Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

I
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena kita masih dilimpahkan
berbagai macam kenikmatan, diantaranya ni’mat kesehatan dan waktu luang, sehingga
kita bisa melakukan aktivitas kita dalam kesehariannya, diantaranya makalah berjudul
“Identifikasi Golongan Obat’ ini dapat disusun dalam rentang waktu yang telah
ditentukan. Usaha bagaikan setetes air dilautan, namun saya berharap dengan hadirnya
makalah ini dihadapan para pembaca dapat memberikan konstribusi dalam membantu
pengembangan pengetahuan.

Pada penyusunan makalah ini, saya mencoba sedikit membahas tentang pengertian
dari masing-masing golongan obat, khasiat, efek samping hingga cara kerja golongan
obat tersebut. Walaupun saya telah berusaha semaksimal mungkin namun saya merasa
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karen itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari Dosen pengampu dan khusunnya para
pembaca yang budiman demi penyempurnaan makalah saya selanjutnya.

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam
mementukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan jasmani dan rohani pada manusia atau
hewan termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.

Obat merupakan suatu zat tunggal atau campuran yang digunakan untuk bagian
dalam maupun untuk untuk pencegahan, diagnosa dan pengobatan. Beberapa jenis obat
secara khusus antara lain obat jadi, obat generik, obat essensial, obat tradisional, dan
lainnya. Penggolongan obat dapat dibedakan berdasarkan peraturan dalam perundang
undangan kesehatan, penggunaan, fisiologis dan biokimia didalam tubuh, serta cara kerja
obat tersebut. Sediaan obat juga terdiri dari berbagai macam ada yang dalam bentuk
padat, setengah padat, cairan, dan gas. Adanya bentuk sediaan obat juga membantu
pasien dalam mengkonsumsi obat. Bahan obat juga terdapat berbagai macam sumber
seperti tumbuhan, hewan, sintetis, serta mikroba atau fungi.

Kimia Farmasi Analisis adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari tentang
penggunaan sejumlah teknik dan metode untuk memperolch aspek kualitatif, kuantitatif,
dan informasi struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya, dan bahan kimia pada
umumnya. Analisis kualitatif merupakan analisis untuk melakukan identifikasi elemen,
spesies, dan/atau senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel. Dengan kata lain, analisis
kualitatif berkaitan dengan cara untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu analit yang
dituju dalam suatu sampel Sedangkan analsis kuantitatif adalah analisis untuk
menentukan jumlah kadar absolut atau relatif dari suatu elemen atau senyawa yang ad di
dalam sampel (Gandiar. 2007).

III
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana membedakan golongan obat berdasarkan struktur dan dan sistem
pengelompokkannya lainnya?
2) Bagaimana menentukan golongan obat berdasarkan reaksinya dengan
pereaksi umum dan khusus?
3) Bagaimana menentukan jenis obat dari sampel murni atau dari sampel
campuran?

1.3. Tujuaan
1) Dapat mengetahui penggolongan obat beserta pereaksi yang digunakan
dalam setiap golongan obat
2) Dapat membedakan antara sampel murni dengan sampel dalam bentuk
sediaan farmasi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Teori
1. Obat Golongan Sulfa
Sulfonamida merupakan kemoterapeutik pertama yang efektif pada terapi
penyakit sistemik.S ekarang, penggunaannya terdesak oleh kemoterapeutik lain
yang lebih efektif dan kurang toksik. Banyak organisme yang menjadi resisten
terhadap sulfonamida. Penggunaannya meningkat kembali sejak ditemukan
kotrimoksazol yaitu kombinasi trimetoprim dengan sulfametoksazol.

Sulfonamida adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara


sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia.
Sulfonamida merupakan kelompok obat penting pada penanganan infeksi
saluran kemih (ISK). Sulfonamida merupakan kelompok kemoterapi dengan
rumus dasar.

a) Pemakaian
1. Kemoterapeutikum : Sulfadiazin, Sulfathiazol
2. Antidiabetikum : Nadisa, Restinon.
3. Desinfektan saluran air kencing : Thid\iour
4. Diuretikum : Diamox

b) Sifat – sifat
1. Bersifat ampoter, karena itu sukar di pindahkan dengan acara pengocokan
yang digunakan dalam analisa organik.
2. Mudah larut dalam aseton, kecuali Sulfasuksidin, Ftalazol dan Elkosin

5
c) Kelarutan
1. Umumnya tidak melarut dalam air, tapi adakalanya akan larut dalam air
panas. Elkosin biasanya larut dalam air panas dan dingin.
2. Tidak larut dalam eter, kloroform, petroleum eter.
3. Larut baik dalam aseton.
4. Sulfa – sulfa yang mempunyai gugus amin aromatik tidak bebas akan
mudah larut dalam HCl encer. Irgamid dan Irgafon tidak lariut dalam HCl
encer.
5. Sulfa – sulfa dengan gugusan aromatik sekunder sukar larut dalam HCl,
misalnya septazin, soluseptazin, sulfasuksidin larut dalam HCl, akan tetapi
larut dalam NaOH.
6. Sulfa dengan gugusan –SO2NHR akan terhidrolisis bila dimasak dengan
asam kuat HCl atau HNO3.

Sulfanamida adalah anti mikroba yang digunakan secara sistemis maupun topikal
untuk beberapa penyakit infeksi.Sebelum ditemukan antibiotik, sulfa merupakan
kemoterapi yang utama, tetapi kemudian penggunaannya terdesak oleh antibiotik.
Pertengahan tahun 1970 penemuan preparat kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol
meningkatkan kembali penggunaan sulfonamida.

Selain sebagai kemoterapi derivat sulfonamida juga berguna sebagai diuretik dan anti
diabetik oral (ADO). Sulfa bersifat bakteriostatik luas terhadap banyak bakteri gram
positif dan negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan antagonisme saingan antara PABA
(Para Amino Benzoic Acid) yang rumus dasarnya mirip dengan rumus dasar sulfa :

H2N – C6H4 – COOH


Sulfonamida adalah sebuah agen kemoterapi. Antimikroba ini kebanyakan merupakan
turunan sulfanilamida (p – aminobenzenasulfonamida : NH2.C6H4.SO2.NH2).

Sulfonamida bertindak sebagai analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA),


yang menghambat PABA saat pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam

6
folat.Organisme yang membuat sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan
eksogen dari vitamin menjadi sensitif terhadap sulfonamida, karena selnya dapat
menyerap obat ini, sementara organisme yang memerlukan asam folat eksogen untuk
pertumbuhannya tidak sensitif.Penundaan periode beberapa generasi terjadi antara
paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan penghambatan pertumbuhan; pada saat ini
sel menghabiskan pasokan asam folat endogen yang telah dibuat sebelumnya.Efek
penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai bersama dengan antibiotik (misalnya
penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang tumbuh.

d) Mekanisme Kerja
Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat
yang di gunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat.Sulfonamid merupakan
penghambat kompetitif PABA. Efek antibakteri sulfonamide dihambat oleh adanya
darah, nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat
berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin.

Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfanamid karena menggunakan folat


jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri senyawa tersebut).
Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh sulfonamide, maka
akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional.

e) Klasifikasi Sediaan
Berdasarkan kecepatan absorpsi dan eksresinya, sulfonamide dibagi
menjadi:
1. Sulfonamid dengan absorpsi dan eksresi cepat, antara lain :
sulfadiazine dan sulfisoksazol.
2. Sulfonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per oral dan karena itu
kerjanya dalam lumen usus, antara lain : ftalilsulfatiazol dan
Sulfasalazin.

7
3. Sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topical antara lain :
sulfasetamid, mefenid, dan Ag-sulfadiazin.
4. Sulfonamid dengan masa kerja panjang, seperti sulfadoksin,
absorpsinya cepat dan eksresinya lambat.

Berdasarkan efek yang dihasilkan sulfonamida dibagi menjadi 2, yaitu :


1. Efek sistemis, contohnya kotrimoksazol, trisulfa
2. Efek lokal, contohnya sulfacetami

f) Efek samping
Efek samping sering timbul (sekitar 5%) pada pasien yang mendapat
sulfonamide.Reaksi ini dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Efek samping
yang terpenting adalah kerusakan pada sel-sel darah yang berupa agranulositosis,
anemia aplastis dan hemolitik. Efek samping yang lain ialah reaksi alergi, gangguan
system hematopoetik, dan gangguan pada saluran kemih dengan terjadinya kristal
uria yaitu menghablurnya sulfa di dalam tubuli ginjal.

g) Interaksi Obat
Sulfonamid dapat berinteraksi dengan antikoagulan oral, antidiabetik
sulfonylurea dan fenitoin. Penggunaan sulfonamide sebagai obat pilihan pertama dan
untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu makin terdesak oleh perkembangan obat
antimikroba lain yang lebih efektif serta meningkatkanjumlah mikroba yang resisten
terhadap sulfa. Namun peranannya meningkat kembali dengan di temukannya
kotrimoksazol. Penggunaan topical tidak dianjurkan karena kurang/tidak efektif,
sedangkan risiko terjaadinya reaksi sensitisasi tinggi, kecuali pemakaian local daro
Na-sulfasetamid pada infeksi mata.

f) Khasiat

8
Sejak tahun 1980-an penggunaannya sebagai anibiotik udah banyak sekali
berkurang karena banyak jenis kuman sudah menjadi resisten dan telah
ditemukannya berbagai antibiotika baru dengan efek bakterisid yang lebih efektif dan
lebih aman.

Dewasa ini masih terdapat sejumlah indikasi untuk penggunaan oral dari sulfonamide
dan senyawa kombinasinya, yakni :
1. Infeksi saluran kemih: sulfametizol, sulfafurazol, dan kotrimoksazol, sering
digunakan sebagai desinfektans infeksi saluran kemih bagian atas yang menahun.
Juga digunakan untuk mengobati cystitis.

2. Infeksi mata: Sulfasetamida, Sulfadikramida, sulfametizol digunakan topical


terhadap infeksi mata yang disebabkan oleh kuman yang peka terhadap sulfonamida.
Secara sistemis zat ini juga digunakan untuk penyakit mata berbahaya, trachoma
yang merupakan sebab utama dari kebutaan di dunia ketiga.
3. Radang usus: sulfasalazin khusus digunakan untuk penyakit radang usus kronis
Crohn dan colitis.
4. Malaria tropika: Fansidar
5. Radang otak (meningitis): berkat daya penetrasinya yang baik kedalam CCS obat-
obat sulfa sampai beberapa tahun lalu dianggap sebagai obat terbaik untukmengobati
atau mencegah meningitis, terutama sulfadiazin. Timbulnya banyak resistensi dengan
pesat menyebabkan obat ini telah diganti dengan ampisilin atau rifampisin.
6. Infeksi lain: silversulfadiazin banyak digunakan untuk pengobatan luka bakar.
Kotrimoksazol sama efektifnya dengan ampisilin pada tifus perut, infeksi saluran
nafas bagian atas, radang paru-paru (pada pasien AIDS) serta penyakit kelamin
gonore. Secara rectal(suppositoria) sulfonamide tidak digunakan karena resorpsinya
tidak sempurna (antara 10-70%) dan kurang teratur.

2. Identifikasi Barbiturate

9
Barbital adalah suatu golongan obat tidur yang mempunyai inti hasil kondensasi
ester etil dari asam dietilmalonal dan ureum. Barbital (barbiturat) digunakan sebagai
obat hipnotik, sedative, antikonvulsan, dan anastetik dengan sifat nonselektif.
Barbiturat bersifat lipofil, sukar larut dalam air tetapi mudah dalam pelarut-pelarut
nonpolar seperti minyak dan kloroform. Karena sifat lipofiliknya, barbiturat mudah
menembus SSP dan daya hipnotiknya juga diperkuat. Dengan meningkatnya sifat
lipofilik ini maka efeknya dan lama kerjanya dipercepat. Barbital merupakan derivat
dari asam barbiturate. Asam barbiturat merupakan hasil reaksi kondensasi antara urea
dengan asam malonat melalui eliminasi 2 molekul air. Barbiturat selama beberapa
saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang
kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan
oleh benzodiazepin yang lebih aman (Ganiswara, 1995). 

Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat


(2,4,6-trioksoheksahidropirirmidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara urea
dengan asam malonat (Ganiswara, 1995). Asam barbiturat sendiri tidak
menyebabkan depresi SSP, efek hipnotik dan sedatif serta efek lainnya ditimbulkan
bila pada posisi 5 ada gugusan alkil atau aril (Ganiswara, 1995). Barbiturat bekerja
pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis
nonanestesi teruatama menekan respons pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi
pada sinaps GABA-nergik.

Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA
sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada
eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA
sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi
bersifat sebagai aganis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat (Ganiswara, 1995).

Barbital-barbital semuanya bersifat lipofil, sukar larut dalam air tetapi mudah
larut dalam pelarut-pelarut non polar seperti minyak, kloroform dan sebagainya. Sifat

10
lipofil ini dimiliki oleh kebanyakan obat yang mampu menekan SSP. Dengan
meningkatnya sifat lipofil ini, misalnya dengan mengganti atom oksigen pada atom
C2 menjadi atom belerang, maka efek dan lama kerjanya dipercepat, dan seringkali
daya hipnotiknya diperkuat pula (Tadjuddin, 2001).

a) Macam-Macam golongan Barbital


 Penggolongan barbiturat disesuaikan dengan lama kerjanya, yaitu (Tadjuddin,
2001):

1. Barbiturat kerja panjang Contohnya: Fenobarbital digunakan dalam


pengobatan kejang

2. Barbiturat kerja singkat Contohnya: Pentobarbital, Sekobarbital, dan


Amobarbital yang efektif sebagai sedatif dan hipnotik

3. Barbiturat kerja sangat singkat Contohnya: Tiopental, yang digunakan untuk


induksi intravena anestesia.

Analisis kimia farmasi kuantitatif dapat didefinisikan sebagai aplikasi


prosedur kimia analisis kuantitatif terhadap bahan-bahan yang dipakai dalam
bidang farmasi terutama dalam menentukan kadar dan mutu dari obat-obatan dan
senyawa-senyawa kimia yang tercantum dalam farmakope-farmakope serta
buku-buku resmi lainnya seperti formulariumformularium (Susanti, 1997).

b) Sifat-sifat Golongan Barbital


Sifat-sifat umum senyawa barbital antara lain :

1. Barbital mempunyai asam berbasa satu yang sangat lemah, asam barbiturate
dapat dalam bentuk keto dan bentuk enol, bentuk enol ini yang menyebabkan
bereaksi asam dan dapat diionisasi. Oleh karena itu barbita larut dalam alkali.

11
Tetapi garam-garam Na nya tidak stabil dalam air terutama sekali pada
pemanasan, dalam air akan terhidrolis. Oleh karena mudah terhidrolisa maka
garamnya dalam air tidak boleh disimpan lama.
2. Asam barbiturate sukar larut dalam air, mudah larut dalam eter, kloroform, dan
etil asetat
3. Mudah mengadakan sublimasi, hasil sublimasi dapat dipakai untuk
mengidentifikasi barbital, terutama jika sublimasi dalam keadaan vacuum.

4. Barbital mempunyai titik lebur yang tajam, tetapi titik lebur ini sulit digunakan
untuk identifikasi karena titik lebur tiap zat berdekatan. Misal : TL Luminal :
173 – 174 C TL Prominal : 174 – 176 C

c) Efek Samping

Efek samping golongan barbital memiliki sifat untuk mengaktivir enzim-enzim


yang bertanggung-jawab atas perombakannya, dengan kata lain menginduksi enzim.
Dengan demikian inaktivasinya semakin lama semakin cepat dan dibutuhkan dosis
yang lebih tinggi untuk memperoleh kadar darah dan efek hipnotik yang sama
(toleransi). Selain ini timbul pula sejenis toleransi farmakodinamis, yang disebabkan
peristiwa adaptasi (mencocokkan diri) dari jaringan-jaringan saraf terhadap
kehadiran obat ini. Akibat hal-hal ini adalah terjadinya kebiasaan (habituasi). Pada
penggunaan terus-menerus terjadi pula ketergantungan fisik dan psikis (Tjay dan
Rahardja, 2002).

3. Identifikasi Morfin

Morfin adalah alkaloida terpenting yang terdapat dalam candu, yaitu getah yang
dikeringkan dari tumbuhan Papaver somniferum. Sebagai zat psikotrop, morfin
memiliki tiga kelompok khasiat penting, yaitu :

12
1. Menekan SSP : analgetis, hipnotis, supresi pernapasan dan kadang kala
menimbulkan euforia.
2. Menstimulasi SSP : miosis, mual, muntah, eksitasi dan konvulsi.
3. Efek perifer : obstipasi dan retensi urine.

Morfin merupakan ikatan protein rendah. Pemberian umumunya secara parenteral


dan pada pemberian oral sebagian besar mengalami metabolisme lintas pertama di hepar.
Potensi tinggi untuk disalahgunakan. Penggunaan untuk penghilang rasa nyeri hebat,
edema paru dan angina pektoris (Munaf, 1994).

Morfin merupakan alkaloida yang terdapat dalam opium/candu yang berasal dari
tanaman papaver somniferum L. Bila digunakan dapat menimbulkan ketergantungan
fisik, psikis dan toleransi sehingga penggunaan dalam pengobatan sangat dibatasi dan
merupakan pilihan obat terakhir. Morfin berupa serbuk berwarna putih, digunakan dalam
pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri yang amat sangat pada penderita kanker,
operasi dan sebagainya, pemberian morfin kepada pasien sudah dalam bentuk sustained
release tablet.

Morfin dalam bahasa asing dikenal sebagai morphine atau morphium. Candu yang
baik mengandung 9-14 % morfin. Morfin diperoleh dari candu dengan cara ekstrasi.
Morfin adalah suatu amina tersier, yang struktur kimianya mengandung sebuah radikal
hidroksi alkoholik dan sebuah radikal hidroksi fenolik. Radikal fenolik inilah yang
menyebabkan morfin dapat larut dalam alkali dan dengan larutan ferri klorida
membentuk senyawa yang berwarna. ( Damin Sumardjo. 2006)

Morfin atau morfina merupakan alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan
agen aktif utama yang ditemukan pada opium. Morfina bekerja langsung pada sistem
saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping morfina antara lain adalah
penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfina juga
mengurangi rasalapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi.

13
Morfin adalah hasil olahan dari opium atau candu mentah dan merupaka alkaloida
yang terdapat dalam opium berupa serbuk putih. Konsumsi morfin biasanya dilakukan
dengan cara dihisap atau disuntikkan. Karena morfin tergolong dalam jenis depresan,
maka ia bekerja dengan cara menekan susunan syaraf pusat, menyebabkan turunnya
aktifitas neuron, pusing, perubahan perasaan dan kesadaran berkalut. Konsumsi morfin
secara kontinyu memiliki resiko tinggi berujung kematian.

a) Khasiat

Morfin dapat meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh serangan jantung
atau infark miokard. Nyeri ini biasanya berupa nyeri dada yang parah dan menyiksa
yang sering menjalan ke sisi dalam lengan kiri, leher, punggung, dan kepala. Bidang
ini adalah salah satu penggunaan morfin yang penting dalam praktik klinis saat ini
(Pathan dan Williams, 2012).

Selain itu, morfin juga dapat menghilangkaan nyeri tulang dan sendi yang parah,
menghilangkan rasa sakit sebelum, selama dan setelah operasi terutama operasi besar
yang melibatkan tulang dan organ besar (Charles, 2002).

Morfin juga dapat digunakan sebagai anestesi umum untuk menenangkan pasien,
juga anestesi regional seperti anestesi spinal atau epidural (Chang, et al, 2010).

b) Efek Samping

Morfin memiliki efek pada beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin
dapat menginhibisi sekresi HCl, sehingga menyebabkan pergerakan lambung
menurun, tonus bagian antrum meningkat serta motilitasnya berkurang disamping itu
sfringter pylorus berkontraksi, berakibat pada pergerakan pada isi lambung menuju
duodenum melambat. Pada usus halus, morfin dapat menurukan sekresi empedu
maupun pancreas, serta memperlambat penyerapan makanan pada usus halus.

14
Sedangkan di dalam usus besar, morfin dapat menurukan atau meniadakan gerakan
propulsi usus besar, meningkatkan tonus lalu menyebabkan spasme pada usus besar,
hal ini mengakibatkan penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras
(Charles, 2002)

Konstipasi atau sembelit ada masalah umum, terjadi pada 40% - 95% pasien
yang diberikan opioid, bahkan hanya dengan dosis tunggal morfin. Walaupun sering
sebagai efek samping yang sepele, konsekuensi jangka panjang dari sembelit dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitsa yang signifikan, dengan efek buruk pada
kualitas hidup pasien.

Sembelit parah dapat memaksa pasien untuk mengurangi dosis opioid yang
mengakibatkan penurunan analgesia. Sembelit kronis dapat menyebabkan
pembentukan wasir, nyeri rectum dan rasa terbakar, sumbatan usus, dan potensi
pecahnya usus dan kematian. Opioid mengaktifkan reseptor mu disaluran pencernaan
yang bertanggungjawab atas motilitas usus membentuk distribusi vascular serta
aplikasi local ke usus.

Morfin dapat bertindak dalam CNS untuk mengubah aliran otonom ke usus.
Perifer mempengaruhi motilitas usus dengan stimulasi langsung reseptor opioid
dalam system saraf enteric. (Benyamin, et al, 2008).

Mual dan muntah yang terjadi sebagai efek samping morfin, disebabkan oleh
akibat morfin menstimulasi pada pusat muntah di bagian otak medulla oblongata.
Ketika pusat muntah menerima rangsangan impuls afferen dari CTZ dimana melalui
stimulasi langsung maupun tidak pada saluran pencernaan. Pada area pusat muntah
itu, terdapat banyak reseptorreseptor yang memiliki peran dalam proses terjadinya
mual dan muntah, sedangkan antiemetik umumnya bekerja dengan menghambat
neurotransmiter pada reseptor tersebut. Impuls efferen akan melalui saraf kranialis V,
VII, IX, X dan XII lalu ke saluran gastrointestinal sehingga dapat menimbulkan efek
mual dan muntah (Acalovschi, 2002).

15
Morfin juga mempengaruhi saluran kemih. Mekanisme retensi urin masih belum
sepenuhnya dipahami. Opioid dalam hal ini morfin dikenal dapat meengurangi tonus
detrusor dan kekuatan kontraksi, mengurangi sensasi penuh dan keinginan untuk
membatalkan, serta menghambat reflex berkemih. Efek ini bersifat nalokson
reversible.

Efek samping jantung dari opioid tidak terlalu umum. Morfin telah dikaitkan
dengan pelepasan histamine dan akibat vasodilatasi dan hipotensi. Efek samping ini
sebagian diblokir oleh H1 antagonis tetapi sepenuhnya dibalik oleh nalokson.
Stimulasi dari parasimpatis juga berkontribusi terhadap terjadinya bradikardia
(Benyamin, et al, 2008).

c) Mekanisme Kerja

Morfin ialah agonis reseptor opioid, dengan efek utamanya yaitu berikatan serta
mengaktivasi reseptor µ-opioid pada system saraf pusat. Aktivasi dari reseptor ini
akan menghasilkan efek analgesia, sedasi, physical dependence, euforia dan
respiratory depression. Morfin adalah obat yang biasa digunakan dalam manajemen
dari nyeri akut maupun kronis. Sering dijumpai juga penggunaan morfin sebagai
analgesic sebelum dilakukannya operasi, untuk anestesi regional dan nyeri sendi.
Efek analgesic morfin mengambil bagian pada mu(µ) opioid receptor (MOR), sebuah
G protein-coupled receptor (GPCR) pada sel-sel neuron (Flemming, 2010).

Pengikatan morfin pada MOR menyebabkan aktivasi protein G dan


penghambatan adenylyl siklase. Pelepasan adenosine monofosfat siklik (cAMP)
berkurang, menyebabkan penghambatan saluran Ca2+ dan Na+ sehingga
menghasilkan efek analgesia. Efek yang ditimbulkan morfin pada system saraf pusat
ada dua, yaitu depresi dan stimulasi (Zakaria, et al, 2015).

16
MOR adalah reseptor G-proteincoupled yang dapat mengaktifkan beberapa jalur
pensinyalan seluler. Jalur pertama dimediasi oleh aktivasi G-protein sensitive
terhadap pertussis-toksin. Jalur kedua diinduksi oleh perektrutan β-arrestin ke
reseptor, yang menyebabkan aktivasi selanjutnya dari kaskade pensinyalan “non-
classical” lainya seperti jalur protein kinase yang diaktifkan oleh mitogen.

Morfin umumya dianggap sebagai agonis MOP pola dasar yang dibandingkan
dengan semua analgesic lainnya, juga menghilangkan tingkat aktivitas pada resptor
tambahan, bertindak sebagai agonis pada reseptor MOP, tetapi juga memiliki
aktivitas pada reseptor KOP dan DOP. Dimana agonis receptor MOP ini
bertanggungjawab atas sebagian besar sifat analgesic dari opioid. Aktivitas pada
reseptor opioid juga bertanggungjawab atas banyak efek samping yang biasanya
terlihat dengan penggunaannya. Opioid dapat menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran dan euphoria, menjadikan seringnya disalahgunakan. (Morgan, et al,
2012 ; Butler, et al, 2011).

Mereka juga memberikan efek pada system pernapasan, mengurangi laju


pernapasan dan mendapatkan reflex jalan nafas, efek yang dianggap menguntungkan
selama anestesi (Chang, et al, 2010).

4. Identifkasi Amfetamin

Formula
Amfetamin adalah
C,H, N Massa mol
135.2084. Amfetamin atau Amphetamine adalah obat golongan stimulansia (hanya
dapat diperoleh dangan resep dokter) biasanya digunakan unuk mengobati gangguan
hiperaktif karena kurang perhatian atau attention deficit hyperactivity disorder
(ADHD) pada pasien dewasa dan anak-anak. Amfetamin juga digunakan untuk

17
mengobati gejala-gejala luka-luka traumatik pada otak dan gejala mengantuk pada
siang hari pada kasus narkolepsi dan sindrom kelelahan kronis.
Amfetamin adalah obat stimulan sistem saraf pusat yang digunakan untuk
menangani narkolepsi dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Amfetamin merupakan satu jenis psikotropika yang dibuat secara sintetis dan kini
terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning,
maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil. Menurut UU No. 5 Tahun 1997,
amfetamin masuk ke dalam jenis psikotropika golongan II yang berkhasiat terapi
tetapi dapat menimbulkan ketergantungan. Senyawa ini memiliki nama kimia α–
methylphenethylamine yang merupakan suatu senyawa yang telah digunakan secara
terapetik untuk mengatasi obesitas, Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD), dan narkolepsi. Secara klinis, efek amfetamin sangat mirip dengan kokain,
tetapi amfetamin memiliki waktu paruh lebih panjang dibandingkan dengan kokain
(waktu paruh amfetamin 10-15) dan durasi yang memberikan efek euforianya 4–8
kali lebih lama dibandingkan kokain.

Obat-obat yang teermasuk dalam golongan amfetamin adalah:


1. Amfetamin
2. Metamfetamin
3. Metilendoksimetamfetamin

a) Khasiat

Sensasi yang ditimbulkan akan membuat otak lebih jernih dan bisa berpikir lebih
fokus. Otak menjadi lebih bertenaga untuk berpikir berat dan bekerja keras.

b) Efek Samping

Dampak Amfetamin Bagi Tubuh akan muncul kondisi arogan yang tanpa sengaja
muncul akibat penggunaan zat ini. Pupil akan berdilatasi (melebar). Menggunakan

18
amfetamin dapat menyebabkan otak untuk menghasilkan tingkat dopamin yang lebih
tinggi. Jumlah dopamin yang berlebih di dalam otak akan menghasilkan perasaan
euforia dan kesenangan yang biasa dikenal sebagai “high.”

c) Mekanisme Kerja Amfetamin

Amfetamin bekerja dengan mengubah kadar zat alami tertentu yang mengontrol
impuls di dalam otak, sehingga meredakan gejala dari kondisi yang diderita.
Aktivitas amfetamin di seluruh otak tampaknya lebih spesifik, reseptor tertentu yang
merespon amfetamin di beberapa daerah otak cenderung tidak melakukannya di
wilayah lain. Sebagai contoh dopamin D2 reseptor di hippocampus, suatu daerah
otak yang terkait dengan membentuk ingatan baru, tampaknya tidak terpengaruh oleh
kehadiran amfetamin. Sistem saraf utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian
besar terlibat dalam sirkuit otak. Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur
berbagai hal penting di otak tampaknya menjadi target utama dari amfetamin, salah
satu neurotransmiter tersebut adalah dopamin, sebuah pembawa pesan kimia sangat
aktif dalam mesolimbic dan mesocortical jalur imbalan. Tidak mengherankan,
anatomi komponen jalur tersebut termasuk striatum, yang nucleus accumbens, dan
ventral striatum telah ditemukan untuk menjadi situs utama dari tindakan amfetamin.
Fakta bahwa amfetamin mempengaruhi aktivitas neurotransmitter khusus di daerah
yang terlibat dalam memberikan wawasan tentang konsekuensi perilaku obat, seperti
timbulnya stereotipeuforia. Amfetamin telah ditemukan memiliki beberapa analog
endogen, yaitu molekul struktur serupa yang ditemukan secara alami di otak 1-
fenilalanin dan β-fenetilalamin, yang terbentuk dalam sistem saraf perifer serta dalam
otak itu sendiri. Molekul-molekul ini akan memodulasi tingkat kegembiraan dan
kewaspadaan.

5. Identifikasi Hormon Steroid

Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar

19
adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi.
Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012; Gilman, 2012; Johan,
2015).

Kortikosteroid ditemukan pada tahun 1950, pertama kali digunakan untuk terapi
irritable bowel disease (IBD). Pasien IBD merasakan efek pengobatan gejala
penyakit mereka sejak hari pertama menggunakan kortikosteroid (Crohn & Colitis
Foundation of America, 2015).

Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat dan
reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana
penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic lupus
erythematosus (SLE) (Arthritis Australia, 2008).

Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan seperti replacement


therapy pada penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi androgen pada
congenital adrenal hyperplasia (CAH), dan terapi kelainan-kelainan non endokrin
seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain (Azis, 2006).
Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan
topikal maupun sistemik (Johan, 2015)

a) Khasiat
Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat dan
reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana
penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic lupus
erythematosus (SLE) (Arthritis Australia, 2008). Kortikosteroid juga diresepkan
dalam berbagai pengobatan seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi
adrenal, supresor sekresi androgen pada congenital adrenal hyperplasia (CAH), dan

20
terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi
transplantasi, alergi, dan lain-lain (Azis, 2006). Kortikosteroid juga banyak
diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan topikal maupun sistemik
(Johan, 2015).

b) Efek Samping

Selain memiliki manfaat yang banyak, kortikoseteroid memiliki banyak efek


samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima efek samping pengobatan. Kortikosteroid
sering disebut life saving drug karena dalam penggunaanya sebagai antiinflamasi,
kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif, yaitu menghambat gejala saja
sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini akhirnya menyebabkan
kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai indikasi, dosis, dan lama pemberian
(Suherman & Ascobat, 2005; Azis, 2006; Guidry et al., 2009).

Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang serius dan
bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan menjadi
semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya, baik itu dosis
maupun lama pemakaian (Gilman, 2012). Guidry et al. (2009) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara durasi pemakaian kortikostroid dengan
mean severity score efek samping kortikosteroid.

Salah satu efek samping dari kortikosteroid adalah menurunkan jumlah limfosit
dan monosit di perifer dalam 4 jam. Hal ini terjadi karena adanya redistribusi
temporer limfosit dari intravaskuler ke dalam limpa, kelenjar limfe, duktus torasikus
dan sumsum tulang (Aziz, 2006). Pemberian glukokortikoid menyebabkan
penurunan jumlah limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dalam sirkulasi, tetapi
glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan leukosit polimorfonuklear (netrofil)
dalam sirkulasi. Penggunaan kortikosteroid dalam jumlah banyak dan waktu yang
lama juga dapat menurunkan proses pembentukan fibroblas serta menurunkan
jumlah gerakan dan fungsi leukosit (Aziz, 2006; David & Dolores, 2007; Hidayanti

21
et al., 2014).

Menurut Crohn & Colitis Foundation of America (2015), selain memiliki efek
antiinflamasi yang cepat, kortikosteroid juga memiliki efek imunosupresif. Efek ini
menyebabkan penurunan aktivitas sistem imun tubuh yang pada akhirnya dapat
menyebabkan seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit. Kortikosteroid
memengaruhi sel darah putih (leukosit) dengan cara menurunkan migrasi sel
inflamasi (PMN, monosit, dan limfosit) sehingga penggunaan kortikosteroid dalam
waktu yang lama dapat meningkatkan kejadian infeksi. Penelitian lain juga
mengungkapkan penggunaan kortikosteroid akan meningkatkan infeksi nosokomial,
polimikrobial, dan jamur selama dirawat di rumah sakit sehingga kortikosteroid
meningkatkan risiko kematian ataupun kecacatan pada pasien acute critical illness
(David & Dolores, 2007; Prasetyo et al., 2014).

c) Mekanisme Kerja
Hormone steroid melewati membrane sel masuk ke dalam sitoplasma setiap sel,
baik set target hormone steroid maupun sel lainnya. Tetapi reseptor hormon steroid
hanya terdapat didalam sel target yaitu di dalam sitoplasmanya. Bila hormone steroid
berikatan dengan reseptor sitoplasma maka kompleks hormone reseptor tersebut
setelah mengalami modifikasi akan ditranslokasi ke tempat kerjanya (Site Of Action)
di dalam inti sel yaitu pada kromatin. Selanjutnya terjadilah beberapa hal yang
berhubungan dengan peningkatan sintetis, protein sesuai dengan fungsi masing-
masing sel target.

d) Struktur Senyawa Hormon Steroid

22
Steroid adalah molekul bioaktif penting dengan kerangka dasar 17 atom C yang
tersusun dari 4 buah gabungan cincin, 3 diantaranya yaitu sikloheksana dan
siklopentana (Dang et al., 2018). Senyawa steroid berupa kristal berbentuk jarum
dengan karakteristik mengandung gugus OH, gugus metil, dan memiliki ikatan
rangkap yang tidak terkonjugasi (Suryelita et al., 2017)

Steroid memiliki peran pentingdalam dunia medis, salah satunya yaitu androgen
yang merupakan hormon steroid yang berfungsi sebagai agen yang menstimulasi
organ seksual pada wanita (Nogrady, 1992).

Tugas utama steroid endogen atau yang secara alami terdapat dalam tubuh yaitu
berperan dalam proses regulasi metabolisme seperti metabolisme energi, air dan
keseimbangan natrium, fungsi reproduksi dan fungsi perilaku dan kognitif. Selain itu,
senyawa steroid sintetis dalam jumlah besar secara struktural yang memiliki target
spesifik telah menunjukkan aktifitasnya terhadap beberapa penyakit seperti kanker,
gangguan hati, kardiovaskular, inflamasi, dan penyakit lainnya yang berhubungan

dengan hormon sterid (Bhawani et al., 2011).

Salah satu kandungan steroid yang ada pada tanaman adalah campestrol. Sama
seperti β-sitosterol yang sering ditemukan di tanaman, campesterol memiliki
efektifitas sebagai antikanker. β-sitosterol berguna untuk mencegah berbagai macam
kanker seperti kanker rahim, payudara, prostat dan usus (Awad et al., 2000)

23
6. Identifikasi NSAID atau OAINS
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau disebut juga non steroid
inflammatory drugs (NSAID) adalah obat yang paling sering diresepkan untuk
mengurangi rasa nyeri dan peradangan (Atchison et al., 2013). Aspirin atau acetyl
salicylic acid merupakan salah satu jenis OAINS yang termasuk dalam golongan
salisilat yang banyak digunakan pada pengobatan nyeri ringan sampai sedang
(Mustaba, 2012).

Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) merupakan salah satu golongan obat atau


senyawa heterogen yang digunakan untuk menekan tanda dan gejala peradangan atau
sebagai antiinflamasi. Selain itu obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan
analgetik.1 Obat ini digunakan untuk meringankan demam dan rasa nyeri yang
berhubungan dengan sakit kepala, flu, dan peradangan sendi. Namun paling sering
digunakan pada berbagai diagnosa nyeri sendi yaitu spondilitis ankilosis, dan gout.
Pada keadaan tersebut obat AINS digunakan secara jangka panjang dan
terusmenerus, hal ini dapat menyebabkan efek samping ataupun efek toksik.

a) Khasiat

Khasiat dari golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) diantaranya
ialah:
1. Nyeri
AINS merupakan analgetik yang biasanya efektif melawan nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang, contohnya pada keadaan sakit gigi, nyeri
menstruasi, dan nyeri pascaoperatif.
2. Demam
Demam Pemilihan obat AINS dengan onset cepat tampaknya cukup logis untuk
menangani demam yang berhubungan dengan penyakit minor pada orang
dewasa. Namun untuk anak-anak dan remaja dibawah 20 tahun tidak disarankan
menggunakan aspirin dan salisilat dalam pengobatan demam. Hal ini dapat
meningkatkan kejadian sindrom Reye. Sindrom reye ditandai dengan

24
ensefalopati dan infiltrasi lemak nonperadangan pada hati dan ginjal.
Asetaminofen merupakan obat antipiretik pilihan untuk anak-anak dan remaja.
3. Gangguan Muskuloskeletal
Dengan fungsi antiinflamatorinya obat AINS digunakan pada pengobatan
gangguan inflamasi, seperti artritis rheumatoid, gout, spondylitis ankilosis dan
osteoarthritis.6 Namun pada beberapa obat tidak efektif untuk gangguan
muskuloskeletal. Contohnya tolmetin tidak efektif pada gout, Oxaprozin Daypro
Piroksikam Campain, Counterpain PXM, Feldene, Fleroxi, Feldco, Pirofel
Sulindak Clinoril Tolmetin - Etorikoksib Arcoxia Selekoksib Celebrex
Parekoksib Dynastat 16 dan aspirin kurang efektif pada spondylitis ankilosis.
Mekanisme obat AINS hanya memberikan pemulihan simtomatik dari nyeri dan
inflamasi yang disebabkan penyakit, namun tidak menghentikan perkembangan
kerusakan patologis jaringan.
4. Mastositosis sistemik
Mastositosis sistemik adalah kondisi dimana terdapat kelebihan sel mast di
sumsum tulang, sistem retikuloendotelium, sistem gastrointestinal, tulang, dan
kulit. Pada penggunaan aspirin dan ketoprofen terbukti mengurangi jumlah sel
mast.
5. Kemoprevensi kanker kolorektal
Dengan menurunnya sintesis prostaglandin oleh karena penggunaan obat AINS,
faktor pertumbuhan endothelial vaskular pada angiogenesis tidak akan
meningkat pada kejadian kanker kolorektal. Obat-obat yang dapat digunakan
sebagai kemoprofilaksis kanker kolorektal adalah aspirin, selekoksib,
rofekoksib, valdekoksib, parekoksib, eterikoksib, lumirakoksib dan sulindak
6. Tolerabilitas niasin
Pada pemberian dosis besar niasin atau asam nikotinat efektif dalam
menurunkan kadar kolesterol serum, mengurangi LDL, dan meningkatkan
HDL.18 Toleransi yang buruk oleh niasin mengakibatkan pelepasan prostaglandin
D2 dari kulit yang akan menyebabkan sensasi hangat dan kemerahan pada wajah
atau disebut flushing. Pada mekanismenya aspirin akan menghambat pelepasan
prostaglandin

25
b) Efek Samping

AINS sama seperti obat lainnya dapat mengakibatkan efek samping yang
beragam pada setiap sistem di dalam tubuh. Baik obat AINS inhibitor selektif
dan non-selektif dapat menyebabkan gejala yang ringan sampai gejala yang berat
oleh karena penggunaan obat golongan ini. Beberapa organ yang terganggu
antara lain sistem gastrointestinal, kardiovaskular, ginjal dan renovaskular,
sistem saraf pusat, platelet pada darah, reaksi hipersensitivitas sampai gangguan
pada uterus.

Dari laporan Western Pain Society gejala pada sistem gastrointestinal


menyebabkan lebih dari 100.000 kejadian rawat inap dan 16.500 kematian di
U.S pertahunnya 28 Menurut American College of Gastroenterology AINS
merupakan penyebab kedua dari kejadian ulkus lambung. Ulserasi mungkin
terjadi pada mukosa muskularis. Ulkus dapat ditemukan tunggal ataupun
multipel dengan dan tanpa perdarahan yang dapat menyebabkan anemia sampai
syok hemoragik yang mengancam jiwa. Hal ini juga dapat meningkatkan
kejadian infeksi Helicobacter pylori.

Efek samping lainnya yang sering ditimbulkan oleh obat ini adalah
anoreksia, mual dispepsia, nyeri abdomen, dan diare. Pada beberapa obat yang
termasuk ke dalam golongan inhibitor COX2 selektif berpengaruh pada sistem
kardiovaskular. Hal ini diakibatkan karena waktu paruh dari golongan ini relatif
pendek dan tidak memberikan efek kardioprotektif. Obat ini menekan
pembentukan prostacyclin (PGI2). Dimana PGI2 berfungsi untuk mencegah
peningkatan risiko trombosis. Efek samping terutama ditemukan pada
penggunaan indometasin dan golongan koksib.31 Efek lainnya yang dapat kita
temukan antara lain serangan jantung, peningkatan tekanan darah, gagal jantung
pada pasien retensi cairan.

26
Pada tahun 2014 Therapeutic Good Administration di Australia memaparkan
bahwa efek kardiovaskular pada penggunaan obat AINS akan meningkat pada
perokok, obesitas, kadar kolesterol tinggi dan tekanan darah tinggi.32 Selain
gangguan pada sistem gastrointestinal dan kardiovaskular, beberapa jenis obat
AINS juga dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Hal Ini terjadi apabila
pemberian AINS dikombinasikan dengan ACEInhibitor dan obat-obat diuretik.
Penggunaan AINS jangka panjang juga dapat menyebabkan kerusakan hati.

Obat-obatan golongan AINS juga bekerja menghambat reabsorpsi klor dan


kerja vassopresin yang diinduksi oleh prostaglandin yang akan menyebabkan
retensi air dan garam pada ginjal. Reaksi hipersensitifitas juga dapat terjadi
akibat penggunaan aspirin dan obat AINS, mulai dari rhinitis vasomotor,
angioedema, urtikaria, menyeluruh, asma bronkial, edema laring,
bronkokonstriksi, flushing, hipotensi dan syok. Pada ibu dalam keadaan hamil
trimester tiga juga mempengaruhi kontraksi uterus dan menyebabkan
perpanjangan masa kehamilan oleh karena itu AINS merupakan kontraindikasi
pada akhir kehamilan.

c) Mekanisme Kerja

Proses inflamasi atau peradangan adalah respon terhadap stimulus luka yang
disebabkan oleh infeksi, antibodi dan cedera fisik. Tubuh memiliki respon imun
yang akan menetralkan antigen dalam tubuh. Namun respon imun yang terjadi
terus-menerus akan menyebabkan peradangan kronik yang bersifat merugikan.
Sel yang rusak akibat peradangan kronik akan melepaskan sejumlah mediator
inflamasi. Leukosit akan melepaskan asam arakidonat yang merupakan hasil
metabolisme di jalur siklooksigenase dan menghasilkan prostaglandin.
Prostaglandin memiliki efek pada pembuluh darah, saraf dan sel-sel yang terlibat
dalam peradangan. Obat Anti-inflamasi non-steroid ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga terdapat penurunan prostaglandin dan prekursor
tromboksan yang disintesis oleh asam arakidonat. Enzim siklooksigenase

27
terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut
dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar
COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi pada kondisi normal di
berbagai jaringan, khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit.

Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang


bersifat melindungi mukosa lambung atau sitoprotektif. Siklooksigenase-2
semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamator, termasuk sitokin,
endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors). Ternyata sekarang COX-2
juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu pada organ ginjal, jaringan vaskular dan
pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A2 yang disintesis trombosit oleh
COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti proliferative.
Prostaglandin dilepaskan ketika sel rusak lalu obat AINS selektif dan non-
selektif menghambat biosintesisnya pada semua tipe sel. Akan tetapi, obat
golongan ini tidak menghambat pembentukan mediator inflamasi lain. Meskipun
efek klinis obat-obat ini secara jelas menghambat sintesis prostaglandin,
perbedaan besar antar individu dan intra individu dalam respon klinis diketahui
dapat mengurangi produksi radikal superoksida, menginduksi apoptosis,
menghambat ekspresi molekul adhesi, menurunkan nitrogen monoksida sintase,
menurunkan sitokin proinflamatori (contohnya TNF-α dan IL-1), mengubah
aktivitas limfosit, dan mengganggu fungsi membran seluler. Akan tetapi,
terdapat perbedaan pendapat mengenai kerja ini yang berperan dalam aktivitas
anti-inflamasi obat AINS pada konsentrasi yang dicapai selama terapi.

7. Obat Absorpsi dan Penyalahgunaannya


Aborsi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pengguguran kandungan.
Makna aborsi lebih mengarah kepada suatu tindakan yang disengaja untuk
mengakhiri kehamilan seorang ibu ketika janin sudah ada tanda-tanda kehidupan
dalam rahim. Abortus merupakan berakhirnya atau pengeluaran hasil konsepsi oleh
akibat-akibat tertentu pada atau sebelum kehamilan berusia 20 minggu atau berat

28
badan janin kurang dari 500 gram atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup
diluar kandungan (Elisa & Arulita, 2017).

a) Penyalahgunaan Obat Aborsi


Penyalahgunaan obat diantaranya menggunakan obat dengan tujuan untuk
aborsi. Aborsi adalah salah satu kasus menonjol di Indonesia. Sedikitnya 2 juta kasus
abortus secara sengaja yang dilakukan tidak sesuai standar keamanan berlangsung
setiap tahun.

Penyalahgunaan obat masih tetap merupakan masalah yang perlu mendapat


perhatian, karena selain dapat mengganggu kesehatan dapat pula mengganggu dan
membahayakan keselamatan dan keamanan masyarakat. Banyak sekali bentuk
penyalahgunaan obat diantaranya menggunakan obat dengan tujuan untuk aborsi
(Midian, 2001). Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menjadi salah
satu perhatian yang sangat penting, karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu (Nojomi et al., 2006).

Obat yang sering disalahgunakan untuk aborsi ialah dekstrometorfan, dimana


obat ini biasanya digunakan dengan dosis yang berlebihan sehingga memberikan
efek euforia, rasa tenang, halusinasi penglihatan dan pendengaran Intoksikasi atau
overdosis dekstrometorfan dapat menyebabkan hipereksitabilitas, kelelahan,
berkeringat, bicara kacau, hipertensi, serta dapat menyebabkan depresi sistem
pernapasan Jika Higunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa menjadi lebih
berbahaya yaitu menyebabkan kematian (BPOM 2012) Dosis dekstrometorfan sering
disalahgunakan. Dosis yang berlebihan memberikan efek euforia, rasa tenang.
halusinasi penglihatan dan pendengaran.

8. Identifikasi Alkaloid

29
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas
dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada
tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung
alkaloid dengan kadar yang sedikit. Pengertian lain Alkaloid adalah senyawa organik
yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan sifat basa ini disebabkan karena
adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa tersebut dalam struktur lingkar
heterosiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat memberikan efek
farmakologis pada manusia dan hewan. Sebagai contoh, morfina sebagai pereda rasa
sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina berfungsi schagai antispamodia,
kokain sebagai anestetik lokal, dan strisina sebagai stimulan syaraf (Ikan, 1969).
Selain itu ada beberapa pengecualian, dimana termasuk golongan alkaloid tapi atom
N (Nitrogen) terdapat di dalam rantai lurus atatt alifatis.

Menurut Cordell (1981), sebagian besar sumber alkaloid adalah tanaman


berbunga (angiospermae). Kebanyakan famili tanaman yang mengandung alkaloid
adalah liliaceae, solamac, solanace dan rubiacea. Karena alkaloid sebagai suatu
kelompok senyawa yang terdapat sebagian besar pada tanaman berbunga, maka para
ilmuwan sangat tertarik pada sistematika aturan tanaman. Kelompok tertentu alkaloid
dihubungkan dengan famili tanaman tertentu.

a) Sifat Alkoloid

30
1. Sifat-sifat Kimia
Umumnya mempunyai I atom N meskipun ada beberapa yang
memiliki lebih dari 1 atom N seperti pada Ergotamin yang memiliki
5 atom N. Atom N ini dapat berupa amin primer, sekunder maupun
tertier yang semuanya bersifat basa (tingkat kebasaannya
tergantung dari struktur molekul dan gugus fungsionalnya)
Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan kristal
tidak larut dengan titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran
dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf dan beberapa
seperti; nikotin dan konim berupa cairan. Kebanyakan alkaloid
tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa yang kompleks, species
aromatik berwarna (contoh berberin berwama kuning dan betanin
berwarna merah). Pada umumnya, basa bebas alkaloid hanya larut
dalam pelarut organik, meskipun beberapa pseudoalkalod dan
protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid
quartener sangat larut dalam air.

2. Sifat-sifat Fisika
Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung
pada adanya pasangan elektron pada nitrogen.lika gugus fungsional
yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan elektron,
sebagai contoh: gugus alkil, maka ketersediaan elektron pada
nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa. Hingga trictilamin
lebih basa daripada dietilamin dan senyawa dietilamin lebih basa
daripada etilamin. Sebaliknya, bila gugus fungsional yang
berdekatan bersifat menarik clektron (contoh: gugus karbonil),
maka ketersediaan pasangan elektron berkurang dan pengaruh yang
ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan sedikit asam.
Contoh: senyawa yang mengandung gugus amida.

31
Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat
mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar
dengan adanya oksigen. Hasil dari reaksi ini sering berupa N-
oksida. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat
menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung
dalam waktu yang lama Pembentukan garam dengan senyawa
organik (tartarat, sitrat) atan anorganik (asim hidroklorida atau
sulfat) sering mencegah dekomposisi. Itulah sebabnya dalam
perdagangan alkaloid lazim berada dalam bentuk garamnya.

b) Klasifikasi Alkoloid

Alkaloid biasanya diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal


molekulnya (precursors), didasari dengan metabolisme pathway (metabolic
pathway) yang dipakai untuk membentuk molekul itu. Kalau biosintesis dari
sebuah alkaloid tidak diketahui, alkaloid digolongkan menurut nama
senyawanya, termasuk nama senyawa yang tidak mengandung nitrogen (karena
struktur molekulnya terdapat dalam produk akhir. sebagai contoh: alkaloid
opium kadang disebut "phenanthrenes"), atau menurut nama tumbuhan atau
binatang dimana senyawa itu diisolasi. Jika setelah alkaloid itu dikaji,
penggolongan sebuah alkaloid diubah menurut hasil pengkajian itu, biasanya
mengambil nama amine penting-secara-biologi yang mencolok dalam proses
sintesisnya.

32
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Obat merupakan suatu zat tunggal atau campuran yang digunakan untuk
bagian dalam maupun untuk untuk pencegahan, diagnosa dan pengobatan.
Beberapa jenis obat secara khusus antara lain obat jadi, obat generik, obat
essensial, obat tradisional, dan lainnya. Penggolongan obat dapat dibedakan
berdasarkan peraturan dalam perundang undangan kesehatan, penggunaan,
fisiologis dan biokimia didalam tubuh, serta cara kerja obat tersebut.
Sediaan obat juga terdiri dari berbagai macam ada yang dalam bentuk padat,
setengah padat, cairan, dan gas. Adanya bentuk sediaan obat juga membantu
pasien dalam mengkonsumsi obat. Bahan obat juga terdapat berbagai
macam sumber seperti tumbuhan, hewan, sintetis, serta mikroba atau fungi.

Kimia Farmasi Analisis adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari


tentang penggunaan sejumlah teknik dan metode untuk memperolch aspek
kualitatif, kuantitatif, dan informasi struktur dari suatu senyawa obat pada
khususnya, dan bahan kimia pada umumnya. Analisis kualitatif merupakan
analisis untuk melakukan identifikasi elemen, spesies, dan/atau senyawa-

33
senyawa yang ada di dalam sampel. Dengan kata lain, analisis kualitatif
berkaitan dengan cara untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu analit yang
dituju dalam suatu sampel Sedangkan analsis kuantitatif adalah analisis
untuk menentukan jumlah kadar absolut atau relatif dari suatu elemen atau
senyawa yang ad di dalam sampel (Gandiar. 2007).

Dan identifikasi senyawa obat yang telah terekstraksi yang diperiksa


organoleptiknya meliputi bentuk, bau, rasa dan kelarutan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan pendahuluan berupa kelarutan dalam asam
dan basa, analisis unsur N, S dan halogen. Diperiksa gugus fungsinya dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus untuk golongan senyawa tersebut.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam identifikasi obat yaitu uji
organoleptik dan uji kelarutan, ada pula pengujian yang lain seperti
fluorisensi dan analisis pendahuluan.

B. SARAN

Mahasiswa diharapkan dapat lebih mengetahui tentang identifikasi obat


dari berbagai aspek diantaranya dari jenis obat, khasiat obat, efek samping
obat, beserta mekanisme kerja dari obat.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara. 1995. “ Farmakologi dan Terapi”. Bagian Farmakologi. Fakultas


Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.

Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Fakultas Kedokteran.


Universitas Indonesia. Jakarta.

Keenan, Charles W, kleinfelter, dkk., 1994. Kimia Untuk Universitas. Erlangga: Jakarta.

Sumardjo, damin. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan kuliah mahasiswa kedokteran
dan program strata 1 Fakultas Bioeksata. Semarang.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Roman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta. Dapertamen kesehatan RI.1974. Ekstra FARITEX

Munaf, S. 1994. Catatan Kuliah Farmakologi. Bagian II. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Muhammad Taufik, Basuki Wirjosentono, Zulni Erma : DETEKSI NARKOTIKA JENIS


CANNABINOL DAN MORFIN DARI SAMPEL URINE PENGGUNA
NARKOTIKA 1 Mahasiswa S3 Kimia Universitas Sumatera Utara 2 Dosen FMIPA

35
Kimia Universitas Sumatera Utara 3 Kasubbid Narkoba Laboratorium Forensik Polri
Cabang Medan

Charles, E., I. 2002. Clinical Pharmacology of Opioid for Pain. The Clinical Journal of
Pain. Vol 18 No. 4

Benyamin R, Trescot M. A., Datta S., Buenaventura R., Adlaka R., Sehgal N., Glaser
E.S., Vallejo R. 2008. Opioid Complications and Side Effects. Pain Physician: Opioid
Special Issue: 11: S105-S120

Acalovschi I. 2002. Postoperative nausea and vomiting. Curr Anaesth Critical Care. Vol
13: 37 43

Benyamin R, Trescot M. A., Datta S., Buenaventura R., Adlaka R., Sehgal N., Glaser
E.S., Vallejo R. 2008. Opioid Complications and Side Effects. Pain Physician: Opioid
Special Issue: 11: S105-S120

Flemming, K. 2010. The Use of Morphine to Treat Cancer –Related Pain: A Synthesis of
Quantitative and Qualitative Research. Journal of Pain and Symptom Management.
Vol 39 No.1

Zakaria, et al. 2015. Analgesic Effect Of Honey Bioactive Compounds And Its Role In
Reducing Morphine Tolerance. Pharmaceutical Science. Vol. 5 (11), pp. 146-150

Morgan, et al. 2012. Effects of Morphine on Thermal Sensitivity in Adult and Aged Rats.
J Gerontol A Biol Sci Med Sci. Vol 67(7): 705-713

Chang, et al. 2010. A Comparison Of The Respiratory Effects Of Oxycodone Versus


Morphine: A Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled Investigation.
Anaesthesia. Vol 65 pp 1007-1012

36
Heal, D. J., S. L. Smith, J. Gosden & D. J. Nutt. 2013. Amphetamine, past and present − a
pharmacological and clinical perspective. Journal of Psychopharmacol, 27 (6) :
479-496 Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana.
Mandar Maju. Bandung Tim Penyusun. 1997. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2009.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta

Yamamoto, B. K., A. Moszczynska, & G. A. Gudelsky. 2010. Amphetamine Toxicities


Classical and Emerging Mechanisms. Annals of The New York Academy of
Sciences, 1187 (1) : 101-121.
Maratu Solehal , Ani Isnawati, Nyoman Fitri , Rosa Adelina , Hamim Tsalis Soblia,
Winarsih, Profil Penggunaan Obat Antiinflamasi Nonstreoid di Indonesia The Profile
of Nonsteroid Antiinflammation Drugs Use in Indonesia, Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Jakarta, Indonesi Jurnal
Kefarmasian Indonesia Vol.8 No.2-Agustus 2018:109-117

Amira Puri Zahra, Novita Carolia, Obat Anti-inflamasi Non-steroid (OAINS):


Gastroprotektif vs Kardiotoksik Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Elisa D.P & ArulitaI.F, 2017 Faktor Risiko Kejadian Abortus Spontan, HIGEIA Journal
of Public Health Research And Development 1(3) : 84-94.

Nojomi, M., Akbaria, A., & Moghadam, S.A, 2006, Burden of Abortion : Induced and
Spontaneus. Arch Iranian Med, 9 (1): 39-45.

37
38

Anda mungkin juga menyukai