Anda di halaman 1dari 42

Mata Kuliah Gizi Darurat

MANAGEMENT OF EMERGENCY SITUATION & MEETING


NUTRITIONAL REQUIREMENT

Oleh:
Kelompok 2

DEVIEKA RHAMA DHANNY (1706093725)


ERNA RAHMAWATI (1706093813)
EVI HERYANTI (1706093832)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terjadinya keadaan darurat baik yang disebabkan oleh alam maupun
buatan manusia telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini yang
mengakibatkan sejumlah besar masyarakat terkena dampak. Keadaan darurat
sering mengakibatkan kekurangan pangan, mengganggu status gizi penduduk, dan
menyebabkan kematian di hampir semua kelompok umur.
Terganggunya status gizi penduduk berupa malnutrisi (baik protein-energi
atau mikronutrien). Defisiensi mikronutrien dapat menyebabkan peningkatan
risiko kematian, morbiditas dan kerentanan terhadap infeksi, kebutaan, kecacatan,
stunting, kapasitas kerja yang rendah, penurunan kapasitas kognitif dan
keterbelakangan mental. Dalam situasi darurat, populasi yang terkena dampak
mungkin mengalami kekurangan mikronutrien endemik, dan sering diperburuk
oleh penurunan status gizi secara umum, terbatasnya akses memperoleh makanan
segar, hilangnya akses memperoleh makanan lokal dan kurangnya keragaman
pangan. Oleh karena itu nutrisi menjadi perhatian utama dari kesehatan
masyarakat dalam manajemen darurat.
Dalam keadaan darurat besar, salah satu tindakan yang paling dibutuhkan
untuk mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi
adalah memastikan penyediaan dan asupan makanan yang cukup. Kebutuhan
energi dan protein dasar adalah perhatian utama, tetapi mikronutrien dan
kebutuhan nutrisi spesifik lainnya juga harus dipenuhi untuk mencegah kebutaan,
kecacatan, dan kematian.
Penilaian kebutuhan gizi penduduk adalah alat manajemen mendasar
untuk menghitung kebutuhan makanan, memantau kecukupan akses dan asupan
makanan, dan memastikan pengadaan makanan yang memadai bagi masyarakat.
Pemantauan asupan makanan di masyarakat yang terkena dampak sangat penting,
salah satunya untuk memungkinkan otoritas nasional untuk menilai kecukupan
distribusi makanan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memahami manajemen keadaan
darurat dan pemenuhan kebutuhan gizi dalam keadaan darurat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mitigation, Preparedness, Response, and Recovery


Mitigasi Gizi/ Kegiatan Gizi pada Fase Pra Bencana
Mitigasi gizi adalah suatu rangkaian kegiatan penanganan gizi bersifat
antisipatif guna mengurangi dan memperkecil risiko bahaya sebelum bencana
terjadi. Dalam prakteknya, langkah-langkah mitigasi cenderung mahal,
mengganggu, memakan waktu, dan tidak menyenangkan secara sosial (Coppola
dan Maloney, 2009). Kegiatan ini merupakan kegiatan gizi dalam penanggulangan
bencana tahap pertama yang dilakukan sebagai antisipasi terjadinya bencana dan
mengurangi dampak risiko bencana (Kemenkes, 2012). Kegiatan umum yang
dilakukan yaitu sosialisasi dan pelatihan petugas dan masyarakat, antara lain
pembinaan dan pendampingan terkait manajemen gizi bencana, penyusunan
rencana kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling MP-ASI,
penyediaan bufferstock MP-ASI, pengumpulan peta wilayah rentan bencana,
pembuatan bangunan tahan gempa, penghijauan hutan, dan penanaman pohon
tembakau guna meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah
rawan gempa (Kemenkes, 2012).
Kegiatan mitigasi gizi adalah sebagai berikut:
1. Analisis dan Pengurangan Risiko Masalah Gizi
Memiliki data yang mencakup jenis, besaran masalah gizi, dan status gizi
pada kelompok rentan yang tinggal di daerah rawan bencana, antara lain bayi,
balita, bumil, ibu menyusui, dan lansia. Sumber data diperoleh melalui surveilens
gizi rutin di Puskesmas Kabupaten/Kota, data Pemantauan Status Gizi, dan
Riskesdas (WHO, 2000). Data tersebut digunakan untuk mengetahui besarnya
risiko masalah gizi yang terjadi pasca bencana agar intervensi dapat dilakukan,
seperti surveilens gizi secara aktif, konseling ASI, konseling PMBA, pemantauan
pertumbuhan, pemberian MP ASI, pemberian kapsul vitamin A, pemberian
makanan bagi balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia (WHO, 2000).
2. Sosialisasi dan Orientasi
Kegiatan sosialisasi dan orientasi yang dilakukan dalam penanganan gizi
pra bencana, berupa pelatihan konseling ASI, MP-ASI, PMBA, dan pemberian
makanan banyak, pembinaan teknis kepada petugas kesehatan dan penyelenggara
makanan yang terlibat pada penanganan gizi pra bencana, dan melakukan simulasi
penanganan gizi bencana sesuai susunan renkon kegiatan gizi (WHO, 2000).
3. Penyiapan Standar Sarana dan Prasarana Kegiatan Gizi
Sarana dan prasarana dalam kegiatan pelayanan gizi, antara lain tenda
laktasi, konseling ASI kit dan PMBA kit, peralatan penyelenggaraan makanan
khusus (Kemenkes, 2012).
PRA BENCANA
(Pengumpulan data awal, Sosialisasi, pelatihan, dan orientasi, Pembinaan teknis,
Rencana kontijensi, Penyiapan standar sarpras)

Siaga Darurat (Kesiapsiagaan):


penyusunan renkon bidang gizi, penyediaan PMT dan Obat Gizi, pergerakan sumber
daya, perencanaan makanan banyak, penyediaan nakes berkompeten, simulasi renkon

Fase I Tanggap Darurat Awal:


Pengkajian cepat/RHA, pemenuhan kebutuhan dasar, penyelenggaraan
makanan banyak, pengumpulan data antropometri balita

Fase II Tanggap Darurat Lanjut :


Analisis hasil pengukuran antropometri dan faktor penyulit

Situasi Serius Situasi Berisiko Situasi Normal

Ransum, PMT PMT untuk kelompok


Tidak ada intervensi
untuk semua rentan kurang gizi terutama
khusus (pelayanan
kelompok untuk balita kurus dan
rutin)
bumil risiko KEK

PASCA BENCANA
Pemantauan dan Evaluasi
Bagan1. Kegiatan Gizi dalam Penanggulangan Bencana
Sumber: Diadopsi dari The Management of Nutrition in Major Emergencies: WHO, 2000. p.75-77
Kesiapsiagaan/ Kegiatan Gizi pada Fase Siaga Darurat
Siklus manajamen bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat,
tanggap darurat, dan transisi darurat (Kemenkes, 2012). Potensi terjadinya
bencana berada pada kategori siaga darurat (kesiapsiagaan) (Gambar 1). Siaga
darurat merupakan suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang ditandai
dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya. Rentang kegiatan yang
merupakan fungsi kesiapan bersifat ekspansif, dan tindakan ini sering menjadi
faktor utama yang menentukan apakah respons tersebut berhasil. Tujuan dari
kesiapan adalah: (1) mengetahui apa yang harus dilakukan setelah bencana; (2)
tahu cara melakukannya; dan (3) dilengkapi dengan alat yang tepat untuk
melakukannya secara efektif. Kesiapsiagaan meminimalkan efek bahaya dari
bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif yang memastikan organisasi
yang tepat waktu, tepat, dan efisien serta pengiriman respons dan tindakan
pemulihan (Coppola dan Maloney, 2009).
Kegiatan penanganan gizi pada situasi siaga darurat disesuaikain oleh
situasi dan kondisi yang ada untuk dapat dilaksanakan kegiatan gizi, seperti pada
tanggap darurat. Perencanaan dan cara merespon pada situasi ini berdasarkan
bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin terjadi (Coppola dan
Maloney, 2009). Penanganan masalah gizi bertujuan untuk meminimalkan risiko
masalah gizi yang terjadi dan pengelolaan sumber daya yang terkait dengan
penanganan gizi (Kemenkes, 2012).
Kegiatan gizi pada tahap siaga darurat adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Rencana Kontinjensi Bidang Gizi
Perencanaan ini melibatkan pihak pemerintah yang rawan bencana,
wirausaha, dan organisasi masyarakat. Rencana kontinjensi terkait penanganan
gizi disusun secara partisipatif oleh lintas sector, mulai dari tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota, juga melibatkan LSM, wirausaha dan masyarakat
yang difasilitasi oleh tim teknis (WHO, 2004).
2. Penyediaan Buffer Stock dan Obat Gizi
Penyediaan Buffer stock makanan tambahan pabrikan, antara lain MP-ASI
(balita 6 sd 59 bulan dengan pemberian maksimal 3 hari pertama bencana terjadi
setelah itu pemberian pangan lokal sesuai PMBA), PMT-AS, PMT-BUMIL (ibu
hamil dengan pemberian maksimal 3 hari pertama bencana terjadi setelah itu
pemberian pangan lokal), Tablet Tambah Darah, Kapsul Vitamin A dan Taburia
melalui Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2012)
3. Penyediaan tenaga kesehatan berkompeten di bidang gizi bencana dan
penggerakan sumber daya
Memfasilitasi tenaga konselor dan motivator gizi untuk melakukan
konseling ASI, MP-ASI, dan PMBA, penyediaan makanan bayi dan anak, dan
membentuk tim pedukung PMBA, antara lain tenaga gizi, dokter, perawat, bidan,
tagana, ibu PKK, kader, dan karang taruna. Maka, perlu adanya pendataan jumlah
konselor dan motivator ASI dan MP-ASI/PMBA, penyediaan konseling Kit
Menyusui, dan penyediaan sarana prasarana (Kemenkes, 2012).
4. Perencanaan Penyelenggaraan Makanan Banyak
Tenaga gizi diharapkan memiliki kemampuan untuk menerjemahkan ke
standar kebutuhan gizi dan standar pengolahan makanan pada menu makanan.
Kegiatan perencanaan situasi siaga darurat antara lain, pembuatan SOP,
pembuatan kebutuhan peralatan, peralatan bahan makanan basah, kering dan air
minum, dan pembuatan kebutuhan tenaga (Kemenkes, 2012).
5. Simulasi Penanganan Gizi Bencana Sesuai Rencana Kontinjensi Kegiatan Gizi
Melakukan simulasi terpadu berdasarkan dokumen perencanaan
kontinjensi kegiatan gizi yang sudah disahkan (WHO, 2005).

Respon/ Kegiatan Gizi pada Fase Tanggap Darurat


Tahap ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Penanggulangan
yang dilakukan bertujuan untuk meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana,
membatasi cedera, korban jiwa, pertolongan korban bencana, dan antisipasi
kerusakan properti dan lingkungan yang terjadi akibat bencana. Fungsi ini
memfasilitasi kembalinya infrastruktur kritis secara cepat, salah satunya
memastikan distribusi makanan dan air bersih untuk memungkinkan pemulihan
terjadi, mengurangi cedera lebih lanjut dan kehilangan nyawa, dan mempercepat
pengembalian ke masyarakat yang berfungsi normal. Proses tanggapan dimulai
segera setelah jelas bahwa peristiwa bahaya sudah dekat dan berlangsung hingga
keadaan darurat dinyatakan selesai. Penanggung jawab diwewenangkan oleh
instansi terhadap jenis bencana yang terjadi (Coppola dan Maloney, 2009).
Kegiatan gizi pada situasi ini, antara lain:
1. Pengkajian Kesehatan Secara Cepat (Rapid Health Assesment)  Rapid
Nutrition Assesment (RNA)
Rapid Asessment merupakan pengukuran yang cepat (kurang dari satu
minggu setelah kejadian) sehingga dapat melakukan tindakan segera. Kelompok
bidang kesehatan melakukan Rapid Health Assessment (RHA) saat bencana terjadi
sehingga memperoleh data perhitungan jumlah korban yang meninggal dunia,
luka parah, luka ringan, sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan
yang akan digunakan sebagai respon dalam suatu kejadian bencana (WHO, 2000
dan WHO, 2004). Berdasarkan hasil RHA, sub klaster gizi dapat mengetahui
jumlah dan lokasi masyarakat kelompok rawan (bayi, balita, ibu hamil, ibu
menyusui, dan lansia) sehingga dapat menentukan jenis pelayanan gizi yang
dibutuhkan (Kemenkes, 2012). RHA bersifat pengkajian detail dan berkelanjutan
selama keadaan darurat (siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat).
Penilaian gizi melalui Rapid Nutrition Assessment (RNA), antara lain data profil
masyarakat terutama kelompok rawan dan anak yang kehilangan keluarga,
kebiasaan masyarakat terkait PMBA termasuk ASI eksklusif, MP-ASI, dan bayi
piatu, keberadaan susu formula, botol dan dot, data ASI eksklusif dan MP-ASI
sebelum bencana, pola asuh dan pola kebiasaan makan Ibu hamil KEK (WHO,
2004).
2. Pemenuhan Kebutuhan Dasar dengan Penyelenggaraan Makanan Banyak
Pemenuhan kebutuhan gizi pengungsi selama di pengungsian agar
terpenuhi kebutuhan gizinya perlu dilakukannya penyelenggaraan makanan.
Kondisi yang terjadi pada fase tanggap darurat awal yaitu korban bencana bisa
atau belum dalam pengungsian sehingga RHA terus berlangsung agar ada
pembaharuan data dan bantuan pangan mulai berdatangan (WHO, 2004).
3. Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan dengan materi
sesuai dengan kondisi saat itu, antara lain konseling menyusui, MP-ASI, PMBA.
4. Memantau perkembangan status gizi balita melalui surveilans gizi.
Kegiatan penanganan gizi pada situasi tanggap darurat dibagi menjadi dua,
yaitu tahap tanggap darurat awal dan tahap tanggap darurat lanjut.
a. Tahap tanggap darurat awal
Kondisi ini dapat dilihat berdasarkan korban bencana bisa dalam
pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat
mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai
berdatangan, dan adanya penyelenggaraan dapur umum apabila diperlukan.
Lamanya fase 1 ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana
yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana (Kemenkes, 2012).
Kegiatan gizi yang dilakukan pada fase I, antara lain:
1. Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat
mempertahankan status gizinya.
2. Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan.
3. Mengumpulkan dan menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
(Kemenkes, 2012).
Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana
mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum adalah
bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan
energi, protein dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktivitas.
Ransum dibedakan dalam bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration).
Dalam perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan garam beriodium
dan minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A (Kemenkes, 2012).
Kegiatan gizi yang dilakukan pada fase II, antara lain:
1. Menghitung kebutuhan gizi
2. Pengololaan penyelenggaraan makanan di dapur umum, meliputi tempat
pengolahan, sumber bahan makanan, petugas pelaksana, penyimpanan bahan
makanan basah, penyimpanan bahan makanan kering, cara mengolah, cara
distribusi, peralatan makan dan pengolahan, tempat pembuangan sampah
sementara, pengawasan penyelenggaraan makanan, mendistribusikan makanan
siap saji, dan pengawasan bantuan bahan makanan (Kemenkes, 2012).
b. Tahap Tanggap Darurat Lanjut
Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap darurat
awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat kedaruratan. Lamanya
tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah
bencana. Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan
pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan
lingkungan, dan keadaan penyakit (Kemenkes, 2012).
Kegiatan gizi yang dilakukan pada tanggap darurat lanjut adalah sebagai
berikut:
1. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health Assessment (RHA).
2. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi
badan, umur), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar Lengan Atas).
3. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-2SD) dan jumlah ibu
hamil dengan risiko KEK (LiLA <23,5 cm).
4. Menganalisa adanya faktor penyulit yaitu masalah gizi terkait dengan penyakit
seperti kejadian campak, demam berdarah, dan lain-lain (Kemenkes, 2012).
5. Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen gizi.
Hasil analisis data antropometri dan faktor penyulit serta tindak lanjut atau
respon yang direkomendasikan, antara lain:
1. Situasi Serius (Serious Situation), jika prevalensi balita kurus ≥15% tanpa
faktor penyulit atau 10- 14,9% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini semua
korban bencana mendapat ransum dan seluruh kelompok rentan terutama balita
dan ibu hamil diberikan makanan tambahan (blanket supplementary feeding).
2. Situasi Berisiko (Risky Situation), jika prevalensi balita kurus 10-14,9% tanpa
faktor penyulit atau 5-9,9% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini kelompok
rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK diberikan
makanan tambahan (targetted supplementary feeding).
3. Situasi Normal, jika prevalensi balita kurus < 10% tanpa faktor penyulit atau <
5% dengan faktor penyulit maka dilakukan penanganan penderita gizi kurang
melalui pelayanan kesehatan rutin.
Apabila ditemukan balita sangat kurus dan atau terdapat tanda klinis gizi
buruk segera dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan untuk mendapat perawatan
sesuai Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Kemenkes, 2012).

Fase Transisi Darurat


Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi dan
rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi darurat sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap
darurat (Kemenkes, 2012).

Recovery/ Kegiatan Gizi Fase Pasca Bencana


Recovery adalah pemulihan kembali setelah bencana terjadi dengan cara
perbaikan, pembangunan kembali, rekonstruksi (mengganti bangunan rusak),
pemulihan, rehabilitasi, restitusi, dan pemulihan (Phillips BD, 2009). Pemulihan
melibatkan perbaikan, rekonstruksi, atau memperoleh kembali apa yang telah
hilang sebagai akibat dari bencana dan, idealnya, pengurangan risiko dari bencana
serupa di masa depan. Fase pemulihan umumnya dimulai setelah respons
langsung telah berakhir, dan dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun sesudahnya. Dalam sistem manajemen darurat yang komprehensif, yang
meliputi tindakan perencanaan pra-bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan, tindakan
pemulihan dapat dimulai sedini selama fase perencanaan, jauh sebelum bencana
terjadi (Coppola dan Maloney, 2009).
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah
melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari surveilans untuk
mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan melaksanakan
kegiatan pembinaan gizi sebagai tindak lanjut atau respon dari informasi yang
diperoleh secara terintegrasi dengan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat
(public health response) untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan
kesehatan korban bencana (Kemenkes, 2012).
Kegiatan gizi pada fase ini yaitu fase berkelanjutan selama masa tanggap
darurat, antara lain:
1. Konseling ASI, MP-ASI, PMBA
2. Berkoordinasi dengan kelompok lain terkait dengan penyelenggaraan makanan
banyak
3. Konseling gizi terkait penyakit
4. Konseling gizi terkait kesehatan lingkungan
5. Mengawasi penerimaan bantuan bahan makanan termasuk bantuan susu
formula dan disimpan di gudang Dinas Kesehatan setempat.
6. Pendampingan terhadap kegiatan penyelenggaraan makanan banyak, jika masih
ada dapur umum.
7. Pengawasan bantuan bahan makanan untuk melindungi korban bencana dari
dampak buruk akibat bantuan tersebut seperti diare, infeksi, keracunan dan lain-
lain, yang meliputi:
- Untuk bantuan bahan makanan produk dalam negeri harus diteliti nomor
registrasi (MD), tanggal kadaluarsa, sertifikasi halal, aturan cara penyiapan dan
target konsumen.
- Jenis-jenis bahan makanan yang diwaspadai termasuk makanan dalam kemasan,
susu formula dan makanan suplemen.
- Tempat penyimpanan bantuan bahan makanan harus dipisah antara bahan
makanan umum dan bahan makanan khusus untuk bayi dan anak.
- Bantuan bahan makanan produk luar negeri harus diteliti nomor registrasi (ML),
bahasa, tanggal kadaluarsa, aturan cara penyiapan dan target konsumen.
Apabila terdapat bantuan makanan yang tidak memenuhi syarat-syarat
seperti yang telah disebutkan di atas, maka petugas harus segera melaporkan
kepada Koordinator Pelaksana (Kemenkes, 2013).
Pemantauan dan evaluasi kegiatan penanganan gizi pada situasi bencana,
dilakukan mulai tahapan sebagai berikut:
1. Pra Bencana.
- Tersedianya pedoman pelaksanaan penanganan gizi dalam situasi bencana.
- Tersedianya rencana kegiatan antisipasi bencana (rencana kontinjensi).
- Terlaksananya sosialisasi dan pelatihan petugas.
- Terlaksananya pembinaan antisipasi bencana.
- Tersedianya data awal daerah bencana.
2. Tanggap Darurat Awal dan Tanggap Darurat Lanjut
- Tersedianya data sasaran hasil RHA.
- Tersedianya standar ransum di daerah bencana.
- Tersedianya daftar menu makanan di daerah bencana.
- Terlaksananya pengumpulan data antropometri balita (BB/U, BB/TB dan TB/U).
- Terlaksananya pengumpulan data antropometri ibu hamil dan ibu menyusui
(LiLA).
- Terlaksananya konseling menyusui.
- Terlaksananya konseling MP-ASI.
- Tersedianya makanan tambahan atau MP-ASI di daerah bencana.
- Tersedianya kapsul vitamin A di daerah bencana.
- Terlaksananya pemantauan bantuan pangan dan susu formula.
3. Pasca Bencana
- Terlaksananya pembinaan teknis pasca bencana.
- Terlaksananya pengumpulan data perkembangan status gizi korban bencana.
- Terlaksananya analisis kebutuhan (need assessment) kegiatan gizi pasca bencana
(Kemenkes., 2012).

2.2 Administration of Distribution Centres, Camps & Logistic


Administration of Distribution Centres, Camps
Semua yang bertanggung jawab atas manajemen harus memiliki karakter
yang terdengar dan kuat untuk menahan tekanan yang mungkin datang dari
penerima manfaat, dari organisasi eksternal, atau dari keduanya. Mereka juga
harus benar-benar akrab dengan bahasa dan budaya penerima manfaat dan dengan
geografi daerah tersebut.
Kategori petugas berikut akan diperlukan di wilayah bencana:
- Pengawas (untuk distribusi makanan dan untuk fasilitas air dan sanitasi)
- Pelayan registrasi (mungkin asisten, tergantung pada ukuran operasi)
- Penjaga toko dan supervisor makanan yang terlatih dalam keamanan makanan
- Penjaga stok makanan (keamanan pangan mungkin disediakan oleh pemerintah).
Karyawan yang disewa harus tinggal dekat dengan tempat kerja. Personel
yang diperlukan untuk distribusi makanan, memasak, dan tugas-tugas dukungan
lainnya harus direkrut dari para penerima manfaat dengan dasar uang tunai atau
makan-untuk-kerja yang jelas.
Peralatan yang dibutuhkan oleh kantor adalah sebagai berikut:
- Buku catatan
- Peta area atau kamp, menunjukkan berbagai sektor dan fasilitas
- Grafik atau papan tulis, menunjukkan jumlah penduduk di setiap sektor
- Daftar semua karyawan yang jelas dan lengkap.
Kantor harus memiliki teras yang terlindung untuk menunggu pengunjung,
dan harus selalu dikunci setelah jam kerja. Mendirikan komite perwakilan para
penerima manfaat akan membantu dalam mempertahankan partisipasi penuh
masyarakat dalam program ini. Jika tidak ada komite formal, setidaknya harus ada
kelompok kontrak yang terdiri dari satu orang dari setiap sektor komunitas.
Panitia/ kelompok kontak ini dapat mengadakan diskusi dengan petugas yang
bertanggung jawab tentang distribusi makanan dan acara penting lainnya (jadwal
imunisasi, perubahan dalam program, kunjungan resmi, dll). Selain itu, mereka
bertanggung jawab untuk meningkatkan kondisi kehidupan di masyarakat,
termasuk pengembangan perawatan kesehatan primer dan fasilitas terkait,
layanan, dan kegiatan untuk pertanian dan pendidikan.
Inisiatif ini sangat penting di tenda pengungsi dan pengungsi, di mana ada
kebutuhan yang lebih mendesak dan peluang yang lebih besar untuk
mempromosikan pasokan air yang aman, sanitasi, imunisasi, melek huruf,
perawatan khusus untuk kelompok rentan, perempuan, kegiatan yang
menghasilkan pendapatan, dll.

Logistic
a. Transportasi
Transportasi bahan makanan – dalam jumlah besar - sering menjadi
penyebab kemacetan dan penundaan dalam operasi bantuan.
Hal-hal yang perlu di pertimbangan adalah sebagai berikut:
- Mengangkut ransum kering penuh (36.000 kg) selama 1 minggu untuk 10.000
orang membutuhkan 12 truk berkapasitas 3 ton.
- Sebuah jip atau minibus dapat membawa sekitar 500 kg makanan, ditambah tim
kecil pribadi untuk distribusi dan pengawasan makanan. 500 kg adalah makanan
yang diperlukan setiap harianya untuk 1000 orang (200 keluarga) atau ransum
tambahan untuk 5500 anak-anak.
- Transportasi juga diperlukan untuk petugas pengawas secara penuh waktu/full
time
- Saat kondisi cuaca buruk, setidaknya satu dari setiap 10 kendaraan akan
dimobilisasi pada waktu tertentu untuk pemeliharaan atau perbaikan.
- Keterlambatan pengiriman makanan yang disebabkan oleh cuaca buruk, jalan
yang buruk, dan kerusakan kendaraan adalah hal yang sering terjadi.

Storage/penyimpanan
Semua makanan tunduk pada degradasi selama penyimpanan, tetapi
beberapa menghasilkan lebih cepat daripada yang lain dan tidak ada tindakan
khusus yang diambil untuk mengawetkan makanan yang mudah rusak (sayuran,
buah-buahan, produk hewani). dalam keadaan darurat, sebagian besar kebutuhan
energi dipasok oleh sereal, dan kadang-kadang oleh pulsa dan minyak sayur. ini
biasanya disediakan sebagai kering graid atau tepung. gabah lebih stabil daripada
tepung karena yang terakhir menyerap kelembaban lebih cepat, yang mendukung
perbanyakan serangga, jamur, dan bakteri. degradasi kimia) misalnya. ketengikan
dalam minyak sayur juga bisa menjadi masalah.
penyimpanan dan penanganan yang cermat dapat meminimalkan limbah, dan
aturan berikut harus diikuti:
- Toko harus memiliki atap yang baik dan harus kering, berventilasi baik, dan
sekeren mungkin. menggunakan bangunan modern sebagai gudang
meminimalkan masalah hewan pengerat, serangga, dll dengan membuat akses
lebih sulit.
- produk harus dijaga setidaknya 40 cm dari dinding dan 10 ck dari lantai, tas
harus diletakkan di atas palet, papan, cabang berat, batu bata, atau lapisan kantong
polietilena kering bersih atau terpal - tidak langsung di lantai.
- kantong yang rusak harus disimpan terpisah dari yang tidak rusak (mungkin di
daerah terpisah), cadangan kantong kosong yang baik harus disimpan sehingga
barang-barang dari kantong yang rusak dapat dikemas ulang
- tas harus ditumpuk dua per dua (yaitu dua tas dalam satu arah, lalu dua lagi di
atas pada 90o ke dua yang pertama) untuk memungkinkan ventilasi, mereka juga
akan lebih stabil dan lebih mudah dihitung
- Tumpukan sebaiknya tidak lebih dari 2 m, ini membuat penanganan lebih mudah
dan mengurangi risiko tumpukan jatuh
- setiap produk harus disimpan secara terpisah dan memiliki kartu stok sendiri
- Akses ke gudang harus dibatasi untuk beberapa individu yang berwenang
- Toko harus memiliki cinta dan pemilik toko harus selalu menyimpan kunci dan
bertanggung jawab untuk itu
- saldo pada kartu stok harus diperiksa secara berkala dengan menghitung jumlah
item yang sebenarnya di toko
- stok harus dirotasi atas dasar pengiriman pertama di awal, pengiriman baru tidak
boleh ditumpuk di atas atau di depan stok lama. stok lama harus dikeluarkan
sebelum persediaan baru.
- pekerja harus dilatih dan diawasi, ini akan mengurangi kerusakan akibat
penanganan yang ceroboh
Dalam kantong, 1 ton (2205 lb atau 1000 kg) sereal atau makanan olahan
menempati sekitar 2 m2, sehingga 1 ton gabah ditumpuk 2 m hig h menempati 1
m2 luas lantai. karena ruang harus dibiarkan untuk ventilasi dan lorong-lorong
untuk akses, hanya sekitar 80% ogf luas lantai total dari gudang dapat digunakan
untuk penyimpanan. untuk persediaan makanan massal, perhitungannya adalah
sebagai berikut:
untuk 30000 orang menggunakan 400 g gandum per orang per hari selama 60
hari:
30000 x 400 x 60 = 720000000 g = 720 ton.
volume gabah ini 1440 m2, ditumpuk setinggi 2 m ini membutuhkan luas
permukaan 720 m2 + 20% untuk akses dan ventilasi = 864 m2.
sebuah bangunan 43 mx 20 m akan menyediakan 860 m2, dan satu dari 50 mx 18
m akan menyediakan 900 m2.
Tikus dan Kutu
Makanan yang tumpah dan menolak menarik hewan pengerat, serangga,
dan burung. metode pengendalian terbaik adalah menjaga toko makanan tetap
bersih. kantung yang rusak harus disimpan di tempat yang terpisah, dan isinya
harus dimasukkan dalam kantong plastik. umpan racun tidak efektif dalam
mengendalikan hama.
Fumigasi dengan metil bromida atau fosfina adalah ans membunuh tikus dan
serangga di toko dan serangga di dalam kantong. Namun, itu beracun bagi
manusia dan harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih. jika pabrikan
dalam konstruksi diikuti dengan hati-hati, fumigasi aman dan makanan tidak akan
terganggu.
menyemprotkan toko secara teratur dengan insektisida yang sesuai juga
merupakan langkah yang efektif, tetapi saran ahli harus dicari. Semua tas harus
ditutup dan makanan terlindungi dari kontak langsung dengan insektisida.
Sereal dan ikan kering sangat rentan terhadap infestasi, terutama di iklim tropis.
makanan yang terinfestasi tidak kehilangan nilai gizi dan keamanannya mungkin
tidak terpengaruh. kantong basah harus dikeringkan di bawah sinar matahari
sebelum disimpan, kantung yang terinfestasi harus diambil di luar dan diambil
kumbang. sereal atau campuran yang terinfestasi harus didistribusikan sesegera
mungkin, bonggol dan cacing akan mengapung ke atas ketika butir direndam
dalam air. gumpalan keras di kantong susu tidak berbahaya, asalkan tidak ada bau
tengik. bahan makanan di mana hewan pengerat atau kucing telah buang air kecil
atau buang air besar dapat mengirimkan salmonelosis, demam lassa, atau
leptospirosis.

2.3 Coordination & Partnership (Koordinasi Dan Kemitraan)


Koordinasi adalah upaya menyatupadukan berbagai sumber daya dan
kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan
penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana
secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan
secara efektif serta harmonis.
Koordinasi penanggulangan masalah kesehatan ini meliputi koordinasi
internal berupa kerja sama lintas program dari sumber daya yang berbeda
(Pemerintah, Organisasi Non Pemerintah, LSM, Swasta dan masyarakat) di
daerah rawan bencana. Program tersebut antara lain mengintregasikan upaya
penilaian kebutuhan kesehatan akibat bencana; pelayanan kesehatan dasar dan
spesialistik; perbaikan gizi darurat; imunisasi, pengedalian vektor, sanitasi dan
dampak lingkungan; penyuluhan kesehatan; bantuan logistik kesehatan dan lain-
lain. Koordinasi internal ini mengoptimalkan kegiatan organisasi pemerintah, non
pemerintah, LSM, dan lain-lain yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
sama.
Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh semua pihak
bekerjasama dengan pemerintah. Penanggulangan bencana dilakukaan tidak hanya
tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi semua lapisan masyarakat secara luas,
termasuk LSM dan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Oleh karena
itu, pemerintah dan masyarakat harus mampu menjalin kemitraan yang baik.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) merupakan penanggung jawab utama
dalam penanggulangan bencana. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK)
Kementerian Kesehatan merupakan unsur dari BNPB dalam penanggulangan
masalah kesehatan dan gizi akibat bencana. Pengelola kegiatan gizi Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian dari tim
penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana yang dikoordinasikan PPKK,
PPKK Regional dan Sub regional, Dinas Kesehatan Provinsi serta Kabupaten dan
Kota. Penanganan gizi pada situasi bencana melibatkan lintas program dan lintas
sektor termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional maupun
internasional.
Kekurangan pangan yang meluas menuntut program bantuan skala besar
serta kebijakan untuk menangani penyebab yang mendasarinya. Tergantung pada
besarnya krisis, komite antarsektor akan menyatukan otoritas nasional, donor
internasional, badan PBB khusus, dan organisasi non pemerintah, untuk :
- Menetapkan tanggung jawab dari lembaga / individu yang berpartisipasi,
secara sektoral atau geografis;
- Mengatur penilaian cepat awal masalah dan kebutuhan;
- Mengadopsi strategi dan prosedur standar yang tepat untuk program
pemberian makan, alokasi ransum, suplementasi, pelatihan, pengawasan,
dan pelaporan;
- Mengawasi pengadaan makanan dan mobilisasi sumber daya manusia,
materi, dan keuangan untuk program bantuan;
- Memantau pengiriman dan distribusi bantuan dan evolusi kebutuhan dan
operasi;
- Memantau stok dan menyetujui perkiraan kebutuhan pangan di masa
depan;
- Bertemu secara teratur dan sering untuk berbagi semua informasi yang
relevan, dan memodifikasi rencana dan strategi yang diperlukan;
- Memastikan hubungan dengan media
Pentingnya komite intersektor memiliki akses ke keahlian teknis di bidang
kesehatan, nutrisi, ketahanan pangan atau penilaian kerentanan, keamanan dan
kontrol pangan, dan logistik. Komite teknis atau mekanisme interdisipliner dan
interdepartemen mungkin perlu dibentuk untuk beberapa bidang yang menjadi
perhatian dan tindakan di tingkat nasional. Kelompok kerja semacam itu mungkin
juga diperlukan di tingkat lokal, yang dibentuk, misalnya oleh pemerintah
kabupaten. Tujuan mereka pada kedua tingkat adalah untuk memastikan bahwa
tindakan penting tidak diabaikan, karena sering diperlukan pada antarmuka antara
bidang kebiasaan tindakan kementerian atau organisasi yang berbeda, dan juga
untuk mencegah duplikasi, atau bahkan kontradiktif, tindakan oleh mitra yang
berbeda dalam jaringan tanggap darurat.
Unit pendukung logistik pusat akan diperlukan untuk melacak pengadaan
dalam negeri, impor, izin pabean, pengangkutan komoditas (setidaknya sejauh
tingkat distrik), pergudangan, dan posisi saham.
Dalam situasi konflik, yang mewakili keadaan darurat yang kompleks, unit
logistik ini akan membutuhkan kapasitas khusus, untuk mengangkut, pengawalan
untuk konvoi, pemantauan aksesibilitas, dan keamanan. di samping itu, perjanjian
dan prosedur khusus akan diperlukan untuk penyampaian aman koridor-koridor
kemanusiaan, periode-periode gencatan senjata yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal otoritas dan koordinasi secara keseluruhan, pengaturannya
bervariasi :
1. Kadang-kadang, badan manajemen nasional untuk kesiapsiagaan dan
tanggap darurat sudah ada, biasanya di kantor kepresidenan atau perdana
menteri
2. Komisi bantuan / rehabilitasi khusus kadang-kadang dibentuk, di bawah
naungan kementerian khusus; badan-badan semacam itu bahkan dapat
mengatur layanan kesehatan mereka sendiri, meskipun ini bukan
pengaturan yang diinginkan
3. Kementerian teknis atau agen khusus dapat diberikan tanggung jawab
utama, sebagian besar berdasarkan peran hukumnya (mis. Perencanaan
atau keuangan) atau kapasitasnya di tingkat lapangan (misalnya pertanian,
pemerintah lokal, otoritas pemasaran biji-bijian)
4. Untuk memastikan netralitas bantuan kemanusiaan dalam keadaan darurat
yang kompleks, kantor koordinasi khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa
terkadang didirikan, di bawah wewenang Wakil Khusus Sekretaris
Jenderal PBB yang bertanggung jawab untuk menjamin aspek politik
pengaturan tersebut.
Apapun pengaturannya, komite intersektoral biasanya akan melibatkan
perwakilan dari kementerian (atau bertanggung jawab untuk) perencanaan,
keuangan, interior, pemerintah daerah, kesehatan, wartire sosial, transportasi,
pertanian, perdagangan, lingkungan, komunikasi, dan perlindungan sipil. Polisi
dan angkatan bersenjata biasanya dapat menggunakan kapasitas logistik yang
besar dan juga harus dilibatkan. Hubungan dengan angkatan bersenjata adalah
kebutuhan mutlak ketika pertimbangan keamanan berlaku, seperti dalam keadaan
darurat yang kompleks.
Kapasitas kementerian kesehatan untuk memainkan peran penuhnya dalam
komite - menyediakan pembaruan nutrisi dan epidemiologi, panduan teknis
tentang lingkup program pemberian makanan umum dan selektif, saran tentang
suplementasi mikronutrien, informasi tentang aktivitas pengendalian penyakit, dll.
- merupakan komponen penting dari kesiapsiagaan darurat.
Terlepas dari dana untuk pengadaan makanan bantuan, pengaturan
keuangan harus dibuat untuk menutup biaya transportasi dan pergudangan,
pengawasan nutrisi, komunikasi, kegiatan pelengkap di bidang-bidang seperti air
dan kesehatan, dan overhead program umum. Sumber daya keuangan harus
dimobilisasi baik dari anggaran negara atau dari program bantuan rutin; Jika
gagal, pengaturan yang luar biasa harus dilakukan dengan pemerintah, LSM, atau
donor internasional. Proses ini akan dikoordinasikan oleh komite intersektoral,
sering dalam hubungan dengan Departemen Urusan Kemanusiaan PBB, badan-
badan PBB yang relevan, dan organisasi bilateral, di tingkat nasional, regional,
atau kantor pusat.
Mekanisme administratif, teknis, dan keuangan ini membutuhkan waktu
untuk dibentuk dan diimplementasikan; selama masa-masa ini keadaan darurat
cenderung tumbuh dalam besaran dan gravitasi. Jika garis wewenang, tanggung
jawab, pengaturan administratif, dana cadangan, dan prosedur untuk aktivasi
mereka sebelumnya disetujui sebagai bagian dari rencana kesiapan nasional, dan
diketahui semua yang terlibat, waktu berharga akan disimpan.
Langkah-langkah ke arah ini telah diambil oleh inisiatif PBB baru-baru
ini, di mana WHO berpartisipasi, seperti Tim Manajemen Bencana Negara (DMT)
dan Program Pelatihan Manajemen Bencana (UNDMTP)

2.4 Meeting Nutritional Requirements In Emergency Situations-Principles.


(Prinsip Pemenuhan Kebutuhan Gizi Dalam Keadaan Darurat)
Malnutrisi dalam satu atau lebih dari berbagai bentuknya sering
mencirikan situasi darurat, baik alami maupun buatan manusia. Memastikan
bahwa kebutuhan pangan dan gizi dari populasi yang terkena bencana, pengungsi,
atau pengungsi internal cukup terpenuhi seringkali merupakan komponen utama
dari respon kemanusiaan, logistik, manajemen, dan keuangan terhadap keadaan
darurat. Ketika kebutuhan gizi suatu populasi - atau sub kelompok populasi - tidak
sepenuhnya terpenuhi, beberapa bentuk kekurangan gizi segera muncul, biasanya
di antara individu dari kelompok yang rentan seperti bayi, balita, ibu hamil, ibu
menyusui dan lanjut usia. Hasilnya adalah anak-anak yang kurus, ibu yang
menderita anemia, bayi yang menderita marasmik, penyakit kudis, beri-beri,
pellagra, kebutaan akibat kekurangan vitamin A, dan sindrom defisiensi lainnya.
Jika kebutuhan nutrisi individu, kelompok, dan populasi harus dipenuhi,
asupan harian rata-rata setiap nutrisi harus cukup untuk :
1. Menutupi kekurangan dari masing-masing nutrisi
2. Mempertimbangkan interaksi nutrisi dalam makanan
3. Mempertimbangkan kondisi lingkungan
4. Menjaga aktivitas, termasuk kegiatan yang diperlukan secara ekonomi dan
diinginkan secara sosial
Pengetahuan tentang kebutuhan gizi manusia sangat penting dalam
pengelolaan keadaan darurat gizi untuk tiga tujuan penting dan terkait erat :
- Menilai kebutuhan makanan individu tertentu, keluarga, dan kelompok
rentan dan populasi secara keseluruhan;
- Pemantauan kecukupan asupan gizi dalam kelompok-kelompok ini;
- Memastikan pengadaan makanan untuk ransum umum, makanan
tambahan, makanan terapeutik, dll, cukup untuk memenuhi semua
kebutuhan nutrisi

Sumber : (santé et al. 2000)


Juga penting untuk mengidentifikasi kelompok yang paling rentan dalam
populasi, yang umumnya meliputi :
1. Wanita hamil dan menyusui, karena mereka memiliki kebutuhan gizi
tambahan;
2. Bayi dan anak kecil, yang mungkin tidak dapat mengkonsumsi atau
mencerna makanan yang disediakan, dan yang sangat rentan terhadap
kekurangan gizi karena persyaratan gizi mereka yang proporsional tinggi;
3. Keluarga atau individu yang kebutuhannya mungkin tidak sepenuhnya
dipenuhi oleh sistem distribusi ransum tertentu, terutama dalam kasus
keluarga dengan sejumlah besar orang dewasa dan lanjut usia.

2.5 Meeting energy and protein, micronutrient and other specific nutrient
requirements
a. Meeting energy and protein requirements
Dalam kelaparan dan keadaan darurat lainnya yang melibatkan
kekurangan makanan dan mempengaruhi populasi besar, salah satu tujuan paling
cepat dari upaya bantuan adalah untuk mencegah kematian dan penyakit yang
disebabkan oleh kekurangan gizi dan penyakit menular. Pertanyaan tentang
berapa banyak makanan yang diperlukan untuk memberi makan populasi yang
dilanda bencana harus segera ditangani.
Perhatian pertama adalah memastikan bahwa kebutuhan energi dan protein
terpenuhi. Sedikit yang dapat diketahui tentang populasi target kecuali jumlah
orang yang terpengaruh. Pedoman untuk memenuhi kebutuhan rata-rata energi
dan protein sangat berguna, dalam hal membantu membuat pengadaan makanan
untuk digunakan sebagai ransum darurat.
Dalam keadaan seperti ini, perkiraan rata-rata kebutuhan energi harian per
kapita untuk penduduk negara berkembang adalah 2070 kkal, dibulatkan hingga
2100 kkal. Asupan protein yang mencukupi rata-rata per orang per hari adalah 46
g campuran-diet protein, di mana pola makan campuran terdiri dari sereal,
kacang-kacangan, dan sayuran. Dalam prakteknya, pedoman ini dapat digunakan
untuk sebagian besar populasi.

Kebutuhan energi harian dan asupan protein


Perkiraan rata-rata kebutuhan energi harian per kapita 2070 kkal,
dibulatkan hingga 2100 kkal, didasarkan pada Laporan Teknis WHO No. 724
(Persyaratan energi dan protein. Laporan Konsultasi Ahli FAO / WHO / UNU),
diterbitkan pada tahun 1985, dan berdasarkan asumsi berikut:
- distribusi usia / jenis kelamin penduduk yang merupakan karakteristik negara-
negara berkembang;
- tinggi rata-rata pria dan wanita dewasa masing-masing 169 cm dan 155 cm
(nilai perkiraan di Afrika sub-Sahara);
- berat orang dewasa (indeks massa tubuh (BMI) adalah antara 20 dan 22);
- aktivitas fisik ringan;
- semua bayi diberi ASI sejak lahir sampai 6 bulan, dan setengah bayi dari 6-11
bulan masih menyusui dan menurunkan separuh kebutuhan energi dan protein
mereka dari ASI.
Asupan protein harian yang aman, dari diet campuran rata-rata sereal,
kacang-kacangan, dan sayuran, diperkirakan 46 g. Rata-rata kebutuhan harian per
kapita dapat bervariasi dari populasi ke populasi, tetapi kebutuhan energi harian
rata-rata biasanya antara 1900 dan 2300 kkal. Persyaratan dipengaruhi oleh
sejumlah faktor populasi dan lingkungan, termasuk yang berikut, yang harus
dinilai dan diperhitungkan sesegera mungkin, untuk memastikan bahwa
kebutuhan energi dan protein dapat dipenuhi:
- umur dan komposisi jenis kelamin penduduk
- rata-rata tinggi dan berat badan dewasa (pria dan wanita)
- tingkat aktivitas fisik
- suhu lingkungan
- malnutrisi dan kesehatan yang buruk
- ketahanan pangan.
Pada tabel di bawah ini dirinci kebutuhan energi dan protein harian secara
spesifik pada umur dan jenis kelamin, dan karakteristik populasi yang digunakan
dalam perhitungan mereka. Ini juga menunjukkan energi tambahan yang
dibutuhkan untuk aktivitas sedang atau berat (seperti pada populasi yang berjalan
jauh atau terlibat dalam kerja manual) dan dalam lingkungan yang dingin.
Jika asupan energi harian rata-rata turun di bawah kebutuhan rata-rata
yang dihitung dengan memperhitungkan faktor populasi dan lingkungan ini,
kebutuhan nutrisi dasar dari bagian populasi yang signifikan tidak mungkin
dipenuhi. Ini kemudian akan meningkatkan risiko malnutrisi dan kesehatan yang
buruk, terutama pada kelompok rentan seperti bayi dan anak-anak dan wanita
hamil. Ini juga dapat menunda waktu pemulihan untuk populasi yang sudah
dilemahkan oleh kurangnya makanan yang berkepanjangan. Ketika diet tidak
memberikan energi yang cukup, tubuh akan mulai mengkonsumsi untuk
keperluan energi protein yang dibutuhkannya untuk pertumbuhan dan perbaikan.
Jika berdasarkan campuran sereal/kacang-kacangan/sayuran, sebagian besar diet
yang memenuhi kebutuhan energi juga akan memberikan jumlah protein yang
cukup.
Lemak atau minyak juga merupakan komponen makanan yang signifikan
dari ransum. Ini dapat meningkatkan palatabilitas dan menyediakan energi dalam
bentuk terkonsentrasi. Untuk memenuhi persyaratan untuk asam lemak esensial
tertentu, dianjurkan bahwa lemak / minyak menyediakan setidaknya 15% dari
total asupan energi orang dewasa (tetapi 20% untuk wanita usia reproduksi) dan
30 - 40% untuk anak-anak hingga 2 tahun umur. Secara keseluruhan, disarankan
bahwa lemak/minyak harus terdiri dari 17-20% ransum, meskipun asam lemak
jenuh (yang ditemukan dalam lemak hewani dan beberapa minyak sayur) tidak
boleh terdapat lebih dari 10% energi.
Berikut ini sejumlah tabel yang menunjukkan persyaratan gizi (untuk
energi, protein, dan mikronutrien) untuk kelompok usia dan jenis kelamin yang
berbeda dan angka keseluruhan untuk seluruh populasi dengan profil demografi
dan antropometrik untuk negara berkembang dan negara industri. Daftar lengkap
tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kebutuhan energi untuk populasi yang terkena dampak darurat: profil
negara berkembang (demografi dan antropometri)a,b

Keterangan:
a. Kebutuhan energi berasal dari: Energy and protein requirements. Report of a
Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva, World Health
Organization, 1985 (Technical Report Series, No. 724). Data populasi (untuk
pertengahan 1995) dari United Nations Population Division.
b. Persyaratan yang ditunjukkan dalam tabel ini tidak memperhitungkan variasi
kandungan serat, daya cerna, dan komposisi karbohidrat kompleks dari diet.
Di negara-negara berkembang, diet biasanya mengandung proporsi serat yang
relatif tinggi dan kurang karbohidrat. Kandungan karbohidrat makanan dapat
dinyatakan dalam berbagai komponennya (pati, gula, serat, selulosa, lignin,
dll.) Atau hanya sebagai "perbedaan" yang dihitung antara berat total dan
jumlah komponen lainnya (lemak, protein, mineral, dan air). Jika faktor
Atwater (4 kkal/g) diterapkan pada karbohidrat berdasarkan selisih, energi riil
yang tersedia dalam makanan harus dikurangi 5%, yaitu "persyaratan" untuk
jenis diet ini harus ditingkatkan sebesar 5%. Jadi kebutuhan energi yang
ditunjukkan dalam tabel ini untuk seluruh populasi (pria, wanita, dan
gabungan keduanya) harus ditingkatkan sebesar 100 kkal. Faktor koreksi
tidak berlaku jika kandungan energi makanan dinyatakan dalam bentuk energi
yang tersedia.
c. Berat badan dewasa: laki-laki 60 kg, perempuan 52 kg.
d. Perkiraan populasi untuk tahun 1, 2, 3, dan 4 tidak tersedia dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu perkiraan dibuat dengan interpolasi dari data
PBB selama 0 dan 5 tahun.
e. Tingkat metabolisme basal (BMR) adalah laju pengeluaran energi tubuh saat
istirahat total (misalnya saat tidur); angka yang diberikan di sini untuk
kebutuhan energi adalah untuk tingkat aktivitas "ringan" (1,55 x BMR untuk
pria, 1,56 x BMR untuk wanita). Untuk penyesuaian untuk aktivitas sedang
dan berat, lihat Tabel 3.
Tabel 2. Kebutuhan energi untuk populasi yang terkena dampak darurat: profil
negara industri (demografi dan antropometri)a,b

Keterangan:
a. Persyaratan Energi berasal dari: Energy and protein requirements. Report
of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva, World Health
Organization, 1985 (Technical Report Series, No. 724). Population data
(for mid-1995) from United Nations Population Division.
b. Persyaratan yang ditunjukkan dalam tabel ini tidak memperhitungkan
variasi kandungan serat, daya cerna, dan komposisi karbohidrat kompleks
dari diet. Di negara-negara industri, diet biasanya mengandung proporsi
serat yang relatif lebih rendah daripada di negara-negara berkembang.
Kandungan karbohidrat makanan dapat dinyatakan dalam berbagai
komponennya (pati, gula, serat, selulosa, lignin, dll.) Atau hanya sebagai
"perbedaan" yang dihitung antara berat total dan jumlah komponen lainnya
(lemak, protein, mineral, dan air). Jika faktor Atwater (4 kkal/g) diterapkan
untuk karbohidrat oleh perbedaan, energi nyata yang tersedia dalam
makanan harus dikurangi 2,5%, yaitu "persyaratan" untuk jenis diet ini
harus ditingkatkan 2,5%. Dengan demikian kebutuhan energi yang
ditunjukkan dalam tabel ini untuk seluruh populasi (pria, wanita dan
keduanya digabungkan) harus ditingkatkan sebesar 50 kkal. Faktor koreksi
tidak berlaku jika kandungan energi makanan dinyatakan dalam bentuk
energi yang tersedia.
c. Berat badan dewasa: laki-laki 67 kg, perempuan 55 kg.
d. Perkiraan populasi untuk tahun 1, 2, 3, dan 4 tidak tersedia dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu perkiraan dibuat dengan
interpolasi dari data PBB selama 0 dan 5 tahun.
e. Tingkat metabolisme basal (BMR) adalah laju pengeluaran energi tubuh
saat istirahat total (misalnya saat tidur). Angka yang diberikan di sini
untuk kebutuhan energi adalah untuk tingkat aktivitas "ringan" (1,55 x
BMR untuk laki-laki, 1,56 x BMR untuk perempuan). Untuk penyesuaian
untuk aktivitas sedang dan berat, lihat Tabel 3.
Tabel 3. Kebutuhan energi rata-rata dan rekomendasi pengaturan untuk berbagai
tingkat aktivitas, suhu lingkungan, dan kehilangan makanan selama transportasia
Keterangan:
a. Data berasal dari: Energy and protein requirements. Report of a Joint
FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva, World Health Organization,
1985 (Technical Report Series, No. 724).
b. Kebutuhan energi untuk aktivitas sedang dihitung sebagai 1,78 x BMR untuk
pria dan 1,64 x BMR untuk wanita, dan untuk aktivitas berat sebagai 2,10 x
BMR untuk pria dan 1,82 x BMR untuk wanita.
c. Umur ≥18 tahun.

Tabel 4. Kebutuhan protein (tingkat asupan aman): profil negara berkembanga

Keterangan:
a. Persyaratan berasal dari: Energy and protein requirements. Report of a Joint
FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva. World Health Organization.
1985 (Technical Report Series, No. 724)
b. Berat badan dewasa: laki-laki 60 kg, perempuan 52 kg.
c. Protein referensi adalah protein dengan kualitas dan daya cerna dari susu atau
telur.
d. Diet campuran sereal/kacang-kacangan termasuk sereal, kacang-kacangan,
dan sayur-sayuran, misalnya, dalam pola makan pedesaan Tunisia.
e. Asumsi sepenuhnya menyusui.
f. Perkiraan populasi untuk tahun 1, 2, 3, dan 4 tidak tersedia dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa; Oleh karena itu perkiraan dibuat dengan interpolasi dari data
PBB selama 0 dan 5 tahun.

Tabel 5. Kebutuhan protein (tingkat asupan aman): profil negara industria

Keterangan:
a. Persyaratan berasal dari: Energy and protein requirements. Report of a Joint
FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva. World Health Organization.
1985 (Technical Report Series, No. 724)
b. Berat badan dewasa: laki-laki 67 kg, perempuan 55 kg.
c. Protein referensi adalah protein dengan kualitas dan daya cerna dari susu atau
telur.
d. Diet campuran sereal/kacang-kacangan termasuk sereal, kacang-kacangan,
dan sayur-sayuran, misalnya, dalam pola makan pedesaan Tunisia.
e. Asumsi 3 bulan menyusui.
f. Perkiraan populasi untuk tahun 1, 2, 3, dan 4 tidak tersedia dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa; Oleh karena itu perkiraan dibuat dengan interpolasi dari data
PBB selama 0 dan 5 tahun.
Tabel 6. Persyaratan vitamin (tingkat asupan aman): negara berkembang dan
negara industria

Keterangan:
a. Berdasarkan pada Tabel 1 dari Passmore R et al. Handbook on human
nutritional requirements. Geneva, World Health Organization, 1974 (WHO
Monograph Series, No. 61).
b. Data berasal dari: Requirements of vitamin A, iron, folate and vitamin B12.
Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation. Rome, Food and
Agriculture Organization of the United Nations, 1985 (FAO Food and
Nutrition Series, No. 23).
c. Data berasal dari: Requirements of ascorbic acid, vitamin D, vitamin B12,
folate and iron, Report of a Joint FAO/WHO Expert Group. Geneva, World
Health Organization, 1970 (WHO Technical Report Series, No. 470), and
Rome, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1970 (FAO
Nutrition Meetings Report Series, No. 47).
d. Data berasal dari: Requirements of vitamin A, thiamine, riboflavine and
niacin. Report of a Joint FAO/WHO Expert Group. Geneva, World Health
Organization, 1967 (WHO Technical Report Series No. 362), and Rome,
Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1965 (FAO Food
and Nutrition Series, No. 8).
e. Persyaratan vitamin B sebanding dengan asupan energi dan dihitung sebagai
berikut:
tiamin: 0,4 mg per 1000 kkal dicerna
riboflavin: 0,6 mg per 1000 kkal dicerna
kesetaraan niacin: 6,6 mg per 1000 kkal dicerna
f. Angka yang lebih tinggi adalah untuk negara-negara berkembang karena
proporsi anak-anak di bawah 5 tahun lebih besar yang memiliki persyaratan
lebih besar.

Tabel 7. Persyaratan mineral (tingkat asupan aman): negara berkembang dan


negara industria
Keterangan:
a. Sumber:
- Calcium requirements. Report of a FAO/WHO Expert Committee. Geneva,
World Health Organization, 1962 (WHO Technical Report Series, No.
230).
- Requirements of vitamin A, iron, folate and vitamin B12 Report of a Joint
FAO/WHO Expert Consultation. Rome, Food and Agriculture
Organization of the United Nations, 1988.
- De Maeyer EM et al. Preventing and controlling iron deficiency anaemia
through primary health care. Geneva, World Health Organization, 1989.
- Trace elements in human nutrition and health. Geneva, World Health
Organization, 1996.
b. Angka kedua adalah untuk negara-negara industri dan mewakili tingkat
asupan yang penduduknya terbiasa; yang pertama adalah untuk negara-negara
berkembang, di mana berat badan lebih rendah dan populasi disesuaikan
dengan tingkat asupan kalsium yang lebih rendah yang kiranya tidak
menimbulkan cacat.
c. Persyaratan besi dihitung sebagai berikut:
sangat rendah: 4% (diet seperti di Asia selatan)
rendah: 7,5% (diet seperti di negara berkembang)
moderat: 15% (diet seperti di negara-negara berpenghasilan menengah)
tinggi: 22% (diet seperti di negara-negara industri).
d. Angka yang lebih rendah adalah untuk bayi yang diberi ASI, lebih tinggi
untuk bayi yang diberi ASI pengganti.
e. Besi tambahan yang dibutuhkan selama kehamilan adalah sekitar 1 gram.
Beberapa dapat berasal dari simpanan besi dalam tubuh. Namun, dalam
banyak kasus kebutuhan tambahan ini tidak dapat dipenuhi dari sumber
makanan, dan suplementasi zat besi diperlukan. Ini sangat penting ketika
memburuknya bioavailabilitas dari diet.

b. Meeting micronutrient and other specific nutrient requirements


Keadaan darurat gizi dapat ditandai tidak hanya oleh kekurangan energi
protein, wasting, dan kegagalan pertumbuhan tetapi juga oleh berbagai defisiensi
mikronutrien (mineral dan vitamin), beberapa di antaranya menyebabkan
kebutaan, cacat, kelumpuhan, dan kematian.
Pencegahan kekurangan ini harus menjadi pertimbangan lebih lanjut
dalam menentukan kebutuhan makanan. Gejala utama dan tanda-tanda kondisi ini
meliputi defisiensi zat besi, iodium, dan vitamin A, B, C, dan D. Defisiensi
tersebut dapat muncul dengan mudah, bahkan ketika suplemen makanan diberikan
secara teratur, jika berbagai makanan yang dimakan terbatas. Di mana ransum
disediakan untuk populasi yang tidak memiliki akses untuk memperoleh makanan
lain, termasuk makanan segar, selama lebih dari sebulan. Penting pula untuk
memastikan bahwa makanan mengandung dalam jumlah yang cukup dari vitamin
A, tiamin, riboflavin, vitamin C, zat besi, iodium, dan asam folat.
Tabel berikut memberikan rekomendasi asupan harian rata-rata per kapita
dari berbagai spesifik nutrisi untuk populasi yang memerlukan bantuan pangan
darurat di negara berkembang.

Tabel 8. Rekomendasi rata-rata asupan gizi harian per kapita untuk makanan
darurat di negara berkembang

2.6 Monitoring the adequacy of food access and intake


Ketahanan pangan rumah tangga merupakan elemen penting baik dari
penilaian awal (rapid assessment phase) dan pemantauan darurat sesudahnya.
Penilaiannya adalah proses yang kompleks, di luar cakupan panduan ini, tetapi
beberapa prosedur diuraikan dalam publikasi WHO lainnya. Metodologi formal
masih dalam pengembangan.
Ketahanan pangan rumah tangga diukur dari sumber daya rumah tangga
dan akses ke makanan, termasuk makanan yang diproduksi di rumah, ketersediaan
pangan di pasar, dan makanan liar, dan pendapatan yang dihasilkan oleh penjualan
aset. Penilaian area potensi produksi pangan dan ketersediaan pangan sangat
penting dan biasanya dilakukan oleh pemerintah lokal atau pertanian. Survei pasar
mengidentifikasi jenis dan jumlah makanan yang tersedia di pasar lokal dan juga
harganya. Hal ini memungkinkan kecukupan, dan kecenderungan dalam, akses
makanan rumah tangga untuk setidaknya dinilai sebagian, terutama jika survei
tersebut dilakukan selama periode waktu tertentu.
Penilaian ketahanan makanan rumah tangga sangat penting untuk
keputusan apakah distribusi makanan diperlukan untuk populasi yang berisiko.
Bahkan jika makanan tersedia dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang
sesuai untuk memenuhi energi harian, protein, dan persyaratan lain dari populasi
dalam situasi darurat, mungkin masih ada masalah yang menyebabkan distribusi
makanan yang tidak merata dan dapat menyebabkan kelaparan atau malnutrisi.
Jika tidak ada bukti malnutrisi (baik protein - energi atau mikronutrien)
dalam populasi, jelas bahwa asupan makanan telah mencukupi. Namun, jika
terjadi malnutrisi atau ketika distribusi ransum tidak merata, maka pemantauan
kecukupan asupan makanan dalam keluarga atau subkelompok rentan dalam
populasi menjadi alat manajemen yang penting. Dengan membandingkan asupan
nutrisi dengan kebutuhan nutrisi, pemantauan akan membantu mengidentifikasi:
- subkelompok mana yang menerima atau mengonsumsi makanan yang tidak
mencukupi atau berlebihan dan mengapa;
- kesulitan logistik dalam sistem distribusi ransum umum;
- kelompok rentan yang mungkin memerlukan penargetan selektif dengan
ransum tambahan;
- apakah kandungan gizi ransum umum, pada kenyataannya, cukup;
- berapa banyak makanan dari pasar lokal tersedia atau dimanfaatkan;
- berapa banyak makanan yang digunakan sebagai komoditas barter untuk
mendapatkan hal-hal penting lainnya;
- penyebab mendasar malnutrisi.
Pemantauan akses dan asupan makanan dapat didekati dengan beberapa
cara berbeda, tetapi langkah pertama yang bermanfaat dan menghemat waktu
adalah memilih 30 keluarga dari data pendaftaran kamp. Dengan
membandingkan kebutuhan nutrisi teoritis dengan ketentuan makanan teoritis
untuk setiap keluarga, proporsi keluarga yang menerima terlalu sedikit atau
terlalu banyak dapat dihitung. Hal tersebut adalah langkah pertama yang penting,
sebelum survei pasar, survei rumah tangga, atau food basket survey dilakukan.

BAB III
KESIMPULAN

1. Dalam keadaan darurat besar, salah satu tindakan yang paling dibutuhkan
untuk mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi
adalah memastikan penyediaan dan asupan makanan yang cukup.
2. Penilaian kebutuhan gizi penduduk adalah alat manajemen mendasar untuk
menghitung kebutuhan pangan, pemantauan kecukupan akses dan asupan
makanan, dan memastikan pengadaan makanan yang memadai.
3. Kebutuhan energi dan protein penduduk biasanya tidak diketahui, rata-rata per
kapita harian asupan 2100 kkal dan 46 g protein dianjurkan (untuk profil
negara berkembang). Berarti asupan harian mikronutrien dan nutrisi spesifik
lainnya juga direkomendasikan. Satu populasi dan karakteristik lingkungan
diketahui dan dapat diterapkan, perhitungan yang lebih akurat dari kebutuhan
nutrisi populasi dapat dibuat.
4. Pemantauan asupan makanan di masyarakat yang terkena dampak sangat
penting, untuk memungkinkan otoritas nasional baik untuk menilai kecukupan
distribusi makanan dan untuk menentukan kapan keamanan dapat menurun dan
akhirnya diberhentikan.

DAFTAR PUSTAKA
BPBD. 2014. Himpunan peraturan penanggulangan bencana, badan
penanggulangan bencana provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Himpunan BNPD
Peraturan BNPB Nomor 6.A tahun 2011 tentang pedoman penggunaan dana siap
pakai pada status keadaan darurat bencana
Coppola, Damon dan Maloney Erin K. 2009. Communicating Emergencies
Preparedness, Startegies for Creating A Disaster Resilient Public. Taylor
and Francis Grop. CRC Press. United States
Departemen Kesehatan, R. I. 2002. “Pedoman Koordinasi Penanggulangan
Bencana Di Lapangan.”
Gizi, Direktorat Bina and Indonesia Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal
Bina. 2012. “Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana-
[BUKU].”
Indonesia, Kementerian Kesehatan R. I., Bina Gizi, and Kesehatan Ibu. 2015.
“Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana.”
Kementerian Kesehatan RI.2013 Angka Kecukupan Gizi Bangsa Indonesia, PMK
Nomor 75 tahun 2013, Jakarta 2013
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman teknis Penanggulangan Krisis akibat
bencana, Panduan bagi petugas Kesehatan yang bekerja dalam Penanganan
Krisis Kesehatan akibat bencana di Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam
Penanggulangan Bencana, Jakarta, 2012NEGARA, LEMBARAN. 24AD.
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.”
Organization, World Health and UNICEF. 2004. “Food and Nutrition Needs in
Emergencies.”
Phillip BD. 2009. Disaster Recovery. United State of American: CRC Press.
Santé, Organisation mondiale de la et al. 2000. The Management of Nutrition in
Major Emergencies. World Health Organization.
WHO.2000. The management of nutrition in major emergencies, Geneva

WHO. 2004. Food and Nutrition Needs in Emergencies. Geneva


WHO.2005. Communicable Disease Control in Emergencies A Field Manual.
Geneva

Anda mungkin juga menyukai