Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan:

 Indonesia memiliki resiko tinggi mengalami bencana, dimana letak strategis


indonesia ini dikelilingi oleh 126 gunung berapi aktif, diatas 3 lempengan tektonik.

 Di indonesia rata-rata terjadi gempa 5X/ hari dengan skala > 5 skala ritcher

 Situasi darurat ini menyebabkan rusaknya infrakstruktur yang berdampak pada


terbatasnya akses dan jumlah pangan, sehingga meningkatkan resiko masalah gizi
terutama pada kelompok yang rentan dalam kondisi ini

Kelompok rentan pada kondisi bencana:

1) Bayi 0-6 bulan


2) Bayi 6-24 bulan
3) Ibu hamil dan menyusui
4) Orang dengan penyakit kronis (ODHA, penderita TBC, DM, dll.)
5) Lansia
6) Kaum difabel

Kesiapan personal petugas kesehatan pada tahap pra bencana, saat bencana, dan
pasca bencana dibidang pelayanan gizi:

 Pra bencana
Kesiapan penanganan gizi saat pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan
antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi resiko dampak bencana, diantaranya
ialah sosialisasi dan pelatihan petugas kesehatan meliput:
1) Manajemen gizi bencana
2) Penyusunan rencana kontinjensi kegiatan gizi
3) Konseling menyusui (pada ibu hamil khususnya)
4) Konseling makanan pendamping ASI (MP-ASI)
5) Pengumpulan data awal daerah rentan bencana
6) Penyediaan bufferstock MP-ASI
7) Pembinaan teknis dan pendampingan kepada pihak yang terkait dalam
melaksanakan penanganan gizi saat pra bencana tersebut

 Saat bencana
Pada saat bencana ada 3 tahap yang dapat disiapkan oleh petugas kesehatan,
yaitu:
1) Siaga darurat
Siaga darurat adalah suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang
ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya. Kegiatan
penanganan gizi pada situasi siaga darurat sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat

2) Tanggap darurat
Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat
dikelompokkan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap tanggap darurat awal dan
tanggap darurat lanjut.

 Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi sebagai


berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam
pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara
lengkap,bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan adanya
penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan.

Lamanya fase ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah
bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada fase ini
kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan
dapat mempertahankan status gizinya
b. Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan
c. Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)

Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana


mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum
adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana
mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan
kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam bentuk kering
(dry ration) dan basah (wet ration). Dalam perhitungan ransum basah
diprioritaskan penggunaan garam beriodium dan minyak goreng yang
difortifikasi dengan vitamin A.
 Tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap darurat awal,
dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat kedaruratan.
Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi dan
kondisi setempat di daerah bencana. Pada tahap ini sudah ada informasi
lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan
umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan
sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada tahap ini meliputi:
1) Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health
Assessment (RHA).
2) Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang
badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar
Lengan Atas).
3) Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB<-2SD)
dan jumlah ibu hamil
4) Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare,
campak, demam berdarah dan lain-lain.

Informasi tentang proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan


sebagai dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan penanganan
gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang terjadi.

3) Transisi darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi darurat
disesusaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dilaksanakan
kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat

 Pasca bencana
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah melaksanakan
pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari surveilans, untuk mengetahui
kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan melaksanakan kegiatan pembinaan
gizi sebagai tindak lanjut atau respon dari informasi yang diperoleh secara
terintegrasi dengan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public health
response) untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan kesehatan
korban bencana

Pengelolaan pelayanan gizi saat bencana:

Pengelolaan pelayanan gizi dilakukan melalui mekanisme sub klaster gizi. Sub klaster
gizi adalah bagian dari mekanisme koordinasi klaster kesehatan dalam penanggulangan
bencana dan krisis kesehatan. Pendekatan klaster adalah pendekatan koordinatif yang
menyatukan semua pihak terkait baik pemerintah maupun non-pemerintah dalam upaya
penanggulangan bencana

Pengelolaan pelayanan gizi saat bencana meliput:

1) Pemberian makanan bayi dan anak pada situasi bencana

Tujuan dari dukungan PMBA pada situasi bencana adalah untuk melakukan
penyelamatan jiwa Ibu dan Anak serta perlindungan dari berbagai penyakit infeksi
yang mungkin timbul sebagai dampak bencana melalui dukungan gizi. Pada saat
bencana, standar emas Pemberian Makan Ibu, Bayi dan Anak, yang dimulai dengan
pemenuhan gizi ibu yang optimal, Inisiasi Menyusu Dini, Pemberian ASI Eksklusif,
dan pemberian Makanan Pendamping ASI berkualitas dimulai usia 6 bulan, dan terus
memberikan ASI hingga dua tahun atau lebih, sangat penting untuk melindungi gizi
dan kesehatan ibu, bayi dan anak

2) Pencegahan dan penanganan gizi kurang dan gizi buruk pada situasi bencana

Pada saat terjadi bencana, sangatlah penting untuk memberikan perhatian kepada
kelompok rentan terutama mereka yang mengalami kekurangan gizi. Respon yang
diberikan dengan cepat, pada saat yang tepat akan menyelamatkan jiwa, dan
mencegah terjadinya penurunan status gizi ibu, bayi dan anak, khusunya balita
dengan gizi buruk atau gizi kurang.

Kegiatan Pencegahan dan Penanganan Gizi Buruk dan Gizi Kurang Pada Situasi
Bencana antara lain:

 Tata Laksana Kasus Gizi Kurang & Gizi Buruk


 Konseling Gizi dan Penyakit
 Pelatihan Tata Laksana Gizi Kurang & Gizi Buruk untuk tenaga medis lokal
 Orientasi bagi Kader Masyarakat
 Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang & Gizi Buruk
3) Suplementasi gizi pada situasi bencana

Pada situasi bencana, pemenuhan zat gizi mikro pada anak balita, ibu hamil dan
ibu nifas, serta balita dengan penyakit infeksi tertentu, berperan penting untuk
melindungi gizi dan kesehatan ibu, bayi dan anak. Tujuan dari dukungan kepada
kelompok tersebut di atas adalah untuk memberikan perlindungan dari berbagai
masalah kekurangan zat gizi mikro yang mungkin timbul sebagai dampak bencana.

Suplementasi gizi pada situasi bencana meliput:

 Pemberian Makanan Tambahan Ibu Hamil dan Balita


 Distribusi Vitamin A pada Balita
 Pelatihan Tata Laksana Gizi Kurang & Gizi Buruk untuk tenaga medis lokal
 Sosialisasi Suplementasi Gizi
4) Sub klaster gizi

Koordinasi penanganan gizi dilakukan melalui mekanisme sub klaster gizi. Sub
klaster gizi adalah bagian dari mekanisme koordinasi klaster kesehatan dalam
penanggulangan bencana dan krisis kesehatan. Pendekatan klaster adalah pendekatan
koordinatif yang menyatukan semua pihak terkait baik pemerintah maupun non-
pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana. Mekanisme koordinasi sub
klaster gizi juga bertujuan untuk memastikan agar koordinasi penanganan gizi yang
dilakukan oleh pemerintah dan mitra sesuai dengan prioritas pemerintah daerah
terdampak. Sub klaster gizi diaktifkan oleh Koordinator Klaster Kesehatan di
masing-masing tingkatan sebagai berikut:
 Pada keadaan darurat bencana tingkat Kabupaten/Kota, Sub Klaster Gizi
diaktifkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pada keadaan darurat bencana tingkat Provinsi, sub klaster gizi diaktifkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
 Pada bencana atau krisis kesehatan tingkat nasional, sub klaster gizi diaktifkan
oleh Pusat Krisis Kesehatan.

Koordinator sub klaster gizi adalah penanggung jawab gizi di KEMENKES dan
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, atau pejabat/staff yang ditunjuk oleh
koordinator sub klaster gizi pada masing-masing tingkatan.

5) Komunikasi resiko dan pelayanan masyarakat

Standar Inti Kemanusiaan (Core Humanitarian Standard) menyatakan bahwa


para pekerja/relawan lembaga kemanusiaan serta pemerintah bertanggung jawab
kepada orang-orang yang mereka layani, dan memastikan bahwa pemberian bantuan
yang efektif.

Kualitas, efektivitas dan ketepatan waktu aksi kemanusiaan akan dapat


dilakukan dengan baik dengan adanya keterlibatan dari populasi terdampak
terdampak. Pelibatan masyarakat dimulai dengan koordinasi yang perlu dilakukan
pada awal bencana, dimana pemerintah, lembaga kemanusiaan baik lokal maupun
internasional, mitra pembangunan, dan berbagai lembaga kemanusiaan lainnya
membentuk kelompok kerja untuk memasitkan adanya pelibatan masyarakat

Komunikasi menjadi unsur penting dalam proses pelibatan masyarakat. Dengan


komunikasi, melalui dialog dua arah dengan masyarakat terdampak, pemberi bantuan
dapat berbagi informasi mengenai berbagai kegiatan penyelamatan jiwa, dan pada
saat yang sama, mendengarkan berbagai keluhan, solusi, saran dan kebutuhan dari
masyarakat terdampak. Dengan demikian masyarakat terdampak memiliki suara
dalam segala keputusan pemberian bantuan bagi mereka sendiri.

Anda mungkin juga menyukai