Anda di halaman 1dari 4

A.

Fenomena Distribusi zat


Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu
senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada
interaksi fisik dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase
yaitu struktur molekul. (Anonim, 2013)

Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah


pengaruh sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara
lain bahwa senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam
jaringan yang mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil
hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama
dalam ekstrasel (Ernest, 1999 ).

Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa


bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik
kita mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada
tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme,
walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam
bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui
penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk
memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999).

Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau


hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan
baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1999).

Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat


kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul
semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans
membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri
dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun
sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat
aktif (Ansel, 1989).

Suatu pengukuran lipofilisitas obat dari suatu indikasi dari


kemampuannya untuk melewati membran sel adalah koefisien partisi
minyak/air dalam sistem-sistem seperti oktanol/air dan kloroform/air.
Koefisien partisi didefinisikan sebagai perbandingan obat yang tidak terion
antar fase organik dan fase air pada kesetimbangan. (Lachman,L.,1986)

Koefisien partisi tergantung pada suhu, bukan merupakan fungsi


konsentrasi absolute zat atau volume kedua fase tersebut (Martin, 1990)
Koefisien partisi dari obat juga tergantung pada polaritas dan ukuran
dari molekul. Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak
terionisasi, mempunyai kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu
sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan saja mengurangi kelarutan dalam lemak
sangat besar tetapi juga menghalangi perlintasan melewati membran yang
bermuatan Umumnya koefisien partisi lemak / air dari suatu molekul
merupakan indeks yang berguna dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh
difusi pasif (Gandjar, 2007)

Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan
bukan air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu
gaya yang bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya
yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan
sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut.
Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu
25oC, merupakan pelarut yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi
juga merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya,
pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut
yang baik untuk zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang baik untuk
zat berpolar (Rifai, 1995).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan,
yaitu :

Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap


kenaikan suhu 10oC.

1. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi
makin kecil.
2. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju
reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang
pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya
bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif
dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya negatif.
3. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis
negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss
mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
4. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan
penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang
mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
5. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang
diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai
dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul –
molekul (Cammarata, 1995).

Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan


menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena n-oktanol dalam banyak
hal menyerupai membrane biologis dna juga merupakan model yang baik
pada kromatografi fase terbalik. Beberapa obat mengandung gugus-gugus
yang mudah mengalami ionisasi. Oleh Karen itu koefisien partisi obat-
obat ini pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih
dari 1 gugus yang mengalami ionisasi. Meskipun demikian, sering kali,
salah satu gugus dalam satu molekul obat lebih mudah mengalami ionisasi
daripada gugus yang lain pada pH tertentu (Gholib, ibnu, 2007)

Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika
obat tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya
fraksi obat yang terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang
tidak terionkan lebih mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam
bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak larut. Dengan
demikian pengaruh pH sangat besar terhadap kecepatan absorpsi obat
yang bersifat asam lemah atau basa lemah (Sardjoko, 1987).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2013. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika I. Universitas Muslim


Indonesia: Makassar

Ansel, H., C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.

Ernest. 1999 . Dinamika Obat. ITB. Bandung.

Martin, Alfred. 1990. Farmasi Fisika 1. Universitas Indonesia Press; Jakarta.

Lachman, L., dkk., (1994), ”Teori dan Praktek Farmasi Industri II”, Edisi III,
diterjemahkan oleh Siti suyatmi, UI Press, Jakarta, 78

Rifai, H., 1995, Azas Pemeriksaan Kimia, UI-Press, Jakarta.

Gandjar, I., G. & Abdul, R. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta

Cammarata, s., 1995, Farmasi FisIka, UI-Press, Jakarta.

Golib, Ibnu, 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Sardjoko. 1987. Pedoman kuliah rancangan obat. Yogyakarta: PAU Bioteknologi


Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai