Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

KIMIS FARMASI ANALISIS II


ANALISIS SENYAWA GOLONGAN SULFONAMIDA
DAN SULFONILUREA

Kelas 2 FA 2
KELOMPOK 4 G3 &G4

Yuyun Wahyuningsih 11181052


Alvina Putri Wachyuni 11181056
Devi Anggita Trisafitri 11181064
Dita Syawalia 11181066
Mutya Leviani Putri 11181084
Nina Nirmala 11181087
Nisa Fitri Rahmadiani 11181088
Nursafitri Diah Lestari 11181091

Fakultas Farmasi
Universitas Bhakti Kencana
Jl. Soekarno – Hatta No. 754 Cibiru. Bandung
I. TUJUAN
1) Mengetahui dan memahami cara menganalisa golongan senyawa sulfanolamida,
sulfonilurea dengan metode diazotasi atau nitrimetri.
2) Untuk Memperoleh molaritas larutan baku NaNO2-,serta Menetapkan kadar zat dalam
sampel secara nitrimetri.

II. PRINSIP
1) Analisis golongan senyawa sulfanolamida, sulfonilurea menggunakan metode diazotasi
atau nitrimetri.
2) Penentuan kadar suatu senyawa dengan yang berdasarkan pada pembentukan garam
diazonium yang diperoleh dari asam nitrit dengan cara mereaksikan natrium nitrit dengan
suatu asam.

III. DASAR TEORI


Nitritometri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif dengan menggunakan larutan
baku natrium nitrit. Nitritometri disebut juga dengan metode titrasi diazotasi. Senyawa-
senyawa yang dapat ditentukan kadarnya dengan metode nitritometri diantaranya adalah
golongan senyawa sulfanolamida, sulfonilurea dan thiazid. Penetapan kadar senyawa ini
dilakukan untuk mengetahui kemurnian zat tersebut dalam satu sample.
Diazotasi merupakan analisis kuantitatif yang berdasarkan pada reaksi antara amin
aromatis primer dengan asam nitrit sebagai penitrannya yang berlangsung dalam suasana
asam dan membentuk garam diazonium. Analisis golongan senyawa sulfanolamida,
sulfonilurea dan thiazid ini dianggap penting sebagaimana diketahui senyawa ini merupakan
zat aktif yang dapat digunakan sebagai antimikroba, antidiabetes, diuretik sehingga dapat
diketahui bagaimana sifat dari senyawa ini seperti kemurniaanya. Hal inilah yang melatar
belakangi dilakukannya percobaan ini.
Reaksi diazotasi telah digunakan secara umum untuk penetapan gugusan amino aromatis
dalam industri zat warna dan dapat dipakai untuk penetapan sulfanilamida dan semua
senyawa-senyawa yang mengandung gugus amino aromatis. Senyawa-senyawa yang dapat
ditentukan dengan metode nitritometri antara lain sulfamerazin, sulfadiazine, sulfanilamide.
Senyawa-senyawa ini dalam farmasi  sangat bermanfaat seperti sulfanilamide sebagai
antimikroba. Melihat kegunaannya tersebut, maka percobaan ini perlu dilakukan.
Analisis titrimetri adalah pemeriksaan atau penentuan sesuatu bahan dengan teliti.
Analisis ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu analisis kuantitatif dan analisis kulitatif.
Analisis kulitatif adalah pemeriksaan sesuatu berdasarkan komposisi atau kualitas, sedangkan
analisisi kuantitatif adalah pemeriksaan berdasarkan jumlahnya atau kuantitinya . Pada
percobaan ini akan dianalisis dari golongan senyawa sulfanolamida, sulfonilurea dan thiazid
secara kuantitatif yakni dengan menggunakan salah satu metode yang disebut dengan metode
diazotasi atau nitrimetri
1. Sulfonamide

Sulfonamida adalah kemoterapeutik dalam resep. Biasanya sulfa dikombinasi dengan


Na-bicarbonat atau Natrium nitrat untuk mendapatkan suasana alkalis, karena jika tidak
dalam suasana alkalis maka sulfa-2 akan menghablur dalam saluran air kencing, hal ini
akan menimbulkan iritasi yang cukup mengerikan. Tapi tidak semua sulfa dikombinasi
dengan Natrium bikarbonat atau Natrium sitras, misalnya : Trisulfa dan Elkosin, hal ini
karena pH-nya sudah alkalis, maka Kristal urea dapat dihindari.
1. Pemakaian
a) Kemoterapeutikum : Sulfadiazin, Sulfathiazol
b) Antidiabetikum : Nadisa, Restinon
c) Desibfektan saluran air kencing : Thidiour
d) Diuretikum : Diamox
2. Sifat – sifat
a) Bersifat ampoter, karena itu sukar di pindahkan dengan acara pengocokan yang
umum digunakan dalam analisa organik.
b) Mudah larut dalam aseton, kecuali Sulfasuksidin, Ftalazol dan Elkosin
3. Penarikan
Sebaiknya dilakukan pada pH 7, lalu diuapkan dan ditarik dengan aseton. Tablet :
ditarik dengan HCL encer atau NH4OH, filtrate ditambahkan Natrium asetat atau
asam asetat maka Sulfonamida akan mengendap.
4. Kelarutan
a) Umumnya tidak melarut dalam air, tapi adakalanya akan larut dalam air panas
anas.
b) Elkosin biasanya larut dalam air panas dan dingin.
c) Tidak larut dalam eter, kloroform, petroleum eter.
d) Larut baik dalam aseton.
e) Sulfa – sulfa yang mempunyai gugus amin aromatik tidak bebas akan mudah larut
dalam HCl encer. Irgamid dan Irgafon tidak lariut dalam HCl encer.
f) Sulfa – sulfa dengan gugusan aromatik sekunder sukar larut dalam HCl, misalnya
septazin, soluseptazin, sulfasuksidin larut dalam HCl, akan tetapi larut dalam
NaOH.
g) Sulfa dengan gugusan –SO2NHR akan terhidrolisis bila dimasak dengan asam
kuat HCl atau HNO3.
Sulfa bersifat bakteriostatik luas terhadap banyak bakteri gram positif dan negatif.
Mekanisme kerjanya berdasarkan antagonisme saingan antara Para Amino Benzoic Acid
yang rumus dasarnya mirip dengan rumus dasar sulfa : H2N – C6H4 – COOH
Sulfonamida bertindak sebagai analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA),
yang menghambat PABA saat pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam
folat.Organisme yang membuat sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan
eksogen dari vitamin menjadi sensitif terhadap sulfonamida, karena selnya dapat
menyerap obat ini, sementara organisme yang memerlukan asam folat eksogen untuk
pertumbuhannya tidak sensitif.Penundaan periode beberapa generasi terjadi antara
paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan penghambatan pertumbuhan; pada saat ini
sel menghabiskan pasokan asam folat endogen yang telah dibuat sebelumnya.Efek
penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai bersama dengan antibiotik (misalnya
penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang tumbuh.
Efek penghambat sulfonamida dapat dinetralkan dengan memasok sel dengan
metabolit yang normalnya membutuhkan asam folat untuk sintesisnya (misalnya purin,
asam amino tertentu); zat demikian dapat hadir misalnya dalam pus, sehingga
sulfonamida menjadi tidak efektif dalam perawatan infeksi suppuratif tertentu.Bakteri
yang siap mengembangkan resistansi pada sulfonamida, seperti modifikasi Streptococcus
pneumoniae yang dihasilkan lewat mutasi satu langkah pada sintetase asam
dihidropteroik dapat mengurangi afinitas enzim sulfonamida tanpa mengurangi
afinitasnya pada PABA.Hambatan dari plasmid juga muncul dan dapat terlibat, misalnya
plasmid tersandi sintase asam dihidropteroik resistan sulfonamida.
 Gugus Fungsi Sulfonamida
Banyak jenis sulfonamida yang berbeda misalnya dalam sifat klinisnya,
toksisitasnya, dll.Sebagian besar turunan memiliki penyusun nitrogen dari grup
sulfonamida   (NH2.C6H4.SO2.NHR). Substitusi grup p-amino menghasilkan
hilangnya aktifitas anti bakterial, namun turunan demikian dapat dihidrolisa in
vivo menjadi turunan yang aktif. Sebagai contoh, p-Nsuccunylsulfatiazol dan
fitalilsulfatiazol tidak aktif dan sulit diserap perut, namun mereka terhidrolisa pada
usus bawah untuk melepaskan komponen aktif sulfatiazol; obat ini telah digunakan
misalnya pada saat sebelum dan sesudah bedah perut
2. Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak mempunyai aktivitas
antibakteri. Golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya
efektif bila sel  - pankreas masih dapat berproduksi. Golongan sulfonilurea dibagi 2,
yaitu generasi I (asetoheksaid, klorpropamid, tolazamid, tolbutaid) dan generasi II
(glipizid, gliburid, glimepirid). Indikasi : diabetes mellitus tipe II.
Sulfonilurea memiliki mekanisme kerja dengan meningkatkan sekresi insulin,
meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin, dan menurunkan sekresi glukagon.
Indikasi penggunaan sulfonilurea adalah untuk terapi DM tipe 2. Sedangkan
kontraindikasinya adalah pada pasien menyusui, ketoasidosis (kondisi yang terjadi ketika
tubuh tidak mampu menggunakan glukosa sebagai sumber energi akibat kurangnya kadar
insulin), dan gangguan ginjal. Sulfonilurea memiliki efek samping hipogilkemi
(anjloknya kadar gula darah menjadi di bawah normal), gangguan pencernaan, mual, dan
anemia. Ada 3 jenis sulfonil urea, yaitu :
a) Sulfonilurea short acting, contohnya adalah tolbutamin. Jenis short acting memiliki
sifat absorpsinya (penyerapan) cepat dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek
sampingnya bisa menyebabkan hipoglikemi dan terjadinya rash (kemerahan) di kulit
serta gangguan pencernaan.
b) Sulfonilurea intermediate acting, contohnya :
 Acetoheksamid : memiliki sifat absorpsinya cepat dan berefek diuretik lemah
(tidak terlalu berefek memperbanyak pengeluaran urin).
 Tolazamid : absorpsinya lambat
 Gliburid : absorpsinya cepat, berefek diuretik lemah, dan menghambat produksi
glukosa di hepar (hati)
 Glipizid : absorpsi cepat dan dapat dihambat oleh makanan
c) Sulfonilurea long acting : Klorpropamide dan glibenklamid
Keduanya memiliki sifat absorpsi yang cepat, berefek samping hipoglikemi, dan
bukan pilihan obat DM yang baik untuk pasien lansia.

IV. ALAT DAN BAHAN

A. Alat : B. Bahan :
1) Erlenmeyer 1) Tablet cotrimoksazol
2) Batang pengaduk 2) NaOH
3) Buret 3) HCL 4 N
4) Gelas kimia 4) Asam sulfanilat
5) Kertas perkamen 5) Aquadest
6) Statif dan klem 6) Indikator tropeolin oo + metilen blue (5:3)
7) Pipet skala 7) NaNO2 0.1 N
8) Pipet tetes 8) Pereaksi Parri
9) Pipet volume 9) NH4OH
10) Timbangan analitik 10) Alcohol
11) Tabung reaksi 11) p-DAB HCl
12) Ice bath 12) H2SO4
13) Serbuk Vanillin
V. PROSEDUR
A. Uji Kualitatif
1) Reaksi Cuprifil

• Sampel ( Cotrimoxazol )
• Larutkan dalam NaOH
• Netralkan dengan 1 tetes HCL dan 1 tetes CuSO4
2) Reaksi Parri

• Sampel ( Cotrimoxazol )
• Larutkan dengan alkohol
• Pereaksi Parri
• NH4OH 1 tetes
3) Reaksi Erlich dengan p-DAB HCl

• Sampel ( Cotrimoxazol )
• p-DAB HCl

4) Reaksi Korek Api

• Sampel ( Cotrimoxazol ) celupkan ke dalam


HCL encer

5) Reaksi Vanillin

• Sampel ( Cotrimoxazol )
• H2SO4 1 tetes
• Serbuk vanillin
6) Reaksi Schweitzer

• Sampel ( Cotrimoxazol )
• CuSO4
• NH4OH
B. Uji Kuantitatif ( Titrasi Nitrimetri )
1) Pembakuan NaNO2 0.1 N

NaNO2 0,1 N

• Asam sulfanilat 50 mg
• Aquadest ad larut kurang lebih 25 mL
• HCL 4N 5 mL
• 3 tetes indikator campur tropeolin oo : metilen blue (5:3)
• Dinginkan sampai suhu 15°c dalam ice bath

TAT : Biru Kehijauan
2) Penetapan Kadar (Cotrimoxazol )

NaNO2 0,1 N

• Sampel cotrimoxazole 250 mg


• Etanol 95% ad larut
• HCl 4 N 2 mL
• 3 tetes indikator campur tropeolin oo : metilen blue (5:3)
• Didinginkan sampai suhu 15°c dalam ice bath

TAT : Biru Kehijauan

VI. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


A. Analisis Kualitatif
N
Sampel Metode Uji Pereaksi Hasil
O
Zat dilarutkan dalam
1. Cotrimoxazol Reaksi Cuprifil NaOH, dinetralkan (+) Hijau
dengan HCL+ CuSO4
Zat dilarutkan dengan
2. Cotrimoxazol Reaksi Parri alcohol + parri + (+) Ungu
NH4OH 1 tetes
Reaksi Erlich
3. Cotrimoxazol dengan p-DAB Zat + p-DAB HCL (+) Jingga
HCL
Zat dicelupkan ke
4. Cotrimoxazol Reaksi Korek Api (+) Merah
dalam HCL encer
Zat + H2SO4 1 tetes +
5. Cotrimoxazol Reaksi Vanillin (+) Merah bata
serbuk vanillin
Reaksi Zat + CuSO4 +
6. Cotrimoxazol (+) Hijau toska
Schweitzer NH4OH

B. Analisis Kuantitatif

No Percobaan Sampel Volume NaNo2 0,1 N Volume rata-rata


Asam Sulfanilat V1 = 9,7 ML
1. Pembakuan 9,55 ML
50 mg V2 = 9,4 ML
Penetapan Cotrimoxazol V1 = 5,4 ML
2. 5,6 ML
Kadar 250 mg V2 = 5,8 ML

Perhitungan :
1. Pembakuan NaNo2
Diketahui : mg Asam Sulfanilat = 50 mg
BM Asam Sulfanilat = 173, 19
V1 NaNo2 = 9,7 ml
V2 NaNo2 = 9,4 ml
V 1+V 2 9,7 ml+ 9,4 ml
V rata - rata NaNo2 = = =¿9,55 ml
2 2
Ditanyakan : N NaNo2 ?
Jawab :
mg Asam Sulfanilat
N NaNo2 =
VNaNo ₂× Bm Asam Sulfanilat
50 mg
=
9,55 ml ×173,19
50 mg
=
1653,9645
= 0,0302 N
2. Penetapan Kadar Sulfametoxazol dalam obat Cotrimoxazol
Diketahui : mg Cotrimoxazol = 250 mg
BM Sulfametoxazol = 253,28
N NaNo2 = 0,0302 N
V1 NaNo2 = 5,4 ml
V2 NaNo2 = 5,8 ml
V 1+V 2 5,4 ml+5,8 ml
V rata - rata NaNo2 = = =¿5,6 ml
2 2
Ditanyakan : Kadar ?
Jawab :
1) mmol NaNo2 = V NaNo2 × N NaNo2 × e NaNo2
= 5,6 ml × 0,0302 N × 1
= 0,1692 mmol
Koefisien NaNo ₂
2) mmol Sulfametoxazol = × Mmol NaNo2
Koefisien sulfametoxazol
1
= × 0,1692
1
= 0,1692 mmol
3) Mg Sulfametoxazol = mmol Sulfametoxazol × BM Sulfametoxazol
= 0,1692 × 253,28
= 42,8549 mg
Mg sulfametoxazol
4) % Kadar Sulfametoxazol = × 100 %
MgTimbang
42,8549 mg
= × 100 %
250 mg
= 0,1714 × 100 %
= 17,14 %

VII. PEMBAHASAN

PEMBAHASAN
Dalam kimia, gugus fungsi sulfonamida dituliskan -S(=O)2-NH2, sebuah gugus
sulfonat yang berikatan dengan amina. Senyawa sulfonamida adalah senyawa yang
mengandung gugus tersebut. Beberapa sulfonamida dimungkinkan diturunkan dari asam
sulfonat dengan menggantikan gugus hidroksil dengan gugus amina. Dalam kedokteran,
istilah “sulfonamida” kadang-kadang dijadikan sinonim untuk obat sulfa, yang
merupakan turunan sulfanilamida.
Pada percobaan sulfonamida digunakan sampel yaitu sulfametoksazol dimana
sampel terlebih dahulu dilakukan:
1. Uji pendahuluan yaitu diamati bau, rasa, bentuk dan warna.
2. Uji golongan
3. Uji penegasan
Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C10H11N3O3S dan Trimetoprim,
C14H18N4O3, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera
pada etiket (USP, 2008).
Sulfametoksazol
Rumus struktur :

H2N SO4NH

N CH3

Nama kimia : N1 – (5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida


Rumus molekul : C10H11N3O3S
Berat molekul : 253,28
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis, tidak berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform, mudah larut dalam
aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer, agak sukar larut dalam etanol.

Pada hasil pengamatan yang didapatkan untuk analisis kualitatif yang menggunakan sampel
cotrimoksazol dengan menggunakan enam metode reaksi yang berbeda – beda yaitu : Reaksi
Korek Api , Reaksi Kristal Dengan Schweitzer, Reaksi Erlich Dengan p-DAB HCl, Reaksi
Parri, Reaksi Cuprifil, dan Reaksi Vanilin.

Pada uji golongan dengan menggunakan reaksi korek api, pada sulfametoksazol
ditanbahkan HCl encer, lalu dicelupkan batang korek api dan menghasilkan warna merah. Hasil
yang diperileh pada pengujian korek api hasil yang didapatkan sudah sesuai dengan literatur
Dengan menggunakan rekasi Erlich dengan p-DAB HCl , pada sulfametoksazol
dilarutkan dengan p-DAB HCl sehingga menghasilkan warna jingga. Dimana hasil
tersebut sesuai dengan literatur.
Pada uji penegasan yaitu menggunakan reaksi Parri. Pada sulfametoksazol,
dilarutkan dengan alkohol menghasilkan endapan putih kemudian ditambahkan pereaksi
parri menghasilkan warna putih lalu ditamhakan NH4OH 1 tetes menghasilkan warna
ungu.
Dengan menggunakan reaksi Vanilin, pada sulfametoksazol ditambahkan vanilin,
kemudian ditambahkan H2SO4 1 tetes lalu ditambahkan serbuk vanilin menghasilkan
warna merah bata. Hal ini menunjukkan ketidaksesuain dengan literatur karena warna
yang dihasilkan berbeda dengan warna yang dijelaskan pada literatur. Hasil sesuai
dengan literatur.
Dengan menggunakan reaksi Schweitzer, pada sulfametoksazol ditambahkan CuSO4
kemudian ditambahkan NH4OH menghasilkan warna hijau toska. Untuk reaksi kristal
dengan schweltzer diperoleh hasil positif yaitu terbentuk kristal hijau.
Dengan menggunakan reaksi Cuprifil, pada sulfometoksazol dilarutkan dengan
NaOH, kemudian dinetralkan kembali dengan HCl dan CuSO4. Diperoleh hasil berwarna
hijau.

Adapun ketidaksesuai hasil yang diperoleh dengan literatur yang ada, dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Alat-alat yang digunakan kurang steril
2. Sampel yang digunakan kurang baku
3. Kurangnya ketelitian dalam melakukan percobaan

Metode yang kedua untuk analisis golongan sufonamida dan sulfonylurea yaitu
dilakukan analisis kuantitatif pada sampel cotrimoxazole dengan melakukan titrasi
dengan metode Nitrimetri
Titrasi Nitrimetri merupakan analisis Kuantitatif yang menggunakan metode titrasi
redoks dengan pentiter berupa larutan baku natrium nitrit. Titrasi nitrimetri disebut juga
dengan metode diazotasi, dimana pada titrasi nitrimetri ini didasarkan pada pembentukan
garam diazonium yang merupakan hasil reaksi antara senyawa yang bergugus amin
aromatic primer dengan asam nitrit dalam suasana asam pada suhu <15⁰C. Asam nitrit
merupakan senyawa yang memiliki kelarutan yang tidak stabil sehingga titrasi dilakukan
dalam suasana asam dan asam nitrit dibuat dalam bentuk garamnya, yaitu nantrium nitrit.
Natrium nitrit merupakan senyawa yang kurang stabil, bersifat higroskopis, dan mudah
terdegradasi menjadi nitrogen oksida dan gas dalam temperature yang panas. Kondisi
asam dibuat dengan menambahkan HCl dalam larutan analit.
Titrasi nitrimetri umumnya dilakukan di suhu <15⁰C, karena garam diazonium yang
terbentuk tidak stabil pada suhu kamar. Pada suhu kamar, garam diazonium mudah
terdegradasi menjadi senyawa fenol dan gas nitrogen yang ditandai dengan perubahan
warna analit menjadi kuning. Reaksi yang dilakukan pada suhu rendah ini akan
memperlambat laju reaksi. Reaksi yang terjadinya :
NaNO₂ + HCl  NaCl + HNO₂
Ar- NH₂ + HNO₂ + HCl  Ar- NN⁺ . Cl⁻ + 2H₂O
(Garam Diazonium)
Indikator asam basa adalah senyawa halokromik yang ditambahkan dalam jumlah
kecil ke dalam sampel, umumnya adalah larutan yang akan memberikan warna sesuai
dengan kondisi pH larutan tersebut. Penggunaan indicator yang digunakan dalam
praktikum ini yaitu indicator tropeolin oo dan metilen blue yang berfungsi sebagai
penentu titik ekivalen ketika kedua larutan telah mencapai nentralisasi, tropeolin oo
didefinisikan sebagai indicator asam basa yang berwarna merah dalam suasana asam dan
berwarna kuning bila dioksidasi adanya kelebihan asan nitrit. Sedangkan metilen blue
berfungsi sebagai pengontras warna sehingga terjadi perubahan dari warna ungu ke biru
hijau, indicator ini ditambahkan karena titik akhir dari indicator tropeolin oo transparan
sehingga perlu ditambahkan intikator yang mampu mengontraskan warna pada titik akhir
titrasinya.
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pada pembakuan volume titrannya ada
9,7ml dan 9,4ml sehingga rata rata yang didapatkan sebesar 9,55ml dan Normalitasnya
0,0302. Sedangkan pada penetapan kadar, volume titrannya adalah 5,4ml dan 5,8ml
sehingga rata rata 5,6ml dan persen kadar yang diperoleh sebesar 17,14%. Menurut FI
edisi III sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 98,5% sulfametoksazol. Adapun
faktor kesalahan pada praktikum ini adalah kesalahan dalam pengamatan titik akhir titrasi
(kesalahan paradoksal), dipengaruhi oleh kurang teliti dalam penimbangan dan alat
yang kurang bersih, serta suhu yang tidak
tepat dan tidak terjaga (karenanya bila menggunakan indikator dalam suhunya tidak harus
15°C tetapi harus tetap dijaga supaya tidak terlalu tinggi. Suhunya boleh kurang dari 15°C
namun tidak boleh melebihi 15°C

VIII. KESIMPULAN

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa persen kadar yang diperoleh sebesar
17,14%. Hal ini tidak sesuai literature karena menurut FI edisi III sulfametoksazol
mengandung tidak kurang dari 98,5% sulfametoksazol. Hal ini bisa dipengaruhi karena
faktor kesalahan praktikum dalam pengamatan titik akhir titrasi (kesalahan paradoksal),
kurang teliti dalam penimbangan dan alat yang kurang bersih, serta suhu yang tidak
tepat dan tidak terjaga (karenanya bila menggunakan indikator dalam suhunya tiak
boleh melebihi 15°C )

IX. DAFTAR PUSTAKA


Gholib ibnu.dkk, 2007, “Kimia Analisis Farmasi”, Pustaka pelajar; Yogyakarta.
Sudjadi, M. S., Apt, Prof. Dr, 2008, Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Marzuki, A,2013 Kimia Analisis Farmasi, Dua satu press, Makasar
Anonim 2018, Penuntun Praktikum Kimia Organik, Universitas Muslim Indonesia,
Makassar
Dirjen POM 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Depkes RI, Jakarta
Harjadi, W, 2003, Ilmu Kimia Analitik Dasar, Gramedia, Jakarta
Pembagian Tugas
Yuyun Wahyuningsih 11181052 = Pembahasan
Alvina Putri Wachyuni 11181056 = Kesimpulan & Dapus
Devi Anggita Trisafitri 11181063 = Alat Bahan & Prosedur
Dita Syawalia 11181064 = Pembahasan
Mutya Leviani Putri 11181084 = Cover, Tujuan, Prinsip, & Daster
Nina Nirmala 11181087 = Perhitungan & Data pengamatan
Nisa Fitri Rahmadiani 11181088 = Pembahasan
Nursafitri Diah Lestari 11181091 = Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai