Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS BIOEKIVALEN (BE) IN VITRO : UJI DISOLUSI

TERBANDING

I. Tujuan Percobaan
Mempelajari perbedaan profil disolusi berbagai obat generik yang sudah
beredar dan membandingkan kemiripan (Bioekivalen/BE) antar obat generik
tersebut dengan innovator.

II. Prinsip Percobaan


1. Berdasarkan kadar tablet yang larut pada waktu tertentu.
2. Berdasarkan perbandingan innovator dengan obat paten lainnya.

III. Teori
3.1. Obat Paten
Obat Paten atau obat inovator adalah obat yang baru ditemukan
berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis
obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia
adalah 20 tahun.
Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak
eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan
lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa
kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.
3.2. Obat Generik
Setelah obat paten habis masa patennya, obat itu kemudian boleh ditiru,
diproduksi dan dipasarkan oleh perusaahan lain. Obat tiruan itu dinamakan
obat generik atau obat copy. Secara otomatis, obat paten yang habis masa
patennya (eks paten) juga berubah status menjadi obat generik (generik=
nama zat berkhasiatnya).
Di Indonesia, obat generik dibedakan lagi menjadi dua jenis, yakni obat
generik berlogo dan generik bermerek (branded generic).

3.3. Disolusi
Disolusi adalah proses pelepasan senyawa obat dari sediaan dan melarut
dalam media pelarut, sedangkan laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang

1
dapat larut dalam waktu tertentu pada kondsisi antar permukaan cair-padat,
suhu dan komposisi media yang dibakukan.
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-
kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model
antara lain adalah:
1. Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada
permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ,
merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan
dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat cair berlangsung
cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film bulk film,
pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang.
Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari
molekul dalam liquid film.
2. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat
dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai
hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan larutan, dan hal
ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar
muka padat cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari
proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati
lapisan tipis statis (stagnant).
3. Model Dankwert (Dankwert Model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan
padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka
cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada
permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu
mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan
oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi
segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan
transpor solut ataudengan kata lain disolusi.
3.4. Faktor yang mempengaruhi Disolusi
A. Suhu

2
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan
sejauh lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu
derajat.
B. Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam
beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang
dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah
kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan
kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu
dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan sink maka
perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada
kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi
suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari
medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam
medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat
menaikkan kecepatan melarut.
C. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan.
Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm.
Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat
dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana
ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka
lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm.
Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan.
D. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau
keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus
sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang
tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih
hebat di dalam bejana.

3
E. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi
karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam
medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam
posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena
adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
F. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi.
Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas
penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin
dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan
kelurusan harus dicek.
G. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana
disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat
pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama
percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya.
H. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di
antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan
medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari
dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan
bagian yang paling baik pengadukannya.
I. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh
tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa
mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya
sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran
partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan,
penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat
penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet.
J. Kalibrasi alat disolusi

4
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang,
ternyata hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting.
Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada
alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk
kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di
pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan
100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam
bulan sekali.
3.5. Uji Disolusi Terbanding
Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran
obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat
pemerintah, dan masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu
industri-industri farmasi banyak menekankan pada penemuan-penemuan
obat baru, dan peta kefarmasian pada saat itu ditandai dengan cepatnya
suatu molekul obat baru ditemukan. Obat-obat yang beredar tersebut harus
telah mendapat pengakuan uji bioavailabilitas/bioekivalensi oleh instansi
setempat. Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
melalui Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman
Uji BE dan Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 juli 2005 tentang: Tata
Laksana Uji Bioekivalensi, mewajibkan uji bioavailabilitas/bioekivalensi
(BA/BE) terhadap obat copy yang beredar. Udjianto menjelaskan,
penerapan uji BA/BE merupakan bagian dari fungsi Badan POM.
Menurut BPOM RI, pada produk-produk tertentu bioavailabilitas
dapat ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan
dalam lingkungan seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi
terbanding. Obat-obat ini bioavailabilitasnya terutama bergantung pada
obat yang berada dalam keadaan terlarut. Laju disolusi obat dari produk
obat tersebut diukur in vitro. Data laju disolusi in vitro harus berhubungan
dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut (Shargel et.al,
2005).
Secara umum uji disolusi dirancang sebagai alat untuk
mengoptimalkan suatu formulasi baru atau sebagai kontrol kualitas
memonitor keseragaman dan reproduksibilitas produksi antar batch. Untuk

5
tujuan penelitian uji disolusi merupakan suatu pengujian yang relatif
sensitif untuk membandingkan keakuratan suatu formulasi sehingga data
dapat dikorelasikan ke kondisi in vivo (Abdou, 1989).
Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk
mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil
disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara
produk uji dan pembanding. Untuk produk-produk tertentu, uji disolusi
terbanding dilakukan sebagai pengganti uji ekivalensi in vivo sehingga
apabila suatu produk telah lolos uji disolusi terbanding ini, produk tersebut
sudah dianggap ekivalen dengan produk pembandingnya. (Shargel et.al,
2005; BPOM RI, 2004).
Kriteria obat pembanding:
1. Produk obat innovator
2. Primary market di negara lain atau
3. Market leader di Indonesia
4. Produk pembanding yang digunakan harus mendapatkan persetujuan
dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan medium
buffer pH 1,2 ( Larutan asam ), buffer pH 4,5 ( buffer acetate ), buffer pH
6,8 ( Buffer fosfat ). Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan
faktor kemiripan f2. Disamping itu juga ditunjukkan bahwa eksipien dalam
komposisi produk obat sudah dikenal, bahwa tidak ada efek terhadap
motilitas saluran cerna atau proses lain yang mempengaruhi proses
absorbsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi antara eksipien dan zat aktif
yang dapat merubah farmakokinetik zat aktif. Jika digunakan tapi dalam
jumlah yang luar biasa besar, diperlukan tambahan informasi yang
menunjukan tidaka adanya dampak terhadap biovailabilitas.
Uji disolusi terbanding dapat juga dapat digunakan untuk memastikan
kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor
dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.
Uji disolusi in vitro dianjurkan bahwa potensi dan karakteristik
disolusi in vitro dari produk obat uji dan pembanding dipastikan dahulu
sebelum dilakukan uji BE. Hasilnya dilaporkan sebagai profil persen obat

6
yang terlarut dalam waktu, nomor batch kedua produk harus dicantumkan,
demikian juga tanggal kadarluarsa produk pembanding.
Uji BA/BE sangat penting untuk menjamim efikasi dan keamanan
obat copy. Lewat studi ini dapat meyakinkan dokter dan masyarakat bahwa
obat copy yang diproduksi di Indonesia memiliki mutu yang baik dan
harganya kompetitif.
Dalam uji BA/BE, obat inovator yang masa patennya telah usai
menjadi tolak ukur dari kualitas obat copy-nya. Hasil penelitian BA/BE
yang dilakukan terhadap obat copy harus setara secara biologis dalam hal
mutu, efikasi, dan keamanannya dengan obat inovatornya.
Kendala utama untuk perbandingan dua produk atau formulasi atau
bentuk sedian adalah in vitro (disolusi terbanding), sebagai perbandingan
in vitro disolusi profil, persamaan (similarity) dan perbedaan (difference)
faktor ditekankan oleh US FDA.
1. Faktor Perbedaan ( Difference factor ) F1
Faktor perbedaan berfokus pada perbedaan dalam persen terlarut
antara refensi dan uji pada berbagai interval waktu. Hal ini dapat
matematis dihitung dengan menggunakan :
F1= {[ (nRt-Tt)] / [ nRt]} . 100
Oleh karena itu faktor langsung membandingkan perbedaan antara
obat persen terlarut persatuan waktu untuk obat uji dan produk referensi
2. Faktor Kesamaan ( Similarity factor ) F2
Sebagai mana menetapkan, menekankan pada perbandingan
kedekatan dari dua perbandingan formulasi. Syarat faktor kesamaan
dalam kisaran 50 100 diterima sesuai dengan US FDA. Hal ini dapat
matematis dihitung dengan menggunakan :
F2 = 50 . log {[1+ (1/n) (Rt-Tt2]-0,5 . 100}
Keterangan :
F1 : Difference factor ( Faktor perbedaan ) toleransi = 0 15
F2 : Similarity factor ( Faktor persamaan ) toleransi = 50 - 100
Rt : Dissolution value of the reference batch at time t ( % rata-rata zat
terlarut dalam waktu t untuk sedian pembanding ).

7
Tt : Dissolutin value of test batch at time t ( % rata-rata zat terlarut
dalam waktu t untuk sedian uji ).
n : jumlah titik sampel

IV. Alat dan bahan


4.1. Alat
Alat yang digunakan adalah Disolator tipe 2, Gelas ukur, Spuit 10ml,
Vial 5ml, Pipet ukur 1 ml, Spektrofotometer UV-Vis
4.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah Dapar Fospat 500ml, Tablet Pamol,
Lanmol, PCT, Dapirindan Panadol

V. Prosedur
Sebanyak 500ml Dapar Fosfat pH 6,8 dimasukkan ke dalam tabung disolusi.
Dan alat disolusi (disolator) dipersiapkan, media disolusi dibiarkan hingga suhu
370.5. Kemudian disolator dijalankan pada laju kecepatan 50rpm dan tablet
parasetamol dimasukkan ke dalam disolator. Pada menit pertama diambil
sebanyak 5ml cuplikan dan dimasukkan ke dalam vial, cuplikan diambil pada
daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari tabung
disolusi. Alat dayung yang berputar tidak kurang dari 1 cm dari dinding tabung.
Kemudian wadah diisi kembali dengan 5ml Ddapar Fosfat pH 6,8 yang berasal
dari uji kontrol negatif, setiap kali sesudah penarikan 5ml cuplikan. Hal yang
sama dilakukan pada menit ke 5,10,15,20 dan 30 menit. Kemudian, absorbansi
diukur pada masing-masing cuplikan dengan menggunakan spektrofotometer UV-
Vis dan konsentrasi ppm ditentukan pada masing-masing cuplikan. Setelah itu,
dihitung mg terdisolusi, faktor koreksi, mg terkoreksi, dan persen disolusi.
Kemudian, dibuat grafik kurva baku dan persen disolusi. Interpolasikan data ke
dalam persamaan factor similaritas dan faktor perbedaan

VI. Data pengamatan


a. Kurva Baku
b. Uji Disolusi
c. Perhitungan nilai Similaritas
d. Grafik Similaritas

VII. Pembahasan

8
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis bioekivalen (BE) in vitro uji
disolusi terbanding. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan profil
disolusi berbagai obat generic yang sudah beredar dan membandingkan kemiripan
(bioekivalen/BE) antar obat generic, karena banyaknya produk obat dengan zat
aktif yang sama namun diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan yang berbeda.
Baik itu berupa produk innovator (produk yang dipatenkan oleh pabrik penemu)
maupun produk copy (produk yang memiliki zat aktif yang sama dan telah
memenuhi standar ekuivalensi dengan produk innovator) memiliki profil
bioavailabilitas obat berbeda dan menghasilkan efek farmakologi yang berbeda
pula.
Profil disolusi disini dibutuhkan sebagai dasar untuk menentukan
bioekivalensi dari suatu obat. Disolusi itu sendiri adalah jumlah atau persen zat
aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku.
Kondisi yang dimaksud disini adalah misalnya dalam suhu, kecepatan
pengadukan, dan komposisi media tertentu, Uji disolusi merupakan suatu metoda
fisika kimia yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan
pengendalian mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan
pelepasan dan melarut zat aktif dari sediaannya.

Uji disolusi terbanding digunakan untuk uji bioekivalen secara in vitro


karena hasil uji disolusi berkolerasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh,
sehingga dengan begitu kesetaraan sifat dan kerja obat di dalam tubuh suatu obat
copy dibandingkan dengan obat innovator sebagai pembanding dapat
terlihat. Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan
kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam
formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.

Tujuan dari praktikum ini untuk mempelajari perbedaan profil disolusi dari
obat generic yang sudah beredar dan membandingkannya dengan innovator.
Dimana sampel yang digunakan terdiri dari 4 jenis, dengan merk berbeda tetapi
zat aktif serta dosisnya sama dengan inovator.
Hal pertama yang dilakukan adalah menyiapkan alat disolusi dengan
menggunakan alat tipe 2 atau tipe dayung, pemilihan tipe alat ini berdasarkan
bentuk sediaan obat yang diuji adalah tablet. Kemudian media disolusi yang

9
digunakan adalah dapar fosfat , suhu yang digunakan adalah 37C 0,5C agar
sesuai dengan suhu normal tubuh manusia dengan kecepatan putaran alat sebesar
50 rpm sesuai dengan literatur. Antara dayung dengan dalam dasar wadah
dipertahankan jaraknya 25mm 2mm selama pengujian berlangsung agar tidak
terjadi benturan yang akan meyebabkan goyangan atau vibrasi yang dapat
menimbulkan kecepatan pengadukan yang tidak seragam sehingga menganggu
hasil dari disolusi.
Pengujian dilakukan pada setiap sampel dengan pengambilan cuplikan
filtrat pada menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30. Hasil disolusi ke empat sampel
diplotkan dalam bentuk grafik pada data pengamatan, dapat dilihat jelas pada
grafik hanya ada satu yang hampir terdisolusi serupa dengan inovator. Pada
sampel pertama zat aktif terdisolusi hampir sama dengan inovator, pada interval
waktu 15 dan 25 menit. Pada sampel kedua interval waktu 10 menit. Pada sampel
ketiga interval waktu 5 dan 20 menit dan pada sampel keempat interval waktu 15
menit. Zat aktif terdisolusi >80% pada sampel secara berturut-turut adalah pada
menit ke 15. 15, 10, dan 15. Terjadi lonjakan yang signifikan pada sampel kedua
dan ketiga.
Untuk menyatakan kesamaan profil disolusi antara sampel dan inovatornya,
digunakan perhitungan faktor perbedaan (F1) dan faktor kesamaan profil (F2).
Perbedaan pola disolusi yang tampak jelas pada sampel generik dikonfirmasi
menggunakan perhitungan F1 dan F2, dan didapat hasil bahwa nilai F1 dan F2
sampel generik terhadap inovator secara berturut-turut adalah, sampel pertama
15,805 dan 22,197, sampel kedua 23,7063 dan 12,859266, sampel ketiga 13,4998
dan 22,64693, sampel keempat 16,3913 dan 23,857941. Yang memenuhi dengan
syarat faktor perbedaan hanyalah pada sampel ketiga, sedangkan faktor kesamaan
tidak ada yang memenuhi syarat seperti dalam literatur dengan ketentuan nilai F2
yaitu 50-100 dan F1 <15, tetapi memiliki sedikit kemiripan (Bioekivalen/BE)
antara obat innovator (panadol) dan generic (dumin) dilihat dari grafik yang
diperoleh.
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab perbedaan profil disolusi
antara obat inovator dengan generiknya, antara lain formulasi, cara pembuatan
tablet, jumlah dan jenis eksipien yang dipakai. Oleh sebab itu, sifat akhir suatu
sediaan, seperti ketersediaan hayati dan stabilitasnya, sangat bergantung pada

10
eksipien yang dipilih atau jumlah eksipien yang dipakai. Penyebab perbedaan
profil disolusi ini juga dapat terjadi akibat kesalahan praktikan, baik dari
pengambilan sampel ataupunpada saat melarutkan sampel masih terdapat granul
kecil sehingga belum larut secara sempurna maupun alat disolusi ataupun
spektrofotometri yang digunakan sehingga mempengaruhi hasil yang didapat.

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari praktikum biofarmasi tentang membedakan profil
disolusi berbagai obat generik yang sudah beredar dan membandingkan kemiripan
antara obat generic tersebut dengan Panadol sebagai inovator dapat disimpulkan
bahwa hanya obat generic (dumin) yang sedikit memiliki tingkat kemiripan
dengan innovator dilihat dari nilai similaritas dan ditunjukkan oleh grafik
similaritas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.

Jakarta: Gaya Baru

Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.


Penerjemah Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Anonymous. 2002. United State Pharmacopeia 25. Volume 2. Washington DC :


USP Convention, Inc.

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan.


1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen Kesehatan.

Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph. 1994. Teori danPraktek


Farmasi Industri. Edisi ketiga. Penerjemah Siti Suyatmi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika


Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt.
Surabaya : Airlangga University Press.

Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia

Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas


Gadjah Mada Press.

12

Anda mungkin juga menyukai