Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase yaitu: farmasetik(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamika, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,obat berubah menjadi larutan sehingga dapat

menembus membran biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik terdiri dari empat proses (subfase) yaitu: absorbsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan eksresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis. Fase farmasetik

Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Disintegrasi adalah pemecahan tablet menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang diperlukan oleh sebuah obat untuk berdisentagrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh. Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorbsi obatobat tertentu, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat (Kee,1994). Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Beberapa proses yang termasuk didalamnya adalah: absorbsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan ekskresi (atau eliminasi).Absorbsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorbsi psif, absorbsi aktif, atau pinositas. Kebanyakan obat oral diabsorbsi di usus halus melalui kerja permukaan vilimukosa yang luas. Jika sebagian dari villi ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorbsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak didalam usus halus oleh enzim-enzim

pencernaan. Absorbsi pasif umumnya terjadi melalui difusi, dengan proses difusi obat tidak perlu energi untuk menembus membran. Absorbsi aktif membutuhkan karier untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi, sebuah enzim dapat membawa obat-obat menembus membran. Obat-obat yang larut lemak dan tidak bermuatan diabsorbsi lebih cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan. Absorbsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres, kelaparan, makanan, dan pH.Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam cairan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas

(kekuatan penggabungan) terhadap jaringan dan efek pengikatan dengan protein. Metabolisme Hati merupakan tempat utama metabolisme. Kebanyakan obat

diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk dieksresikan. Tetapi beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif menyebabkan peningkatan respon farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat. Waktu paruh dilambangkan dengan t1/2, dari suatu obat adlah waktu yang diperlukan oleh separuh konsentrasi obat untuk di eliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat. Eksresi/Eliminasi: Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feces, paru-paru, saliva, keringat dan air susu ibu.obat bebas yang tak berikatan yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal (Kee,1994).

1.2 Tujuan Percobaan - Untuk membandingkan laju disolusi dari berbagai sediaan sulfadiazine secara in vitro. - Untuk membandingkan laju disolusi antara sediaan furosemid generik dan Farsix secara in vitro. 1.3 Manfaat Percobaan Praktikan dapat mengetahui laju disolusi dari berbagai bentuk sediaan sulfadiazine dan laju disolusi dari berbagai sediaan furosemid yang ada di pasaran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Sulfadiazin

Gambar 1. struktur bangun sulfadiazin Nama kimia Nama IUPAC Rumus kimia BM Pemerian : N-2-piridinil sulfanilamida : 4-amino-N-pyrimidin-2-yl-benzenesulfonamida : C10H10N4O2S : 250,27 : serbuk, putih sampai agak kuning; tidak berbau atau hampir tidak berbau; stabil di udara tetapi pada pemaparan cahaya perlahan-lahan menjadi hitam. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam mineral encer, dalam larutan kalium hidroksida, dalam larutan natrium hidroksida dan dalam ammonium hidroksida; agak sukar larut dalam etanol dan dalam aseton; sukar larut dalam serum manusia pada suhu 37oC (Depkes RI, 1995). Sulfadiazin : Sulfapirimidin, Triacef, Temasud. Derivat-pirimidin ini (1947), bersama sulfametoksazol dan sulfafurazol memiliki kegiatan atas dasar mg yang terkuat dari semua sulfa. Resorpsinya dari usus agak lambat sehingga sebagian obat bisa mencapai usus besar. Olehkarena itu sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan lebih efektif dibandingkan dengan

kloramfenikoldan tetrasiklin. PP nya yang paling rendah, rata-rata 40%, maka kadar obat dalam cairan tubuh paling tinggi dan sering kali digunakan pada meningitis. Kombinasi dengan pirimetamin digunakan terhadap toxoplasma gondii (toxoplasmosis. Plasma t-nya 10 jam. Sulfadiazin merupakan obat pilihan kedua untuk infeksi saluran kemih. Daya larutnya dalam kemih agak buruk (sering menyebabkan kristaluria) sehingga perlu diberikan natriumbikarbonat 3 kali sehari3-4 g dan minum air k.l. 1,5 liter sehari. Dosis permulaan 2-4g, kemudian 4-6 dd 1g (Tjay,2007). Absorpsinya di usus terjadi cepat dan kadar maksimal dalam darah dicapai dalam waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal (Tanu,2011). Kira-kira 15-40% dari obat diberikan diekskresi dalam bentuk senyawa asetil. Hampir 70% obat ini mengalami resorpsi di tubuli ginjal dengan mengurangi resorpsi tubuli. Karena beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam, maka sering timbul kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Untuk mencegah ini pasien dianjurkan minum banyak air agar produksi urin tidak kurang dari 1200mL/ hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan PH urin (Tanu, 2011). Sulfadiazine siap diabsorpsi dari dalam saluran gastrointenstinal,

konsentrasi dalam darah akan meningkat 3 sampai 6 jam setelah diberikan setelah dosis tunggal. 20% sampai 55 % sudah diberitahu akan berikatan dengan dengan protein plasma. Sulfadiazine berpenetrasi ke dalam pembuluh darah dalam waaktu 4 jam pada dosis oral untuk memperoleh efek terapeutik yang mungkin lebih dari setengah dalam darah. Diatas 40 % sulfadiazine di dalam darah akan menghasilkan derivate asetil. Setengah dari sulfadiazine yang lain sekitar 10 jam, telah disaring dalam ginjal (Martindale, 2009).

2.1.2 Furosemida

Gambar 2. Struktur Bangun Furosemida Nama kimia Nama IUPAC : Asam 4-kloro-N-furfuril-5-Sulfanoilantranilat : 5-( aminosulfonyl )-4-chloro-2-[( 2-furanylmethyl )amino] benzoic acid Nama lazim Rumus kimia BM Pemerian Kelarutan : Furosemidum/furosemida : C12H11N2ClO5S : 330,745 : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau. : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamidadan dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Depkes RI, 1995). Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoil antranilat masih tergolong sulfonamid. Obat ini merupakan salah satu obat standar untuk pengobatan gagal jantung dan edema paru. Bumetanid merupakan derivat asam-3aminobenzoat yang lebih poten daripada furosemid, tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu dengan yang lain (Tanu,2011). Furosemid dan bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan derivat sulfonamid, seperti juga tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrimat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase. Efek diuretik kuat terhadap segmen yang lebih distal dari ansa henle asendense epitel tebal belum dapat dipastikan, tetapi dari besarnya diuresis yang terjadi diduga obat ini bekerja juga di segmen tubuli lain (Tanu, 2011).

Furosemida : frusemide, Lasix,Impugan. Turunan sulfonamida ini (1964) berdaya diuretis kuat dan bertitik kerja di lingkungan henle bagian menaik. Sangat efektif pada keadaan udema di otak dan paru-paru yang akut. Mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan berthan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya (Tan,2007). Resorpsinya dari usus hanya lebih kuang 50%, PP-nya k.l. 97%, plasma tnya 30-60 menit; ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu (Tan,2007). Efek sampingnya berupa umum, pada injeksi i.v. terlalu cepat, ada kalanya tetapi jarang terjadi ketulian (reversibel) dan hipotensi. Hipokaliemia reversibel dapat terjadi pula (Tan,2008). Dosis : Pada udema oral 40-80 mg pagi p.c., jika perlu atau pada insufisiensi ginjal sampai 250-2000 mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v. (perlahan) 20-40 mg, pada keadaan kemeluthipertensi sampai 500 mg. Penggunaan i.m. tidak dianjurkan (Tan,2007). Furosemida agak mudah diserap oleh saluran pencernaan, bioavailabilitas yang dilaporkan mencapai 60% sampai 70% tetapi absorpsinya dapat diubah dan tidak tetap. Waktu paruh furosemida lebih dari 2 jam walaupun furosemida dapat diperpanjang pada bayi dan pada pasien yang memiliki kerusakan dengan ginjal dan hati. Furosemida berikatan dengan plasma albumin sebesar 99% dan kebanyakan diekskresikan di dalam urin, tidak diubah dalam jumlah besar. Furosemida juga diekskresikan melalui garam empedu dan tidak dieliminasi ginjal dapat meningkatkan kerusakan ginjal. Furosemida melintasi membran plasenta dan didistribusikan melalui air susu ibu. Pembersihan furosemida tidak ditambah dengan haemodialisis (Martindale, 2009). Merupakan diuretika jerat Henle. Furosemida mempunyai struktur sulfanilamida dan pada posisi terhadap gugus sulfonamida mempunyai penyulih penarik elektron. Sebagai pengganti gugus sulfonamida kedua, terdapat gugugs karboksil. Sifat yang khas dari senyawa ini adalah masa kerjanya yang singkat tetapi amat intensif. Pada pemakaian secara parenteral, segera setelah penyuntikan terjadi peningkatan ekskresi natrium, klorida dan air yang lebih besar daripada ekskresi yang disebabkan oleh semua diuretika. (Gunawan, 2007).

Karena kerjanya hanya bertahan singkat, pada dosis rendah dan sedang, terlihat penurunan laju ekskresi yang relatif cepat sampai dibawah harga kontrol (gejala rebound). Walaupun demikian dengan peningkatan dosis, efek keselluruhan dapat meningkat. Artinya, dengan suatu diuretika dosis tinggi, udem dapat dihilangkan. Lebih dari 30% ion natrium yang difiltrasi pada pemberian obat dengan dosis yang cocok akan dapat diekskresi. (Gunawan, 2007). Oleh karena penggunaan diuretik tidak mengurangi mortilitas pada gagal jantung, maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan penghambat ACE. Oleh karena penurunan curah jantung akibat deplesi cairan akan meningkatkan aktivasi neuro-hormonal yang akan memacu progresi gagal jantung, maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan. Juga penggunaan diuretik tidak boleh berlebihan, tetapi dalam dosis minimal untuk mempertahankan euvolemia. (Gunawan, 2007). Lasix merupakan obat yang mengandung furosemid. Furosemid adalah obat golongan diuretik, yang dapat mencegah tubuh dari menyerap terlalu banyak garam. Furosemid diberikan untuk membantu mengobati retensi cairan (edema) dan pembengkakan yang disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif, penyakit hati, penyakit ginjal, atau kondisi medis lainnya. Obat ini bekerja dengan bertindak pada ginjal untuk meningkatkan aliran urin. Furosemid juga digunakan sendiri atau bersama-sama dengan obat lain untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tinggi menambah beban kerja jantung dan arteri. Jika terus untuk waktu yang lama, jantung dan arteri mungkin tidak berfungsi dengan baik. Kondisi tersebut dapat merusak pembuluh darah otak, jantung, dan ginjal, mengakibatkan stroke, gagal jantung, atau gagal ginjal. Tekanan darah tinggi juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung (Gunawan,2007). 2.2 Disolusi Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Suatu

bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi (Hong,2010). Ukuran tingkat rilis tablet terutama melibatkan dalam karakterisasi vitro menggunakan pengujian disolusi Tujuan dari pengujian disolusi akan berubah pada tahap perkembangan yang berbeda dan diproduksi tablet osmotik untuk evaluasi klinis dan pembuatan komersial.. Awal pada pengujian disolusi dilakukan untuk menentukan korelasi antara lapisan ketebalan film dan komposisi, untuk verivy tekanan osmotik sebagai mekanisme kontrol dan rilis, dan untuk membangun ketahanan tablet di bawah kondisi yang menggambarkan makan dan berpuasa negara serta kondisi penyimpanan dipercepat pada tahap selanjutnya, karakteristik in vitro digunakan. untuk memverifikasi sukses skala-up pembuatan tablet, khususnya proses pelapisan film, dan memvalidasi pembuatan sukses tablet komersial(Hong,2010). Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau zat aktif menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Pada sistem biologis pelarutan obat dalam media berair merupakan suatu yang penting sebelum terjadinya absorbsi sistemik. Kecepatan pelarutan obat dengan kelalrutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisentigrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan kecepatan absorbsi sistemik (Hong,2010). Proses pelarutan ini juga terjadi pada obat-obat yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi di sini adalah proses ekstraksi. Setelah pemberiaan sediaan laritan secara in situ dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya terbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian pemberian sediaan larutan tidak menjamin terjadinya absorbsi segera. Obat yang melarut ialah obat yang dapat terionisasi. Pengujian disolusi dapat digunakan dalam pengembangan formulasi/ kualitas suatu sediaan. Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan

pembantu dan cara pengolahan (prosesing). Pengaruh bentuk sediaan pad alaju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum, laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut : suspensi, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis, disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahny sama, karena diantara masingmasing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal, dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantugn pada bahan pembantu yang dipakai (Hong,2010). Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase yaitu: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamika, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik terdiri dari empat proses (subfase) yaitu: absorbsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan eksresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis. Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Beberapa proses yang termasuk didalamnya adalah: absorbsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan ekskresi (atau eliminasi) (Kee,1994). Peningkatan kelarutan dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1. Pengaruh bentuk sifat kimia yaitu : Pembentukan garam dan Pembentukan ester. 2. Pengaruh Perubahan Keadaan Fisik yaitu: Bentuk kristal atau amorf, Polimorfisa, Solvat dan Hidrat 3. Faktor Formulasi dan Tekhnologi yang Dapat Mengubah Laju Pelarutan Zat Aktif yaitu : Pembentukan eutektik atau larutan padat, pembentukan kompleks, Bahan yang dapat mengubah tetapan dielektrik cairan, Bahan penglarut miseler dan Penyalutan dengan senyawa hidrofil (Aiache, 1993).

2.3 Metode uji disolusi USP XXI / NF XVI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan tablet dan kapsul. Pemilihan suatu metode tertentu untuk suatu obat biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu(Shargel, L., 1988). Metode Rotating Basket Metode rotating basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labuh tercelup dalma suatu bak yang bersuhu konstan 37 C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang teakhir beredar (Shargel, L., 1988). Metode Paddle Metode paddle atau alat ke 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dalam suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode rotating basket dipertahankan pada 37 C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan(Shargel, L., 1988). Metode Desintegrasi yang Dimodifikasi Metode ini dasarnya memakai desintegrasi USP basket and rack dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama(Shargel, L., 1988).

10

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Alat Dissolution tester (dengan basket dan paddle), spektrofotometer, gelas ukur 1000ml, mat pipet, labu tentukur 25ml, labu tentukur 10ml, vial, spuit 10ml, spektrofotometer, tissue halus, tissue lensa. 3.2 Bahan Aquadest, dapar fosfat ph 7,4, cairan lambung buatan pH 1,2, tablet sulfadiazin, kapsul sulfadiazin, sulfadiazin SR, tablet Furosemida generik, tablet Farsix. 3.3 Hewan Percobaan 3.4 Prosedur 3.4.1 Prosedur Disolusi Sediaan Sulfadiazin(SR,Tablet,Kapsul)

Diatur suhu medium 37 0,5C,masukkan 900 medium lambung buatan pH 1,2 ke dalam tabung disolusi. Dipasang penggerak medium pada dissolution tester sesuai dengan sediaan yang diuji (basket untuk sediaan kapsul dan paddle untuk sediaan tablet). Letakkan sediaan pada alat dan hidupkan alat dengan kecepatan 100 rpm.Setelah 5,10,20,30,45, dan 60 menit, ambil 5 ml aliquot dan encerkan dengan medium disolusi sampai 10 ml. Ukur absorbansinya dengan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 242 nm. 3.4.2 Prosedur Disolusi Sediaan Tablet Furosemid Atur suhu medium 37 0,5C,masukkan 900 ml medium ke dalam tabung disolusi. Dipasang penggerak medium pada dissolution tester sesuai dengan sediaan yang diuji (paddle untuk sediaan tablet). Letakkan sediaan pada alat dan hidupkan alat dengan kecepatan 50 rpm. Setelah 5,10,20,30,45,dan 60 menit, ambil 5 ml aliquot dan encerkan dengan medium disolusi sampai 10 ml.Ukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 276 nm.

11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1 Data Hasil Disolusi Sulfadiazin Tablet NO 1 2 3 4 5 6 Waktu 5 10 20 30 45 60 Absorbansi 0,1447 0,2515 0,4991 0,6600 0,8602 0,9733 Konsentrasi (ppm) 2,3068 4,1465 8,4120 11,184 14,632 16,579

4.1.2 Data Hasil Disolusi Sulfadiazin Kapsul NO 1 2 3 4 5 6 Waktu 5 10 20 30 45 60 Absorbansi 0,0868 0,9818 1,0331 1,0602 1,0388 1,0984 Konsentrasi (ppm) 1,3017 16,726 17,609 18,076 17,708 18,734

4.1.3 Data Hasil Disolusi Sulfadiazin SR NO 1 2 3 4 5 6 Waktu 5 10 20 30 45 60 Absorbansi 0,2070 0,2368 0,2217 0,2181 0,2203 0,2148 Konsentrasi (ppm) 3,3812 3,894 3,6335 3,5725 3,6103 3,5157

12

4.1.4 Data Hasil Disolusi Furosemida Generik NO 1 2 3 4 5 6 Waktu 5 10 20 30 45 60 Absorbansi 0,3497 0,5070 0,5249 0,5071 0,5265 0,4850 Konsentrasi (ppm) 5,6701 8,2613 8,5563 8,2623 8,5824 7,9000

4.1.5 Data Hasil Disolusi Furosemida Farsix NO 1 2 3 4 5 6 Waktu 5 10 20 30 45 60 Absorbansi 0,3010 0,5024 0,3638 0,5690 0,5992 0,5664 Konsentrasi (ppm) 4,8752 8,1870 5,9069 9,2809 9,7787 9,2388

4.1.6 Data Disolusi Sulfadiazin SR NO T (menit) A C (ppm) FP CxFP (ppm) CxFPdlm 900 mL(ppm) 1 2 3 4 5 6 5 10 20 20 45 60 0,2070 2,3041 0,2368 2,7619 0,2217 2,5310 0,2181 2,4747 0,2203 2,5084 0,2143 2,4240 5 5 5 5 5 5 11,52095 10368,45 13,8095 12,655 12,3735 12,542 12,12 0 Faktor Pe(+) C obat yang dilepas 10368,45 1244,0705 11414,83 11174,135 10,37 12,44 11,41 11,17 11,34 10,97 % kumulatif

12428,55 11,5205 11389,5 11136,15 11281,8 10908 25,33 37,985

50,3585 11338,1585 62,9005 10970,900

13

4.2. Pembahasan Uji disolusi dilakukan terhadap Sulfadiazin dan Furosemid dengan berbagai bentuk sediaan.Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan medium lambung buatan pH 1,2 (Sulfadiazin) dan medium dapar phospat pH 7,4 (Furosemida ) dan diukur kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer. Disolusi Sulfadiazin Dari profil disolusi beberapa sediaan di atas, dapat dilihat bahwa kapsul memiliki persen kumulatif lebih besar dibandingkan tablet dan sustained release. Hal ini menunjukkan bahwa kapsul memiliki laju disolusi yang paling cepat dibandingkan sediaan lainnya.Ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan formulasi dari masing-masing sediaan. Sediaan kapsul tersusun dari cangkang gelatin yang mudah larut dalam medium disolusi, sehingga bahan obat yang terkandung di dalamnya dapat terlepas lebih cepat dari pada sediaan tablet dan sediaan lepas lambat. Sedangkan pada formulasi tablet terdiri dari bahan-bahan tambahan seperti bahan pengikat dan bahan pelicin yang dapat memperlambat laju disolusi dari tablet tersebut. Selain itu tablet juga diformulasikan dengan cara kempa pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan lepas lambat terdiri dari matriks polimer yang sudah diatur formulasinya untuk melepaskan bahan obat secara perlahan-lahan. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan Ansel (1989), yang menyatakan bahwa bahan-bahan obat dilepaskan dari kapsul lebih cepat dibandingkan dari tablet. Pada sustained release dibuat dengan mencampurkan bahan obat ke dalam pembawa (matriks) yang berbeda viskositasnya dan dirancang supaya pemakaian unit dosis tunggal melepaskan zat aktif obat secara perlahan-lahan sehingga laju disolusi dan jumlah obat yang terlarut paling kecil dibandingkan kapsul dan tablet (Ansel, 1989). Disolusi Furosemid Dari grafik profil disolusi sediaan Farsix dan sediaan Furosemid diatas menunjukkan bahwa sediaan Farsix memiliki persen kumulatif yang lebih besar daripada sediaan Furosemid dan .Dengan kata lain sediaan Farsix mempunyai laju disolusi yang lebih besar dibandingkan dengan Furosemida dan Lasix. Hal ini disebabkan adanya perbedaan bahan tambahan yang digunakan dalam proses

14

formulasi dan pengolahan sediaan. Suatu bahan tambahan dalam formulasi dapat berinteraksi secara langsung dengan obat membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju penglepasan obat dari bentuk sediaan dan transpor berikutnya melewati membran-membran biologis. Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat tersebut (Shargel, L., 1988) Menurut Yandi (2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori : (1) faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat, (2) faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan dan (3) faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dan parameter uji.Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel.Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahanberperanan pada

permasalahan umum dalam disolusi dalam hal terbentuknya flokulasi, flotas dan aglomerasi Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan (prosesing). Pengaruh bentuk sediaan pad alaju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum, laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut : suspensi, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis, disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahny sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal, dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantugn pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku sebagai bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras, dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama .

15

4.3.Perhitungan 4.3.1 Perhitungan persamaan regresi sulfadiazin NO 1 2 3 4 5 6 7 8 X 0,000 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 X= 49 X= 6,125 a=
( ( ( ( ) )( ) )

Y 0 0,361 0,428 0,476 0,514 0,568 0,622 0,676 Y =3,645 = 0,456

X2 0 16 25 36 49 64 81 100 X2=371

Y2 0 0,130 0,183 0,227 0,264 0,323 0,387 0,457 Y2=1,971

XY 0 1,444 2,14 2,856 3,598 4,544 5,598 6,76 XY=26,94

= 0,0651 b = y-ax =0,456 0,0651(6,125) = 0,057 Y= 0,0651 x + 0,057

16

( [
( )

)( ]

)
( )

( [
( )

)( ]

)
( )

=0,9841 4.3.2 Konsentrasi Persamaan rgresi sulfadiazin pada medium cairan lambung buatan pH 1,2: y= 0,0651x + 0,057 Faktor Pengenceran Untuk t X Konsentrasi dalam FP = =5

= 5 menit = =c FP 5 =2,3041 ppm

= 2,3041 = 11,5205

Konsentrasi dalam 900 ml = 11,5205 x 900 = 10368,45 Faktor Penambahan C.obat yang dilepas =0 = 10368,45+ 0 = 10368,45 % Kumulatif Untuk t X Konsentrasi dalam FP = = 10 menit = =c FP =2,7619 ppm

17

= 2,7619 = 13,8095

Konsentrasi dalam 900 ml = 13,8095x 900 = 12428,55 Faktor Penambahan = 0 + 11,5205 = 11,5205 C.obat yang dilepas = 12428,55+ 11,5205 = 12440,0705 % Kumulatif Untuk t X Konsentrasi dalam FP = = 20 menit = =c FP 5 =2,5310 ppm

= 2,5310 = 12,655

Konsentrasi dalam 900 ml = 12,655 x 900 = 11389,5 Faktor Penambahan = 11,5205 + 11389,5 = 25,33 C.obat yang dilepas = 11389,5+ 25,33 = 11414,83 % Kumulatif =

18

Untuk t X Konsentrasi dalam FP

= 30 menit = =c FP 5 = 2,4747 ppm

= 2,4747 = 12,3735

Konsentrasi dalam 900 ml = 12,3735x 900 = 11136,15 Faktor Penambahan = 25,33 + 12,655 = 37,985 C.obat yang dilepas = 11136,15+37,985 = 11174,135 % Kumulatif Untuk t X Konsentrasi dalam FP = = 45 menit = =c FP 5 = 2,5084 ppm

= 2,5084 = 12,542

Konsentrasi dalam 900 ml = 12,542x 900 = 11287,8 Faktor Penambahan = 37,985+ 12,3735 = 50,3585

19

C.obat yang dilepas

= 11287,8+50,3585 = 11338,1585

% Kumulatif Untuk t X Konsentrasi dalam FP

= = 60 menit = =c FP 5 = 2,4240 ppm

= 2,4240 = 12,12

Konsentrasi dalam 900 ml = 12,12x 900 = 10908 Faktor Penambahan = 50,3585+ 12,542 = 62,9005 C.obat yang dilepas = 10908+62,9005 = 10970,9005 % Kumulatif =

20

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sediaan kapsul lebih cepat terdisolusi daripada sediaan tablet dan sustained release. Farsix lebih cepat terdisolusi dibandigkan dengan furosemida generik.

5.2 Saran Sebaiknya digunakan sulfamerazin,sulfamezatin atau golongan sulfa lainnya pada pengujian disolusi berikutnya Sebaiknya pada percobaan berikutnya digunakan metode uji disolusi yang lainnya.

21

DAFTAR PUSTAKA Aiache, J.M., dan Guyot Hermann, A. M.(1993).Farmasetik 2: Biofarmasi. Edisi kedua. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri, Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Halaman 13-16, 103-104, 108-109, 153-169. Depkes RI.(1979).Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.Halaman 639,748,755,772. Gunawan, Sulistia G.(2007).Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. Halaman 305, 600-603. Hong,wen.(2010).Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery : Theory to Practice.Canada:John wiley and sons.Pages 146-148. Kee,Joyce L. (1994).Farmakologi. Jakarta : EGC. Halaman 6-9. Martindale. (2009). The Complete Drug Reference. Thirty-sixth edition. USA: Pharmaceutical Press. Pages 336, 1292. Mutschler,Ernst.1991. Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 572, 628 Scholar,Eric M. (2000). The Antimicrobial Drugs. New york: Oxford University press,inc. Pages 217-218. Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah : Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Halaman : 99-102, 454-456. Tan. (2007). Obat-Obat Penting.Edisi Keenam. Jakarta : PT Media sKomputindo. Halaman 19,144,523. Tanu, Ian. (2011). Farmakologi dan Terapan. Edisi kelima. Jakarta : UI Press.Halaman 389 ,602.

22

LAMPIRAN Flowsheet 1.1 Uji Disolusi untuk Kapsul,Tablet dan Sustained Release Sulfadiazin 900 ml medium lambung buatan
pH 1.2

Diatur suhunya 37 0.5C Dimasukkan ke dalam tabung disolusi Diletakkan kapsul,tablet dan sustained

release sulfadiazin pada alat Dihidupkan alat dengan kecepatan 100 rpm Diambil 5 ml aliquot pada menit ke 5; 10; 20; 30; 45; 60; 75 Diencerkan dengan medium disolusi sampai 25 ml Diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 242 nm Hasil

1.2.Uji Disolusi untuk Tablet Furosemid(Generik, dan Farsix)

900 ml medium dapar fosfat pH 7.4

Diatur suhunya 37 0.5C Dimasukkan ke dalam tabung disolusi Diletakkan tablet furosemid generik dan farsix pada alat

23

Dihidupkan alat dengan kecepatan 50 rpm Diambil 5 ml aliquot pada menit ke 5; 10; 20; 30; 45; 60. Diencerkan sampai 25 ml Diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 271 nm
Hasil

dengan

medium

disolusi

24

Lampiran Gambar

Spektrofotometer

Dissolution testre

Labu Tentukur

Beaker Glass

Vial

Spatula dan batang pengaduk

25

Anda mungkin juga menyukai