Anda di halaman 1dari 25

PERCOBAAN VI

DISOLUSI
A. Tujuan
1. Mengetahui prosedur uji disolusi
2. Mengetahui cara perhitungan dan membuat kurva hasil uji disolusi
B. Dasar Teori
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan
obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi
absorbsi sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat
kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran
cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel, 1988).
Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik
sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagregasi
sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik
disolusi obat dari sediaan (Syukri,2002)
Disolusi mengacu pada proses ketika fase padat (misalnya tablet atau
serbuk) masuk ke dalam fase larutan, seperti air. Intinya ketika obat melarut
partikel-partikel padat memisah dan molekul demi molekul bercampur
dengan cairan dan tampak menjadi bagian dari cairan tersebut. Oleh karena
itu disolusi obat adalah proses ketika molekul obat dibebaskan dari fase padat
dan masuk ke dalam fase larutan (Sinko, 1993)
Uji disolusi dan penetapan kadar zat khasiat merupakan faktor penting
dalam pengendalian mutu obat. Pengujian ini dipersyaratkan pada produk
farmasi yang berbentuk tablet. Uji disolusi ini pada industri farmasi
merupakan informasi berharga untuk keseragaman kadar zat khasiat dalam
satu produksi obat (batch), perkiraan bioavailabilitas dari zat khasiat
obat

dalam suatu formulasi, variabel kontrol proses dan untuk melihat pengaruh
perubahan formulasi (Raini, 2010).
Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang
suatu sediaan tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat
diketahui. Obat yang memiliki disolusi yang baik akan memberikan
bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah obat yang
diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Laju disolusi dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat dan
merupakan suatu karakteristik mutu yang penting dalam menilai mutu obat
yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek sistemik. Selain itu uji
disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam pengembangan
produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi, 2011).
Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna,
obat tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali
tablet tersebut merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat
uga berdisintegrasi menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan
selanjutnya berdeagregasi menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi,
deagregasi dan disolusi dapat dapat terjadi bersamaa dengan pelepasan obat
dari bentuk penghantarannya.
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi
sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk
sediaan dan deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh
adalah kecepatan disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali
merupakan tahap penentu atau pengendali kecepatan pada absorpsi obat
berkelarutan rendah karena disolusi kerap kali menjadi tahap paling lambat
diantara berbagai tahap yang terlibat dalam pelepasan obat dari bentuk
sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik.
Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara
kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan :

Atau

M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah
kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut
dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi;
Cs adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh
pada permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah
konsentrasi zat terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt
adalah kecepatan disolusi dan V adalah volume larutan.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti
itu,

laju

obat

yang

terabsorbsi

terutama

akan

tergantung

pada

kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi


untuk suatu partikel obat lambat, misalnya karena karakteristik zat obat atau
bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan
tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang
larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut
mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang
tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa
obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus.
(Sinko, 1993)
Suatu produk obat padat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti
pelepasan obat, disolusi obat dalam media disolusi dan absorbsi melewat
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Obat yang masuk ke dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami proses absorbsi,
distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan
efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotranformasi, obat diekskresi dari dalam
tubuh. Kecepatan obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan tahapan yang
paling lambat dalam proses kinetika di atas, yang disebut rate limiting
step

atau tahap penentu. Laju disolusi bahan obat yang kelarutannya rendah dalam
air merupakan tahap paling lambat (Nyoman, 2009).
Laju disolusi obat secara dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi.
Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran
partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada
permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari
pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk
suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang
berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk
kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih
mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal.
2. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat
dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi
tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat,
ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat
menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa
bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks
tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi
menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang
diabsorpsi.
Kriteria penerimaan dalam uji disolusi dapat diuraikan sebagai berikut:
Tahap

Jumlah yang diuji

S1

S2

Kriteria penerimaan
Masing-masing unit tidak kurang dari
Q+5%
Harga Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2)

S3

adalah sama dengan atau lebih besar


dari Q dan tidak ada unit yang kurang
dari Q 15 %
Harga rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 +
S3) adalah sama dengan atau lebih
besar dari Q, dan tidak lebih dari 2
unit yang kurang dari Q 15 %.
(Shargel, 1988)

12

Terdapat 7 metode yang digunakan untuk uji disolusi yaitu :


1.

Apparatus 1
Metode Rotating Basket terdiri atas keranjang silindrik yang di tahan
oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam
suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup
0

dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37 C. Kecepatan beputar dan


posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP
yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk
meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi terlah
dipenuhi.
2.

Apparatus 2
Metode paddle atau alat 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapisi
khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh
pengadukan. Dayung diikat secara vertikel ke suatu motor yang berputar
dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan
dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk
memperkecil tuberlensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam
suatu bak air yang konstan, seperti pada metode rotating basket
0

dipertahankan pada suhu 37 C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan


dalam USP.
3.

Apparatus 3
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket and rack
dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka
cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama
pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini

jarang

digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama.
Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai
untuk uji pelarutan yang tepat.
(Shargel, 1988)
4.

Apparatus 4
Aliran melalui sel terdiri dari reservoir untuk medium disolusi dan
pompa yang memaksa medium disolusi melalui sel tahanan sampel uji.
Laju alir berkisar 4-16 mL/menit. Enam sampel diuji selama pengujian
disolusi, dan menengah dipertahankan pada 37C. Aparatus 4 dapat
digunakan untuk bentuk sediaan modified-release yang mengandung
bahan aktif yang memiliki kelarutan sangat terbatas.

5.

Apparatus 5
Aparatatus 5 terdiri dari pemegang sampel atau perakitan disk yang
memegang produk.Seluruh persiapan ditempatkan dalam labu disolusi
yang diisi media tertentu dipertahankan pada 32C. Dayung ditempatkan
langsung di atas perakitan disk. Sampel diambil di tengah antara
permukaan media disolusi dan bagian atas pisau dayung pada waktu yang
ditentukan. Mirip dengan pembubaran pengujian dengan kapsul dan
tablet, unit enam diuji selama masing-masing berjalan. Kriteria
penerimaan dapat dinyatakan dalam monografi obat individu.
(Shargel, 2004)

6.

Apparatus 6
Metode silinder (Apparatus 6) dengan menggunakan labu dari alat
1,kecuali keranjang dan tangkai pemutar diganti dengan elemen pemutar
silinder yang terbuat dari baja tahan karat dan suhu dipertahankan pada
0

32 selama penetapan berlangsung. Sediaan uji ditempatkan pada silinder


pada permulaan tiap penetapan. Jarak antara bagian dasar labu dan
silinder dipertahankan 25 mm 2 mm selama peenetapan.
7.

Apparatus 7

Alat yang terdiri dari satu rangkaian wadah volumetrik untuk larutan
yang sudah dikalibrasi atau ditara, terbuat dari kaca atau bahan inert lain
yang sesuai sebagai, sebuah rangkaian motor dan pendorong untuk
menggerakkan sistem secara horizontal secara otomatis ke deret labu
yang berbeda jika diinginkan, dan satu rangkaian penyangga cuplikan
berbentuk cakram. Wadah larutan sebagian terendam dalam sebuah
tangas air yang sesuai dengan ukuran yang memungkinkan

untuk

mempertahankan suhu bagian dalam wadah larutan 32 selama pengujian


berlangsung.
(Depkes RI, 1995)
Parasetamol memiliki bentuk hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau
dan memilik rasa pahit. Kelarutannya, larut dalam 70 bagian air, dalam 7
bagian etanol (95 %) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian
gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P (Depkes RI, 1979).
Uraian Uji Disolusi Tablet Paracetamol
Nama tablet

: Tablet Paracetamol

Apparatus

: Metode dayung (Apparatus 2)

Medium disolusi

: Buffer Phospat pH 5,8

Waktu

: 30 menit

Kecepatan

: 50 rpm

Suhu

: 37 C

Volume disolusi

: 900 mL

Metode

analisis

yang

digunakan

adalah

dengan

menggunakan

spektrofotometer UV dengan panjang gelombang maksimum 243 nm.


(Rowe, 2009)

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Alat uji disolusi
b. Apparatus 2 (paddle)
c. Gelas kimia
d. Holder filter
e. Labu takar
f. Kertas saring
g. Kuvet
h. Pipet volume
i. Pro pipet
j. Spektrofotometer Uv-Vis
k. Spoid 10 mL
l. Stopwatch
m. Termometer
2. Bahan
a. Air suling
b. Buffer posfat pH 5,8 900 mL
c. Tablet parasetamol 500 mg
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Medium Disolusi
a.
2. Pembuatan larutan Stok Induk Parasetamol
a. Disiapkan dan digerus tablet Parasetamol hingga halus
b. Ditimbang 50 mg serbuk Parasetamol yang telah digerus
c. Dilarutkan dengan aquadest secukupnya hingga larut di dalam gelas
kimia
d. Dipindahkan ke dalam labu takar 250 mL dan ditambahkan aquadest
hingga tanda batas.
e. Dihomogenkan

3. Pembuatan Seri Konsentrasi


a. Konsentrasi 50 ppm
1) Diambil 5 mL dari larutan stok induk Parasetamol
2) Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
3) Ditambahkan dengan aquadest hingga tanda batas.
4) Dihomogenkan
b. Konsentrasi 55 ppm
1) Diambil 5,5 mL dari larutan stok induk Parasetamol
2) Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
3) Ditambahkan dengan aquadest hingga tanda batas.
4) Dihomogenkan
c. Konsentrasi 60 ppm
1) Diambil 6 mL dari larutan stok induk Parasetamol
2) Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
3) Ditambahkan dengan aquadest hingga tanda batas.
4) Dihomogenkan
d. Konsentrasi 6,5 ppm
1) Diambil 6,5 mL dari larutan stok induk Parasetamol
2) Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
3) Ditambahkan dengan aquadest hingga tanda batas.
4) Dihomogenkan
e. Konsentrasi 70 ppm
1) Diambil 7 mL dari larutan stok induk Parasetamol
2) Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
3) Ditambahkan dengan aquadest hingga tanda batas.
4) Dihomogenkan
4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
a. Diisi kuvet bersih dengan larutan Parasetamol
b. Diisi kuvet blanko dengan air suling

c. Dibaca absorbansi (A) larutan Parasetamol pada kisaran panjang


gelombang 243 nm. Pada setiap pergantian panjang gelombang,
absorbansi dinolkan dengan larutan blanko
d. Ditentukan panjang gelombang maksimum dengan absorbansi yang
paling besar.
5. Pembuatan Kurva Baku
a. Dibuat seri konsentrasi larutan parasetamol
b. Dibaca absorbansi (A) pada panjang gelombang maksimum
c. Di plotkan data absorbansi yang didapat pada grafik dengan sumbu y
adalah absorbansi sedangkan sumbu x adalah konsentrasi (ppm)
d.

Ditentukan persamaan garis lurus dan nilai R

6. Pengujian disolusi tablet Parasetamol


a. Disiapkan alat disolusi yang mempunyai 6 buah labu disolusi dan 6
buah apparatus 2 (paddle)
b. Dimasukkan aquadest ke dalam chamber disolusi, setting pemanas pada
0

suhu 38 C, dipanaskan aquadest hingga mencapai suhu tersebut.


c. Diletakkan labu disolusi pada lubang di atas chamber disolusi.
d. Dimasukkan 900 mL media disolusi buffer posfat pH 5,8 pada masingmasing labu disolusi
e. Dipasang apparatus pada alat disolusi, dipastikan jarak dasar labu ke
apparatus seragam.
f. Dicek suhu medium disolusi menggunakan thermometer, dipastikan
suhu medium sesuai dengan suhu yang disyaratkan.
g. Ditutup labu disolusi, dipasang spuit 10 cc yang telah dihubungkan
dengan filter holder dan selang kecil berukuran 15 cm.
h. Dimasukkan keenam tablet parasetamol ke dalam masing-masing labu
disolusi melalui lubang yang tersedia.
i. Dioperasikan alat disolusi dengan kecepatan 50 rpm selama 36 menit
j. Diambil 5-10 mL sampel uji pada menit ke 1, 8, 15, 22, 29 dan 36

k. Dimasukkan 5 10 mL media disolusi dengan suhu yang sama ke


dalam labu disolusi untuk mengganti volume media disolusi yang telah
diambil sebagai sampel uji.
l. Diukur absorbansi (A) pada panjang gelombang dan dihitung
konsentrasi (ppm)
m. Dikonversikan nilai konsentrasi (ppm) tiap waktu ke dalam bentuk
persen jumlah terdisolusi dari tablet yang mengandung parasetamol 500
mg
7. Pembuatan Kurva Disolusi Tablet Parasetamol
a. Diplotkan data yang diperoleh dalam grafik profil disolusi dengan sumbu y
adalah persen terdisolusi dan sumbu x adalah waktu (menit)
b. Dihitung jumlah zat aktif yang terdisolusi pada setiap waktu sampling
c. Dibuat kurva antara % terdisolusi dengan waktu

E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Pengamatan
a. Pembuatan kurva baku parasetamol
Konsentrasi (ppm)
50
55
60
65
70
a: 0,0317

Absorbansi
0,191
0,334
0,501
0,671
0,822

b: 0,3994
r: 0,99877422
y: 0,03174x 0,3994
b. Pengujian disolusi
Waktu (menit)
1
8
15
22
29
36

Absorbansi
Pengenceran 5x Pengenceran 25x
0,7794
0,7794
1,8482
0,369
2,9106
0,58212
3,269
0,6538
3,269
0,6538
3,269
0,6538

Waktu
(menit)

Konsentrasi
(ppm)

1
8
15
22
29
36

34,322
55,735
62,429
64,688
64,688
64,688

Waktu (menit)
1
8
15
22
29
36

Konsentrasi
(x faktor koreksi)
34,322
56,021
63,179
65,958
66,497
67,036

Jumlah Terdisolusi
(%)
34,322
56,021
63,179
65,958
66,497
67,036

2. Perhitungan
a. Perhitungan larutan stok induk Parasetamol
50 mg
Konsentrasi larutan stok nduk
100 mL
b. Perhitungan seri konsentrasi
Konsentrasi 50 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
50 x 10 = 100 x V2
V2 = 5 mL
Konsentrasi 55 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
55 x 10 = 100 x V2
V2 = 5,5 mL
Konsentrasi 60 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
60 x 10 = 100 x V2
V2 = 6 mL
Konsentrasi 65 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
65 x 10 = 100 x V2
V2 = 6,5 mL

100 ppm

Konsentrasi 70 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
70 x 10 = 100 x V2
V2 = 70 mL
c. Konsentrasi
y = bx + a
a = - 1,3994
b = 0,3174

1) t= 1 menit
y 0,3174 - 1,3994
0,7794

0,3174 -

1,3994
1,3994 + 0,7794= 0,3174x
2,1788 = 0,3174x
x = 6,8645
Konsentrasi = 6,8645
= 6,8645

Faktor pengenceran

= 34,322 ppm
2) t= 8 menit
y 0,3174 - 1,3994
0,36964

0,3174 -

1,3994
0,36964 + 1,3994= 0,3174
1,76904 = 0,3174x
x = 5,5735
Konsentrasi = 5,5735 Faktor pengenceran
= 5,5735

25

= 139,3375 ppm
3) t= 15 menit
y

0,3174 - 1,3994

0,58212

0,3174 - 1,3994

0,58212+1,3994= 0,3174
1,98152 = 0,3174
x = 6,2429
Konsentrasi = 6,2429 Faktor pengenceran
= 6,2429

25

= 156,0725 ppm
4) t= 22 menit
y 0,3174 - 1,3994
0,6538

0,3174 -

1,3994
0,6538+1,3994 = 0,3174x
2,0532 = 0,3174
x = 6,4688
Konsentrasi = 6,4688 Faktor pengenceran
= 6,4688

25

= 161,72 ppm
5) t= 29 menit
y 0,3174 - 1,3994
0,6538

0,3174 -

1,3994
0,6538+1,3994= 0,3174
2,0532 = 0,3174
x = 6,4688
Konsentrasi = 6,4688 Faktor pengenceran
= 6,4688

25

= 161,72 ppm
6) t= 36 menit
y 0,3174 - 1,3994
0,6538

0,3174 -

1,3994
0,6538+1,3994 = 0,3174
2,0532 = 0,3174

x = 6,4688
Konsentrasi = 6,4688

Faktor pengenceran

= 6,4688

25

= 161,72 ppm
d. Faktor koreksi
1) t= 1 menit
34,322 ppm = C1
X = C1
X = 34,322 ppm
2) t= 8 menit
139,3375 ppm 2
Volume yang diambil
1)
2
Volume
medium
+(
7,5 mL
139,3375 ppm + (
34,322 ppm)
900 mL
139,3375 + 0,286 ppm
= 139,6235 ppm
3) t= 15 menit
156,0725 ppm

Volume yang diambil


33+(
Volume medium 1 + 2 )
7,5 mL
156,0725 ppm + (
34,322 ppm + 139,3375 ppm )
900 mL
156,0725 + 1,447 ppm
= 157,5195 ppm
4) t= 22 menit
161,72 ppm

Volume yang diambil


Volume medium 1 + 2 + )
139,3375 ppm + 156,0725 ppm + 161,72 ppm
161,72 ppm + 7,5 mL )
4 4+(

900 mL

161,72 + 3,8094 ppm


= 165,5294 ppm
5) t= 29 menit
161,72 ppm
5

5+(

Volume yang diambil

1+ 2+

Volume medium

+ 4 )

7,5 mL
161,72 ppm + (

139,3375 ppm + 156,0725 ppm + 161,72 ppm + 161,72 ppm)

900 mL
161,72 + 5,157 ppm
= 166,877 ppm
6) t= 36 menit
161,72 ppm

Volume yang diambil


6+(
Volume medium

1+ 2+

+ 4+ 5 )

7,5mL
161,72 ppm + (

139,3375 ppm + 156,0725 ppm +

900 mL
161,72 + 6,50475 ppm

161,72 ppm )

= 168,22475 ppm
e. Jumlah terdisolusi
(%)

konsentrasi has l pengujian

100 %

% terdisolusi
konsentrasi tablet
Konsentrasi tablet volume medium disolusi
1) t= 1 menit
% terdisolusi

34,322 ppm
555,5 ppm

100 %

=6%
2) t= 8
menit
% terdisolusi

139, 6235 ppm


555,5 ppm
= 25, 3 %

100 %

500 mg
900 mL

555,5 ppm

3) t= 15 menit
157,5195 ppm
555,5 ppm

% terdisolusi

100 %

= 28,35 %
4) t= 22
menit
% terdisolusi

165,5294 ppm

100 %

555,5 ppm
= 29,8 %

5) t= 29
menit
% terdisolusi

166,877 ppm
555,5 ppm

100 %

= 30 %
6) t= 36
menit
% terdisolusi

168,22475 ppm
555,5 ppm

100 %

= 30,28 %
3. Kurva
a. Kurva Baku

Absorbansi

Kurva Baku Parasetamol


0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

y = 0.03174x - 1.3994
R = 0.998

0102030

40

50

Konsentrasi(ppm)

60

70

80

b. Profil Disolusi

Profil Disolusi Tablet Parasetamol


80

% Terdisolusi

70
60
50
40
30
20
10
0

10

15

20

25

Waktu (menit)

30

35

40

F. Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Laju disolusi
adalah jumlah zat aktif dalam sediaan padat yang melarut dalam waktu tertentu.
Faktor yang mempengaruhi laju disolusi sediaan obat antara lain kelarutan,
ukuran partikel, dan kristalisasi obat.
Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem biologis
mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh. Oleh karena itu
konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa dan
ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami untuk
mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Sifat fisikokimia obat parasetamol mempengaruhi laju disolusi . Laju disolusi
dipengaruhi oleh bentuk amorf dan kristal. Dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa bentuk amorf dari obat lebih memberikan kelarutan yang besar dan laju
disolusi yang lebih tinggi daripada bentuk kristal. Polimorf merupakan bentuk
kristal obat yang terdiri lebih dari satu bentuk kristal. Polimorf menunjukkan
kinetika pelarut yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa polimorfisme dalam bentuk hidrat, solvate
atau kompleks secara nyata mempengaruhi karakteristik disolusi & obat. Laju
disolusi secara langsung berhubungan dengan permukaan obat. Jika daerah
permukaan diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel, laju disolusi menjadi
tinggi disebabkan pengurangan ukuran partikel.
Faktor formulasi dapat mempengaruhi laju uji disolusi. Berbagai

macam

bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika
pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat
melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.
Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat,
dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa
bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya

kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut
dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih
sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses
absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan
jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang
cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga
sebaliknya.
Mekanisme yang terjadi bila suatu obat di minum, disolusi merupakan fase
pertama dari kerja suatu obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat

perlu

dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat harus disintegrasi
menjadi partikel-partikel kecil agar dapat larut dalam cairan. Jadi disintegrasi
adalah pemecahan sediaan obat padat menjadi partikel-partikel yang lebih kecil,
disolusi melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan
gastrointestinal untuk diabsorpsi.
Dalam USP cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing
monografi obat. Pengujian merupakan cara yang efektif dalam menetapkan sifat
disolusi suatu obat yang berada dalam tubuh sangat besar tergantung pada adanya
obat dalam keadaan melarut. Karakteristik disolusi biasa merupakan sifat yang
penting dari produk obat yang memuaskan. Setiap tablet harus memenuhi
persyaratan seperti yang terdapat di dalam monografi untuk kecepatan disolusi.
Dalam percobaan ini tablet yang digunakan adalah tablet Parasetamol 500 mg.
Pemerian parasetamol berupa hablur atau serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa
sedikit pahit. Kelarutan parasetamol larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian
etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9
bagian propilenglikol P, larutan dalam alkalihidroksida.
Uji disolusi tablet parasetamol menggunakan apparatus 2 (metode dayung).
Pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai
pengaduk. Jarak antara daun dan dasar labu disolusi adalah 25 mm 2 mm.
Digunakan Apparatus 2 karena tablet parasetamol memiliki berat jenis yang tinggi
sehingga tidak memerlukan alat keranjang untuk menahan agar tablet

tidak

mengapung ke atas. Medium yang digunakan untuk tablet parasetamol adalah


buffer fosfat dengan pH 5,8. Buffer fosfat pH 5,8 digunakan untuk menyesuaikan
suasana cairan pada usus. Pengujian dilakukan pada suhu 37 C agar sesuai
dengan suhu fisiologis tubuh manusia dan kecepatan putaran apparatus 50 rpm
karena setara dengan kecepatan gerak peristaltik usus.
Tahap pertama adalah pembuatan kurva baku parasetamol. Kurva baku dibuat
dengan mengukur absorbansi larutan parasetamol dengan konsentrasi 50, 55, 60,
65, dan 70 ppm pada panjang gelombang 243 nm. Hal ini dikarenakan pada
rentang konsentrasi tersebut memberikan absorbansi antara 0,2 hingga 0,8,
dimana untuk penggunaan spektrofotometer UV-Vis absorbansi yang terbaca
adalah pada rentang 0,2 hingga 0,8. Tujuan kalibrasi adalah untuk meminimalkan
kesalahan pengukuran karena didalam tablet parasetomol terdiri dari bahan
tambahan lain sehingga kemugkinan akan mengganggu pembacaan konsentrasi
zat aktif parasetamol. Hasil pengukuran dapat dikaitkan atau ditelusur sampai ke
standar yang lebih teliti atau tinggi (standar primer nasional atau internasional)
melalui rangkaian perbandingan yang tidak terputus, dalam artian standar ukur itu
akan lebih baik apabila berupa standar yang rantainya mendekati SI sehingga
tingkat ketidakpastian (error) makin kecil. Berdasarkan data yang diperoleh, pada
konsentrasi

50

ppm absorbansinya sebesar

0,191,

konsentrasi 55 ppm

absorbansinya sebesar 0,334, konsentrasi 60 ppm absorbansinya sebesar 0,501,


konsentrasi 65 ppm absorbansinya sebesar 0,671, dan konsentrasi 70 ppm
absorbansinya sebesar 0,822. Sehingga diperoleh persamaan garis lurusnya adalah
y = 0,03174x 1,3994 dengan r = 0,99877. Hal ini merupakan hubungan
konsentrasi parasetamol dengan absorbansi. Titik konsentrasi untuk kurva
kalibrasi untuk tablet parasetamol yang seharusnya digunakan menurut literatur
adalah 4, 6, 8, 10, 12 dan 13 ppm.
Tahap terakhir adalah pengujian disolusi. Uji ini dilakukan dengan
memasukkan 900 mL dapar fosfat pH 5,8 sebagai media disolusi ke dalam labu
disolusi dan suhu diatur pada 37 . Setelah temperatur stabil, tablet parasetamol
dimasukkan pada labu disolusi, dan alat uji disolusi dijalankan dengan kecepatan
50 rpm. Diambil 7,5 mL pada menit ke 1, 8, 15, 22, 29 dan 36.

Setiap

pengambilan, volume yang terambil digantikan dengan medium yang baru dengan
volume dan suhu yang sama. Hal ini dimaksudkan agar pengujian disolusi berada
di bawah kondisi sink atau kondisi pengujian tanpa adanya pengaruh gradien
konsentrasi.

Pengambilan

dilakukan

dengan

menggunakan

spoid

yang

dihubungkan dengan filter holder. Filter holder bertujuan untuk menghindari


molekul-molekul parasetamol yang tidak larut ikut terambil yang dapat
mempengaruhi hasil pengujian karena konsentrasinya dapat berubah. Kemudian
larutan

yang

diambil

tersebut

diukur

kadarnya

dengan

menggunakan

spektrofotometer UV-Vis.
Sebelum mengukur absorbansi ditentukan dahulu panjang gelombang
maksimum. Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan agar hasil
absorbansi yang didapatkan berada dalam serapan yang maksimum sehingga
absorbansi yang didapatkan memiliki kepekaan yang tinggi. Menurut literatur,
panjang gelombang maksimum parasetamol adalah 243 nm sehingga diukur
absorbansi pada panjang gelombang dengan rentang 200- 300 nm. Panjang
gelombang

dengan

nilai

yang

besar

merupakan

panjang

gelombang

maksimumnya.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persen terdisolusi dari parasetamol
pada menit ke-1 yaitu 6 %; menit ke-8 25,3 %; menit ke-15 28,35 %; menit ke-22
29,8 %; menit ke-29 30 %; dan menit ke-36 30,28 %.
Menurut US Farmakope volume satu, tablet parasetamol dinyatakan lolos uji
disolusi jika dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80%. Dari hasil
percobaan disolusi tablet parasetamol yang telah dilakukan, dapat dikatakan uji
disolusi tidak memenuhi syarat uji disolusi yang ada pada literatur hal ini dapat
dikarenakan faktor formulasi dan juga adanya sifat fisika kimia obat.

G. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pengamatan dari percobaan yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase tablet parasetamol yang terdisolusi yaitu pada menit ke-1 yaitu 6 %;
menit ke-8 25,3 %; menit ke-15 28,35 %; menit ke-22 29,8 %; menit ke-29 30
%; dan menit ke-36 30,28 %.
2. Semakin lama waktunya, maka tablet parasetamol yang terlarut dan terdisolusi
semakin tinggi, naik pada menit ke 1, 8 dan 15, serta relatif konstan pada menit
ke 22, 29 dan 36.
3. Uji disolusi kali ini tidak memenuhi syarat uji disolusi yang ada pada literatur
hal ini dapat dikarenakan faktor formulasi dan juga adanya sifat fisika kimia
obat.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta.
Gunawi, dkk. 2011. Peningkatan laju disolusi tablet piroksikam menggunakan
polisorbat 80. Jurnal Acta Pharmaciae Indonesia. Volume 1. Nomor 1.
Nyoman, I Wijaya. 2009. Penentuan Shelf-Life Sediaan Kapsul Racikan dari
Tablet Karbamazepin. Jurnal Peneliti Eksakta Vol. 16 No. 22.
Raini, Mariana. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin
Inovator dan Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan Vol. 20 No. 2.
Rowe C.R, dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6 th edition
American PharmaceuticalAssociation. London, Chicago.
Shargel, Leon. 1988. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics 4
Mcgraw-Hill: Boston.

th

Ed.

th

Shargel, Leon. 2004. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics Edisi 5 Ed.


Mcgraw-Hill: Boston.
Sinko, Patrick J. 1993. Farmasi Fisik dan Ilmu Farmasetika Martin Edisi 5. EGC:
Jakarta.
Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. UII Press : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai