyandu, Puskesmas,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Tahapan Surveilans Gizi meliputi
pengumpulan, pengolahan, analisis data dan diseminasi informasi serta
pemanfaatan data.
1) Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi di Posyandu
Kegiatan Surveilans Gizi di Posyandu dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas dengan melibatkan kader dalam pengumpulan, pengolahan dan
analisis data serta diseminasi.
a. Pengumpulan Data
 Pencatatan hasil pelayanan di Posyandu melalui format yang tersedia
yang disepakati oleh masing- masing daerah.
 Pengisian data pada Buku KIA sesuai dengan pelayanan yang
dilakukan seperti catatan kesehatan ibu hamil, catatan penimbanga n,
pengukuran panjang badan/tinggi badan, catatan imunisasi, catatan
pemberian vitamin A, catatan nasehat pemenuhan gizi (IMD, ASI
Eksklusif, PMBA) dan pemberian penyakit, catatan penyakit dan
masalah pertumbuhan perkembangan.
 Dapat melakukan entry data hasil penimbangan kedalam aplikasi
ePPGBM sesuai buku pedoman. Elektronik Pencatatan dan Pelaporan
Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM) ePPGBM adalah modul yang
digunakan untuk mencatat data individu sasaran yang bersumber dari

9
Posyandu secara elektronik. Variabel yang diinput atau dimasukan ke
dalam ePPGBM berupa data identitas, data penimbangan dan
pengukuran serta data kinerja program seperti IMD, ASI Eksklusif,
Vitamin A, Tablet Tambah Darah dan konsumsi makanan tambahan.
b. Pengolahan dan Analisis Data
 Rekapitulasi data hasil penimbangan yang meliputi data jumlah
sasaran balita (S), jumlah balita mempunyai buku KIA/KMS (K),
jumlah balita ditimbang (D), jumlah balita naik berat badannya (N),
jumlah balita baru (B) dan balita yang tidak ditimbang bulan lalu (O)
serta balita yang tidak naik berat badannya (2T).
 Rekapitulasi data hasil pengukuran tinggi badan/panjang badan.
Dalam upaya early warning, kader dapat dilatih untuk menguk ur
tinggi badan/panjang badan. Bila ada kelainan, dirujuk ke tenaga
kesehatan.
 Rekapitulasi hasil pelayanan gizi lainnya (balita mendapat vitamin A,
ibu hamil mendapat TTD) dan perkembangan balita.
 Menyediakan informasi kegiatan lain seperti pemberian makanan
tambahan pada balita dan ibu hamil.
 Membuat rekapan SKDN hasil penimbangan setiap bulan.
c. Diseminasi
 Menyampaikan hasil kegiatan di Posyandu kepada kepala desa
tembusan kepada kepala Puskesmas.
 Diseminasi hasil surveilans gizi pada Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Desa.
Setelah dilakukan tahapan pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Posyandu,
selanjutnya dapat dilakukan tindak lanjut antara lain:
a. Bersama tokoh masyarakat desa mengupayakan agar masyarakat mau
berpartisipasi ke Posyandu.
b. Kader wajib merujuk anak balita yang tidak naik berat badannya ke
Puskesmas.
c. Kader melakukan kunjungan rumah (sweeping) ke rumah tangga balita
yang tidak hadir di Posyandu untuk menimbang sekaligus mengedukas i

10
ibu balita tentang pentingnya melakukan pemantauan pertumbuhan setiap
bulan dan pemantauan perkembangan setiap 3 atau 6 bulan (sesuai umur
balita); serta melakukan investigasi kondisi keluarga tersebut didampingi
oleh bidan di desa atau tenaga kesehatan Puskesmas.
2) Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi di Puskesmas
a. Pengumpulan Data
 Pencatatan hasil pelayanan gizi di wilayah kerja Puskesmas (dalam
dan luar gedung).
 Rekapitulasi hasil penimbangan, pengukuran panjang badan/tinggi
badan dan data lain (IMD, ASI Eksklusif, Vitamin A, TTD ibu
hamil, TTD rematri) dari desa/kelurahan.
 Memastikan ketersediaan suplementasi gizi.
 Sinkronisasi data dengan pengelola Program Indonesia Sehat
Pendekatan Keluarga (PIS-PK) dan pengelola data program lain di
puskesmas.
 Melakukan entry data hasil penimbangan dan pengukuran kedalam
aplikasi ePPGBM sesuai buku pedoman
b. Pengolahan dan Analisis Data
 Membuat grafik persentase D/S, K/S, N/D dan 2T/D menurut
desa/kelurahan setiap bulan
 Melakukan analisis data indikator kinerja gizi dengan
menghubungkan indikator yang saling terkait, baik antar indikator
gizi maupun indikator gizi dengan indikator program lain yang
menjadi faktor risiko terjadinya masalah gizi seperti kejadian diare,
campak dan kecacingan yang disajikan dengan membandingka n
antar waktu dan antar tempat menurut desa/kelurahan.
 Melakukan konfirmasi data hasil kegiatan Posyandu/desa.
c. Diseminasi
 Kepala Puskesmas melakukan advokasi/umpan balik hasil surveila ns
gizi kepada kepala desa/lurah/kepala distrik, serta melaporkan ke
kepala dinas kesehatan.

11
 Kepala Puskesmas menyampaikan analisis hasil Surveilans Gizi
kepada kepala desa/lurah dan camat melalui lokakarya mini triwula n
serta pada Musrenbang kecamatan, sebagai kesimpulan hasil
lokakarya mini bulanan.
Setelah dilakukan tahapan pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Puskesmas,
selanjutnya dapat dilakukan tindak lanjut antara lain:
a. Pengelola gizi melakukan koordinasi dengan program lain, bidan di desa,
kader dan aparat desa untuk:
 Meningkatkan partisipasi masyarakat ke Posyandu
 Pemenuhan suplementasi gizi di Posyandu/desa
 Pendampingan pada wilayah dengan D/S dan N/D rendah
 Edukasi gizi
b. Pengelola Program Gizi melakukan tindakan/respon cepat pada kasus
rujukan balita tidak naik berat badannya atau balita yang mempunya i
gejala klinis gizi buruk hasil laporan dari posyandu maupun masyarakat
sesuai tugas pokok dan kemampuan puskesmas.
c. Melakukan penyelidikan epidemiologis apabila ditemukan balita dengan
kasus gizi buruk.
d. Pengelola gizi melaporkan hasil Surveilans Gizi kepada kepala Puskesmas
dan pengelola program lainnya.
e. Puskesmas dibawah koordinasi camat/lurah melakukan intervensi di
posyandu/desa/kelurahan, untuk menanggulangi masalah yang ditemuka n
berdasarkan analisis data Surveilans Gizi.
f. Perumusan kembali/penyesuaian kebijakan program yang sedang berjalan,
diarahkan kepada upaya penanggulangan masalah yang ditemukan.
g. Membuat perencanaan intervensi untuk tahun anggaran berikutnya
berdasarkan hasil Surveilans Gizi, melalui dana desa dan BOK.
h. Melakukan monitoring dan evaluasi Surveilans Gizi berbasis jaringa n
melalui Sigizi Terpadu.

12
3) Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Daerah Kabupaten/Kota
a. Pengumpulan Data
 Rekapitulasi data Surveilans Gizi dari seluruh Puskesmas dan
kecamatan di wilayah kerjanya pada periode waktu tertentu sesuai
tujuan surveilans.
 Melakukan sinkronisasi data dengan pengelola PIS-PK, penanggung
jawab data dan informasi serta penanggungjawab program terkait di
dinas kesehatan.
 Kepala dinas kesehatan melakukan koordinasi dengan lintas sektor
untuk melengkapi data dan informasi terkait dengan masalah, seperti
luas tanam, luas panen, produksi, gagal panen, dan lain-lain.
b. Pengolahan dan Analisis Data
 Melakukan pemetaan situasi gizi untuk melihat gambaran situasi antar
wilayah baik periode bulanan, triwulan, semesteran maupun tahunan,
sehingga dapat menggambarkan besaran masalah gizi di
kabupaten/kota tersebut
 Menganalisis faktor risiko terjadinya masalah gizi seperti prevalensi
diare, campak, ISPA, gagal panen, tingkat kemiskinan, bencana alam,
dan lain-lain.
c. Diseminasi
 Umpan balik kepada Puskesmas.
 Diseminasi hasil Surveilans Gizi pada Musrenbang kabupaten/kota
dan advokasi kepada bupati/walikota.
Setelah dilakukan tahapan pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Daerah
Kabupaten/Kota, selanjutnya dapat dilakukan tindak lanjut antara lain:
a. Berdasarkan hasil analisis data Surveilans Gizi, dinas kesehatan bersama
lintas sektor terkait melakukan intervensi penanggulangan masalah sesuai
dengan rekomendasi yang disepakati.
b. Perumusan kembali/penyesuaian kebijakan program yang sedang berjalan,
diarahkan kepada upaya penanggulangan masalah yang ditemukan.

13
c. Membuat perencanaan intervensi untuk tahun anggaran berikutnya
berdasarkan hasil Surveilans Gizi, melalui dana APBD, BOK, maupun
DAK.
d. Melakukan monitoring dan evaluasi Surveilans Gizi berbasis jaringa n
melalui sigizi terpadu.
4) Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Daerah Provinsi
a. Pengumpulan Data
 Rekapitulasi data Surveilans Gizi dari seluruh dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota pada periode waktu tertentu sesuai tujuan surveilans.
 Melakukan sinkronisasi data dengan pengelola PIS-PK, penanggung
jawab data dan informasi serta penanggungjawab program terkait di
dinas kesehatan.
 Kepala dinas kesehatan melakukan koordinasi dengan lintas sektor
untuk melengkapi data dan informasi terkait dengan masalah, seperti
luas tanam, luas panen, produksi, gagal panen, penghasilan keluarga,
dan lain-lain.
b. Pengolahan dan Analisis Data
 Melakukan pemetaan situasi gizi untuk melihat gambaran situasi antar
wilayah.
 Melakukan analisis hubungan faktor penyebab terutama dengan
sektor lain
 Menganalisis faktor risiko terjadinya masalah gizi seperti prevalensi
diare, campak, ISPA, gagal panen, tingkat kemiskinan, bencana alam,
dan lain-lain.
c. Diseminasi
 Umpan balik kepada Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota dan
Puskesmas.
 Diseminasi hasil surveilans gizi secara berkala kepada lintas sektor
terkait dan melakukan advokasi kepada Gubernur.
Setelah dilakukan tahapan pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Provinsi,
selanjutnya dapat dilakukan tindak lanjut antara lain:

14
a. Berdasarkan hasil analisis data Surveilans Gizi, dinas kesehatan bersama
lintas sektor terkait melakukan intervensi penanggulangan masalah sesuai
dengan rekomendasi yang disepakati.
b. Perumusan kembali/penyesuaian kebijakan program yang sedang berjalan,
diarahkan kepada upaya penanggulangan masalah yang ditemukan.
c. Membuat perencanaan intervensi untuk tahun anggaran berikutnya
berdasarkan hasil surveilans gizi, melalui dana APBD, dana dekonsentrasi,
atau anggaran lain yang tersedia.
d. Melakukan monitoring dan evaluasi Surveilans Gizi berbasis jaringa n
melalui Sigizi Terpadu.
5) Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Pusat
a. Pengumpulan Data
 Kompilasi dan tabulasi data laporan Surveilans Gizi dari seluruh
provinsi.
 Melakukan sinkronisasi data dengan pengelola PIS-PK, lintas
program terkait, serta Pusat Data dan Informasi Kesehatan.
 Melakukan koordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan dan
Kementerian/Lembaga terkait untuk mengetahui determinan masalah
yang ditemukan (luas tanam, gagal panen, tingkat pendapatan,
pendidikan, dan lain-lain).
b. Pengolahan dan Analisis Data
 Mengkaji permasalahan gizi di seluruh kabupaten/kota.
 Memetakan situasi gizi nasional.
 Menganalisis determinan masalah gizi di daerah.
 Melakukan pengolahan dan analisis data dalam bentuk tabel, grafik
dan peta untuk menggambarkan besaran masalah gizi.
 Melakukan analisis hubungan antara indikator Surveilans Gizi dengan
indikator lain di luar kesehatan.
 Melakukan sinkronisasi data dengan pengelola program lain dan Pusat
Data dan Informasi (Pusdatin)

15
c. Diseminasi
 Melakukan umpan balik pencapaian kinerja surveilans gizi kepada
lintas sektor tingkat provinsi dan melakukan advokasi kepada
pimpinan daerah.
 Melakukan diseminasi hasil surveilans gizi secara reguler kepada
sektor terkait untuk pencegahan timbulnya masalah baru.
Setelah dilakukan tahapan pelaksanaan teknis Surveilans Gizi di Pusat,
selanjutnya dapat dilakukan tindak lanjut antara lain:
a. Berdasarkan hasil analisis data Surveilans Gizi, Kementerian Kesehatan
bersama lintas sektor terkait melakukan intervensi penanggulanga n
masalah sesuai dengan rekomendasi yang disepakati.
b. Membuat perencanaan intervensi berdasarkan hasil Surveilans Gizi, untuk
tahun anggaran berikutnya melalui sumber dana yang tersedia.

2.6. Indikator Surveilans Gizi


Penyelengaraan surveilans gizi secara teknis dilaksanakan dengan berbasis
indikator masalah gizi dan kinerja program gizi, serta indikator lain berupa faktor
risiko yang mempengaruhi masalah gizi dan kinerja program gizi.
2.6.1. Indikator Masalah Gizi
a. Persentase balita berat badan kurang (underweight);
Berat Badan Kurang merupakan masalah gizi yang bersifat umum
dapat disebabkan karena masalah kronis ataupun akut, sehingga perlu
konfirmasi lebih lanjut. Masalah Berat Badan Kurang yang terjadi
lama akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak.
b. Persentase balita pendek (stunting);
Balita Pendek merupakan masalah gizi yang bersifat kronis yang
disebabkan oleh banyak faktor baik dari masalah kesehatan maupun
di luar kesehatan dan berlangsung lama. Balita Pendek berdampak
pada gangguan kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif
pada usia dewasa.

16
c. Persentase balita gizi kurang (wasting);
Gizi kurang merupakan masalah gizi yang bersifat akut terutama
disebabkan oleh asupan yang kurang atau penyakit infeksi. Gizi
kurang berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak.
d. Persentase remaja putri anemia;
Anemia pada remaja putri berdampak buruk terhadap penurunan
imunitas, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran dan produktivitas.
Dampak yang lebih serius akan terjadi karena mereka adalah calon ibu
yang akan hamil dan melahirkan bayi yang berisiko terhadap kematian
ibu melahirkan dan bayi lahir prematur serta BBLR.
e. Persentase ibu hamil anemia;
Anemia pada ibu hamil menjadi salah satu penyebab terjadinya bayi
BBLR dan pendarahan pada saat persalinan yang berujung pada
kematian ibu.
f. Persentase ibu hamil risiko Kurang Energi Kronik (KEK);
Kurang Energi Kronik adalah kurangnya asupan energi yang
berlangsung relatif lama. Keadaan KEK pada ibu hamil jika tidak
segera ditangani akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi ibu dan
janin yang dilahirkan seperti keguguran, bayi BBLR bahkan kematian
g. Persentase Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (berat badan kurang
dari 2500 gram).
Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan salah
satu faktor determinan terjadinya masalah pendek.
2.6.2. Indikator Kinerja Program Gizi
a. Cakupan bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif;
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki banyak manfaat
bagi bayi dan ibu. Indikator ini bertujuan untuk mengetahui
penurunan persentase ASI Eksklusif berdasarkan kelompok umur
sehingga dapat merencanakan edukasi gizi pada saat yang tepat bagi
ibu hamil dan menyusui.

17
b. Cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif;
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif mengamanatkan bahwa setiap ibu yang
melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang
dilahirkannya selama enam bulan pertama agar mencapai
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal,
selanjutnya, mereka harus memberi makanan pendamping yang
bergizi dan terus menyusui hingga bayi berusia dua tahun atau lebih
c. Cakupan ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah TTD
minimal 90 tablet selama masa kehamilan;
Pemberian TTD merupakan satu intervensi untuk mencegah
terjadinya anemia pada ibu selama proses kehamilan. Sebaiknya ibu
hamil mulai mengonsumsi TTD sejak konsepsi sampai akhir trimester
III
d. Cakupan ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang mendapat
makanan tambahan;
Ibu hamil di Indonesia masih mengalami defisit asupan energi dan
protein. Berdasarkan hal tersebut pemberian makanan tambahan bagi
ibu hamil sangat diperlukan untuk mencegah bayi dengan Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR).
e. Cakupan balita kurus yang mendapat makanan tambahan;
Di banyak negara, kurang dari seperempat anak balita usia 6-23 bulan
dengan frekuensi makan dan kriteria keragaman makanannya sesuai
untuk usianya. Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014
diketahui bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan
energi yang kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang
dianjurkan. Pemberian makanan tambahan khususnya bagi kelompok
rawan merupakan salah satu strategi suplementasi dalam mengatas i
masalah gizi.
f. Cakupan remaja putri (Rematri) mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD) ;

18
Remaja putri anemia akan mengalami gangguan kehamilan jika tidak
segera ditangani. Pemberian TTD pada rematri usia 12-18 tahun
sebagai upaya pencegahan anemia sejak dini. Pemberian TTD rematri
yang diikuti dengan KIE gizi dan kesehatan diharapkan akan
memperbaiki masalah- masalah pada periode berikutnya
g. Cakupan bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD);
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 1 jam setelah kelahiran,
melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengura ngi
angka kematian bayi baru lahir.
h. Cakupan balita yang ditimbang berat badannya (D/S);
Balita yang ditimbang berat badannya menggambarkan tingkat
keberlangsungan pemantauan pertumbuhan sebagai bentuk partisipas i
masyarakat sekaligus menilai kinerja tenaga kesehatan dalam
mengedukasi masyarakat untuk melakukan pemantauan pertumb uha n
i. Cakupan balita mempunyai buku Kesehatan Ibu Anak (KIA)/Kartu
Menuju Sehat (KMS);
KMS digunakan sebagai media untuk merekam pemantauan
pertumbuhan anak. Sebaiknya seluruh balita mempunyai KMS
didalam buku KIA agar dapat terus diikuti pertumbuhannya dari
waktu ke waktu.
j. Cakupan balita ditimbang yang naik berat badannya (N/D);
Pemantauan pertumbuhan yang dilakukan setiap bulan dapat
memberikan gambaran tingkat keberhasilan program dalam kegiatan
upaya perbaikan gizi masyarakat di posyandu melalui infor mas i
persentase balita yang naik berat badannya.
k. Cakupan balita ditimbang yang tidak naik berat badannya dua kali
berturut-turut (2T/D);
Balita yang tidak naik berat badannya selama 2 bulan berturut turut
harus segera dirujuk ke puskesmas untuk mendapat pemeriksaan
lanjut. Setelah diketahui penyebabnya maka tenaga kesehatan akan
memberikan intervensi yang sesuai.

19
l. Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A;
Vitamin A merupakan zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh
dan asupan vitamin A dari makanan sehari-hari umumnya masih
kurang. Kekurangan Vitamin A (KVA) di dalam tubuh yang
berlangsung lama menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang
berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan kematian.
Mempertahankan status vitamin A pada bayi dan anak balita dapat
mengurangi masalah kesehatan masyarakat seperti kecacingan dan
campak.
m. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A;
Ibu nifas membutuhkan vitamin A karena pada saat proses melahirka n
telah kehilangan sejumlah darah sehingga berisiko menga la mi
kekurangan vitamin A. Pemberian vitamin A dapat membantu
menurunkan angka kematian pada ibu dan bayi, mengurangi penyakit
infeksi paska persalinan, mempercepat proses pemulihan dan
mencegah anemia
n. Cakupan rumah tangga mengonsumsi garam beriodium;
Zat iodium berfungsi untuk membantu tubuh memproduksi hormon
tiroid. Hormone tiroid berfungsi mengatur keberlangsungan proses
metabolisme tubuh dan fungsi organ lainnya. Umumnya asupan
makanan sumber iodium di masyarakat masih rendah, sehingga untuk
mencegah defisiensi iodium, WHO menganjurkan fortifikasi pada
garam yang digunakan untuk bumbu masakan di rumah tangga.
o. Cakupan kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan.
Gizi buruk secara langsung disebabkan karena kekurangan asupan dan
adanya penyakit infeksi. Gizi buruk yang berlangsung lama akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak

20
2.6.3. Indikator Keberhasilan Surveilans Gizi
Keberhasilan dalam pelaksanaan teknis surveilans gizi di suatu wilaya h
dapat dipantau dan dievaluasi berdasarkan:
1) Indikator Input.
a. Adanya tenaga manajemen data gizi yang meliputi pengumpul
data dari laporan rutin atau survei khusus, pengolah dan analis
data serta penyaji informasi
b. Tersedianya instrumen pengumpulan dan pengolahan data
c. Tersedianya sarana dan prasarana pengolahan data
d. Tersedianya biaya operasional surveilans gizi
2) Indikator Proses
a. Adanya proses pengumpulan data
b. Adanya proses analisis data
c. Adanya tindakan berdasarkan informasi surveilans (laporan dan
umpan balik, sosialisasi atau advokasi hasil surveilans gizi)
3) Indikator Output
a. Adanya perencanaan berbasis bukti
b. Terlaksananya advokasi kepada pemangku kepentingan

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Surveilans gizi merupakan pengamatan yang secara rutin dan sistematis
terhadap masalah gizi serta faktor risiko yang menyebabkan, agar dpaat dilakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses analis is
informasi dari kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data
serta distribusi informasi. Ruang lingkup dari surveilans Gizi adalah kegiatan
pengumpulan data dari laporan rutin atau survei khusus, pengobatan dan diseminas i
hasilnya yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau tindakan cepat,
perumusan kebijakan, perencanaan kegiatan dan evaluasi hasil kegiatan.
Ruang lingkup dari surveilans Gizi adalah kegiatan pengumpulan data dari laporan
rutin atau survei khusus, pengobatan dan diseminasi hasilnya yang digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan atau tindakan cepat, perumusan kebijakan,
perencanaan kegiatan dan evaluasi hasil kegiatan.
Indikator Masalah Gizi sebagai berikut : Persentase balita berat badan
kurang (underweight), Persentase balita pendek (stunting), Persentase balita gizi
kurang (wasting), Persentase remaja putri anemia, Persentase ibu hamil anemia,
Persentase ibu hamil risiko Kurang Energi Kronik (KEK), Persentase Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) (berat badan kurang dari 2500 gram).

22
DAFTAR PUSTAKA

Ashriady, dkk. 2021. Epidemiologi Gizi.Bandung : Media Sains Indonesia.

Daya Manusia Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber


Daya Manusia Kesehatan Edisi 2017. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Departemen Gizi Kesehatan FKKMK UGM (2022). Annual Scientific Meeting


(ASM) Meningkatkan Peran Ahli Gizi dalam Pencegahan dan Penanganan
Obesitas dan Stunting Melalui Nutripreneurship. Diakses pada 20 Mei 2023,
dari https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/annual-scientific- meeting-as m-
2022-meningkatkan-peran-ahli- gizi-dalam-pencegahan-dan-penanganan-
obesitas-dan-stunting- melalui- nutripreneurship/

Husnah. (2014). Surveilans Gizi. Jurnal Ilmiah UKHUWAH volume 9 No.4 Edisi
Oktober-Desember 2014. Diakses pada 20 Mei 2022, dari
https://rp2u.usk.ac.id/index.php/welcome/prosesDownload/3666/4

Permenkes RI No. 14 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi.

Zulfianto Aria Nils, dkk. 2017. Surveilans Gizi. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber

23

Anda mungkin juga menyukai