Anda di halaman 1dari 16

BAB I

LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan bahwa
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena
bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi gaya terapetik, aktivitas klinik, dan
aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting.
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pengobatan yang optimal pada kondisi
klinik tertentu (Shargel, 1999).
Absorpsi sistematis suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomi dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat
dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan
sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali ( Shargel, 1999 ).
Studi bioavaibilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui
maupun terhadap bahan obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh
FDA (Food Drug Administration) untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat
aktif atau bahan terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA
dalam menyetujui suatu obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa obat tersebut
aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu produk obat harus
memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas, dan
kemurnian ( Shargel, 1999 ).
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai
system sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang
mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan
hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu
tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut.
Pengkajian terhadap ketersediaan hayati tergantunga absorbsi obat ( Syukri, 2002).

1
1.2 Tujuan percobaan
 Untuk mengetahui konsentrasi obat Sulfadiazin dalam darah secara in vivo
didalam tubuh kelinci
 Untuk mengetahui kadar obat dalam darah furosemid generik dengan
furosemid merek dagang Lasix® dan Farsix®
 Untuk membandingkan kadar dalam darah furosemid generik dengan
furosemid merek dagang Lasix® dan Farsix®

1.1 Manfaat Percobaan


 Praktikan dapat mengetahui konsentrasi obat Sulfadiazin dalam darah
secara in vivo didalam tubuh kelinci
 Praktikan dapat mengetahui kadar obat dalam darah furosemid generik
dengan furosemid merek dagang Lasix® dan Farsix®
 Praktikan dapat mengetahui uji bioavailabilitas Sulfadiazin dengan
berbagai rute pemberian dan uji bioekivalensi dari obat generik Furosemid
terhadap obat paten Lasix® dan Farsix®.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketersediaan Hayati (Bioavailabilitas)


Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidak
setaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif
yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama, serta diberikan dengan dosis
yang sama. Berbagai kejadian (zataktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik)
dapat menyebabkan ketidaksetaraan tersebut. Studi biofarmasetika menyatakan
bahwa metode fabrikasi dan formulasi akan mempengaruhi ketersediaan hayati
suatu obat (Syukri, 2002).
Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi
merupakan salah satu tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan
keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung
pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat
yangterabsorpsi tersebut (Syukri, 2002).
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien yang
bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah
dan setelah mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (keadaan tunak).
Ada korelasi yang baik antara kadar obat dalam plasma dengan efek terapi.
Sekarang telah dicoba untuk menetukan kadar obat di dalam air liur. Penentuan
tersebut ternyata lebih mudah dibandingkan dengan penentuan obat dalam plasma.
Di samping itu terdapat hubungan antara kadar obat dalam air liur dan kadar obat
dalam plasma ( Anief, 1994 ).
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan
dan kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva
kadar waktus etelah obat diminum dan berada pada jaringan biologik atau larutan
seperti darah dan urin ( Anief, 1994).
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,

3
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1999).
Sewaktu obat mengalami absorpsi sistemik berbagai proses fisiologik
normal yang berkaitan dengan distribusi dan eliminasi biasanya tidak dipengaruhi
oleh formulasi obat. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat di dalam
bioavailabilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka kadar
obat sesudah pemakaian enteral dapat lebih bervariasi dibandingkan kadar obat
sesudah pemakaian parenteral (Shargel, 1999).
Banyak obat yang jika diberikan secara oral akan mengalami efek lintasan
pertama yang nyata, akibatnya ketersediaan hayati obat akan berkurang, jika
dibandingkan secara intra otot atau intra vena. Pada umumnya besarnya
ketersediaan hayati suatu obat mengikuti saluran pemberiannya yaitu oral ± intra
otot ± intra vena (Shargel, 1999).
Suatu obat dapat diberikan dalam berbagai rute dan tetap menghasilkan
aktivitas yang ekivalen, tetapi lama dan mula kerja mungkin sangat berbeda
karena perubahan farmakokinetik yang disebabkan oleh rute pemberian. Sebelum
suatu obat dibuat untuk suatu rute pemberian tertentu adalah penting untuk
mempertimbangkan perubahan fisiologik dan fisikokimia yang disebabkan
oleh perubahan bentuk sediaan (Shargel, 1999).

2.2 Ketersediaan Hayati Sulfadiazin


Absorbsi di usus terjadi cepat, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam
waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Kira –kira 15-40% dari obat
yang diberikan diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah untk
diekskresikan. Hampir 70 % obat ini mengalami reabsorbsi di tubuli ginjal dan
pemberian alkali memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorbsi
tubuli. Karena beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam, maka
sring timbul kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Untuk mencegah ini
penderita dianjurkan minum banyak air agar produksi tidak kurang dari 1200
ml/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-Bikarbonat untuk menaikan pH
urin (Setiabudy, 2007).

4
2.3 Ketersediaan Hayati Furosemid

Gambar 2. Struktur bangun Furosemid

Nama kimia : asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat

Rumus kimia : C12H11ClN2O5S

BM : 330,74

Pemerian : Serbuk hablur; putih sampai hampir kuning; tidak berbau

Kelarutan :Praktis tidak larut dalam dalam air; mudah larut dalam aseton;

dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali hidroksida;

larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut

dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM,

1995).

Mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena
dalambeberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Resorpsinya dari usus hanya lebih
kurang 50%, PP-nya ca 97%, plasma t-1/2 nya 30-60 menit; ekskresinya melalui kemih
secara utuh, pada dosistinggi juga lewat empedu ( Tan, 2007 ).
Bioavailabilitas furosemida adalah 65%. Diuretic kuat terikat pada protein
plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali
disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli proksimal. Dengan cara
ini obat terakumulasi dicairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja di daerah
yang lebih distal lagi. Probenesi didapat menghambat sekresi furosemid, dan
interaksi antara keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan tidak
pada tempat kerja diuretic. Sebagian furosemida yang diberikan secara iv
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa

5
sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui
hati. Sebagian kecil diekskresi dalam bentuk glukuronat (Nafrialdi,2007).

2.4 Bioekivalensi
Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi adalah karena produk obat
yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding
dengan penderita. Rancangan dan evaluasi studi bioekivalensi yang dikendalikan
dengan baik memerlukan kerja sama antara ahli farmakokinetik, statistik,
farmakologi klinik, bioanalitik kimia dan ahli yang lain. Pada studi bioavailabiltas
dan bioekivalen, peneliti hendaknya meneliti kepustakaan untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut. Prinsip dasar petunjuk studi bioavailabilitas in vivo adalah
tidak ada penelitian pada manusia yang tidak diperlukan ( Shargel, 1999)
Dalam studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar
pembanding dari formulasi obat yang lain. Standar pembanding hendaknya
mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada
dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute
yang sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau
rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetika tertentu
(Shargel, 1999).

2.5 Parameter Farmakokinetika
2.5.1 Tetapan Laju Eliminasi
Laju eliminasi untuk sebagian besar obat merupakan suatu proses order ke
satu. Tetapan laju eliminasi ,K , adalah suatu tetapan laju eliminasi order kesatu
dengan satuan waktu-1. Pada umumnya hanya obat induk atau obat yang aktif
yang ditentukan dalam kompartemen vaskular. Pemindahan atau eliminasi obat
secara total dari kompartemen ini dipengaruhi oleh proses metabolisme (biotransformasi)
dan ekskresi. (Shargel, 1999).
2.5.2 Volume Distribusi
Volume distribusi menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan
dalammemperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang

6
ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga dapat dianggap
sebagai (Vd) di mana obat terlarut (Shargel, 1999).
2.5.3 Area di bawah Kurva (Area Under Curve)
Merupakan total area dibawah kurva konsentrasi vs waktu yang
menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada pada sirkulasi sitemik. Bila
membandingkan suatu formulasi untuk suatu acuan, parameter ini
menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan bias digunakan sebagai perkiraan
kasar jumlah obat diabsorpsi (Syukri,2002)
2.5.4 t maks
 Menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi
puncak dari obat dalam sirkulasi sitemik. Parameter ini tergantung pada konstanta
absorpsi yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis
dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorpsi (Syukri,2002).
2.5.5 Cp maks
Menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini
tergantung pada konstanta absorpsi, dosis, volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi
obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon
biologis dan harus diatas konsentrasi efektif minimum dan tidak melebihi konsentraso toksik
minimum (Syukri, 2002).
2.6 Spektrofotometri UV-Visible
Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnit
panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromati, yang diserap
zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang
gelombang 190 nm-380nm) atau pada daerah cahaya tampak (panjang gelombang
380 nm- 780 nm). Alat spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar
monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus, alat
ukur atau pencatat (Ditjen POM, 1979).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri. UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna
yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut
harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah
tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :

7
1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
2. Waktu operasional (operating time)
3. Pemilihan panjang gelombang
Untuk memilih panjnag gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat
kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan
baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus
menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :
- Pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk
setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
- Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan
pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
- Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal.
4. Pembuatan kurva baku
5. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai
0,8 atau 15 % sampai 70 % jika dibaca sebagai transmitans (Gandjar,2007).

2.7 Kelinci (Oryctogalus cuniculus)

Kelinci Eropa (Oryctogalus cuniculus) terdapat di daratan Eropa dalam

tiga bentuk yaitu liar (wild), yang dijinakkan (feral) dan jinak (domestic). Namun,

di Amerika Utara hanya ada bentuk feral dan jinak. Kelinci tipe liar atau tipe

keturunannya berkembang di Iberian Peninsula dan menyebar ke daerah lain di

Mediteranian. Famili bentuk domestic adalah sangat khusus dengan variasi yang

besar pada keturunannya dan strain yang digunakan untuk produksi daging,

sebagai hewan kesayangan dan produksi hewan percobaan. Kelinci tipe feral yang

kembali ke bentuk semula (dari domestic ke tipe liar) dapat ditemukan di pulau

8
Farallon lepas pantai San Fransisco, pulau San Juan di Fuca straits, Washington

dan pulau Channel dekat Santa Barbara, California (Sumadi, 2011).

Kelinci laboratorium adalah keturunan kelinci Eropa tipe liar, Oryctolagus

cuniculus, bersama-sama dengan sejenis kelinci lainnya, terwelu dan pika, asal

mulanya diklasifikasikan sebagai anggota dari Rodentia atau Rodent. Walaupun

demikian, rodentia mempunyai 4 pasang gigi seri, tetapi kelinci mempunyai 3

pasang gigi seri (2). Taxonomi dari genus Oryctogalus selengkapnya dapat dilihat

seperti pada diagram garis besar taxonomi genus Oryctolagu. (Sumadi, 2011).

Tubuh kelinci berbulu halus dan daerah kulit yang tidak berbulu ada pada

daerah ujung hidung dan sebagian kecil dari scrotum pada kelinci jantan dan

bagian inguinal pada kedua jenis kelamin, baik jantan dan betina.Dari atas, kepala

tampak besar dan daun telinga terlihat banyak vaskularisasinya. Bibir atas tampak

terbelah, sedangkan bibir bawah tidak terlihat terbelah dengan bagian anterior

lateralnya berbentuk commisures, secara relatif mulut hanya terbuka sedikit.

Sensor bulu (kumis) sangat menyolok atau sensitive. Nares external berbentuk

ovoid dan bertemu dengan 3 bagian bibir atas yang terbelah. Mata terletak lebih

ke sisi lateral dibanding dengan kebanyakan mammalian (Sumadi, 2011).

Badan dibagi ke dalam thorax, abdomen dan dorsal (punggung). Bagian

ventral dibawah dekat ekor terdapat anus yang tidak berbulu. Bagian ventral dari

anus pada hewan betina terdapat vulva yang ditutupi oleh lipatan-lipatan kulit dan

terdapat clitoris dibagian ventralnya. Pada kelinci jantan, penis dikelilingi oleh

preputium yang letaknya analog dengan vulva pada kelinci betina. Di dalam

kantong scrotum terdapat testes, yang masing-masing terdapat pada salah satu sisi.

(Sumadi, 2011).

9
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah spektrofotometer
(Shimadzu), neraca analitis (Sartorius, Metler Toledo), polytube, sentrifuge,
vortex, animal box, pisau cukur (goal), stop watch, spuit 3 cc, tabung sentrifuge,
labu tentukur 10 ml, beaker glass 1000 ml, tisu lensa dan tisu halus.

3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah sulfadiazin tablet,
furosemid generik, Lasix®, dan Farsix, TCA 10%, heparin, aquadest, alkohol
70%, vaselin.

3.3 Hewan percobaan


Kelinci

3.4 Prosedur
3.4.1 Pemberian secara oral
Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percobaan, dicukur bulu
telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Diambil sebanyak 1 ml darah
dari vena marginal dengan spuit yang telah terawat heparin. Dimasukkan ke
dalam tabung centrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10%, dihomogenkan
dengan vortex, centrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Diambil supernatan
dan dimasukkan ke dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko).
Kemudian sediaan obat (tablet, kapsul, SR) dimasukkan secara oral pada kelinci
dengan bantuan oral sonde atau penyangga mulut (kelinci). Diambil 0,5 ml
cuplikan darah pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45, dan 60.

3.4.3 Pemberian secara Intravena


Kelinci dipuasakan minimal 8 jam sebelum percobaan, dicukur bulu
telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Diambil sebanyak 1 ml darah

10
dari vena marginal dengan spuit yang telah terawat heparin. Dimasukkan ke
dalam tabung centrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10%, dihomogenkan
dengan vortex, centrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Diambil supernatan
dan dimasukkan ke dalam polytube (untuk selanjutnya disebut sebagai blanko).
Diberikan sediaan secara intravena pada vena marginal. Diambil 0,5 ml cuplikan
darah pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45, dan 60.

3.4.4 Pengukuran plasma (Analisis sampel sediaan obat Furosemid generik


dari cuplikan darah)
Dipipet 2 ml larutan supernatant dengan menggunakan spuit, dimasukkan
dalam labu tentukur 10 ml, kemudian ditambahkan dengan aquadest sampai garis
tanda. kemudian diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer (500-
580 nm).

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Terlampir

4.2 Grafik
Terlampir

4.3 Pembahasan
Pada percobaan ini dilakukan uji in vivo (pengaruh rute pemberian
terhadap bioavaibilitas). Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
rute pemberian terhadap bioavaibilitas dimana dalam percobaan digunakan
sulfadiazin tablet sebagai obat uji. Dari hasil percobaan diperoleh konsentrasi
sulfadiazin tablet dari menit ke- 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, dan 60 berturut-turut
adalah 10,505 ppm; 11, 425 ppm; 9,4888 ppm; 19,259 ppm; 9,6862 ppm; 10,547
ppm dan 9,8906 ppm.
Biovaibilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang
aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum. Suatu studi bioavaibilitas
dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetuji maupun terhadap obat
dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Formula
baru dari bahan obat aktif atau bagian terapetik sebelum dipasarkan harus
disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan
harus yakin bahwa produk tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi
penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang
digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian (Shargel, 1988).
Area dibawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai
ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi
sistemik. AUC tergantung pada jumlah total obat yang tersedia. F adalah fraksi
dosis terabsorpsi. Setelah pemberian obat secara oral F dapat berbeda mulai dari
harga F sama dengan nol (tidak ada absorbsi obat) sampai F sama dengan satu
(absorbsi obat sempurna) (Shargel, 1988).

12
4.4 Perhitungan
4.4.1 Konstanta eliminasi (Ke)

Dari grafik (semilog) diperoleh Cp0 = 5,2 mcg/ml

log y 2−log y 1 log 2,7−log2,2


Slope= = =−0 , 0059
x 2−x 1 45−60

Ke = - slope x 2,303
= -(-0,0059) 2,303 = 0,01359 /menit

4.4.2 Waktu paruh

1 0 , 693 0 ,693
t = = =50 ,9934 jam
2 K 0 , 01359

4.4.3 Konstanta absorbansi (Ka) (X1, Y1) = (5 ; 12,369)

(X2, Y2) = (10; 8,12)

log y 2−log y 1 log1 , 14−log 0,7


Slope= = =−0 , 0602
x 2−x 1 5−10

Ka = - slope x 2,303
= -(-0,0602) 2,303 = 0,1386 menit-1
4.4.4 AUC (Area Under Curva)
AUC 0-5 = ½ (Cpn + Cpn+1) . t
= ½ (Cp0 + Cp5) . t
= ½ (0 + 3,4498) x 5 = 8,6245 μg/ml menit
AUC 5-10 = ½ (Cpn + Cpn+1) . t
= ½ (Cp5 + Cp10) . t
= ½ (3,4498 + 3,7111) x 5 = 17,9023 μg/ml menit
AUC 10-20 = ½ (Cpn + Cpn+1) . t
= ½ (Cp10 + Cp20) . t
= ½ (3,7111 + 4,5633) x `10 = 41,372 μg/ml menit

13
AUC 20-45 = ½ (Cpn + Cpn+1) . t
= ½ (Cp20 + Cp45) . t
= ½ (4,5653 + 2,6966) x 25 = 90,7738 μg/ml menit
AUC 45-60 = ½ (Cpn + Cpn+1) . t
= ½ (Cp45 + Cp60) . t
= ½ (2,6966 + 2,1940) x 15 = 36,6795 μg/ml menit
AUC 0-60 = 195,3521 μg/ml menit

Cplast 2,5297
AUClast= = 2,1940/0,01359 = 161,4422 μg/ml menit
Ke 0,0092
AUC total = AUC0-60 + AUClast
= 195,3521+ 161,6422
= 356,7943 μg/ml menit

4.4.5 AUMC
AUMC0-60 = ½ ( CPn + CPn+1) Δt
AUMC0-5 = ½ ( 0 + ( 5 x 3,4498 )) x 5 = 43,1225
AUMC5-10 = ½ ( ( 5 x 3,4498 ) + (10 x 3,7111)) x 5 = 101,402
AUMC10-20 = ½ ( (10 x 3,7111+ (20 x 4,5653)) x 10 = 475,0855
AUMC20-45 = ½ ( (20 x 4,5653) + (45 x 2,6966)) x 25 = 1562,4905
AUMC45-60 = ½ ( (45 x 2,6966) + (60 x 2,1940)) x 15 = 1047,9735
AUMC0-60 = 3230,074
AUC total = 3230,074 + (60x 2,1940)/ 0,01359 + 2,1940/0,01359
= 3230,074 + 9686,5342 + 161,4422
= 13078,0504

4.4.6 MRT

AUMCtotal 13078 , 0505


MRT = = =36 ,6543 menit
AUCtotal 356 , 7943

Konsentrasi plasma pada Co(Cp0)


Cp0 = AUC x K
K = 1/MRT

14
K = 1/ 36,6543
K= 0,0273

4.4.7 Volume Distribusi


dosis
V= Dosis/ CP0
Cp 0
= 40000/5,2
= 7692,3 ml
= 7,6923 L

4.4.8 Konsentrasi Plasma pada t = 1 jam


Cp = Cp0 x e-kt
=5,2 x e-0,0273 . 60
= 5,2 x 5,1449
= 25,7535 mcg/ml

15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
- Konsentrasi Sulfadiazin dalam darah secara in vivo pada menit 0,
5,10,20,30,45,60 adalah 10,505 ppm; 11, 425 ppm; 9,4888 ppm; 19,259
ppm; 9,6862 ppm; 10,547 ppm dan 9,8906 ppm.
 Kadar obat dalam darah furosemid generik secara in vivo pada menit 0,
5,10,20,30,45,60 adalah 2,9441; 3,4498; 3,7111; 4,5633; 3,4652; 2,6966;
2,1940. Kadar obat furosemid merek dagang Lasix ® dalam darah secara in
vivo pada menit 0, 5,10,20,30,45,60 adalah 5,2875; 6,1525; 6,2907; 6,807;
7’9740; 7,6700; 7,418 dan Farsix® adalah 2,9085; 2,9116; 2,8915; 1,9032;
2,3301; 2,9270; 2,2600.
- Kadar Farsix dalam darah lebih sedikit dibandingkan dengan furosemid
generik dan Lasik. Lasik memiliki kadar paling tinggi.

5.2 Saran
a. Disarankan untuk praktikum selanjutnya agar digunakan sediaan sulfa
kombinasi seperti trisulfa sebagai perbandingan.
b. Disarankan agar dihitung harga bioavaibilitas relatifnya untuk melengkapi
data.

16

Anda mungkin juga menyukai