Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Obat adalah suatu zat yang dimaksud untuk manusia untuk
mengurangi rasa sakit, menghambat, atau mencegah penyakit yang
menyerangnya. Obat yang diberikan pada pasien tersebut harus melalui
banyak proses di dalam tubuh. Bahan obat yang diberikan tersebut, dengan
cara apapun juga harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran
terapeutiknya. Difusi bebas atau transport aktif suatu zat melalui suatu
cairan, zat padat atau melalui membran adalah suatu proses yang sangat
penting dalam ilmu farmasi, pokok dari fenomena transport massa yang
diterapkan dalam bidang farmasi adalah disolusi obat dari tablet, serbuk
serta granul, liofulisasi, ultrafiltrasi dan proses mekanik lainnya, termasuk
distribusi molekul obat di dalam jaringan.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif
sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus
memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawasenyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan
absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan
respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari
senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak
turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti
mikronisasi obat atau kompleksasi.
Dalam bidang farmasi, laju disolusi sangat diperlukan karena
menyangkut tentang waktu yang dibutuhkan untuk penglepasan obat
dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi dalam tubuh. Jadi, semakin cepat
disolusinya maka makin cepat pula obat atau sediaan memberikan efek

kepada tubuh. Tidak hanya laju disolusi, tetapi pengetahuan mengenai


kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan untuk membantu
seorang farmasis dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk
obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang
farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji
kemurnian.
Mengingat pentingnya disolusi obat dalam bidang farmasi, maka
sudah sewajarnya jika mahasiswa farmasi memahami mengenai kecepatan
disolusi suatu obat, untuk itu pada praktikum kali ini kami melakukan
percobaan tentang kecepatan disolusi obat, dengan membandingkan
kecepatan pengadukan dari beberapa beda pengadukan yang menggunakan
sampel asam salisilat dan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung
(paddle).
I.2

Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1

Maksud Percobaan
Adapun maksud dilakukannya percobaan ini yaitu untuk menentukan
kecepatan disolusi suatu zat menggunakan alat penentu kecepatan disolusi.

I.2.2

Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2. Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi
3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi
suatu zat

I.3

Prinsip Percobaan
Adapun prinsip kerja dari percobaan ini yaitu menentukan kecepatan
disolusi dari asam salisilat menggunakan alat disolusi dan titrasi asam basa
menggunakan larutan baku NaOH dengan penambahan indikator
fenolftalein.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Teori Umum

II.1.1 Definisi Disolusi


Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat
aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat
tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya
adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep
(Martin,1993).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut
dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut
akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat
atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada
kesanggupannya menembeus pembatas membran. Tetapi, jika disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik
zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel,
1989).
II.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Disolusi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
antara lain adalah (Gennaro, 1998) :

1.

Suhu
Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar
kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar
harga koefisien zat tersebut.

2.

Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar
kelarutan suatu zat.

3.

pH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam
maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah
larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih
mudah larut jika berada pada suasana basa.

4.

Pengadukan
Pengadukan akan menyebabkan tebal lapisan difusi semakin tipis
dimana semakin tipis lapisan difusi maka akan mempercepat kelarutan
suatu zat.

5.

Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut
akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu
zat.

6.

Polimorfisme
Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi
kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat
yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana
kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya.

7.

Sifat permukaan zat


Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan
menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga
zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara

lain (Shargel dan Yu, 1999) : Sifat fisika kimia obat yaitu sifat fisika kimia

obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif


dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan
diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat
dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa
bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa
kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang
identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara
termodinamik

lebih

stabil

daripada

bentuk

amorf,

kondisi

ini

menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk


kristal.
Faktor formulasi adalah berbagai macam bahan tambahan yang
digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat
dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.
Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium
stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium
disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan
jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula
terhadap jumlah obat yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).
Faktor alat dan kondisi lingkungan yaitu adanya perbedaan alat yang
digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan
pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu
temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan
sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Parrott, 1971).

II.2

Uraian Bahan

II.2.1 Air Suling (Dirjen POM, 1979; Dirjen POM, 1995)


Nama Resmi

: Aqua destilata

Nama Lain

: Air suling

RM / BM

: H2O/ 18,02

Rumus Struktur

: H

Pemerian

: Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa.
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan

: Sebagai pelarut.

II.2.2 Alkohol (Dirjen POM, 1979; Dirjen POM, 1995)


Nama Resmi

Aethanolum

Nama Lain

: Etanol

RM/BM

: C2H6O/46,07

Rumus Struktur

Pemerian

: Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna,


baunya khas dan menyebabkan rasa terbakar pada
lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu
rendah dan mendidih pada suhu 78. Mudah
terbakar.

Kelarutan

: Bercampur dengan air dan praktis bercampur


dengan semua pelarut organik.

Khasiat

: Zat tambahan.

Kegunaan

: Membersihkan alat yang akan digunakan dari


jamur,

bakteri,

air

maupun

minyak

menempel.
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat, jauh dari api.

yang

II.2.3 Asam Salisilat (Dirjen POM,1979)


Nama Resmi

Acidum Salicylicum

Nama Lain

: Asam Salisilat

RM/BM

: C7H6O3/138,12

Rumus Struktur

Pemerian

: Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk


berwarna putih, hampir tidak berbau, rasa agak
manis dan tajam.

Kelarutan

: Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian


etanol (95%), mudah larut dalam kloroform dan
dalam eter, larut dalam larutan amonium asetat,
dinatrium hidrogen fosfat, kalium sitrat dan
natrium sitrat.

Kegunaan

: Keratolitikum, antifungi, sebagai sampel.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik.

II.2.4 Fenolftalein (Dirjen POM, 1979)


Nama Resmi

Fhenolfthaleinum

Nama Lain

: Fenolftalein

RM/BM

: C20H14O4 / 318,33

Rumus Struktur

Pemerian

: Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan


lemah, tidak berbau, stabil diudara.

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol;


agak sukar larut dalam etanol.

Kegunaan

: Indikator.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik.

II.2.5 Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1995)


Nama Resmi

: Natrii Hydroxidum

Nama Lain

: Natrium hidroksida

RM / BM

: NaOH / 40,00

Rumus Struktur

: Na

Pemerian

: Putih atau praktis putih, massa melebur berbentuk

pelet, serpihan atau batang atau bentuk lain.Keras


rapuh dan menunjukkan pecahan hablur. Biar
dibiarkan diudara akan cepat menyerap karbon
dioksida dan lembab.
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan

: Sebagai pelarut.

BAB III
METODE KERJA
III.1

Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

Gambar 1
Alat Disolusi
(Stirrer Model
Dayung)

Gambar 2
Buret

Gambar 3
Corong

Gambar 4
Disposable

Gambar 5
Erlenmeyer

Gambar 6
Gelas Beker

Gambar 7
Gelas Kimia

Gambar 8
Gelas Ukur

Gambar 9
Labu Disolusi

Gambar 10
Lap Kasar

Gambar 11
Penangas Air

Gambar 12
Pipet

Gambar 13
Statif

Gambar 14
Vial

III.1.2 Bahan

Gambar 1
Air Bebas CO2

Gambar 2
Alkohol

Gambar 3
Aluminium Foil

Gambar 4
Asam Salisilat

Gambar 5
Fenolftalein

Gambar 6
NaOH

Gambar 7
Tissu

III.2

Cara Kerja

III.2.1 Pembuatan Air Bebas CO2


1. Dimasukkan air sebanyak 500 ml kedalam gelas kimia
2. Ditutup dengan menggunakan aluminium foil
3. Dipanaskan sampai mendidih
4. Lalu didinginkan
III.2.2 Pembuatan Larutan Baku
1.

Dilarutkan 20 gr NaOH dalam 500 ml air bebas karbon dioksida

2.

Didinginkan larutan hingga suhu kamar

3.

Disaring menggunkan kertas saring

4.

Dimasukkan 54,5 ml filtrat jernih kedalam felokelin

5.

Diencerkan dengan air bebas CO2 hingga 1000 ml

III.2.3 Penentuan Kecepatan Disolusi 50 rpm


1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Diisi bejana dengan 300 mL air bebas CO2.
3. Diatur termostat pada temperatur 37.5C.
4. Dimasukkan asam salisilat sebanyak 1 g.
5. Dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 50 rpm.
6. Diambil sebanyak 10 mL air dari dalam bejana setiap selang waktu 1,
5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai
pengambilan sampel segera diganti dengan 10 mL air.
7. Ditentukan kadar asam salisilat yang larut dengan metode titrasi asam
basa menggunakan NaOH 0,05 N dan penambahan indikator
fenolftalein sebanyak 3 tetes sampai berubah warna menjadi merah
muda keunguan.
III.2.4 Penentuan Kecepatan Disolusi 100 rpm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Diisi bejana dengan 300 mL air bebas CO2.
3. Diatur termostat pada temperatur 37.5C.
4. Dimasukkan asam salisilat sebanyak 1 g.
5. Dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 100 rpm.

6. Diambil sebanyak 10 mL air dari dalam bejana setiap selang waktu 1,


5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai
pengambilan sampel segera diganti dengan 10 mL air.
7. Ditentukan kadar asam salisilat yang larut dengan metode titrasi asam
basa menggunakan NaOH 0,01 N dan penambahan indikator
fenolftalein sebanyak 3 tetes sampai berubah warna menjadi pink
keunguan.
III.2.5 Penentuan Kecepatan Disolusi 150 rpm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Diisi bejana dengan 300 mL air bebas CO2.
3. Diatur termostat pada temperatur 37.5C.
4. Dimasukkan asam salisilat sebanyak 1 g.
5. Dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 150 rpm.
6. Diambil sebanyak 10 mL air dari dalam bejana setiap selang waktu 1,
5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai
pengambilan sampel segera diganti dengan 10 mL air.
7. Ditentukan kadar asam salisilat yang larut dengan metode titrasi asam
basa menggunakan NaOH 0,01 N dan penambahan indikator
fenolftalein sebanyak 3 tetes sampai berubah warna menjadi pink
keunguan.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1

Hasil Pengamatan

IV.1.1 50 rpm dengan larutan NaOH 0,05 N


T

Konsentrasi (MT)

Laju Disolusi (dM/dt)

0,14

0,14

0,31

0,06

10

0,43

0,04

15

0,56

0,04

20

0,7

0,04

25

0,8

0,03

30

0,91

0,04

0,05

IV.1.2 100 rpm dengan larutan NaOH 0,01 N


T

Konsentrasi (MT)

Laju Disolusi (dM/dt)

0,10

0,10

0,16

0,03

10

0,18

0,02

15

0,21

0,02

20

0,22

0,01

25

0,24

0,01

30

0,27

0,01

0,02

IV.1.3 150 rpm dengan larutan NaOH 0,01 N


T

Konsentrasi (MT)

Laju Disolusi (dM/dt)

0,13

0,13

0,24

0,05

10

0,25

0,03

15

0,26

0,02

20

0,27

0,02

25

0,28

0,01

30

0,31

0,01

IV.2

0,03

Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut (Martin,1993). Kecepatan
pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat
pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat
menaikkan kecepatan pelarutan (Parrott, 1971).
Pada praktikum kali ini akan dibuat 3 beda kecepatan pengadukan
yaitu 50 rpm, 100 rpm, dan 150 rpm. Untuk kecepatan pengadukan 50 rpm
digunakan larutan natrium hidroksida 0,05 N dan untuk 100 dan 150 rpm
digunakan larutan natrium hidroksida 0,01 N. Hal pertama yang dilakukan
yaitu membuat air bebas CO2 untuk tiap kecepatan pengadukan dengan
cara memanaskan air sebanyak 300 gram, setelah air panas dinginkan
dengan ditutup menggunakan aluminium foil. Fungsi perlunya penggunaan
air bebas CO2 ini adalah agar pada saat NaOH dilarutkan tidak akan terjadi
kekeruhan pada larutan (Day, 2002).
Selanjutnya menimbang asam salisilat sebanyak 1 gram untuk tiap
kecepatan pengadukan, kemudian digerus. Dimasukkan air bebas CO2 dan
asam salisilat kedalam wadah, kemudian dinyalakan motor dari alat untuk
uji disolusi tipe dayung, lalu diatur kecepatannya sampai 50 rpm. Diambil
tiap 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30 menit 1 mL larutan tersebut dan dimasukkan

kedalam labu erlenmeyer. Dimasukkan 1 mL air suling kedalam larutan


asam salisilat tersebut untuk menggantikan 1 mL larutan asam salisilat
yang telah diambil. Diberi 3 tetes indikator fenoftalein kedalam larutan
yang ada dalam labu erlenmeyer, setelah itu dititrasi menggunakan larutan
NaOH 0,05 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah bata.
Selanjutnya, dibuat larutan yang sama untuk kecepatan pengadukan
100 ppm dan 150 ppm dengan menggunakan larutan NaOH 0,01 N.
Setelah dilakukan percobaan tersebut maka diperoleh nilai dari
masing-masing beda kecepatan pengadukan dari 50, 100 dan 150 rpm
yaitu 0,05, 0,02 dan 0,03. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada kecepatan pengadukan pada 50 rpm suatu zat akan lebih mudah larut
atau tingkat kelarutan pada pengadukan ini tinggi, sedangkan menurut
(Parrot, 1971) Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin

cepat

sehingga

dapat

menaikkan

kecepatan

pelarutan.

Berdasarkan teori tersebut tingkat kelarutan yang paling tinggi seharusnya


berada pada pengadukkan 150 rpm, akan tetapi pada percobaan ini tingkat
kelarutan zat paling tinggi berada pada pengadukkan 50 rpm. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kemungkinan kesalahan dari praktikan yang
kurang teliti dalam melakukan percobaan ini.

BAB V
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
a. Kecepatan disolusi asam salisilat pada 50 rpm, 100 rpm dan 150 rpm
yaitu 0,05, 0,02 dan 0,03
b. Dapat menggunakan alat uji disolusi tipe dayung (padle)
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu
a.

Suhu
Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar
kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar
harga koefisien zat tersebut.

b.

Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar
kelarutan suatu zat.

c.

pH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam
maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah
larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan
lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.

d.

Pengadukan
Pengadukan akan menyebabkan tebal lapisan difusi semakin
tipis dimana semakin tipis lapisan difusi maka akan mempercepat
kelarutan suatu zat.

e.

Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat
tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat
kelarutan suatu zat.

f.

Polimorfisme
Polimorfisme

dan

sifat

permukaan

zat

akan

sangat

mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti


struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan

zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut


daripada bentuk stabilnya.
g.

Sifat permukaan zat


Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang
hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel
menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.

VI.2

Saran
1.

Laboratorium
Untuk laboratorium diharapkan agar peralatan praktikum lebih
dilengkapi dan diharapkan juga membuat loker tersendiri ataupun
tempat khusus untuk menaruh tas para mahasiswa/mahasiswi sehingga
tidak terlihat berantakan

2.

Jurusan
Diharapkan

agar

mendirikan

laboratorium

farmasi

fisika

tersendiri dan agar melengkapi alat-alat yang ada dilaboratorium yang


memadai.
3.

Praktikan
Diharapkan agar selalu fokus dalam praktikum agar bisa
mendapatkan hasil praktikum yang optimal dan juga selalu menjaga
fasilitas dilaboratarium yaitu tidak merusak fasilitas dengan perbuatan
yang memang tidak layak atau tidak patut dilakukan oleh seorang
mahasiswa/mahasiswi.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Gennaro, A.R, 1998. Renningtos Pharmaceutical science 18th Edition. Eastone :
Mark publishing CO.
Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik jilid I Edisi III. Universitas Indonesia Press :
Jakarta.
Parrot, L.E. 1970. Pharmaceutical Technology. Burgess Publishing Company,
Mineneapolis 335.
Shargel, L., and Yu, A.B.C. (1999). Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan Edisi II. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai