Anda di halaman 1dari 6

Koefisien Distribusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH, larutan dan untuk jumlah yang lebih kecil, bergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin, 1999; 556). Jika kelebihan cairan atau zat pelarut ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu (Martin, 1999 ; 622). Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan kesetimbangan menjadi C1 =K C2 Tetapan kesetimbangan K dikenal sebgai perbandingan distribusi, koefisien distribusi atau koefisien partisi. Persamaan yang dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dapakai

dalam larutan encer dimana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1999 ; 622). Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama harus

menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas lemak untuk kebanyakan

obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-zat yang larut dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari efekefek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian (Ansel,2005). Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1999 ; 637). Secara kuantitatif kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di

dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu, kelarutan dinyatakan dalam mililiter pelarut yang dapat melarutkan suatu gram zat, pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisika dan kimia zat-zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat diabsorbsi setelah zat aktifnya larut dalam cairan tubuh sehingga salah satu usaha mempertinggi efek farmakologinya dari sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya (Martin, 1999 ; 627 ). Perlu diketahui bahwa perbandingan kelarutan ini dipengaruhi juga oleh beberapa faktor seperti yang telah disinggung seperti faktor suhu. Faktor lain yang berpengaruh adalah pH larutan. Hubungan ini dapat terlihat sebagai berikut : [HA]w = C/Kq + 1 + Ka /[H3O+] (Tim Penyusun, 2007 ; 25).

Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999 ; 89 ). Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999). Cara pengukuran bobot jenis ada beberapa cara antara lain : (Effendi, 2003; 225). Piknometer (biasanya terbuat dari kaca bentuk erlenmeyer kecil dengan kapasitas antara 10 ml sampai 50 ml). 1. Hidrometer berupa pipa kaca yang ujungnya tertutup dan bagian bawahnya tertutup dan diberi pemberat pada bagian bawah. Bila lat ini dicelupkan dalam cairan yang akan diperiksa maka angka menunjukkan bobot jenisnya. 2. Mohr-Westphal Balane. Alat ini hampir sama dengan neraca lengan kiri berisi tabung kaca dengan pemnberatnya (sehingga bila dicelupkan dalam cairan yang akan diperiksa akan tenggelam). Selanjutnya lengan sebelah kanan berisi pemberat yang dapat ditambahkan dan dapat dikurangi. Jumlah pemberat yang berada dalam keadaan kesetimbangan dengan gaya tolak cairan menunjukkan bobot cairan yang dipindahkan sejumlah volume tabung tersebut. Prinsip penentuan ini sebenarnya berdasar prinsip hukum Archimedes. Bila benda dicelupkaqn dalam air

maka benda tersebut akan mendapat perlawanan (gaya ke atas) sebesar jumlah air yang dipindahkan. Pengujian bobot jenis dilakukan untuk menentukan 3 macam bobot jenis yaitu : (Ditjen POM, 1979 ;77) 1. Bobot jenis sejati Massa partikel dibagi volume partikel tidak termasuk rongga yang terbuka dan tertutup. 2. Bobot jenis nyata Massa partikel dibagi volume partikel tidak termasuk pori/lubang terbuka, tetapi termasuk pori yang tertutup. 3. Bobot jenis efektif Berbeda dengan kerapatan bobot jenis adalah bilangan murni atau tanpa dimensi, yang dapat diubah menjadi kerapatan dengan menggunakan rumus yang cocok. Bobot jenis untuk penggunaan praktis lebih sering didefinisikan sebagai perbandingan massa dari suatu zat terhadap jumlah volume air pada suhu 4oC atau temperatur lain yang etlah ditentukan (Roth, 1988 ; 90). Ahli Farmasi mengetahui bahwa air adalah pelarut yang baik untuk garam, gula dan senyawa sejeis, sedang minyak mineral dan benzene biasanya merupakan pelarut untuk zat yang biasanya hanya sedikit larut dalam air. Penemuan empiris ini disimpulkan dalam pernyataan like dissolve like. Kelarutan bergantung pada pengaruh kimia, listrik, struktur yang menyebabkan interaksi timbalm balik zat pelarut dan zat terlarut (Martin, 1990; 558) Zat terlarut dapat berada sebagian atau keseluruhan sebagai molekul terdisolusi dalam ionion salah satu fase tersebut. Hukum distribusi ini diginakan untuk konsentrasi zat yang umum pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut (Martin, 1990;560)

Apabila ditinjau suatu zat tunggal yang terlarut dalam 2 maacm poelarut cairan yang tidak saling bercampur, maka dalam sistem tersebut tidak akan terjadi keseimbangan (equilibrium) sebagai berikut : Zat terlarut Fase bawah Zat terlarut luar Fase atas

Menurut hukm termodinamika, pada keadaan seimbang ini nisbih (ratio) aktivitas species terlarut dalam kedua fase tersebut diasebut hukum distribusi Nerst. Biasanya aktivitas dapat diganti dengan konsentrasi, sehingga hukun itu dapat ditulis sebagai berikut :

K = Cu Cl Dimana : K = Koefisien distribusi Cu = Koefisien dalam fase atas Cl = Koefisian dalam fase bawah Koefisien partisi tergantung pada suhu, bukan merupakan fungsi konsentrasi absolute zat atau volume kedua fase tersebut (Martin, 1990;622) Begitu pula kelarutan asam organic lain dapat mempunyai keadaan demikian, yaiotu dapat larut dalam air ataupun dapat larut dalam lemak. Aplikasi di bidang Farmasi adalah apabila ada zat pengawet untuk senyawa organic berada dalam emulsi, maka pengawet ini sebagian larut dalam minyak. Ini berarti kadar pengawet akan meninggikan air menuju ke minyak. Padahal zat pengawet bekerja dalam media air. Perlu diketahui bahwa perbandingan kelarutan ini dipegaruhi oleh beberapa faktor antara lain yang berpengaruh pada pH larutan (Effendi, 2003 ;275).

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. Universitas Indonesia Press. Jakarta Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. DepKes RI, Jakarta Effendi, Idris. 2003 . Bahan Kuliah Faermasi Fisika . Jurusan Farmasi, Unhas, Makassar. Ernest. 1999 . Dinamika Obat. ITB. Bandung. Martin, A. 1990 . Farmasi Fisika, Edisi III. Jilid 1, UI Press, Jakarta Roth, Herman J dan Gottfried B. 1988 . Analisis Farmasi. UGM Press, Yogyakarta Tim penyusun. 2005 . Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Jurusan Farmasi, Unhas, Makassar

Anda mungkin juga menyukai