Anda di halaman 1dari 34

Disolusi

Posted on 27 Desember 2014 by anggrainiesisigan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya di masukkan ke dalam beaker yang berisi
air atau di masukkan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestin) obat tersebut mulai masuk
ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut polimer, matriks padat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan
menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut di berikan.

Dalam teori disolusi di anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer) atau lapisan
cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang
berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul-molekul
zat terlarut berada dalam konsentrasi dari C3 sampai C . di belakang lapisan difusi statis tersebut,
pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada
konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk.

Disolusi dari tablet dan granul, sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul
secara in vitro telah di utarakan, ini bisa di temukan dalam beberapa kupasan buku dan majalah-
majalah.

Disolusi serbuk: hukum akar pangkat tiga dari Hixson crowell. Untuk suatu serbuk obat yang
terdiri dari partikel-partikel yang berukuran sama, dapat di turunkan satu persamaan yang
menyatakan laju disolusi berdasarkan akar pangkat tiga dari berat partikel-partikel tersebut. Jari-
jari partikel tidak di anggap konstan.

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh prosesabsorpsi dan kadar obat
dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obatdalam bentuk sediaan padat mengalami
berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelumdi absorpsi. Tahapan tersebut meliputi
disintegrasi, deagregasi dan disolusi.

Penglepasan dari bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh di control oleh sifat fisika
kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul,
bentuk Kristal, ikatan protein, dan pKa adalah factor-faktor fisika kimia yang harus di pahami
untuk mendesain system pemberian yang menunjukan karakteristik terkontrol atau karakteristik
penglepasan terkendali (sustained-release).
Lepasnya suatu obat dari system pemberian meliputi factor disolusi dan difusi. Obat dalam
matriks polimer. Obat serbuk didispersikan secara homogeny ke seluruh matriks dari suatu tablet
yang dapat terkikis. Obat tersebut di anggap melarut dalam matriks, polimer dan berdifusi keluar
dari permukaan matriks tersebut. Ketika obat di lepaskan, jarak untuk difusi menjadi bertambah
besar. Batas yang terbentuk antara obat dan matriks kosong oleh karena itu mundur ke dalam
tablet tersebut ketika obat di keluarkan.

1. Tujuan praktikum

Menentukan kecepatan disolusi suatu zat

Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat

Menerangkan factor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat .

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Umum

Disolusi di definiskan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan
padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengetahui seberapa banyak
obat yang melarut dalam medium asam atau basa ( lambung dan usus halus ) (Ansel,1989).

Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu
larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu
(rate limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna
dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo. Dkk,
2005).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem
penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh
sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat
aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan
padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997).

Dalam teori disolusi di anggap bahwa lapisan difusi air (aqueous diffusion layer) atau lapisan
cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang
berdisolusi.ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul-molekul
zat terlarut berada dalam konsentrasi dari C3 sampai C . di belakang lapisan difusi statis tersebut,
pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada
konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk. (martin, 1990)
Factor-faktor yang mempengaruhi (Martin, et. Al, 2008):

1. Suhu

Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh 5 % dapat di sebabkan oleh
adanya perbedaan suhu satu derajat,

2. Medium

Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 NHCL. Dalam beberapa hal zat tidak larut
dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan di gunakan untuk
menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehingga kelarutan obat
di dalam medium bukan merupakan penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan
sink maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10
kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh. Masalah yang
mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara
yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat
menaikkan kecepatan melarut.

3. Kecepatan perputaran.

Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan


adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai
untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan
pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada
menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.

4. Ketepatan letak vertical poros.

Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi
dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang
tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.

5. Goyangnya poros

Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan
pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang
sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros
yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.

6. Vibrasi

Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi
berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa
mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus
dicek.
7. Gangguan pola aliran

Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil
disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama
percobaan berlangsung dapat merupaka penyebabnya.

8. Posisi pengambil cuplikan

Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau
keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari
dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik
pengadukannya.

9. Formulasi bentuk sediaan

Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu disebabkan
oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau
formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel
dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan
shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan
tablet.

10. Kalibrasi alat disolusi

Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah satu
faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada
alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon
50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang
50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali
(Martin, et. al., 2008).

Disolusi sistem dispersi padat dengan obat hidrofobik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
kelarutan obat dalam pembawa. Dalam hal ini, penambahan surfaktan dapat meningkatkan laju
disolusi obat yang sukar larut dalam air. Salah satu surfaktan yang biasa digunakan dalam system
dispersi padat adalah natrium lauril sulfat (Alatas, dkk, 2006).

Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat merupakan suatu obat anti inflamasi
nonsteroid yang digunakan secara luas untuk mengurangi nyeri, dan inflamasi yang disebabkan
oleh beberapa kondisi seperti, osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. Ketoprofen praktis tidak
larut dalam air .Kecepatan disolusi dan ketersediaan hayatinya rendah. Berbagai upaya untuk
meningkatkan ketersediaan hayati ketoprofen pada pemberian oral telah banyak dilakukan dalam
bentuk dispersi padat. (Alatas,dkk, 2006)

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain (Martin et al, 1990) :

1. Sifat fisika kimia obat


Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaanefektif
dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akandiperbesar karena
kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam airjuga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebihmudah larut dari pada obat berbentuk asam
maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yangberbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal
secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentukamorf,
kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal.

1. Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan
kecepatan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akansemakin cepat sehingga
dapat menaikkan kecepatan pelarutan Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari
medium, serta pengambilan sampel jugadapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

1. Faktor formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapatmempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan mukaantara medium tempat obat
melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secaralangsung dengan bahan obat. Penggunaan
bahan tambahan yang bersifat hidrofobseperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan
antar muka obat denganmedium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk
kompleksdengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentukkompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat
terdisolusimenjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

1. Uraian Bahan

2. Parasetamol ( Ditjen POM, 1979 : 37 )

Nama resmi : ACETAMINOPHENUM

Nama lain : parasetamol

RM/BM : C8H9NO2 / 151,16

Pemerian : hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.

Kelarutan : larut dalam 70 bagian air. Dalam 7 bagian etanol (95%) p, dalam 13 bagian
aseton p, dalam 40 bagian gliserol p, dan dalam 9 Bagian propilenglikol p ; larut dalam larutan
alkali hidroksida.

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya.


Kegunaan : analgetikum, antipiretikum dan sebagai sampel .

2. Air suling (Ditjen POM, 1979 : 96)

Nama resmi : AQUA DESTILLATA

Nama lain : Aquadest

Rumus molekul : H2O

Berat molekul : 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai pelarut.

1. Prosedur kerja

2. Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat

Isilah bejana dengan 900 ml

Pasang thermostat pada suhu 30o C

Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan
hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm

Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit
setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml
air.

Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa
menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan
kadar yang di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena
penggantian larutan dengan air suling.

Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40oC dan 50o C

Tabelkan hasil yang di peroleh

Buat kurva antara konsentrasi paracetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap
satuan waktu (dalam satu grafik)

1. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat


Isilah bejana dengan 900 ml

Pasang thermostat pada suhu 30o C

Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 30o C, masukkan paracetamol dan
hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm

Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit
setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera di gantikan dengan 20 ml
air.

Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa
menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan
kadar yang di peroleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan karena
penggantian larutan dengan air suling.

Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm

Tabelkan hasil yang di peroleh

Buat kurva antara konsentrasi parasetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap
satuan waktu (dalam satu grafik)

BAB III

METODE KERJA

1. Alat yang Digunakan

Alat dan bahan yang di gunakan dalam praktikum ini alat uji disolusi, gelas kimia, kuvet, labu
takar, pipet volum, spektrofotometer, dan vial.

1. Bahan yang Digunakan

Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalag tablet paracetamol dan aquades.

1. Langkah Percobaan

Pertama di hidupkan beaker selama 15 menit sampai terdengar ada bunyi kemudian di masukkan
parasetamol ke dalam bejana dan pipet 5 ml air dalam bejana masukan ke dalam vial menit ke
nol 0 lalu hidupkan motor penggerak dengan menekan enter tunggu hingga terdengar bunyi
kemudian di ambil lagi 5 ml di masukan ke vial menit ke 5 setelah itu masukkan 5 ml aquades ke
dalam beaker . ulangi lagi sampai pada menit ke 30 . setelah di dapatkan semua hasil sampai ke
menit 30 . masukan cairan yang dalam vial ke dalam kuvet untuk di masukkan ke dalam
spektrofotometer, di lakukan pengujian spektrofotometer sebanyak 3 kali pada setiap menit agar
mendapatkan hasil yang akurat . setelah itu buatlah table adsorbannya, dan buatlah kurva antara
konsentrasi parasetamol yang di peroleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu .

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tabel

Kurvabaku PCT

Konsentrasi
absorban
(ppm)
50 0,243
70 0,306
90 0,384
110 0,481
130 0,548

a = 0,039 b = 0,004 r = 0,998

Disolusi PCT

Beratoba Beratoba Beratoba Bobotoba %kadaroba %kadaroba %kadaroba Absorba Absorba Abso
Waktu Kadar
t t t t t t t n n n
(menit
(mg) (mg) (mg) rata 900 ml 900 ml 900 ml Rata (y) (y) (y)
)
1 2 3 1 2 3 1 2 3
55,55
0 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 0,001 0,003 0,001
6
55,55
5 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 0,002 0,001 0,001
6
55,55
10 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 -0,004 -0,003 -0,00
6
55,55
15 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 0,002 -0,002 0,001
6
55,55
20 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 -0,002 -0,003 0,007
6
55,55
25 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 0,007 0,008 0,005
6
55,55
30 500 500 500 500 55,556 55,556 55,556 0,004 0,001 0,001
6
a b Obatdalam Obatdalam Obatdalam Rata Obatdalam Obatdalam Obatdalam Rata
5ml (ppm) 5ml (ppm) 5ml (ppm) ppm 5 ml (mg) 5 ml (mg) 5 ml (mg) (ppm
1 2 3 1 2 3
0,039 0,004 -9,720 -9,210 -9,720 -9,550 -0,049 -0,046 -0,049 -0,04
0,039 0,004 -9,465 -9,720 -9,720 -9,635 -0,047 -0,049 -0,049 -0,04
0,039 0,004 -10,994 -10,739 -10,739 -10,824 -0,055 -0,054 -0,054 -0,05
0,039 0,004 -9,465 -10,484 -9,720 -9,890 -0,047 -0,052 -0,049 -0,04
0,039 0,004 -10,484 -10,739 -8,191 -9,805 -0,052 -0,054 -0,041 -0,04
0,039 0,004 -8,191 -7,936 -8,701 -8,276 -0,041 -0,040 -0,044 -0,04
0,039 0,004 -8,955 -9,720 -9,720 -9,465 -0,045 -0,049 -0,049 -0,04
%obat %obat
%obat yang Rata Faktor Faktor Faktor Rata %kadar %kadar %kadar
yang yang
Terdisolusi terdisolusi terdisolusi Koreksi Koreksi Koreksi terkoreksi terkoreksi terkorek
1 2 3 1 2 3 1 2 3
-0,972 -0,921 -0,972 -0,955 0 0 0 0 -0,972 -0,921 -0,972
-0,946 -0,972 -0,972 -0,963 -0,005 -0,005 -0,005 -0,005 -0,952 -0,977 -0,977
-1,099 -1,074 -1,074 -1,082 -0,011 -0,011 -0,011 -0,011 -1,110 -1,084 -1,085
-0,946 -1,048 -0,972 -0,989 -0,017 -0,016 -0,017 -0,017 -0,963 -1,065 -0,989
-1,048 -1,074 -0,819 -0,980 -0,022 -0,022 -0,022 -0,022 -1,070 -1,096 -0,841
-0,819 -0,794 -0,870 -0,828 -0,028 -0,028 -0,027 -0,028 -0,847 -0,822 -0,897
-0,896 -0,972 -0,972 -0,946 -0,032 -0,033 -0,032 -0,032 -0,928 -1,005 -1,004
%disolusi %disolusi %disolusi Disolusi
Obat Obat obat Rata C log C
1 2 3
-1,750 -1,658 -1,750 -1,719 101,719 2,007
-1,713 -1,759 -1,759 -1,744 101,744 2,008
-1,998 -1,952 -1,952 -1,967 101,967 2,008
-1,734 -1,917 -1,780 -1,810 101,810 2,008
-1,927 -1,973 -1,514 -1,805 101,805 2,008
-1,525 -1,479 -1,614 -1,539 101,539 2,007
-1,670 -1,808 -1,806 -1,762 101,762 2,008

a = 2,008 b = -1,35310-5 r = -0,2

1. Perhitungan

Kecepatandisolusiparacetamol

1. % paracetamoldalam 900 ml
=

=%

= 55,556 %

2. Rata-rata Obatdalam 5 ml (ppm)

Untuk 0 menit = = -9,550

Untuk 5 menit = = -9,635

Untuk 10 menit = = -10,824

Untuk 15 menit = = -9,890

Untuk 20 menit = = -9,635

Untuk 25 menit = = -8,276

Untuk 30 menit = = -9,550

3. Rata-rata Obatdalam 5 ml (mg)

Untuk 0 menit = x 5 = -0,048 mg

Untuk 5 menit = x 5 = 0,048mg

Untuk 10 menit = x 5 = -0,054 mg

Untuk 15 menit = x 5 = -0,049 mg

Untuk 20 menit = x 5 = -0,049 mg

Untuk 25 menit= x 5 = -0,041 mg

Untuk 30 menit = x 5 = -0,047 mg

4. %obat yang terdisolusi

Untuk 0 menit = x 100 = -0,955 %

Untuk 5 menit = x 100 = -0,963 %

Untuk 10 menit = x 100 = -1,082 %


Untuk 15 menit = x 100 = -0,989 %

Untuk 20 menit = x 100 = -0,980 %

Untuk 25 menit = x 100 = -0,828 %

Untuk 30 menit = x 100 = -0,946 %

5. Faktor koreksi

Untuk 0 menit :

Untuk 5 menit :

-0,995 + 0 = -0,005

Untuk 10 menit :

) -0,963 + (-0,005) = -0,011

Untuk 15 menit :

-1,082 + (-0,011) = -0,017

Untuk 20 menit :

-0,989 + (-0,017) = -0,022

Untuk 25 menit :

-0,980 + (-0,022) = -0,028

Untuk 30 menit :
=

-0,828 + -0,028 = -0,032

6. % Kadar terkoreksi

Untuk 0 menit :

= = -0,955 %

Untuk 5 menit :

= = -0,969 %

Untuk 10 menit :

= = -1,093 %

Untuk 15 menit :

= = -1,006%

Untuk 20 menit :

= + (-0,022) = -1,003%

Untuk 25 menit :

= + (-0,028) = -0,855%

Untuk 30 menit :

= = -0,979%

7. % disolusiobat

Untuk 0 menit :

= x 100 = -1,719 %

Untuk 5 menit :

= x 100 = -1,744 %

Untuk 10 menit :
= x 100 = -1,967 %

Untuk 15 menit :

= x 100 = -1,810 %

Untuk 20 menit :

= x 100 = -1,805 %

Untuk 25 menit :

= x 100 = -1,539 %

Untuk 30 menit :

= x 100 = -1,762 %

TetapanLajuDisolusi (k)

K = -b x 2,303

= -(-1,35310-5) x 2,303

= 3,11510-5mg/menit

Waktuparuh (t )

t =

= 2,224104menit

Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam media pelarut,
atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang dapat larut dalam cairan
tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif untuk melarut dalam media pelarut seingga
apabila zat aktif memiliki kecepatan melarut yang cepat maka efek yang ditimbulkan juga cepat
dan begitupun sebaliknya.
Kelarutan didefenisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan
jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefenisikan sebagai interaksi spontan dari
dua atau lebih zat untuk membentuk disperasi molekuler homogeny

Penglepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorbs dalam tubuh dikontrol oleh sifat
fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari
sistem biologis.

Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk kedalam
lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat
aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah zat aktif
terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus.
Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan
lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut,
proses reabsorbsi oleh usus dapat dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican
availability.

Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan
mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan
berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut

Keadaan steady state adalah keadaan keseimbangan setelah proses berjalan selama beberapa
periode. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor dipindahkan dan diganti
secara terus-menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar konsentrasi selalu rendah.
Keadaan ini disebut keadaan sink (sink conditions).

Hukum Fick Pertama yang secara formal menyatakan bahwa fluksi dari materi yang berdifusi
sebanding dengan gradien konsentrasi dan hukum Fick Kedua menyatakan bahwa laju perubahan
komposisi sebanding dengan turunan kedua (Laplacian) konsentrasi.

Percobaan ini dilakukan untuk menentukan kecepatan disolusi dari paracetamol 500 mg dan
mengetahui cara penggunaan alat uji disolusi. Adapun alat yang digunakan adalah
spektrofotometer dan alat uji disolusi atau dikenal dengan tablet dissolution test apparatus.

Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media
air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau
kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya dalam air sangat
baik. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan
terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan
bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang
digunakan, dipertahankan 37 C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh
manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia, adapun
waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk dapat
terdisolusi adalah 30 menit.

Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi.
Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian hingga berada
dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Untuk memilih media
disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat aktif tidak dipenggaruhi oleh
pH, maka sebagai media disolusi dipakai air suling. Sedangkan jika kelarutan zat aktif
dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai cairan lambung buatan atau cairan usus
buatan.

Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan
rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi
maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan ke dalam alat
uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit,
tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat
uji disolusi harus diganti dengan air steril sesuai dengan volume yang diambil. Dilakukan triplo
agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan secara keseluruhan.

Pada waktu larutan diambil, harus diusahakan pada bagian yang sama dari cairan, yaitu tepat di
samping keranjang sampel, sebab pada bagian tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang
dan dapat dipipet dengan tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan tiga kali agar hasil yang
diperoleh dapat dibandingkan.

.Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol akan
terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa
mula-mula paracetamol akan terdisolusi dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah
cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan
memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.

Uji disolusi digunakan untuk menetukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera
dalam masing-masing monografi, untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan
bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak
kecuali bila dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing
monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan
bersalut enteric, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera
pada uji pelepasan obat, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam vial untuk menampung kemudian dimasukkan didalam
kuvet lalu ditentukan nilai absorban sampel dan juga air steril dengan menggunakan
spektrofotometer. Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan
paracetamol berdisolusi dengan optimal pada medium pelarut, Setelah airnya diambil, harus
segera diganti (volume dipertahankan sebanyak 900 ml) dimaksudkan agar obat terlarut dalam
pelarut yang volumenya konstan agar diperoleh hasil pengukuran yang tepat.

Ada dua tipe uji disolusi :

1) Tipe 1 (Pengaduk Keranjang)

Pengaduk ini berberntuk keranjang silindris komponen batang logam dan keranjang yang
merupakan bagian dari pengaduk terbuat dari baja tahan karat tipe 316 atau yang sejenis. Kecuali
dinyatakan lain pada masing-masing mnografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat juga digunakan
keranjang berlapis emas setebal 0.0001 inci (2.5 m). Sediaan dimasukkan pada setiap keranjang
yang kering pada tiap awal pengujian, jarak antara dasar dasar bagian dalam wadah dan
keranjang adalah 25 mm 2mm selama pengujian berlangsung. Metode ini sering digunakan
pada obat yang bersalut, Agar supaya mudah menghancurkan obatnya serta agar tersalutnya tidak
keluar.

2) Tipe 2 (Pengaduk Dayung)

Alat pengaduk ini sama dengan alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri
dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi demikian hingga sumbunya
tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar dengan halus
tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang
rata. Jarak 25 mm 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama
pengujian berlangsung, daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalit
dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Jenis ini digunakan pada cairan kental dimana endapan
pada dinding dapat terbentuk dan juga digunakan untuk meningkatkan transfer panas dari dan ke
dinding tangki. Bagaimanapun jenis ini adalah pencampuran yang buruk. Pengaduk dayung
sering digunakan untuk obat yang tidak bersalut.

Prinsip kerja spektrofotometer adalah menggunakan instrumen obat atau molekul dengan radiasi
elektromagnetik, yang energik nya sesuai. Interaksi tersebut akan meningkatkan energi potensi
elektron pada tingkat aksitan. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi transisi
elektronik pada suatu macam gugus maka akan terjadi suatu absorbsi yang merupakan garis
spektrum.

Hasil yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku pada 50 Rpm absorbannya 0,243, 70
Rpm absorbannya 0,306, 90 Rpm absorbannya 0,384, 110 Rpm absorbannya 0,481, 130 Rpm
absorbannya 0,548, dan untuk 200 Rpm absorbannya 0.813. Konstanta laju disolusi paracetamol
yaitu 3,11510-5 mg/menitmg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak waktu
yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk berdisolusi maka semakin tinggi pula konsentrasi (Kadar)
zat tersebut dalam cairan (media pelarut).
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil laju disolusi obat paracetamol yaitu sebesar
3,11510-5 mg/menit.

Hasil perhitungan kecepatan disolusi paracetamol dalam 900 mL adalah 55,56 %. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan disolusi paracetamol yang dilakukan pada saat
praktikum barbanding terbalik dengan literature (Ditjen POM, 1994) yaitu dengan media disolusi
dan serapan larutan baku paracetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang
serapan maksimum lebih kurang 243 nm. Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak
kurang dari 80 %

Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan referensi, hal ini disebabkan
beberapa faktor kesalahan antara lain: kesalahan dalam melakukan uji disolusi, suhu yang tidak
tepat, dan pengamatan yang kurang teliti.

Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu penentuan bentuk-bentuk sediaan yang akan dibuat
sesuai dengan sifat zat aktif sehingga dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubu sehingga
dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubuh sehingga cepat diabsorbsi dan cepat memberikan
efek farmakologinya.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari hasil percobaan di peroleh data absorban menit ke 0 = 0,001, 0,001, 0,003, menit ke 5=
0,002, 0,001, 0,001 menit ke 10= -0,004, -0,003,- 0,003 menit ke 15= 0,002, 0,002, 0,001
menit ke 20= -0,002, -0,003, 0,007 menit ke 25= 0,007, 0,008, 0,005 menit ke 30= 0,004,
0,001, 0,001

1. Saran
Pada waktu praktikum sebaiknya di gunakan juga metode keranjang agar praktikan lebih dapat
memahami bagaimana metode dayung (paddle) dan metode keranjang (basket).

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida

Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.

Alatas, Fikri dkk. 2006. Pengaruh Konsentrasi PEG 4000 Terhadap Laju Disolusi

Ketoprofen Dalam Sistem Disperse Padat Ketoprofen-PEG 4000. Majalah Farmasi Indonesia,
17(2), 57 62, 2006.

Ditjen POM., (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta.

Martin, Alfred et al. 1990.Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia

Press. Jakarta.
Sutriyo dkk. 2005. Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid

Dalam Sistem Dispersi Padat. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.1, April 2005, 30 42

Tujuan
1. Melakukan uji disolusi terhadap tablet glycerol guaiacolat

II. Prinsip
1. Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh.

III. Teori Dasar


Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan
padat. Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/
pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari
keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per
unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang
dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan
waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897
dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :

dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )


Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya suhu,
menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara konsentrasi jenuh
dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan
jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di
sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat
menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi
pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan
kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien
difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini
juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat
sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif
ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak
teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun
umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:
Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan menaikkan nilai Cs
(Ansel, 1989)
UJI DISOLUSI OBAT
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi
partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya
menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini
tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan
bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi
dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet
(Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet
melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan
efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,
dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak
bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan
mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi
sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.;
ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang
diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang nonesensial; dan
keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak
sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda
pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro,
sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua
sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan dari
batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu
tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan
dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari batch satu ke batch
lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang
ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel,
1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung
oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan
zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari
sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan
zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua
kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
Zat aktif mula-mula harus larut
Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt, 1995).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan
wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil
dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat
memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi
dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang
berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk
akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid
apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang
baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo
sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya,
tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Ansel, 1989).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet
telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada tablet yang
tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun
demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda
tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel,
1989).

IV. Alat dan Bahan


a. Alat
1. Alat Spektrofotometri
2. Alat Uji disolusi
3. Beaker glass
4. Botol vial
5. Kuvet
6. Pipet tetes
7. Syringe

b. Bahan
1. Aquadest
2. Baku pembanding Glycerol Guaiakolat
3. Tablet Glycerol Guaiakolat

V. Prosedur
Pembuatan larutan baku
Baku glycerol guaiacolat sebanyak 222 mg ditimbang dan dilarutkan dalam 100 ml air.
Kemudian dibuat pengenceran bertingkat yaitu 70ppm, 60ppm, 50ppm, 40ppm, dan 30ppm.
Setelah itu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum.
Lalu dibuat kurva baku dari hasil pengukuran.

Uji Disolusi
Perlakuan pertama adalah dicari panjang gelombang serapan maksimum untuk baku
pembanding Glyceril Gualakoat. Langkah selanjutnya adalah tablet dicelupkan ke dalam
medium aquadest sampai ke dasar yang terdapat dalam labu sebanyak 900mL, suhu
dipertahankan pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan konstan 50 rpm. Kemudian cairan
sample diambil pada selang waktu menit ke 5, menit ke 15 , menit ke 25, menit ke 35, dan menit
ke 45 untuk menentukan jumlah obat dalam cairan itu. Kemudian diencerkan 1 mL dari setiap
cuplikan menjadi 10 mL dengan medium dan tentukan absorbansinya pada panjang gelombang
maksimum yang didapat pada percobaan. Untuk menentukan kadar obat maka digunakan alat
spektrophotometri dengan mengukur tingkat absorbansi-nya.

VI. Data Pengamatan


1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi larutan baku
No Konsentrasi Absorbansi rata-rata
1 30 ppm 0,311233
2 40 ppm 0,39670
3 50 ppm 0,495567
4 60 ppm 0,583667
5 70 ppm 0,66740

Kurva Kalibrasi

a = 0.008993
b = 0.04126
r = 0.999
persamaan garis linear y = 0.008993x + 0.04126

2. Pengukuran absorbansi 3 tablet hasil disolusi dengan interval waktu 5, 15, 25, 35, 45 menit
Tabel 2.1 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-1
Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.277 0.2764 0.2763 0.2766
15 0.5118 0.5122 0.5123 0.5121
25 0.4875 0.4875 0.4877 0.4876
35 0.51 0.5076 0.5062 0.5079
45 0.4592 0.4593 0.4595 0.4593

Tabel 2.2 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-2


Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.3893 0.3897 0.3891 0.3894
15 0.4657 0.4653 0.4654 0.4655
25 0.4729 0.4723 0.4728 0.4727
35 0.4498 0.4497 0.45 0.4498
45 0.4779 0.4768 0.4761 0.4769

Tabel 2.3 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-3


Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.3475 0.3479 0.3484 0.3479
15 0.4392 0.44 0.4398 0.4397
25 0.4994 0.5001 0.5005 0.5
35 0.5189 0.5184 0.5181 0.5187
45 0.4934 0.4931 0.4929 0.4931

3. Konsentrasi 3 tablet yang larut dalam interval waktu tertentu


Tabel 3. Hasil perhitungan konsentrasi obat yang terdisolusi (dalam mg/ml)
Menit ke- Tablet ke-1 Tablet ke-2 Tablet ke-3
5 0.026167 0.038712 0.034098
15 0.052356 0.047174 0.044306
25 0.049632 0.047975 0.051011
35 0.051889 0.045429 0.053902
45 0.046485 0.048442 0.050243

4. Persentase disolusi 3 tablet dalam interval waktu tertentu


Tabel 4. Hasil perhitungan % disolusi tablet
Menit ke- Tablet ke-1 Tablet ke-2 Tablet ke-3
5 9.42 % 13.94 % 12.28 %
15 18.85 % 16.98 % 15.95 %
25 17.87 % 17.23 % 18.38 %
35 18.68 % 16.35 % 19.11 %
45 16.73 % 17.44 % 18.09 %
Kurva laju disolusi tablet glycerol guaiacolat

VII. Perhitungan
Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Pembuatan larutan stok
Baku yang digunakan : 222 mg dalam 100 ml

b. Pengenceran larutan baku dengan variasi konsentrasi


Konsentrasi 30 ppm
Konsentrasi 40 ppm

Konsentrasi 50 ppm

Konsentrasi 60 ppm

Konsentrasi 70 ppm

Perhitungan konsentrasi dan %disolusi

VIII. Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif
dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan
tubuh.
Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet gliseril guaiakolat.
Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu
tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan
obat yang diberikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu temperatur,
viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan zat.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet yang
ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah, mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat tambahan
yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam
cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.
Sebelum melakukan uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kurva baku sampel
gliseril guaiakolat. Prosedur pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat dimulai dengan
menimbang sampel, kemudian sampel dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dan ditambahkan
aquadest hingga mencapai tanda batas, dan dikocok hingga homogen. Larutan tersebut
merupakan larutan sampel standar. Selanjutnya adalah dibuat pengenceran menjadi lima
konsentrasi yang berbeda, yaitu 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm. Selanjutnya
spektrofotometer UV-Vis disetting pada panjang gelombang dimana gliseril guaiakolat
memberikan absorbansi, yaitu pada panjang gelombang 274 nm. Masing-masing sampel
kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis, diukur absorbansi nya terlebih dahulu.
Absorbansi yang terbaca haruslah berada pada rentang 0.2 hingga 0.8, sesuai hukum lambert-
beer. Kemudian setelah absorbansinya berada pada rentang tersebut, kelima sampel dianalisis.
Hasil analisis masing-masing sampel dapat dilihat dibawah ini :
Konsentrasi 30 ppm = 0,311233
Konsentrasi 40 ppm = 0,39670
Konsentrasi 50 ppm = 0,495567
Konsentrasi 60 ppm = 0,583667
Konsentrasi 70 ppm = 0,66740
Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi perbandingan antara
konsentrasi dengan absorbansi. Kemudian dibuat persamaan garis nya dengan menggunakan
metode regresi linier, dan didapat persamaan nya adalah sebagai berikut : y =
0,008993x+0,04126. Dengan nilai r adalah 0,999. Nilai r yang didapat sangat baik, karena nilai
nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan untuk
menghitung kadar sampel gliseril guaiakolat pada uji disolusi.
Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest dipanaskan hingga
mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air harus dipertahankan pada suhu 37 oC
sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900 ml dari air tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas yang
terdapat di dalam alat disolusi. Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest sebanyak
bagian saja. Hal ini dilakukan untuk menganalogkannya dengan jumlah cairan tubuh.
Selanjutnya sampel tablet dimasukkan ke dalam keranjang saringan yang kecil yang ada di
dalam alat disolusi. Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3 tablet. Sampel yang digunakan di
sini yaitu tablet gliseril guaiakolat. Setelah itu, keranjang dicelupkan ke dalam pelarut. Alat
disolusi lalu dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100 rpm dan suhu 37oC. Suhu 37oC digunakan
agar sama dengan suhu tubuh manusia.
Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi, stopwatch mulai dijalankan.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada menit ke-5, 15, 25, dan 35. Setelah 5
menit sampel diambil sebanyak 5 ml menggunakan syringe yang berselang, dan dimasukkan
kedalam botol vial, kemudian kedalam alat disolusi yang berisi tablet gliseril guaiakolat yang
telah diambil sampel larutannya sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml juga.
Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut seperti semula karena pelarut dianalogikan
sebagai cairan tubuh. Diulangi prosedur tersebut pada menit ke 15, 25, dan 35. Pengambilan
pelarut diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal ini dilakukan karena pada bagian
tersebut dianggap merupakan bagian yang diabsorpsi oleh darah.
Setelah dilakukan pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan menggunakan
instrument. Instrument yang digunakan dalam analisis tersebut adalah spektrofotometer UV-Vis
double beam. Analisis dilakukan secara bertahap dimulai dari tablet 1 hingga tablet 3 (masing-
masing menit ke-5, 15, 25, dan 35). Sehingga total sampel yang dianalisis adalah sebanyak 12
sampel yang berada pada 12 botol vial yang berbeda. Pertama, dilakukan analisis terhadap
blanko sampel (aquadest). Selanjutnya diikuti analisis 12 sampel tersebut. Kemudian dibuat rata-
rata berdasarkan nilai absorbansi yang terbaca pada alat. Hal yang perlu diperhatikan dalam
analisis dengan menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis double beam adalah saat
pengisian sampel kedalam kuvet, jari tangan jangan sampai menyentuh bagian licin dari kuvet,
karena jika jari tangan menyentuh bagian tersebut, maka protein akan menempel pada bagian
licin daripada kuvet, yang mengakibatkan hasil analisis menjadi tidak akurat lagi. Selain itu, alat
juga perlu disetting pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan sampel yang akan dianalisis.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam
sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-availabilitas yang dapat
menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat adalah suatu
proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan
suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam
air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan
mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga
menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-
senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam
dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa
obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam rangka
pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot,
kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin
bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap
produksi tablet.
Tahapan yang dilakukan setelah pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi melalui
alat spektrofotometer uv-vis di panjang gelombang maksimumnya yaitu 274 nm. Hasil yang
didapatkan adalah :

1. Tablet 1
- Menit ke 5 = 0,2766
- Menit ke 15 = 0,5121
- Menit ke 25 = 0,4876
- Menit ke 35 = 0,5079
- Menit ke 45 = 0,4593
2. Tablet 2
- Menit ke 5 = 0,3894
- Menit ke 15 = 0,4655
- Menit ke 25 = 0,4727
- Menit ke 35 = 0,4498
- Menit ke 45 = 0,4769
3. Tablet 3
- Menit ke 5 = 0,3479
- Menit ke 15 = 0,4397
- Menit ke 25 = 0,5
- Menit ke 35 = 0,5187
- Menit ke 45 = 0,4931
Dari hasil percobaan tersebut terlihat bahwa absorbansi yang dihasilkan kurang tepat
karena seiring peningkatan waktu seharusnya absorbansinya meningkat tetapi dari data terlihat
bahwa absorbansinya naik dan kemudian di menit selanjutnya turun kembali. Hal ini dapat
disebabkan karena pada saat uji disolusi dilakukan terdapat pengotor atau kontaminan pada
aquadest yang digunakan sebagai medium disolusi dan saat pemasukkan aquadest setiap 10
menit sekali sebagai pengganti larutan yang diambil. Hal ini menyebabkan kontaminan tersebut
terserap juga absorbansinya pada alat sehingga hasil absorbansi menjadi kurang akurat. Tetapi
hasil absorbansi yang dihasilkan pada uji ini baik karena memenuhi hukum lambert-beer yaitu
0,2-0,8.
Persyaratan uji disolusi dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S 1),

6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap
berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak

memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S 3 ). Pada tahap ini 12 tablet

tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel
dibawah ini.

Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi


Jumlah Sediaan
Tahap Kriteria Penerimaan
yang diuji
S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q +
5%
S2 6 Rata rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah
sama dengan atau lebih besar dari Q dan
tidak satu unit sediaan yang lebih kecil
dari
Q 15%

S3 12 Rata rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 )


adalah sama dengan atau lebih besar
dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan
yang lebih kecil dari Q 15% dan tidak
satupun unit yang lebih kecil dari Q
25%

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada
etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian
mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45
menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm.
Perhitungan hasil dari uji disolusi dilakukan menggunakan rumus :
% disolusi =
Pengujian dilakukan terhadap tiga tablet untuk membandingkan hasil pada satu tablet
dengan tablet yang lainnya dan meminimalisir terjadinya kesalahan sehingga pengukuran
dilakukan berulang. Hasil yang didapatkan melalui perhitungan adalah :

1. Tablet 1
Menit ke 5 = 9,16075%
Menit ke 15 = 18,32776%
Menit ke 25 = 17,37406%
Menit ke 35 = 18,16425%
Menit ke 45 = 16,27248%
2. Tablet 2
Menit ke 5 = 13,53578%
Menit ke 15 = 16,49457%
Menit ke 25 = 16,77451%
Menit ke 35 = 15,88415%
Menit ke 45 = 16,93780%
3. Tablet 3
Menit ke 5 = 11,90375%
Menit ke 15 = 15,46742%
Menit ke 25 = 17,80827%
Menit ke 35 = 18,5342%
Menit ke 45 = 17,54041%

Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai % disolusi ada yang naik
kemudian turun kembali di selang 10 menit setelahnya. Seharusnya % disolusi meningkat seiring
bertambahnya waktu dan mencapai 75% di menit 45 sesuai persyaratan uji disolusi. Hal ini dapat
terjadi disebabkan karena faktor pengikat dan disintegran. Dimana bahan pengikat dan
disintegran mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet tersebut sehingga
mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan difusi tablet
menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan bahan pengikat dan
disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan disintegran sangat berpengaruh
terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab lain yang mungkin adalah formulasi dari sediaan
tablet yang kurang baik. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya
kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan. Faktor
lain yang menyebabkan hasil percobaan tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji.
Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama kecepatan
pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini kecepatan
pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun rendah.
Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh
antara lain :
o Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
o Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
o Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume.
o Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
o Suhu yang dipakai tidak tepat.

IX. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh %disolusi tablet glycerol guaikolat setelah 45
menit yaitu antara 16 18 %. Hal ini menunjukkan bahwa %disolusi glycerol guaikolat tidak
memenuhi syarat pada Farmakope Indonesia yang menyebutkan bahwa dalam waktu 45 menit
harus larut tidak kurang dari 75 % sehingga bisa dikatakan %disolusi tablet glycerolguaikolat
pada percobaan tidak bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru. Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Airlangga University
Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Jakarta:
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Read more: http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/06/g.html#ixzz4NOYa6EaW

Anda mungkin juga menyukai