Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

DISOLUSI OBAT

Oleh:
Eka Lubis (01174220017)

Pengampu:
Karnelasatri, M.Si.
Sri Wahyu Ningsih Munthe, S.Pd., B.Ed.

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM DIPLOMA TIGA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tablet merupakan salah satu sediaan farmasi yang wajib melewati pengujian
disolusi. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kinerja fisiologis sediaan (obat) dan
ketersediaan hayati. Obat tablet sendiri memiliki permasalahan pada saat proses
preformulasi yang harus ditanggulangani untuk dapat menghasilkan suatu sediaan yang
memenuhi persyaratan. Salah satu dari permasalahan itu adalah sifat kelarutan dari zat
aktif yang dibuat dalam bentuk sediaan tablet, permasalahan ini menjadi tantangan bagi
formulator dalam memformulasikan zat aktif menjadibentuk sediaan tablet.
Menurut Astutiningsih (2013), proses dari kelarutan zat aktif menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi absorpsi obat di dalam tubuh, dimana semakin cepat zat aktif
dalam suatu obat dapat di serap didalam tubuh. Maka, efek terapi dari zat aktif itu akan
dapat semakin dirasakan. Sehingga untuk mencapai obat dapat diabsorsikan di dalam tubuh,
obat tersebut harus memiliki sifat kelarutan yang baik untuk melepaskan zat obatnya ke
dalam cairan dalam tubuh dengan hasil yang amandigunakan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam
media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya
adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air
telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya
mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini
partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi
seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna (Ansel,
1985).
Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau kelarutan
sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk
obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul
pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat
bertindak sebagai standar atau uji kemurnian (Astuti dkk., 2008).
Mengingat pentingnya mempelajari disolusi suatu obat dalam bidang farmasi,
maka dilakukan percobaan disolusi obat menggunakan sampel Aspirin dan dititrasi
menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N dan indikator fenolftalein untuk menentukan
banyaknya konsentrasinya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini untuk mempelajari kecepatan dari proses kelarutan
suatu obat, serta dapat melihat pengaruh disolusi obat tersebut dan berbagai faktor faktor
yang mempengaruhi disolusi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Rute oral merupakan salah satu cara yang sering digunakan agar obat dapat
teradministrasikan ke dalam tubuh. Bentuk sediaan yang biasanya digunakan adalah serbuk
maupun tablet. Tablet sendiri merupakan bentuk sediaan yang memiliki kandungan zat aktif
dengan disertai bahan pengisi maupun tidak. Sehingga, dengan adanya proses uji disolusi untuk
untuk mengetahui kelarutan dari zat aktif yang dapat terabsorbsi di dalam tubuh (Astutiningsih
dkk, 2013).
Disolusi, kelarutan, dan permeabilitas obat yang ada pada saluran gastrointestinal adalah
parameter dalam mengendalikan absorpsi dan bioavaibilitas obat. Kelarutan obat yang berada
dalam air memiliki hal penting dalam penghantar oral dan juga parental. Selain itu kelarutan obat
juga memiliki keselarasan dalam laju disolusi pada sediaan obat padat yang mengalami
pelepasan dari sediaannya dan larut dalam larutan gastrointestinal. Sehingga hanya obat yang
larut dalam air yang dapat diabsorbsi oleh membran sel untuk bisa mencapai target aksi obat.
Sedangkan obat yang sukar larut air dan memiliki disolusi rendah pada larutan gastrointestinal
akan menghasilkan bioavaibilitas oral rendah sehingga mampu memberikan tantangan terhadap
peningkatan kelarutan dan laju disolusinya (Rachmaniar dkk, 2017).
Menurut Maharani (2017), disolusi adalah proses dimana bahan kimia atau obat dapat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Disolusi ini secara singkat yaitu proses melarutnya suatu
solid yang dapat berupa sediaan farmasetika padat terdispresi dalam cairan setelah dikonsumsi
oleh seseorang. Setelah itu, sediaan akan terlepas dan mengalami disolusi dalam media biologis,
dimana zat aktif terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik untuk menunjukkan adanya repons
klinis.
Uji disolusi memiliki tujuan untuk memprediksikan suatu korelasi biovailabilitas info
yang ada pada produk obat, dimana hal ini penting sebagai kontrol kualitas selama proses
produk, petunjuk untuk pengembangan formulasi, dan memastikan kualitas bioekivalen in-vitro
antar batch (Majasari, 2022).
Kelarutan dan kecepatan disolusi adalah parameter yang penting dalam menciptakan
suatu sediaan farmasi khususnya paralel. Larutan obat itu sendiri merupakan suatu proses awal
yang terjadi pada cairan pencernaan sebelum bahan obat dapat diabsorbsi di tempat absorbsi
obat. Suatu sediaan yang memiliki tingkat kelarutan tinggi maka kecepatan disolusi zat
aktifnya dari bentuk sediaan tersebut akan lebih cepat, namun sebaliknya apabila sediaan yang
memiliki kecepatan disolusinya rendah maka kecepatan disolusi zat aktif pada sediaan
tersebut akan lebih lambat, sehingga laju absorbsi obat yang dihasilkan akan lebih lambat dan
biovabilitas yang dihasilkan akan rendah (Sagala, 2019).

Pada proses uji disolusi terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan
disolusi pada bentuk sediaan padat. Hal ini didukung oleh Siswanto (2014), bahwa kecepatan
disolusi dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi kecepatan disolusi antara lain suhu, intensitas pengadukan, model dan alat
disolusi yang digunakan, serta komposisi mediumnya. Selain itu faktor internal yang
mempengaruhi kecepatan disolusi adalah formulasi produk obat, kondisi uji disolusi, proses
pembuatansediaan, dan sifat fisika kimia obat.

Formulasi obat sediaan dapat mempengaruhi kecepatan disolusi yang disebabkan


apabila sediaan dicampurkan dengan bahan tambahan lainnya, karena jika bahan tambahan
baik pengisi maupun pengikatnya bersifat hidroponik, maka dapat memberikan sifat hidrofilik
pada bahan obat yang hidrofobik sehingga disolusi bertambah sedangkan bahan tambahan
yang hidrofob dapat menyebabkan laju disolusi berkurang. Adapula kondisi uji disolusi yang
merupakan hasil dari bentuk sediaan yang ada dimana hal ini berkaitan dengan bentuk sediaan
solid yang mempengaruhi proses disolusi dengan meliputi adanya metode prosedur pembuatan,
ukuran granul, pengaruh penyimpanan dan laju disolusi. Selain itu, ada pula sifat fisik dan
kimia obat yang dapat berpengaruh pada kecepatan disolusi, dikarenakan sifat-sifat histokimia
yang ada pada zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian disolusinya, kelarutan yang ada
pada zat aktif dapat menjadi salah satu faktor menentukan suatu laju disolusi, di mana
kelarutan menjadi faktor utama dalam menentukan laju disolusi yang dapat menunjukkan
cepat lambatnya lajudisolusi suatu obat (Maharani, 2017).

Selain itu menurut Putri (2016), terdapat uji disolusi terbanding yang merupakan suatu
metode fisika sebagai parameter dalam pengembangan mutu sediaan obat yang didasari
pengukuran kecepatan pelarut zat aktif dari sediaan maupun pelepasannya. Uji disolusi ini
digunakan sebagai uji biovabilitas secara in- vitro, karena hasil dari disolusi ini berkaitan
dengan adanya ketersediaan hayati obat yang ada di dalam tubuh. Uji disolusi terbanding ini
dapat digunakan untuk memastikan suatu kualitas maupun sifat-sifat dari produk obat dengan
adanya perubahan minor dalam formulasi atau adanya pembuatan setelah izin pemasaran.

Aspirin merupakan obat analgesik, antiinflamasi dan antipiretik yang sangat luas
penggunaannya. Dalam dosis rendah, aspirin digunakan sebagai zat antitrombosis untuk
mencegah agregasi platelet melalui penghambatan enzim siklooksigenase. Aspirin diabsorpsi
secara cepat di saluran pencernaan bagian atas, terutama di bagian pertama duodenum
(Patrono, 2008 & Kannan, 2010 dalam Siswanto, 2016). Setelah pemberian secara oral,
aspirin terhidrolisis secara cepat di dalam tubuh menghasilkan asam salisilat sebagai metabolit
utama (Mullangi, 2012 dalam siswanto, 2016). Bioavailabilitas aspirin rendah akibat first pass
effect metabolism dan hidrolisis menjadi salisilat di dinding usus (Sweetman, 2009 dalam
Siswanto, 2016) Banyak penelitian melaporkan bioavailabilitas aspirin dalam bentuk asam
salisilat (Dressman, 2012 dalam Siswanto, 2016) Oleh karena itu, pemantauan asam salisilat
sebagai metabolit utama dalam darah bersama-sama aspirin sangat diperlukan untuk
menentukan profil farmakokinetik aspirin.

Asam asetil salisilat (aspirin) merupakan salah satu obat konvensional yang sering
digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Akan tetapi, asam asetil salisilat memiliki efek yang
merugikan antara lain menimbulkan iritasi lambung danmenyebabkan pendarahan, maka
mulai dilakukan sintesis senyawa turunan salisilat yang relatif kurang toksik dan lebih aman
digunakan (Asetya, 2010).

Gambar 2.1 Struktur Aspirin

2.2 Disolusi
Pelepasan zat aktif sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk
sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif
dari bentuk ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam medai sekelilingnya. Disolusi
didefinisikan sebagai zat proses dimana suatu zat padat masuk kedalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi merupakan proses dimana zat
padat melarut secara prinsip dikendalikan olehafinitas zat padat dan pelarut (Bird, 1987).

Karakteristik fisik sediaan, proses pembahasan sediaan kemampuan penetrasi


media disolusike dalam sediaan, proses pengembangan, proses integrasi dan degrasi.
Sediaan merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi proses karakteristik
disolusi suatu zat (Bird, 1987).

Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dari pembahasan menyeluruh ke pelarut dari
permukaan padat. Menurut Bird (1987) didalam pembahasan untuk memahami
mekanisme disolusi, digunakan model atau gabungan dari beberapa model, antara lain:

A. Model Lapisan Difusi


Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Bunner. Pada permukaan padat
terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan L, merupakan komponen kecepatan
negatif dengan arah berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-
cair berlangsung cepat. Begitu model solute melewati antar muka liquid film–bulk film,
pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu
kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi dengan gerakan Brown dari molekul dalam
liquid film.

B. Model Barrier Antar Muka


Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaaan padat dan dalam
hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap
adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam
membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas
kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi
melewati lapisan tipis statis.

C. Model Dankwart
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi
melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi
pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada
pada antar muka, paket mampu mengarbsorpsi solute menurut hukum difusi iasa, dan
kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat
terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan
transpor solute atau dengan kata laindisolusi.
Menurut Brady (1992), kecepatan disolusi dapat ditentukan menurut beberapa
metoda sebagai berikut:
A. Metoda Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan kedalam pelarut tanpa pengontrolan eksak
terhadap luar permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan
jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.

B. Metoda Permukaan Konstan


Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luatnya sehingga
variabel perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Penentuan dengan
metoda suspensi dapat dilakukan dengan alat uji disolusi tipe dayung. Sedangkan
untuk metoda permukaan tetap digunakan alat.
Menurut Martin (2008), faktor yang mempengaruhi disolusi sebagai berikut:
A. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh 5% akan
menyebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.

B. Medium
Medium yang paling aman adalah air, bufer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa
hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat berubah. Sifat ini
atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan zat didalam medium bukan
meripakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink”
maka perbandingan zat aktif dalam volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-
10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi satuan larutan jenuh.

C. Kecepatan Pengadukan
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan yang dipakai adalah 50 rpm atau 100 rpm. Perputaran diatas
100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil
kecepatan pengadukan.

D. Kecepatan Letak Vertikal Poros


Disini termasuk tegak lurusnya poros perputaran dayung atau wadah, tinggi
dan ketepatan posisi dayung atau wadah harus sentris. Letak yang kurang sentral
dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini mengakibatkan pengadukan
yang lebih hebat didalam wadah.

E. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luar permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.

F. Polimorfisme
Kelarutan zat dipengaruhi oleh polimorfisme. Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga.

G. Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan didalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat
dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusi
bertambah.
Kecepatan disolusi suatu zat adalah ukuran yang menyatakan banyaknya
suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang
umum menggambarkan proses disolusi suatu zat padat telah dikembangkan oleh
Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut:
𝐷𝑠
𝑑𝑀 = (𝐶𝑠 – 𝐶)
𝑑𝑇 ℎ

dM/dt : Kecepatan DisolusiD


: Koefisien Difusi
S : Luas Permukaan Zat
Cs : Kelarutan Zat Padat
C : Konsentrasi Zat Dalam Larutan Pada Waktu T H
: Tebal Lapisan Difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama
proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi
air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h, seperti tampak pada
gambar berikut:

Gambar 2.2 Disolusi Zat Padat (Zubaidah, 2009)

Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil dari pada
kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap
sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi
persamaan berikut:
𝐷.𝑆.𝐶𝑠
𝑑𝑀 =
𝑑𝑇 ℎ

Dari persamaan diatas tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi


kecepatan disolusi suatu zat, yaitu (Bird, 1987):

1. Suhu/Temperatur
Kenaikan temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,
koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut.
𝑘.𝑇
𝐷= .
6𝑦𝑟
D : Koefisien DifusiR :
Jari-Jari Molekul
K : Konstanta Boltzman
Η : Viskositas Pelarut T
: Suhu
2. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.

3. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur


internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga.
Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar.

4. Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan zat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat
dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan
disolusinya bertambah.

5. Kecepatan Pengadukan
Pengadukan dapat meningkatkan jumlah tumbukan partikel zat terlarut
dengan pelarut.
Disolusi tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-
partikel padat terlarut ke dalam zat cair, mekanisme disolusi melalui 2 langkah
berturut-turut (Underwood, 1981):

1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang
tetap atau film disekitar partikel
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua, difusi


lebih lambat dari langkah pertama (Underwood, 1981).
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Difusi Layer Model (Underwood, 1981)
Pada waktu suatu partikel zat mengalami disolusi, molekul-molekul zat pada
permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh zat-larutan
yang membungkus permukaan partikel zat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai
lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul zat keluar melewati cairan yang
melarut dan berhubungan dengan membran biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-
molekul zat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan
zat yang dilarutkan dari permukaan partikel zat dan proses absorbsi tersebut berlanjut
(Underwood, 1981).

 Pengaduk
Pengadukan adalah operasi yang menciptakan terjadinya gerakan di dalam bahan
yang diaduk. Tujuan operasi pengadukan yang utama adalah terjadinya pencampuran.
Pencampuran merupakan operasi yang bertujuan mengurangi ketidaksamaan kondisi, suhu,
atau sifat lain yang terdapat dalam suatu bahan. Pencampuran dapat terjadi dengan cara
menimbulkan gerak di dalam bahan itu yang menyebabkan bagian-bagian bahan saling
bergerak satu terhadap yang lainnya, sehingga operasi pengadukan hanyalah salah satu cara
untuk operasipencampuran (Uhl, 1966).
Pencampuran suatu zat dapat dipengaruhi oleh proses pengadukan. Agar diperoleh
pencampuran yang optimal perlu diperhatikan tipe pengaduk (agitator) yang digunakan.
Pengaduk berfungsi untuk menggerakkan bahan di dalam bejana pengaduk. Pengaduk yang
digunakan haruslah sesuai dengan tujuan pencampuran yang diinginkan. Berikut akan
dibahas berbagai macam tipe agitator yang dapat digunakan dalam proses pengadukan (Uhl,
1966).

a. Pengaduk Baling-Baling
Gambar 2.3 Pengaduk Jenis Propeler (Uhl, 1966)
Propeler merupakan agitator/impeller aliran aksial berkecepatan tinggi untuk zat
cair berviskositas rendah. Propeler kecil biasanya berputar pada kecepatan motor penuh,
yaitu 1150 atau 1750 putaran/menit, sedang propeler besar berputar pada 400-800
putaran/menit. Arus yang meninggalkan propeler mengalir melalui zat cair menurut arah
tertentu sampai dibelokkan oleh lantai atau dinding bejana (Uhl, 1966).
Jenis yang paling banyak dipakai adalah propeler kapal berdaun tiga, sedang propeler
berdaun empat, bergigi, atau dengan rancang lain digunakan untuk tujuan- tujuan khusus.
Selain itu, kadang dua atau lebih propeler dipasang pada satu poros, biasanya dengan arah
putaran yang sama. Namun, bisa juga dipasang dengan arah yang berlawanan, atau secara
tolak/tarik sehingga menciptakan zone fluida yang sangat turbulen di antara kedua propeler
tersebut (Uhl, 1966).
Pengaduk ini tidak bergantung pada ukuran serta bentuk tangki. Kapasitas sirkulasi
yang dihasilkan besar dan sensitif terhadap beban head. Dalam perancangan propeller, luas
sudu biasa dinyatakan dalam perbandingan luas area yang terbentuk dengan luas daerah
disk. Nilai nisbah ini berada pada rentang 0.45 sampai dengan 0.55. Pengaduk propeler
terutama menimbulkan aliran arah aksial, arus aliran meninggalkan pengaduk secara
kontinu melewati fluida ke satu arah tertentu sampai dibelokkan oleh dinding atau dasar
tangka (Uhl, 1966).

b. Pengaduk Hidrofolis

Gambar 2.4 Pengaduk Hidrofolis (Uhl, 1966)

Hidrofolis impeller adalah impeller efisiensi tinggi yang dikembangkan untuk


aplikasi di mana pengadukan secara perlahan dengan aliran aksial yang diinginkan sesuai
dengan rancang bangun sistem pengolahan. Pada dasarnya pengaduk ini memiliki dua, tiga
atau empat pasangan bilah yang berbentuk lonjong,

yang melengkung dan kadang-kadang dibuat dengan tepi terkemuka bulat (sesuai dengan
aliran fluida yang di inginkan) (Uhl, 1966).
Sudu pisau (bentuk pengaduk) di ujungnya adalah lebih dangkal dari pada yang
berada mendekati poros, yang menyebabkan tekanan hampir konstan diseluruh permukaan
pisau. Ini menghasilkan kecepatan yang lebih seragam di seluruh daerah impeller. Bentuk
pisau ini menghasilkan sejumlah daya yang rendah dan arus tinggi per unit daya
dibandingkan dengan turbin blade bertingkat. Aliran ini lebih efisien ke arah saluran
pompa sirkulasi yang berada di bawahnya, dan sistem pusaran impeller hampir sama kuat
dengan sistem yang berasal dari turbin blade bertingkat (Uhl, 1966).
Selain itu, pisau/bilah sudu tertentu menyebabkan bentuk geser minimum tapi
memiliki ketahanan kavitasi lebih dari desain lainnya melalui desain hidrodinamik yang
efektif mengenai poros/ poros as yang besar lagi untuk tangki yang lebih dalam, dan
menyelesaikan proses yang terkait dengan keterbatasan waktu dan kecepatan kritis yang di
perbolehkan selama waktu pengadukan. Hydrofoils dibagi dua impeller kelompok utama:
soliditas rendah dan soliditas tinggi (Uhl, 1966).

c. Pengaduk UZ

Gambar 2.5 Pengaduk Jenis UZ (Uhl, 1966)

Jenis pengaduk UZ menjadi lebih dan lebih populer di kalangan berbagai industri.
UZ merupakan bagian dari seri "Pitch Blades”, dan lebih efisien dalam pencampuran benda
kerja. Diameter impeller juga dapat dipengaruhi oleh diameter tangki dan viskositas bahan
(Uhl, 1966).
Kegunaan dari Mixers UZ untuk aplikasi Susu (Yoghurt, tangki fermentasi), tangki
penyimpanan Susu, dan aplikasi Buttermilk. Selanjutnya di Industri Minuman dapat
digunakan untuk pengolahan Buah jus. Mixer ini juga merupakan solusi umum di dalam
pengolahan Ragi, telur cair, dalam penyimpanan dan proses gula cair (Uhl, 1966).
d. Pengaduk Rotor

Gambar 2.6 Pengaduk Model Rotor (Uhl, 1966)


Mixer geser untuk memotong dan melarutkan bahan baku dengan fluida pelarut
dengan intensitas tinggi menggunakan kecepatan stator generator untuk menerapkan geser
mekanis dan hidrolik intens. Pisau dari jangka rotor pada kecepatan perangkat pemotong
15 sampai 30 m/s dalam stator tetap. Seperti pisau memutar melewati setiap pembukaan di
stator, mereka akan menggeser melalui saringan partikel, menekan bahan baku dengan
kecepatan tinggi ke dalam saringan atau lubang stator disekitarnya. Bahan dikeluarkan
secepat mungkin sehingga terjadi pengurangan ukuran partikel (Uhl, 1966).
Dalam aplikasi yang memerlukan induksi cepat seperti bubuk, Dengan desain rotor
dimodifikasi khusus yang menghasilkan kevakum-an yang kuat. sistem menarik padatan
melalui lubang input bahan baku (di buat semacam saluran khusus masuk dan mengarahkan
mereka langsung ke zona pemotongan stator rotor ). Stators dapat di ganti sesuai dengan
kebutuhan. Spesifikasi generator rotor adalah selalu berhubungan dengan keseimbangan
dan aliran. Hal ini benar apakah itu sebuah mixer yang berdiri sendiri atau merupakan
bagian dari mixer multi-agitator(Uhl, 1966).
2.3 Uraian Bahan
1. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquadest Rumus
molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak mempunyai rasa
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alcohol
Rumus molekul : C2 H6 O
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform
dan dalam eter
Khasiat : Sebagai antibakteri, sebagai pelarut
Kegunaan : Sebagai pensteril alat laboratorium
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api.
3. Asam Salisilat/ Aspirin (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009;
British, 2009)
Nama resmi : Acidum salicylicum
Nama lain : Asam salisilat
Rumus molekul : C7H6O3
Berat molekul : 138,12 g/mol
Rumus struktur :
Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau
serbuk hablur halus putih, rasa agak manis, tajam
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah
larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air
mendidih, agak sukar larut dalam kloroform
Khasiat : Anti Fungi (Anti Jamur)
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
4. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009)
Nama resmi : Phenolftalein
Nama lain : Fenolftalein
Rumus molekul : C20H14O4
Berat molekul : 318,33 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih, putih atau kekuningan, larut


dalam etanol, agak sukar larut dalam eter.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%)
Khasiat : Sebagai obat untuk konstipasi
Kegunaan : Sebagai larutan indikator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
5. Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1995;Rowe, 2009)
Nama resmi : Natrii hydroxydum
Nama lain : Natrium hidroksida
Rumus molekul : NaOH
Berat molekul : 40,00 g/mol
Rumus struktur
Pemerian : Bentuk batang, butiran, masa hablur atau keping, kering,
rapuh dan mudah meleleh basah, sangat alkalis dan
korosif. Segera menyerap CO2.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%).
Khasiat : Sebagai agen alkali, larutan penyangga Kegunaan :
Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
BAB III
METODE

3.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada paktikum ini adalah erlemenyer, gelas beaker,
spatula, disolusion tester, buret, pipet tetes dan waterbath.

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah aquadest, asetosal, indikator
fenolftalein, dan NaOH 0,1 N.

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Disolusi

Penangas air yang ada pada alat disolusi diisi dengan aquadest yang
dinyalakan dan diatur pada suhu 37 C.

Labu disolusi diisi dengan media disolusi yaitu aquadest 900 ml,
kemudian diinkubasi dalam penangas air hingga suhu 37 C.

Selanjutnya tablet Asetosal dimasukkan ke dalam labu disolusi


yang telah mencapai suhu 37 ͦ yang diaduk dengan kecepatan
100 rpm.

Kemudian waktu ketika tablet Asetosal dimasukkan ke dalam labu


di solusi dicatat.

Media disolusi diambil pada menit ke 5, 10 ,15 dan 20 sebanyak 10


ml menggunakan pipet volume dan media dicukupkan lagi hingga
media mencapai 500 ml setelah pengambilan sampel.

Sampel lalu ditambahkan indikator fenolftalein dan dititrasi dengan


NaOH 0,1 N.

Konsentrasi pada asetosal setiap waktunya dihitung dan diulangi


dengan mengamati pada tablet asetosal yang kedua. Lalu kedua
hasil disolusi kedua tablet dibandingkan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Disolusi Obat


Pada proses disolusi obat untuk mengetahui jumlah kelarutannya dilakukan titrasi
dengan menggunakan larutan NaOH. Sama halnya dengan teori Maharini (2017), hal ini
dilakukan untuk mengetahui zat aktif yang terasorbsi ke dalam sirkulasi sistemik yang
akan menunjukkan adanya respon klinis, dimana kelarutan zat aktif akan menjadi salah
satu faktor penentu laju disolusi. Berdasarkan hal tersebut, maka dilampirkan tabel hasil
titrasi disolusi obat dibawah ini.
Tabel 4.1 Hasil Titrasi Percobaan Disolusi Obat Asetosal

Rpm V NaOH
Waktu Rpm Vawal Vakhir Vtitrasi Pengamatan
5 Menit (Tablet 1) 50 rpm 9,4 mL Berwarna
8,6 mL 0,8 mL
sangat ungu
5 Menit(Tablet 2) 100 rpm 15 mL 15,4 mL 0,4 mL Berwarna
ungu muda

10 Menit (Tablet 1) 50 rpm 8,6 mL 0,4 mL Berwarna


9 mL
ungu

10 Menit (Tablet 2) 100 rpm 14 mL 14,5 mL 0,5 mL Berwarna


ungu muda

15 Menit (Tablet 1) 50 rpm 15 mL 16 mL 1 mL Berwarna


sangat ungu

15 Menit (Tablet 2) 100 rpm Berwarna


15,4 mL 15,6 mL 0,2 mL
ungu muda
20 Menit (Tablet 1) 50 rpm 15,6 mL 16 mL 0,4 mL Berwarna
ungu

20 Menit (Tablet 2) 100 rpm 16,6 mL 16,9 mL 0,3 mL Berwarna


ungu muda

Dari data yang dilampirkan pada Tabel 4.1 dapat diketahui konsentrasi ampisilin
setiap waktu 5, 10 15 dan 20 menit berdasarkan perhitungan sebagai berikut: Perhitungan
(V1 x N1 = V2 x N2)
 Tablet 1 (5 menit) V1 x
N1 = V2 x N210 x N1 =
0,8 x 0,1
0,08
N1 =
10

N1 = 0,008 N
 Tablet 2 (5 menit) V1 x
N1 = V2 x N210 x N1 =
0,4 x 0,1
0,04
N1 =
10

N1 = 0,004 N

 Tablet 1(10 menit) V1 x


N1 = V2 x N2 10 x N1 =
0,4 x 0,1
0,04
N1 =
10

N1 = 0,004 N
 Tablet 2(10 menit) V1 x
N1 = V2 x N2 10 x N1 =
0,5x 0,1
0,05
N1 =
10

N1 = 0,005 N

 Tablet 1 (15 menit) V1 x


N1 = V2 x N2 10 x N1 = 1 x
0,1
0,1
N1 =
10

N1 = 0,001 N
 Tablet 2 (15 menit) V1 x
N1 = V2 x N2 10 x N1 = 0,2
x 0,1
0,2
N1 =
10

N1 = 0,002 N

 Tablet 1 (20menit) V1 x
N1 = V2 x N2 10 x N1 =
0,4 x 0,1
0,04
N1 =
10
N1 = 0,004 N

 Tablet 2 (20 menit) V1 x


N1 = V2 x N2 10 x N1 = 0,3
x 0,1
0,03
N1 =
10

N1 = 0,003 N

Menurut Siswanto (2014) mengatakan bahwa kecepatan disolusi dapat dipengaruhi


oleh faktor eksternal dan faktor internal. Salah satu dari faktor eksternal adalah waktu,
semakin lamanya waktu dalam proses pengadukan maka akan mengakibatkan jumlah
ampisilin larut semakin banyak. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah NaOH yang
diberikan pada saat titrasi yakni jumlahnya akan semakin banyak. Sehingga, semakin lama
waktu yang dibutuhkandalam proses uji disolusi, maka akan semakin banyak jumlah NaOH
yang diberikanpada saat titrasi.

Faktor eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi adalah alat
yang digunakan dalam proses disolusi. Pada percobaan ini alat yang digunakan adalah
menggunakan disolusion tester yang akan mengubah partikel zat aktif ampisilin menjadi
terurai didalam larutan air, selain itu alat yang digunakan juga akan mempengaruhi
intesitas dalam pengadukan. Intensitas pengadukan yang digunakan dalam percobaan ini
adalah 50 rpm dan 100 rpm, sehingga seharusnya semakin tinggi intesitas pengadukannya
maka semakin tinggi pula tingkat kelarutannya.
Proses titrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N dan indikator fenolftalein
bertujuan untuk mengetahui jumlah kelarutan dari ampisilin dengan melihat seberapa
banyak larutan NaOH yang digunakan hingga larutan tersebut berubah warna. Hasil dari
Tabel 4.1 menunjukkan adanya perubahan warna pada larutan menjadi sangat ungu atau
terlalu pekat . Hal ini di sebabkan karena jumlah NaOH yang digunakan terlalu banyak
sehingga membuat warna menjadi sangat ungu, dan juga dapat mempengaruhi hasil
perhitungan dari konsentrasi asetosal.
Dalam hal ini, pertambahan waktu juga akan mengakibatkan konsentrasi asetosal
semakin meningkat, dimana seharusnya kelarutan dari asetosal semakin bertambah.
Berdasarkan dari hasil perhitungan konsentrasi yang di dapatkan, maka dilampirkan data
grafik sebagai berikut:
Grafik Konsentrasi Asetosal Tablet I pada
Pengadukan 50 rpm
0.009 0.008

Konsentrasi Asetosal (N)


0.008
0.007
0.006
0.005 0.004 0.004
0.004
0.003
0.002 0.001
0.001
0
5 Menit 10 Menit 15 Menit 20 Menit
Grafik Konsentrasi Asetosal
0.008 0.004 0.001 0.004
Tablet 1 50 rpm
Waktu

Grafik Konsentrasi Asetosal Tablet 1 50 rpm

Gambar 4.1 Grafik konsentrasi pada pengadukan 50 rpm pada tablet I berdasarkan waktu yang
ditentukan.

Konsetrasi Asetosal Tablet II pada Pengadukan 100 rpm


0.006
Konsentrasi Asetosal (N)

0.005
0.005
0.004
0.004
0.003
0.003
0.002
0.002

0.001

0
5 Menit 10 Menit 15 Menit 20 Menit
Konsetrasi Asetosal Table II
0.004 0.005 0.002 0.003
pada Pengadukan 50 rpm
Waktu

Konsetrasi Asetosal Table II pada Pengadukan 50 rpm


Linear (Konsetrasi Asetosal Table II pada Pengadukan 50 rpm)

Gambar 4.1 Grafik konsentrasi Asetosal Tablet II pada pengadukan 100 rpm berdasarkan waktu
yang ditentukan.
Berdasarkan data grafik di atas, adanya ketidaksesuaian yang terjadi dimana
pada pengadukan 50 rpm adanya penurunan konsentrasi pada menit ke 15, sedangkan
pada pengadukan 100 rpm adanya kestabilan nilai konsentrasi. Seharusnya hasil yang
ditunjukkan adalah konsentrasi semakin bertambah diikuti dengan pertambahan waktu
yang ada sehingga data grafik diatas menunjukkan ketidakakuratan, hal ini dapat
disebabkan karena kesalahan pada saat titrasi yaitu penambahan larutan NaOH yang
terlalu banyak dan dapat dilihat dari hasil warna yang didapat setelah titrasi.
Jumlah Asetosal dalam 10 ml juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Mgrek sebagai berikut:
 50 rpm (5 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,8 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 7,2mg
 50 rpm (10 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,4 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 3,6 mg

 50 rpm ( 15 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 1 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 9 mg

 50 rpm ( 20 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,4 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 3,6 mg
 100 rpm (5 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,4 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 3,6 mg
 100 rpm (10 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,5 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 4,5 mg
 100 rpm (15 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,2 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 1,8 mg
 100 rpm (20 menit)
Mgrek Asetosal = Mgrek NaOH
= (V1x NaOH )x (N NaOH x BE)
= 0,3 ml x 0,1 N x 90 grek/mol
= 2,7 mg

Dari data perhitungan di atas dapat diperoleh jumlah hasil kelarutan


Asetosal yang dapat dinyatakan pada perhitungan sebagai berikut:
 50 rpm (5 menit)
Kelarutan Pada 5 Menit = 7,2 mg x 100 %
80 mg
=9%
 50 rpm (10 menit)
Kelarutan Pada 10 Menit =3,6 mg x 100 %
80 mg
= 4,5%
 50 rpm (15 menit)
Kelarutan Pada 15 Menit =9 mg x 100 %
80 mg
= 11,25 %
 50 rpm (20 menit)
Kelarutan Pada 20 Menit =3,6 mg x 100 %
80 mg
= 4,5 %

 100 rpm (5 menit)


Kelarutan Pada 5 Menit = 3,6 mg x 100 %
80 mg
= 4,5%
 100 rpm (10 menit)
Kelarutan Pada 10 Menit =4,5 mg x 100 %
80 mg
= 5,625%
 100 rpm (15 menit)
Kelarutan Pada 15 Menit =1,8mg x 100 %
80 mg
= 2,25 %
 100 rpm (20 menit)
Kelarutan Pada 20 Menit =2,7mg x 100 %
80 mg
= 3,375 %

4.2 Pembahasan

Disolusi adalah proses melarutnya suatu obat. Agar suatu obat diabsorpsi, mula-mula
obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-
partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung. Dalam hal dimana
kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan
dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus (Ansel, 1985).

Pada praktikum ini dilakukan percobaan disolusi obat dengan menentukan kecepatan
disolusi asam salisilat atau aspirin dengan melarutkan dalam labu disolusi menggunakan alat uji
disolusi tipe dayung dengan suhu 37o C dan dengan kecepatan 50 rpm dan 100 rpm. Kemudian
larutan asam salisilat disampling setiap 5 menit sampai menit ke 20 dan setiap sampling di titrasi
menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N dengan bantuan indikator fenolftalein. Menurut
Dirjen POM (2014), alat uji tipe dayung ini menggunakan dayung yang berfungsi
sebagai uji disolusi obat dari dayung dan batang sebagai pengaduk.

Hal pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang diperlukan, setelah itu
dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan dari pembersihan alat ini untuk membunuh
mikroorganisme yang ada pada alat karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi
sebagai desinfektan dan juga antiseptik. Kemudian ditimbang asam salisilat sebnyak 2 tablet
yang ditimbang secara berturut 0,227 g dan 0.2213 g menggunakan neraca analitik.
Penimbangan dilakukan menggunakan neraca analitik karena menurut Day and Underwood
(2012), neraca analitik mempunyai tingat ketilitian yang akurat yaitu mempunyai kemampuan
mendeteksi bobot pada kisaran 100 gram sampai dengan kurang lebih 0,0001 gram.

Kemudian diarangkai alat uji disolusi tipe dayung, diatur suhu pada water bath sampai
370C. Menurut Perry (2005), suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,5°C. Setelah itu diukur
air sebanyak 500 ml dan dimasukkan kedalam labu disolusi. Menurut Price (2006), kapasitas
lambung dapat mencapai 1 sampai 2 L. Tapi, dalam praktikum ini hanya digunakan 500 ml.
Selanjutnya dimasukkan asam salisilat atau aspirim sebanyak 2 tablet kedalam labu disolusi.
Kemudian diatur kecepatan pengadukan pada digital stirer sampai 50 rpm. Menurut Atkins
(1994), tujuan dilakukan pengadukan sebagai penentuan suatu zat terlarut, semakin banyak
jumlah pengadukan, maka zat terlarut menadi mudah larut.

Setelah itu, larutan disampling sebanyak 10 ml setiap 5 menit sampai menit ke 20.
Setiap sampel disampling segera diganti dengan aquades yang sudah dipanaskan sebanyak 10
ml, hal ini untuk menyesuaikan keadaan pada labu disolusi dengan keadaan pada lambung yaitu
kondisi sink. Menurut Martin et al (1993), kondisi sink mengacu pada kapasitas pelarut
kelebihan medium disolusi. Kondisi ini didefinisikan sebagai volume media setidaknya lebih
besar 3 kali dari yang dibutuhkan untuk membentuk larutan jenuh substansi obat. Kompartimen
reseptor terus menerus disegarkan dengan pelarut baru dan menghapus setap obat yang telah
menyebar dalam kompartemen reseptor.

Kemudian hasil sampling dimasukkan kedalam gelas kimia dan di tambahkan indikator
fenolftalein sebanyak 3 tetes. Menurut Khopkar (1990), tujuan penggunaan indikator
fenolftalein adalah untuk mengetahui apakah larutan yang diuji bersifat asam ataupun basa dan
titik akhir titrasi karena jika menggunakan indikator lain trayek pHnya sangat jauh dari
ekivalen. Lalu dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N. Menurut Padmaningrum (2006), tujuan
memakai metode titrasi karena titrasi merupakan suatu proses analisis dimana suatu volume
larutan standar ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan mengetahui komponen yang tidak
dikenal. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna larutan dari bening menjadi merah
muda. Setelah itu, dicatat volume titrasinya dan dihitung kecepatan disolusiya. Selanjutnya
dilakukan uji disolusi menggunakan kecepatan 100 rpm dengan cara yang sama dengan uji
disolusi menggunakan keceatan 50 rpm.

Dari percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil yaitu untuk laju disolusi dari
pengadukan 50 rpm pada menit ke-5 adalah 0,008 untuk menit ke-10 adalah 0,004, untuk menit
ke-15 adalah 0,001, dan menit ke-20 adalah 0,004. Sedangkan, dari pengadukan 100 rpm pada
menit ke-5 adalah 0,004 untuk menit ke-10 adalah 0,005, untuk menit ke-15 adalah 0,002, dan
menit ke-20 adalah 0,003 Dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil fruktuatif hal ini
tidah sesuai dengan literatur. Menurut Martin (1993), Kecepatan pengadukan akan
mempengaruhi tebal lapisan difusi. Jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan
disolusi akan cepat berkurang.

Adapun kemungkinan kesalahan yang terdapat pada saat praktikum yaitu, kurang
telitinya pada saat menimbang bahan, kurang telitinya praktikan saat menentukan volume titran
pada saat titrasi. Selain itu, kesalahan saat mengambil sampling dari labu disolusi dengan
menggunakan dispo yang tidak ada ukuran. Volume yang digunakan juga melebihi batas
optimum yang digunakan untuk melarutkan asam salisilat. Karena, menurut Dirjen POM (1979),
asam salisilat larut dalam 550 bagian air sedangkan pada praktikum ini digunakan 500 mL air.
BAB V
KESIMPULAN
Percobaan ini didasarkan pada prinsip penentuan konstanta kecepatan disolusi
berdasarkan kadar asam salisilat yang terdisolusi dalam media aquadest dengan menggunakan
alat disolusi tipe 2 dan menentukan kadarnya menggunakan titrasi alkalimetri menggunakan
NaOH 0,1 N dan penambahan indikator fenoftalein pada menit ke 5, 10, 15, 20 berdasarkan
perubahan warna dari tak berwarna menjadi ungu muda.
Dari hasil percobaan didapatkan kesimpulan bahwa untuk uji disolusi kecepatan 50 rpm
didapatkan hasil yang fruktuatif yaitu dimana pada menit kelima adalah 0,008, untuk menit
kesepuluh 0,004, untuk menit kelima belas adalah 0,001, menit kedua puluh adalah 0,004
sehingga tidak sesuai dengan literatur. Dan untuk uji disolusi kecepatan 100 rpm didapatkan
hasil sesuai literature yaitu pada menit kelima adalah 0,004, untuk menit kesepuluh 0,005,
untuk menit kelima belas adalah 0,002, menit kedua puluh adalah 0,003.
Berdasarkan hasil pada praktikum di atas dapat disimpulkan bahwa kecepatan dan laju
disolusi dipengaruhi oleh jumlah zat aktif yang terlarut atau terabsorbsi. Selain itu, disolusi
dapat dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor
eksternal yang sangat mempengaruhi percobaan diatas adalah larutan NaOH yang digunakan
yakni adanya kesalahan dalam penggunaan konsentrasi maupun jumlah larutan yang
digunakan, sehingga percobaan ini dinyatakan gagal karena tidak dapat menyesuaikan antara
hasil data dengan larutan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Astutiningsih, C., & Sari, L. K. 2012. Journal Article. Media Farmasi Indonesia
Vol 3, No (1).

Dewi, P. R. E. 2004. Uji Disolusi Beberapa Produk Paten Dan Genetik Kaplet
Ampisilin 500 mg Dan Uji Aktivitas Antibakterinya Terhadap
Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli. Universitas Islam
Indonesia : Yogyakarta.

Maharini, I. R. 2017. Jurnal Farmasi Uji Disolusi. Universitas Muhammadiyah


Purwokerto: Banyumas.

Majasari, A. A. I. R. 2022. Profil Disolusi dan Media Disolusi Yang Baik Pada
Tablet Rifampisin. Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia: Vol 2, No (3).

Putri, A. R. 2016. Uji Disolusi, Uji Difusi ( In-vitro) dan Penetapan Kadar Tablet
Ranitidin Generik dan Generik Bermerek. UIN Syarif
Hidayatullah : Jakarta.

Rachmaniar, R., Rusdiana, T. & Pangarang, C. 2017. Usaha Peningkatan


Kelarutan dan Laju Disolusi Zat Aktif Farmasi Sukar Larut Air. Indonesian
Journal of Pharmaceutical Science and Technology, Vol 6, No (2).

Sagala, J. R. 2019. Metode Peningkatan Kecepatan Disolusi Dikombinasi Dengan


Penambahan Surfaktan : Galenika Journal of Pharmacy, Vol 5 (1): 84-92.

Siswanto, A. 2014. Pengaruh Medium Disolusi dan Penggunaan Sinker Terhadap


Profil Disolusi Tabel Floating Aspirin. Journal Pharmacy, Vol 11, No (2).

Anda mungkin juga menyukai