Anda di halaman 1dari 9

Bab 25 Manajemen Makanan dan Gizi dalam Situasi Bencana

Pemberian makanan dalam situasi bencana sangat penting karena semua orang berhak mendapatkan
makanan, bukan hanya sekedar agar terbebas dari kelaparan, namun juga untuk memenuhi kebutuhan
gizinya. Situasi bencana dapat memicu terjadinya masalah gizi pada berbagai kelompok usia. Populasi
yang berisiko tinggi mengalami malnutrisi saat bencana adalah bayi dan anak, ibu hamil dan menyusui,
serta lansia.1

25.1 Prinsip Umum Pemberian Makanan dan Pemenuhan Gizi dalam Situasi Bencana
Prinsip umum program penanggulangan gizi saat bencana, yaitu:
1. Kebutuhan pangan para pengungsi ditentukan dengan mengacu pada standar angka kecukupan
gizi.
2. Program penyediaan makanan diusahakan menggunakan bahan pangan setempat maupun bahan
pangan yang tersedia.
3. Pengungsi dan keluarganya dilibatkan dalam sistem distribusi makanan saat bencana.

Pemberian makanan dan pemenuhan gizi saat bencana dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Penyelamatan
Tahap penyelamatan merupakan kegiatan yang bertujuan agar para pengungsi tidak lapar dan
dapat mempertahankan status gizinya. Tahap ini terdiri dari 2 fase
a. Fase 1: saat pengungsi baru terkena bencana, petugas belum sempat mengidentifikasi
pengungsi secara lengkap dan belum ada perencanaan pemberian makanan terinci
sehingga semua golongan umur menerima bahan makanan yang sama. Fase ini
maksimum selama 5 hari dan sasarannya adalah semua pengungsi.
b. Fase 2: saat pengungsi sudah lebih dari 5 hari bermukim di tempat pengungsian, sudah
ada gambaran umum pengungsi (jumlah, golongan usia, jenis kelamin, dan sebagainya),
sehingga perencanaan pemberian bahan makanan sudah lebih terinci dan tersedia cukup
bantuan bahan makanan.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini dimulai selambat-lambatnya pada hari ke-20 di tempat pengungsian. Kegiatan yang
dilakukan meliputi :
a. Melakukan penapisan status gizi pengungsi.
b. Menyelenggarakan pemberian makanan tambahan sesuai kondisi pengungsi.
c. Melakukan penyuluhan baik perorangan maupun kelompok.
d. Memantau perkembangan status gizi melalui surveilans.
e. Melakukan modifikasi atau perbaikan intervensi sesuai dengan perubahan tingkat
kedaruratan.
3. Tahap Pengamatan/ Surveilans Gizi
Pada tahap ini dapat dikumpulkan informasi lebih lengkap yang dibutuhkan untuk merencanakan
penanganan gizi dalam situasi bencana dengan lebih tepat, mencakup: (1) skala bencana; (2)
kelompok prioritas; (3) wilayah prioritas; (4) kegiatan pokok intervensi yang diperlukan; dan (5)
sumber daya yang diperlukan.2

Menu makanan saat bencana (terutama di pengungsian) secara umum harus memenuhi syarat:
● Teknik memasak sederhana (merebus, menumis, menggoreng, mengukus).
● Dapat dikerjakan dengan cepat.
● Praktis dan mudah dibagikan (misalnya daging 1 kg dipotong menjadi 20 porsi @50 gram).
● Berdasarkan pangan yang tersedia/ diterima (bahan makanan lokal).
● Bentuk makanan yang disediakan makanan biasa dan lunak.
● Bahan makanan yang tidak banyak menghasilkan sampah: Pilih buat utuh (buah tertutup/ terbalut
kulitnya seperti pisang, jeruk, salak, jambu dll).
● Memenuhi syarat gizi seimbang dan sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia yang
dianjurkan.
● Menu khusus untuk bayi dan anak sesuai panduan Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA)
yang ditetapkan.
● Menghindari/ mengurangi penggunaan makanan kemasan.2

Pemberian makanan dalam situasi bencana juga harus memperhatikan kebutuhan kalori kelompok usia,
jenis kelamin, dan faktor kerentanan; misalnya: 2
● Anak usia 1–3 tahun: 1125 kkal/ hari
● Ibu hamil dan menyusui: 2500 kkal/ hari
● Pria dewasa: 2700 kkal/ hari
● Wanita dewasa: 2200 kkal/ hari
● Pria lansia: 2100 kkal/ hari
● Perempuan lansia: 1900 kkal/ hari.

25.2 Penanganan Makanan dan Gizi dalam Situasi Bencana Berdasarkan Kelompok Usia
Secara umum, penanganan makanan dan gizi untuk orang dewasa, baik untuk pengungsi, tenaga
kesehatan, dan relawan dalam situasi bencana adalah sebagai berikut:
● Pola makan: Tiga kali makan besar (pagi, siang, malam) diselingi cemilan sebanyak dua kali
(pagi menjelang siang dan sore).
● Menu makan besar harus dapat memenuhi kebutuhan zat gizi makro, yaitu karbohidrat (200 gram
nasi/ lainnya), protein dan lemak (ayam/ sapi/ ikan/ telur/ tahu/ tempe); serta zat gizi mikro, yaitu
vitamin dan mineral (sayuran dan buah-buahan).
● Cemilan pagi dan sore (sekitar pukul 10.00 dan 16.00) dapat berupa menu kolak pisang, singkong
rebus, atau lainnya.
● Pemberian makanan tentunya harus mempertimbangkan kebutuhan kalori sesuai jenis kelamin,
usia, dan faktor lainnya.

Namun demikian, penanganan makanan dan gizi untuk bayi dan anak, ibu hamil dan menyusui, serta
lansia memerlukan perhatian khusus karena kebutuhan masing-masing yang berbeda.

25.2.1 Penanganan Makanan dan Gizi untuk Bayi dan Anak dalam Situasi Bencana
Bayi dan anak, khususnya di bawah usia 2 tahun memerlukan perhatian khusus karena masih berada
dalam periode emas tumbuh kembang 1000 hari pertama kehidupannya. Penanganan makanan dan gizi
untuk bayi dan anak dalam situasi bencana perlu dilakukan dengan baik agar terhindar dari risiko
stunting.

Untuk mencegah stunting dan malnutrisi di daerah bencana, ada sepuluh prinsip tatalaksana gizi saat
bencana yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Bayi harus tetap disusui secara eksklusif sejak lahir hingga usia 6 bulan. Perlu upaya alternatif
untuk bayi piatu.
2. Menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang mendorong menyusui secara sering untuk
anak-anak hingga usia 2 tahun atau lebih.
3. Kuantitas, distribusi, dan penggunaan Breastmilk-substitute harus dikontrol ketat.
4. Untuk pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan bayi usia 6 bulan ke atas dan anak-anak,
dibutuhkan Makanan Pendamping ASI yang bergizi, higienis, dan mudah untuk dimakan.
5. Pengasuh perlu mendapatkan bahan-bahan yang tepat untuk menyiapkan makanan padat gizi.
6. Promosi kapasitas coping pengasuh sebagai bagian dari membina praktik pemberian makanan
yang baik.
7. Kesehatan dan kebugaran bayi dan anak-anak harus diperhatikan agar tetap mampu menyusu
(bayi) dan mempertahankan nafsu makan.
8. Status gizi harus dipantau untuk identifikasi kekurangan gizi.
9. Intervensi harus segera dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif darurat.
10. Membutuhkan pendekatan yang fleksibel berdasarkan pemantauan yang cermat dan
berkelanjutan pada promosi pemberian makanan optimal bagi bayi dan anak-anak.

Penanganan makanan dan gizi bayi dan anak dalam tahapan bantuan kebencanaan:
1. Tahap siaga darurat:
a. Penilaian/pengkajian status gizi secara cepat (rapid nutrition assessment) meliputi data
jumlah dan keadaan ibu menyusui, bayi, dan anak; data ASI eksklusif dan Makanan
Pendamping ASI sebelum bencana; dan kebiasaan penduduk terkait Pemberian Makanan
pada Bayi Anak (PMBA), serta pola asuh.
b. Semua balita dengan gizi buruk dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan.
2. Tahap Tanggap Darurat Awal
a. Fase 1 (1-5 hari):
■ Pemberian makanan agar pengungsi tidak lapar, pengawasan distribusi makanan,
dan analisis hasil rapid health assessment.
■ Pemberian Makanan Pendamping ASI untuk balita (6-24 bulan) dan anak
sekolah dengan prioritas balita gizi kurang (BB/TB <-2 SD)
b. Fase 2 (5-14 hari):
■ Penghitungan kebutuhan gizi/ kalori yang disesuaikan dengan asuhan gizi
pediatrik dan penyelenggaraan makanan di dapur umum sesuai kebutuhan
tersebut.
3. Tahap Tanggap Darurat Lanjutan
a. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil rapid health assessment serta kejadian
penyerta seperti campak, diare, demam berdarah dan lain-lain.
b. Pengumpulan data antropometri balita dan anak (berat badan, tinggi/panjang badan,
umur, lingkar lengan atas) untuk menentukan status gizi kurang atau buruk. Semua balita
dengan gizi buruk dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan
c. Proporsi status gizi anak digunakan untuk menentukan tindakan lanjutan:
■ Situasi serius: gizi kurang ≥15% (tanpa faktor penyulit) atau ≥10% (dengan
faktor penyulit). Penanganan: ransum dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk kelompok rentan
■ Situasi berisiko: gizi kurang 10-14,9% (tanpa faktor penyulit) atau 5-9.9%
(dengan faktor penyulit). Penanganan: PMT untuk semua kelompok rentan
terutama balita gizi kurang
■ Situasi normal: gizi kurang <10% (tanpa faktor penyulit) atau <5% (dengan
faktor penyulit). Penanganan: tidak perlu intervensi khusus.
● Pemberian Makanan Pendamping ASI dan suplemen gizi
● Anak gizi kurang: pemberian makanan tambahan selain makanan
keluarga
● Penyediaan makanan pokok, sumber energi terkonsentrasi dan sumber
protein
● Populasi rentan: pemberian vitamin A (di luar bulan Februari dan
Agustus).

Untuk mendukung Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) yang benar dalam situasi bencana,
diperlukan dukungan semua pihak dalam hal:
1. Mengupayakan adanya ruangan khusus di pengungsian untuk ibu menyusui dan memerah ASI
(bisa disebut Pojok Laktasi) sebagai bagian dari dukungan psikososial, dengan kondisi:
○ Ruangan tertutup dengan ventilasi udara yang cukup.
○ Penutup ruangan bisa dibuat dari kain yang tidak tembus pandang dan dipasang seperti
tirai.
○ Ruangan bersih.
○ Tersedia alas untuk duduk (tikar atau bangku).
○ Tersedia bantal bila memungkinkan
○ Tersedia air minum bagi ibu yang menyusui atau memerah ASI.
2. Bagi anak-anak yang sebelum kondisi bencana sudah diberi Air Susu Ibu (ASI), dukung ibu
untuk meneruskan pemberian ASI. Susu formula sebagai Breastmilk-substitute diberikan hanya
pada keadaan yang sangat terbatas, yaitu:
○ Diberikan pada anak piatu
○ Pemberian berada di bawah pengawasan yang ketat oleh tenaga kesehatan
○ Tersedianya air bersih dan bahan bakar untuk memasak air
○ Tersedianya cangkir/ gelas dan sendok yang bersih (jangan gunakan botol susu dan dot)
○ Ibu atau pengasuh mengerti cara menyiapkan dengan takaran yang tepat (diberikan
penjelasan oleh tenaga kesehatan)
○ Memerhatikan tanggal kadaluarsa, yaitu: masa berlaku sewaktu diterima harus lebih dari
enam bulan
3. Mengupayakan sebagian ruangan dari dapur umum untuk mengolah Makanan Pendamping ASI
(lihat bagian 25.3.4 Dapur Sehat Baduta)

25.2.2 Penanganan Makanan dan Gizi untuk Ibu Hamil dan Menyusui dalam Situasi Bencana
Pemberian makanan bagi ibu hamil dan menyusui dalam situasi bencana juga penting untuk mencegah
stunting pada bayi dan anak karena periode emas tumbuh kembang anak dalam 1000 hari pertama masa
kehidupan dimulai sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun.

Pada saat kegawatdaruratan bencana, ibu hamil banyak mengalami penurunan status gizi, akibat dari
faktor asupan yang berkurang dan diperburuk dengan faktor stress yang meningkat pada saat bencana. 1
Ibu yang kurang gizi akan melahirkan bayi yang kecil dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan
memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi, baik bagi bayi atau ketika proses melahirkan 1,2 Bayi BBLR
cenderung akan mengalami kejadian stunting, tumbuh kurus (wasted) ataupun mengalami gangguan
perkembangan saraf di masa depan.1,2

Kebutuhan zat gizi mikro bagi keseluruhan populasi juga mengalami penurunan yang tinggi. Asupan
yang kurang disertai ketidakberagaman zat gizi yang didapat menjadikan kekurangan zat gizi mikro
cenderung meningkat.1 Kurang tersedianya suplementasi untuk ibu hamil pada saat bencana, contohnya
tablet asam folat dapat meningkatkan risiko kelainan saraf pada bayi. 2 Kekurangan gizi pada ibu
menyusui saat bencana memberikan dampak kepada penurunan ASI. WHO memperkirakan bahwa
malnutrisi adalah penyebab lebih dari setengah kematian pada anak. Hal ini tentunya menjadi satu
kesatuan dengan terjadinya peningkatan risiko malnutrisi pada bayi akibat kurangnya produksi ASI pada
ibu menyusui yang mengalami kekurangan asupan ataupun terkena infeksi menular saat bencana, serta
kurangnya edukasi terhadap cara menyusui dan fungsi ASI bagi kehidupan anak. 3

Tiga masalah defisiensi zat gizi mikro tersering saat bencana adalah defisiensi vitamin A, zat besi, dan
iodium. Data dari WHO mengidentifikasi ibu hamil merupakan populasi berisiko mengalami defisiensi
vitamin A berdasarkan data prevalensi rabun senja terjadi pada 5% ibu hamil. Pemberian suplementasi
vitamin A direkomendasikan terutama pada ibu hamil di negara berkembang yang kemungkinan memiliki
keterbatasan dalam menerima asupan gizi yang baik selama kehamilan. Anemia karena zat besi paling
umum terjadi pada anak-anak (usia 6-24 bulan) dan wanita usia reproduksi (terutama wanita hamil). Hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa sebesar 48.9% ibu hamil mengalami anemia.
Sejumlah 84.6% ibu hamil yang mengalami anemia berada pada kelompok umur 15-24 tahun. Anemia
pada ibu hamil sebagian besar merupakan akibat dari kekurangan zat besi, sehingga pemberian
suplementasi zat besi penting terutama pada masa subur dan masa kehamilan. 1,3
Penanganan makanan dan gizi ibu hamil dan menyusui dalam tahapan tanggap darurat awal:
● Fase 1 tanggap darurat awal
Penyusunan ransum ibu hamil dan menyusui pada fase ini sama dengan ransum orang dewasa
pada umumnya, yaitu memenuhi kebutuhan kalori 2.100 kkal/orang/hari. Penentuan formula
energi 2.100 kkal ini sudah melalui konsensus yang ditetapkan dalam MoU antara UNCHR/ WFP
dan diterapkan secara global. Formula energi 2.100 kkal ini harus memenuhi komposisi
setidaknya protein 50 g (10%) dan 40 g (17%) lemak, serta mengandung zat gizi mikro, baik dari
bahan makanan maupun fortifikasi. Tujuan pemberian kalori ini untuk mencegah terjadinya
kelaparan dan menjaga status gizi. 1 Pada fase ini dilakukan Rapid Health Assessment (RHA)
untuk menghitung jumlah kelompok rentan termasuk ibu hamil dan menyusui dan status
kesehatannya.
● Fase 2 tanggap darurat awal
Pada fase ini dilakukan penghitungan kebutuhan gizi sesuai dengan kebutuhan ibu hamil dan
menyusui dengan pemberian penambahan kalori menjadi 2.500 kkal/ hari. Perhitungan ini
berdasarkan penambahan kebutuhan energi dari 2.100 kkal pada orang dewasa, ditambah
sebanyak 300 kkal dan 17 g protein pada ibu hamil dan 500 kkal dan 17 g protein pada ibu
menyusui.4

Intervensi suplementasi gizi pada ibu hamil dan menyusui pada situasi bencana meliputi kegiatan sebagai
berikut:
1. Penyediaan Makanan Tambahan (MT) Ibu Hamil
Pada situasi bencana makanan sangat terbatas dan layanan dapur umum pun belum tersedia, maka
sebagai salah satu upaya respon cepat untuk penyediaan asupan gizi bagi ibu hamil dan menyusui
adalah dengan membagikan makanan tambahan berupa makanan pabrikan (biskuit). Sedangkan
pada fase 2 tanggap darurat bencana di mana suplai makanan sudah mulai berdatangan, maka
dapat diberikan makanan dalam bentuk makanan segar yang diolah.
2. Suplementasi Vitamin A pada ibu menyusui
Pemberian vitamin A pada ibu menyusui bertujuan untuk mencegah kekurangan vitamin A,
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, serta mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB)
diare. Pada ibu nifas (0-40 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A dosis 200.000 IU. Kapsul pertama
diberikan pada hari pertama, sedangkan kapsul berikutnya diberikan pada hari berikutnya dengan
selang waktu minimal 24 jam.
3. Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) Bagi Ibu hamil dan Remaja Putri
Sasaran pemberian TTD adalah seluruh ibu hamil dan remaja putri untuk mencegah anemia dan
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Ibu hamil diberikan 1 TTD setiap hari selama
minimum 90 hari, sedangkan remaja putri diberikan 1 TTD setiap minggu sepanjang tahun.
4. Suplementasi Obat Cacing
Manajemen profilaksis anti intestinal parasit dapat diberikan pada ibu hamil berupa 500 mg
mebendazole di trimester kedua dan ketiga. 5

Perlu dipastikan ibu hamil dan ibu menyusui mendapatkan akses terhadap air minum yang bersih.
Kebutuhan minum ibu hamil dan menyusui adalah 2-3 liter perhari atau 10-12 gelas perhari. 2

Dilakukan pemberian penyuluhan tentang gizi baik secara kelompok maupun perorangan sesuai dengan
kondisi saat itu, sebagai contoh konseling tentang menyusui dan MP-ASI 4

25.2.3 Penanganan Makanan dan Gizi untuk Usia Lanjut dalam Situasi Bencana
Kebutuhan energi untuk usia lanjut pada umumnya sudah menurun, tetapi tidak demikian dengan
kebutuhan vitamin dan mineral, sehingga diperlukan makanan porsi kecil tetapi padat gizi.

Dalam pemberian makanan pada orang tua harus memperhatikan faktor psikologis dan fisiologis agar
makanan yang disajikan dapat dikonsumsi habis. Selain itu makanan yang diberikan mudah dicerna serta
mengandung vitamin dan mineral cukup. Dalam situasi yang memungkinkan untuk lansia dapat diberikan
blended food berupa bubur atau biskuit.

25.3 Dapur Umum Pengungsi


Dapur umum untuk pengungsi korban bencana biasanya dibuat di dalam tenda peleton atau di dalam
rumah penduduk yang dialihfingsikan menjadi dapur umum atau di dalam kendaraan respons bencana.
Dapur umum seringkali memiliki keterbatasan ruang dan dimensi sehingga kurang memadai untuk segala
kegiatan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan makanan dan gizi para pengungsi. Diperlukan
pemahaman yang baik terkait tujuan, cara penyiapan, dan manajemen dapur umum sehingga dapat
memenuhi kebutuhan setiap kelompok pemgungsi secara memadai.

25.3.1 Tujuan Dapur Umum


Dapur umum memegang peranan penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan
memastikan ketersediaan pangan bagi korban bencana, memberikan bantuan pertama berupa makan bagi
korban, serta sebagai tempat/ wadah proses penyelenggaraan makanan untuk korban bencana.

25.3.2 Penyiapan Dapur Umum


Pemilihan lokasi dapur umum diupayakan dapat memenuhi kriteria berikut:
1. Dekat dengan posko pengungsian
2. Kebersihan lingkungan cukup memadai
3. Aman dari bencana
4. Dekat dengan sumber air
5. Dekat dengan transportasi umum

Dapur umum untuk penanggulangan bencana biasanya diadakan dalam tenda peleton, rumah/ posko yang
dijadikan dapur, atau mobil lapangan. Dapur umum yang terbuat dari tenda sebaiknya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Material. Dapur terbuat dari material yang aman, tidak mudah terbakar, tidak mudah sobek,
mudah didapatkan di pasaran.
2. Ruang. Dimensi cukup memenuhi untuk beraktivitas petugas di dalamnya, mampu menampung
logistik dan peralatan memasak, serta tersedia ruang terbuka dan ruang tertutup untuk hal-hal
yang tidak diakses oleh umum.
3. Proses produksi. Dapur bisa diproduksi di industri manufaktur sederhana.
4. Alur Sirkulasi. Dapur mempertimbangan faktor ergonomi, ruang sirkulasi keluar masuk, serta
alur beraktifitas di dalamnya. Dapur juga memiliki area pandang yang bebas, serta memberikan
kenyamanan. Tersedianya sirkulasi udara yang baik akan membuat suhu di dalamnya nyaman
untuk beraktivitas.
5. Tanda/sign. Dapur memiliki tanda-tanda yang menunjukkan dapur, area, serta papan penunjuk
yang diperlukan.
6. Pemasangan. Tenda didesain mudah untuk dibongkar/ pasang. Tenda terdiri dari beberapa
komponen, yaitu alas, kerangka, badan tenda. Tenda juga bisa dirangkai dengan tenda sejenis di
sebelahnya bila komposisi terdiri dari beberapa tenda. Dapur bersifat mobile dan portable, agar
bisa dikirim ke lokasi dengan medan berbagai kondisi.
7. Desain. Dapur umum memiliki unsur estetika (desain) yang indah sesuai kaidah desain yang
baku.

25.3.3 Manajemen Dapur Umum


Satu unit dapur umum ditangani oleh satu regu untuk melayani 500 orang. Satu regu terdiri dari:
● 1 orang Ketua Regu
● 1 orang Wakil Ketua Regu
● 1 orang Penanggung Jawab Tata Usaha
● 1 orang Penanggung Jawab Peralatan dan Perlengkapan
● 1 orang Penanggung Jawab Memasak
● 1 orang Penanggung Jawab Distribusi
● Beberapa orang Tenaga dari Unsur Masyarakat yang membantu

Distribusi makanan dilakukan dengan cara:


● Pembagian menggunakan kartu distribusi
● Pendistribusian dilakukan 2 kali sehari
● Lokasi distribusi aman dan mudah dicapai oleh korban
● Waktu pendistribusian konsisten dan tepat waktu
● Pembagian makanan bisa menggunakan daun, piring, kertas atau sesuai dengan pertimbangan
aman, cepat, praktis, dan sehat.

Pengaturan menu mempertimbangkan:


● Nilai gizi cukup
● Biaya relatif murah
● Cita rasa dapat memenuhi selera
● Sehat dan dapat diterima oleh dewasa maupun anak-anak
● Penyajian makanan pokok harus disesuaikan dengan kebiasaan sehari hari

Hidangan sehat harus mengandung :


● Sumber zat tenaga: karbohidrat, lemak
● Sumber zat pembangun: protein
● Sumber zat pengatur: vitamin, mineral, air

25.3.4 Dapur Sehat Baduta


Untuk memenuhi kebutuhan Makanan Pendamping ASI bagi bayi dan anak usia 6-23 bulan, tim
manajemen dapur umum dapat bekerja sama dan membagi peran dalam menyiapkan menu, bahan
makanan dan peralatan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan dapur sehat baduta.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan Makanan Pendamping ASI adalah:
● Usia anak
● Frekuensi pemberian makanan dalam sehari
● Jumlah pemberian makanan atau porsi untuk sekali makan
● Tekstur makanan
● Variasi makanan
● Kebersihan
● Pemberian makanan secara aktif kepada anak.

Rangkuman petunjuk MP-ASI untuk usia 6-23 bulan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Sumber: Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Kemenkes RI, 2022

25.3.5 Mencegah Kontaminasi Makanan


Untuk mencegah kontaminasi makanan, perlu dilakukan beberapa upaya mulai dari saat pengolahan
sampai penyajian makanan, sebagai berikut:
1. Menggunakan peralatan masak yang bersih
2. Cuci tangan pakai sabun, terutama saat:
○ Sebelum menyiapkan bahan makanan
○ Setelah memegang bahan makanan hewani yang masih mentah
○ Sebelum memasak bahan makanan
○ Sebelum mengemas bahan makanan
○ Sebelum makan
○ Setelah buang air besar dan buang air kecil
○ Setelah memegang barang yang kotor
3. Mencuci bahan makanan terlebih dahulu sebelum dipotong
4. Saat mengolah makanan, menggunakan penutup kepala (misalnya: syal, kerudung dan lain-lain)
agar tidak ada rambut atau kotoran yang jatuh ke makanan. Bila sedang batuk, gunakan masker
penutup mulut.
5. Menutup makanan yang sudah siap saji supaya tetap bersih
6. Membuang sisa-sisa olahan dan sampah lainnya ke tempat sampah
7. Selalu menjaga kebersihan tempat yang digunakan untuk mengolah makanan
8. Selalu tersedia air minum yang layak, baik air dingin maupun air panas
9. Tersedia alat makan dan alat minum yang bersih
10. Diutamakan menggunakan alat makan dan alat minum yang bisa digunakan berulang kali (tidak
sekali pakai lalu dibuang yang akan mengakibatkan bertambahnya tumpukan sampah)

Referensi
1. Hemlyati S, Yuliati E, Maghribi R, Wisnusanti SU. Manajemen Gizi dalam Kondisi Bencana.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2018
2. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
pelaksanaan respon gizi pada masa tanggap darurat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2020.
3. Pakaya RS, Mangundap E, Tjahjono L, Mudjiharto, Marwati I, Ali IAN, et al. Pedoman teknis
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
4. Panduan Penanggulangan Bencana IDAI 2010
5. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana, Kemenkes, 2012
6. Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
7. Buku Panduan Masyarakat: Kegiatan Pemberian Makan Bayi dan Anak dalam Situasi Bencana,
Wahana Visi Indonesia, 2013.
8. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI, 2022.
9. Rachman, N. N., & Andayani, D. E. (2021). Pengelolaan Gizi Bencana pada Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui. IJCNP (INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL NUTRITION PHYSICIAN), 4(2),
148-164.
10. Hardinsyah, M., & Supariasa, I. D. N. (2016). Ilmu gizi teori dan aplikasi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 170-181
11. World Health Organization, UNHCR, World Food Programme, UNICEF. Food and nutrition
needs in emergencies. Geneva: World Health Organization.2004.

Anda mungkin juga menyukai