Anda di halaman 1dari 22

STTIF BOGOR

PERTEMUAN KE-III
TEKNOLOGI FARMASI
(TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL)

PREFORMULASI SEDIAAN STERIL


Presented by:
apt. M. Kenli Kendi Tampoliu, M.Farm.
Department of Pharmacy
Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi Bogor
mkenlikt@sttif.ac.id

sttif.ac.id 1
STTIF BOGOR
JADWAL & MATERI PERKULIAHAN
Pertemuan ke-
1 & 2. Pendahuluan & Pengembangan Sediaan Steril
3. Preformulasi Sediaan Steril
4. Sediaan Steril
5. Eksipien Sediaan Steril
6. Evaluasi Sediaan Steril
7. UTS

sttif.ac.id 2
STTIF BOGOR

Kemampuan akhir yang diharapkan:

• Mahasiswa mampu menjelaskan tentang preformulasi


sediaan steril.

sttif.ac.id 3
STTIF BOGOR
SUB BAGIAN MATERI

1. Sifat fisiko kimia bahan aktif obat


2. Tonisitas

sttif.ac.id 4
STTIF BOGOR
Sifat Fisiko Kimia Bahan Aktif Obat

1. Struktur dan bobot molekul 9. Kelarutan


2. Warna dan bau 10. Profil kelarutan – pH
3. Suhu lebur 11. Potensi polimorfisme
4. Profil analitik termal 12. Pembentukan solfat
5. Ukuran dan bentuk partikel 13. Spektra absorbans
6. Potensial higroskopisitas 14. Stabilitas cahaya
7. Konstanta ionisasi 15. Stabilitas termal
8. Aktivitas optik 16. Profil stabilitas pH

sttif.ac.id 5
STTIF BOGOR
Struktur dan Bobot Molekul
• Peneliti dapat membuat penilaian awal yang menyangkut sifat potensial dan
reaktivitas fungsional dari molekul bahan aktif obat.

Warna
• Warna merupakan fungsi inheren kimia obat terkait dengan ketidakjenuhan.
• Intensitas warna terkait dengan keberadaan konyugasi ketidakjenuhan di
samping keberadaan kromofor, seperti -NH2, -NO2, dan -CO- (keton) yang
mengintensifkan warna.
• Peningkatkan pembentukan warna pada kondisi “stress” panas, oksigen,
dan cahaya.
• Perubahan warna signifikan dapat merupakan faktor pembatas dari usia
guna (shelf life) produk parenteral.
• Perubahan warna dari larutan harus direkam dengan membandingkan
dengan warna standar (fotometer) jika intensitas warna dalam larutan
proposional dengan konsentrasi.
sttif.ac.id 6
STTIF BOGOR
Bau
• Obat kemungkinan memiliki bau yang inheren (terkait) dengan keberadaan
gugus fungsional yang terdapat dalam molekul obat, misal belerang atau
bawang putih terkait dengan sulfida, sulfoksida, sulfhidril.
• Bau amoniak terkait dengan fungsi amin.
• Adakalanya zat sama sekali tidak berbau, atau dapat berbau residu pelarut.
• Dalam farmakope ada ketentuan batas maksimal pelarut yang
diperbolehkan ada dalam obat ( terutama alasan toksisitas).

sttif.ac.id 7
STTIF BOGOR
Bentuk, Ukuran Partikel, Kristalinitas
• Ukuran partikel obat yang larut dalam air tidak merupakan masalah, kecuali
kalau berada dalam bentuk agregat besar.
• Adakalanya diperlukan untuk meningkatkan kecepatan pelarutan untuk
mengurangi waktu proses manufaktur.
• Dilakukan penggilingan dan pengayakan melalui ayakan yang sesuai untuk
mencapai ukuran tertentu.
• Karakteristik ukuran dan bentuk partikel dapat ditentukan dengan mikroskop,
alat polarisasi yang dapat membuat foto bentuk dan ukuran partikel atau
dengan mikroskop elektron.
• Karakteristik morfologi bahan aktif obat direkam melalui sketsa melalui
fotomikrograf, merupakan dokumen permanen untuk dibandingkan dengan
bets selanjutnya.
• Mikroskop polarisasi juga digunakan untuk menentukan senyawa berbentuk
kristalin atau amorf.

sttif.ac.id 8
STTIF BOGOR
Suhu Lebur
• Suhu lebur suatu bahan secara termodinamika didefinisikan sebagai suatu
suhu dimana fasa cair dapat berada dalam kesetimbangan seperti pada
ekuasi:
• Penentuan suhu lebur merupakan indikasi pertama dari kemurnian bahan
karena keberadaan jumlah relative kecil pengotor dapat terdeteksi dengan
penurunan atau pelebaran rentang suhu lebur.
• Pada saat melebur sifat-sifat tertentu dari zat dapat diidentifikasi seperti
perubahan dramatis volume, peleburan dan rekristalisasi, pengeluaran gas,
serta perubahan warna atau perubahan fisika lainnya.
• Perilaku tersebut dapat merupakan indikasi perubahan signifikan seperti
transisi polimorfisme, disolusi, oksidasi, atau dekarboksilasi.

sttif.ac.id 9
STTIF BOGOR
Profil Analitik Termal
• Selama sintesis dan isolasi, sampel kemungkinan diekspose terhadap
perubahan suhu-lingkungan-proses yang dapat menunjukkan profil termal
apabila sampel dipanaskan antara suhu kamar dan suhu leburnya.
• Apabila tidak ada masalah karena panas, sampel tidak akan mengabsorpsi
atau melepas panas sebelum mencapai suhu leburnya.
• Selama proses peleburan dapat terjadi bermacam fenomena, seperti
penguraian, transformasi polimorfisme, pelepasan hidrat, solvat.
• Pengujian melalui
– DTA (Differential thermal analysis)
– DSC (Differential scanning calorimetry)
– TGA (Thermo gravimetric analysis)

sttif.ac.id 10
STTIF BOGOR
Higroskopisitas
• Senyawa dinyatakan higroskopis jika menarik/mengambil (uptake)
kelembaban dan suhu pada kondisi spesifik dalam jumlah signifikan.
• Tingkat higroskopisitas yang tinggi dapat mempengaruhi efek yang tidak
dikehendaki dari sifat fisika dan kimia suatu bahan aktif obat yang
menyebabkan perubahan secara farmasetik sulit atau tidak mungkin
dilakukan penanganan (pengolahan) secara memuaskan.
• Larutan garam jenuh untuk pengontrolan kelembaban yaitu:
Zat % Kelembaban relatif Suhu (C)
Kalsium asetat, KC2H3O2 20 20
Kalsium klorida, CaCl2.6H2O 31 24,5
Kalium tiosianat, KSCN 47 20
Natrium nitrit, NaNO2 66 20
Natrium asetat, NaC2H3O2.3H2O 76 20
Seng sulfat, ZnSO4.7H2O 90 20

sttif.ac.id 11
STTIF BOGOR
Spektra Absorbans
• Molekul dengan struktur tidak jenuh mampu mengabsorpsi cahaya pada
rentang frekuensi spesifik.
• Derajat ketidakjenuhan yang diikuti dengan keberadaan gugus kromofor
akan mempengaruhi jumlah absorpsi, baik sinar ultraviolet (400 – 190 nm)
maupun sinar tampak (9800 – 400 nm) akan diabsorpsi.
• Spektra ultraviolet dan sinar tampak dari berbagai bahan aktif dapat dirujuk
dari pustaka (missal BP-2007 dan buku-buku lain).

sttif.ac.id 12
STTIF BOGOR
Kelarutan
• Kelarutan adalah fungsi dari struktur kimia.
• Garam asam atau basa mempresentasikan kelompok obat yang dapat
mencapai kelarutan obat dalam air yang dibutuhkan.
• Kelas obat lain, tidak baik berupa molekul netral maupun asam atau basa
sangat lemah (umumnya) tidak dapat disolubilisasi dalam air dalam rentang
pH yang sesuai, sehingga adakalanya memerlukan penggunaan pelarut
nonair.
• Pelarut tersebut adalah PEG 300 dan 400, propilenglikol, gliserol, etilalkohol,
minyak lemak, etiloleat, dan benzilbenzoat.

sttif.ac.id 13
STTIF BOGOR

Penentuan kelarutan
• Data kelarutan tersebut ditentukan menurut cara yang sudah dibakukan
dalam Farmakope.
• Penting pula untuk menentukan kelarutan pada suhu lemari pendingin (2 –
80C) dengan menggunakan pelarut, untuk membuktikan bahwa data
kelarutan potensial digunakan dalam studi preformulasi.
• Hal ini dilakukan untuk menetapkan rentang konsentrasi yang akan
digunakan pada suhu 2 – 5 C, tanpa risiko terjadinya kejenuhan (saturasi)
dan pertumbuhan kristal selama studi stabilitas.

sttif.ac.id 14
STTIF BOGOR
Profil pH kelarutan
• Senyawa dengan fungsional baik asam maupun basa, akan memperlihatkan
karakteristik kelarutan dengan perubahan pH larutan sesuai dengan
konstanta ionisasinya.
• Profil pH-kelarutan dapat ditetapkan dengan melakukan eksperimen kelarutan
pada rentang pH 3 sampai 4,5 atau pH pada kedua sisi pKa atau pKa atau
pK’a.
• Hubungan antara kelarutan dan obat asidik dari pH dapat didefinisikan dari
segi pKa menggunakan ekuasi:
𝐶𝑠
𝑝𝐻 = 𝑝𝐾𝑎 + 𝑙𝑜𝑔
𝐶𝑎
Diamana
pKa = logaritma negatif dari konstanta ionisasi asam
[Cs] = konsentrasi molar dari bentuk garam dalam air
[Ca] = konsentrasi molar dari asam bebas dalam

sttif.ac.id 15
STTIF BOGOR

• Dengan mengetahui pKa, [Ca], dan pH, jumlah total obat yang dapat
disolubilisasi dalam air pada pH tersebut dapat dihitung.
• Kelarutan total St dari asam lemah diberikan oleh ekuasi
𝑆𝑡 = 𝐶𝑟 − 𝐶𝑠
• Ekuasi yang analog dapat dibuat untuk basa lemah
𝑆𝑡 = 𝐶𝑟 + 𝐶𝑠
• Penentuan kelarutan ditentukan pada berbagai pH, dan dari data hasil
penelitian dibuat kurva yang menggambarkan hubungan kelarutan sebagai
fungsi dari pH.
• Prosedur ini sangat berguna untuk asam atau basa yang relatif tidak larut,
yang tidak mengalami hidrolisis secara cepat, terutama bila jumlah bahan
aktif obat tersedia dalam jumlah terbatas.

sttif.ac.id 16
STTIF BOGOR
Metode untuk meningkatkan kelarutan inheren

Pembentukan garam

Kosolven

Kompleksasi

Pendekatan prodrug

sttif.ac.id 17
STTIF BOGOR
Koefisien Partisi (P)
• Koefisien partisi merupakan ukuran hipofilisitas dari suatu senyawa.
• Diukur dengan menetapkan konsentrasi kesetimbangan suatu obat dalam
suatu fasa air (biasanya air) dan suatu fasa minyak (biasanya oktanol atau
kloroform) yang satu dan lainnya berkontak pada suhu konstan.

𝐶𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘
𝑃=
𝐶𝑎𝑖𝑟
• Kemampuan suatu molekul obat melewati suatu membrane pada lokasi
absorpsi dapat dikaitkan dengan koefisien partisi minyak-air dari obat.
• Pada kasus sediaan emulsi parenteral, nilai P digunakam sebagai indikasi
dari durasi aktivitas yang akan dicapai obat.
• Jika koefisien partikel tinggi/besar (menguntungkan fasa lipid), maka dapat
diharapkan munculnya efek “depot” dari obat terlarut dalam fasa minyak.

sttif.ac.id 18
STTIF BOGOR
Konstanta Ionisasi
• Konstanta ionisasi memberikan informasi tentang ketergantungan kelarutan
dari senyawa pada pH formulasi.
• pKa biasanya ditentukan secara titrasi potensiometrik pH atau analisis pH
kelarutan.

sttif.ac.id 19
STTIF BOGOR
Aktivitas Optikal
• Molekul yang mampu memutar cahaya dan cahaya terpolarisasi secara
merata dinyatakan sebagai aktif secara optik.
• Jika suatu bahan memutar bidang polarisasi ke kanan atau searah jarum
jam dengan sudut α, maka bahan tersebut dinyatakan memutar ke kanan
(dekstro rotary).
• Sebaliknya, suatu bahan yang memutar bidang polarisasi ke kiri
(berlawanan dengan arah jarum jam) dinamakan levorotary.
• Cara penandaan lain dengan huruf (d) atau (+) dan (l) atau (-).
• Rotasi spesifik beberapa bahan aktif dalam sediaan parenteral:
Senyawa [α] D Suhu (0C) C Pelarut
Larutan asam askorbat +48 23 1 Metanol
Benzil penisilin +269 20 0,6 Metanol
Epinerfin -52 25 2 0,5 N HCl

sttif.ac.id 20
STTIF BOGOR
Daftar Pustaka
• Kemenkes RI. Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Kemenkes RI;
2020.
• Agoes G. Seri Farmasi Industri-4: Sediaan Farmasi Steril. Bandung:
Penerbit ITB; 2009, h 1 – 17.
• Rowe RC, PJ Sheskey, ME Quinn. Handbook of Pharmaceutical
Exicipients Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press; 2009.
• Salvatore T. Sterile Dosage Form: Their Preparation and Clinical
Application, 3 rd edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 1994.
• Ayuhastuti A. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Jakarta: Kemenkes
RI; 2016.
• Niazi S. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations
Sterile Products Volume 6. London: CRC Press; 2004.
• Gad SC. Pharmaceutical Manufacturing Handbook: Production and
Processes. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., Publication; 2008, p
99 – 103.
sttif.ac.id 21
STTIF BOGOR

sttif.ac.id 22

Anda mungkin juga menyukai