Anda di halaman 1dari 23

MODUL 9

DISOLUSI

9.1. TUJUAN
1. Mampu memahami teknis uji disolusi.
2. Mampu menghitung kadar obat terdisolusi.
3. Mempu membuat profil disolusi.
9.2. PRINSIP
1. Berdasarkan pada penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet CTM.
2. Berdasarkan kadar CTM yang terdisolusi dalam media air suling dengan
menggunakan diselator.
9.3. TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji
disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep
(Martin,1993)
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan
pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut
dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi
(Ansel, 1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat
diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang
terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus pembatas
membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin
karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya
sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel,
1989).
9.3.1. Mekasnisme Disolusi
Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode:
(Effendi, 2005)
1. Metode Suspense
Bubuk zat padat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak
terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu
tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat
dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada
metode suspensi.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan
padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada
waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan
difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif
ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-
partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.
Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya
dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan
menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
(Amir, 2007).
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan (Shargel,
1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan
zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu
diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat
berharga tentang konsistensi dari batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini
didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di
dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi
(Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada
zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik (Voigt, 1995).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990)
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua,
difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Massa larutan dengan konsentrasi = Ct


Kristal
Lapisan film (h) dgn konsentrasi = Cs

Gambar 9.3.1. Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul


obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu
lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat.
Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-
molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan
membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut
(Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu
partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak
hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal
dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan
bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993).
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh
dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-
sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan
dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-
faktor fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian
(Martin, 1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih
cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak membutuhkan
prose melarut (Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia,
termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas
permukaan, dan sifat-sifat pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan
dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat membantu mengidentifikasi daerah
masalah bioavailabilitas potensial (Lachman, 1994).
Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk
yang menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk diabsorpsi.
Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-
obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin berupa suatu unsure yang normal
dari system saluran cerna atau suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel,
1989)
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu
dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat dilakukan pada
beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap preformulasi, tahap
formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas
permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor lainnya yaitu
keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi.
Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul organic lebih mudah larut daripada
anhidratnya (Ansel, 1989).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi
telah masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak
tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan
disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien
terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan
informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
9.3.2. Invitro
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukan (Ansel, 1989):
A. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
B. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavabilitas
dan efektif secara klinis.
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi
dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : (Ansel, 1989).
A. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses
invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi
invivo.
B. Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya
dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
C. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur
pengendalian mutu untuk produk akhir.
D. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda
dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan
ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
E. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi
dan manufaktur.
F. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
G. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara
dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten
tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja,
kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan system
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul
bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-
granul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya
ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang
berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari
apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel,
1989).
9.3.3. Faktor Faktor Kecepatan Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin,
1993):
A. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat
yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
B. Medium
MediumMedia yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl.
Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik
yang dapatmerubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk
menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink
sehinggan kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor
penentu dalam proses disolusi.
Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat aktif
denganvolume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih
besardaripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan
jenuh.Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari
mediumsebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam
medium karenasuhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat
menaikkan kecepatanmelarut.3.
C. Kecepatan Perputaran
Kecepatan PerputaranKenaikan dalam pengadukan akan mempercepat
kelarutan. Umumnyakecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm.
Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat
dipakai untuk membeda-bedakanhasil kecepatan melarut. Bilamana
ternyata bahwa kecepatan, pengadukan perlu lebih dari 100 rpm
maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm.
Walaupun 4% penyimpangan masihdiperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan
D. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau
keranjang,tinggi dan ketepatan posisi dayung / keranjang yang harus
sentris. Letakyang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang
tinggi, karena hal iniakan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat
di dalam bejana.
E. Goyangnya Poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi
karenadapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam
medium.Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam
posisi sama bagisetiap percobaan karena masalah yang timbul karena
adanya poros yanggoyang akan dapat lebih mudah dideteksi
F. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi.
Hampirsemua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas
penangas airatau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin
dapat membantu,tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan
kelurusan harus dicek.
G. Gangguan Pola Aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi
dapatmengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil
cuplikan sertaadanya filter pada ujung pipet selama percobaan
berlangsung dapatmerupakan penyebabnya.
H. Posisi Pengambil Cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di
antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan
karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling
baik pengadukannya.
I. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh
tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa
mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya
sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran
partikel dari zat berkhasiat Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan,
penyalutan terutama denganshellak dan tidak memadainya zat
penghancur.
J. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
K. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah:
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah:
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
L. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h).
jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan
cepat berkurang.
M. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
N. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.
Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat
kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih
mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya
besar.
O. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan
permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga
zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.
P. Kalibrasi Alat Disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal
inimerupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa
melakukannyatidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat.
Untuk mencek alatdisolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi
yaitu tablet prednisolon50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes
dilakukan pada kecepatandayung atau keranjang 50 dan 100 rpm.
Kalibrasi harus dilakukan secarateratur minimal setiap enam bulan
sekali.Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut
setelahdiajukan dalam batasan-batasan kuantitatif. Oleh Noyes dan
Whitney padatahun 1897 dan telah dikerjakan dengan teliti oleh
peneliti-peneliti lain, persamaan tersebut bisa dituliskan sebagai
berikut (Martin,1993):

Dimana M adalah massa terlarut yang dilarutkan pada waktu t. dt / dm


adalah koefisien laju disolusi dari massa tersebut (massa/waktu) D
adalahkoefisien difusi dari zat terlarut dalam larutan.h ketebalan lapis
difusi, C3 kelarutan dari zat padat, yakni konsentrasi larutan jenuh dari
senyawa tersebut.
Pada temperature percobaan. Dan C adalah konsentrasi zat terlarut
pada waktut. Besarnya dt / dc adalah laju disolusi dan K adalah
volume larutan.Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya
dimasukkan kedalam beaker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam
saluran cerna (saluran gastro intestinum), obat tersebut mulai masuk
ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak
dilapisi polimer. Matriks dapat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul. Dan granul-granul inimengalami pemecahan menjadi
partikel - partikel yang halus. Disintegrasi dengan segala dan disolusi
bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari
bentuk dimana obat tersebut diberikan. Tahapan - tahapan ini
dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada gambar
(Martin,1993).

9.3.4. Metode Penentuan Kecepan Disolusi


Terdapat 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):
A. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-
waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang
sesuai.
B. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya
zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti
pada metode suspensi.
9.3.5. Prinsip Kerja Alat Disolusi
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen
POM, 1995) :
Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu
370C.
Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya
tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel wadah dan berputar
dengan halus tanpa goyangan yang berarti.
9.3.6. Uraian Bahan
A. Air Suling (Aquadestilata)

Nama resmi : AQUA DESTILLATA


Sinonim : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02
Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Mediium Disolusi
B. CTM (Chlorpeniramini Maleat)

Tablet klorfeniramin maleat mengandung klorfeniramin Maleat,


C16H19ClN2.C4H4O4, tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0 %
dari jumlah yang tertera pada etiket.
Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau.
Larutan mempunyai pH antara 4 dan 5.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan
kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena.
(FI IV: 210 )
Inkomtabilitas : CTM akan mengendap bila direaksikan dengan
meglumine iodipamide.
Klorfeniramin maleat adalah turunan alkilamin yang
merupakan antihistamin dengan indeks terapetik (batas keamanan) cukup
besar dengan efek samping dan toksisitas yang relatif rendah.
Klorfeniramin maleat merupakan obat golongan antihistamin penghambat
reseptor). Pemasukan gugus klor pada posisi para cincin aromatik
feniramin maleat akan meningkatkan aktifitas antihistamin. Berdasarkan
struktur molekulnya, memiliki gugus kromofor berupa cincin pirimidin,
cincin benzen, dan ikatan C=C- yang mengandung elektron pi ()
terkonjugasi yang dapat mengabsorpsi sinar pada panjang gelombang
tertentu di daerah UV (200-400 nm), sehingga dapat memberikan nilai
serapan (Rohman, 2007).
Spektrum serapan UV klorfeniramin maleat bergantung kepada
pelarutnya. Pada suasana netral klorfeniramin maleat memberikan serapan
maksimum pada panjang gelombang 261 nm, sedangkan dalam metanol
klorfeniramin maleat memberikan serapan maksimum pada panjang
gelombang 250-275 nm (Florey, 1983).
Mekanisme kerja klorfeniramin maleat adalah sebagai
antagonis reseptor H1, klorfeniramin maleat akan menghambat efek
histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos;
selain itu klorfeniramin maleat dapat merangsang maupun menghambat
susunan saraf pusat). Klorfeniramin maleat memberikan efek samping
walaupun juga bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan
diteruskan. Efek samping yang sering terjadi adalah sedatif, gangguan
saluran cerna, mulut kering, kesukaran miksi. Kontraindikasi dari
klorfeniramin maleat ini menimbulkan aktivitas antikolinergik yang dapat
memperburuk asma bronkial, retensi urin, glaukoma. Klorfeniramin
memiliki interaksi dengan alkohol, depresan syaraf pusat, anti kolinergik
(IONI, 2001; Tjay, 2002)

9.4. ALAT DAN BAHAN


9.4.1. Alat
Spuit, tabung reaksi, beaker glas 500 ml, stopwatch, dayung,
spektrofotometer uv - vis, tisu, botol semprot, dan alat disolusi.
9.4.2. Bahan
CTM dan aqua dest.

9.5. PROSEDUR
Dibuat kurva baku dengan konsentrasi larutan induk 100 ppm, lalu dibuat
pengenceran dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, dan 60
ppm, diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 261,40 nm.
Disetting disolatornya suhu yang digunakan 37C lalu diatur kecepatan
putarannya 50 rpm pada waktu 45 menit, masukkan tabung disolusi berisi 500 ml
aquadest lalu dimasukkan 1 tablet CTM kemudian dayung diputar dengan kecepatan
yang sudah diatur Diambil dengan syringe sebanyak 5ml setiap 3 menit, 5 menit, 10
menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, dan 30 menit, lalu diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 261,40 nm

9.6. DATA PENGAMATAN


9.6.1. Kurva Baku
Konsentrasi Absorbansi
10 0,223
20 0,237
30 0,265
40 0,288
50 0,315
60 0,334
Kurva Baku CTM
0.4

0.3 f(x) = 0x + 0.2


R = 0.99
Absorbansi
0.2
Absorbansi Linear (Absorbansi)
0.1

0
0 10 20 30 40 50 60 70

Konsentrasi

9.6.2. Tebel Kadar Obat Terdisolusi


Waktu Absorbansi Konsentrasi Faktor Bobot %
(Menit) (ppm) Koreksi Koreksi Terdisolusi
3 0,222 13,5 0 13,5 168,75 %
5 0,257 31 0,135 31,135 389,1 %
10 0,297 51 0,311 51,446 643,075 %
15 0,219 12 0,31446 12,760 159,506 %
20 0,223 14 0,1276 14,889 186,113 %
25 0,243 24 0,148 25,036 312,195 %
30 0,240 30 0,2504 31,286 391,080 %

9.7. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membahas mengenai Disolusi pada tablet CTM
dengan tujuan untuk mampu memahami teknis uji disolusi, mampu menghitung kadar
obat terdisolusi, dan mampu membuat profil disolusi.
Pada percobaan uji disolusi, pertama dilakukan pembuatan kurva baku
menggunakan tablet CTM (chlorpheniramin Maleat) untuk mencari panjang
gelombang maksimal yg akan digunakan. CTM yg sudah ditimbang dilarutkan dlm
labu ukur 100 ml dan di lakukan pengenceran dengan 20, 30, 40, 50, dan 60 ppm
serta didapat persamaannya yaitu Y = 0,002x + 0,195 dengan R2 = 0,994. Panjang
gelombang maksimal yang didapat yaitu 261,4 nm. Hasil tadi sesuai literature dalam
Farmakope Indonesia edisi ke IV halaman 221 menyatakan bahwa klorfeniramin
maleat BFPI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum
lebih kurang dari 262 nm.
Tablet CTM dimasukkan pada tabung yang berisi aquadest 500 ml dan
disiapkan tabung satunya yang berisi aquadest saja. Medium disolusi yang digunakan
aquadest karena CTM mudah sekali larut dalam air dan didalam tubuh sebagian besar
adalah air. Suhu pada uji disolusi digunaka 37 derajat celcius karena pada suhu
tersebut sama dengan suhu tubuh manusia. Jarak antara permukaan tabung dengan
dayung tidak kurang 1 cm. Dayung diputar dengan kecepatan 50 rpm. Setelah menit
ke 3, diambil 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah 5 ml aquadest
ke dalam tabung yg berisi CTM, dari tabung yang hanya berisi aquadest saja hal ini
bertujuan agar volume yang ada di dalam tabung berisi CTM tetap pada volume 500
ml dan juga untuk mengencerkan. Selanjutnya dilakukan kembali pada menit ke 5,
10, 15, 20 ,25 dan 30. Tiap larutan CTM yang diambil di ukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometri uv - vis dengan panjang gelombang 261,4 nm. Menit
ke 3, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 diperoleh hasil persen terdisolusinya yaitu 168,75%,
391,438%, 643,075%, 159,506%, 186,113%, 312,195% dan 391,080%.
Menurut farmakope indonesia, kadar yang diperoleh pada tablet CTM yaitu
75% dalam waktu kurang dari 45 menit. Hal ini karena tablet CTM harus memenuhi
syarat dapat melarut dengan baik dan dapat terjadi absorbsi melalui lambung dan usus
sesuai efek yang ditetapkan.
Persen terdisolusi yg didapat dari hasil percobaan melebihi 75%. Kesalahan ini
kemungkinan saat pengambilan CTM karena untuk memgambil larutannya tidak
mengenai dasar tabung atau dayung, kemungkinan sediaan tablet CTM mempunyai
kandungan lain sehingga % terdisolusinya besar, bias disebabkan factor aqua destilata
yang keruh, atau pada saat absorbansi. Adanya zat yang lain selain CTM dan aquadest
bias menyababkan presentase menjadi tidak akurat.

9.8. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa presentase disolusi pada
tablet CTM yaitu melebihi kadar sebenarnya yaitu sekitar 75% sedangkan presentase
yang didapat pada praktikum kali ini yaitu pada menit ke 3, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30
diperoleh hasil persen terdisolusinya yaitu 168,75%, 391,438%, 643,075%,
159,506%, 186,113%, 312,195% dan 391,080%.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C.(1985). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi .Jakarta. UI Press.


Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV.
Jakarta: Departemen Kesehatan R
Martin. A, Et all. (1993). Farmasi Fisika Edisi III Bagian 2. Jakarta: Penerbit UI
Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek - Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Gennaro, A. R., et all. 1990. Remingtons Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th,
Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania
LAMPIRAN

1. Perhitungan persentase kadar obat terdisolusi


a. Konsentrasi
y = 0,002x + 0,195
0,222 = 0,002x + 0,195
0,027 = 0,002x
13,5 = x

y = 0,002x + 0,195
0,257 = 0,002x + 0,195
0,062 = 0,002x
31 = x

y = 0,002x + 0,195
0,297 = 0,002x + 0,195
0,102 = 0,002x
51 = x

y = 0,002x + 0,195
0,219 = 0,002x + 0,195
0,024 = 0,002x
12 = x

Y = 0,002x + 0,195
0,223 = 0,002x + 0,195
0,028 = 0,002x
14 = x

Y = 0,002x + 0,195
0,243 = 0,002x + 0,195
0,045 = 0,002x
24 = X

Y = 0,002x + 0,195
0,243 = 0,002x + 0,195
0,098 = 0,002x
24 = X

Y = 0,002x + 0,195
0,240 = 0,002x + 0,195
0,045 = 0,002x
22,5 = X

b. Faktor Koreksi
Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x0
500

=0

Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 13,5
500

= 0,135

Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 31,135
500

= 0,311

Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 51,446
500

= 0,51446
Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 12,760
500

= 0,12760

Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 14,889
500

= 0,148

Vdiambil
FK = x BK
Vmedia
5
FK = x 25,036
500

= 0,2504

c. Bobot Koreksi
BK = K + FK
= 13,5 + 0
= 13,5
BK = K + FK
= 31 + 0,135
= 31,13
5
BK = K + FK
= 51 + 0,311 + 0,135
= 51,44
6
BK = K + FK
= 12 + 0,31446 + 0,311 + 0,135
= 12,76
0
BK = K + FK
= 14 + 0,1276 + 0,31446 + 0,311 + 0,135
= 14,88
9
BK = K + FK
= 24 + 0,148 + 0,1276 + 0,31446 + 0,311 + 0,135
= 25,03
6
BK = K + FK
= 30 + 0,2504 + 0,148 + 0,1276 + 0,31446 + 0,311 +
= 31,28
0,135
6

d. % Terdisolusi
BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm
13,5
x 100 % = 168,75 %
8

BK
Terdisolusi=
ppm x 100 %

31,135
x 100 % = 389,1 %
8

BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm
51,446
x 100 % = 643,075 %
8

BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm
12,760
x 100 % = 159,506 %
8

BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm
14,889
x 100 % = 186,113 %
8

BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm

25,036
x 100 % = 312,195 %
8

BK
Terdisolusi= x 100 %
ppm
31,286
x 100 % = 391,080 %
8

Anda mungkin juga menyukai