Anda di halaman 1dari 9

1.

Home 
2.    Other

Tinjauan Tentang Koefisien partisi


In document DISERTASI PEMBENTUKAN PRODRUG KARBAMAZEPIN-ASAM AMINO
SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI SIFAT FISIKOKIMIA DAN BIOAVAILABILITAS
KARBAMAZEPIN (Page 40-47)

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TENTANG SIFAT FISIKOKIMIA
2.1.3 Tinjauan Tentang Koefisien partisi
Koefisien partisi (P) merupakan ukuran lipofilisitas suatu senyawa. Lipofilisitas
berkenaan dengan kemampuan molekul obat berpartisi antara dua larutan
yang tidak campur, seperti air dan minyak. Koefisien partisi dapat diukur
dengan menentukan konsentrasi kesetimbangan suatu obat dalam fase berair
(umumnya air) dan fase minyak (umumnya oktanol atau kloroform) yang akan
kontak satu dengan yang lain pada suhu dan tekanan konstan. Koefisien
partisi dinyatakan dengan persamaan 2.3 di bawah ini.
P = [Cminyak]/ [Cair] ………... (2.3) dengan P adalah koefisien partisi,
Cminyak adalah konsentrasi molekul obat dalam fase minyak dan C air adalah
konsentrasi molekul obat dalam fase air. Harga koefisien partisi (P) merupakan
ukuran afinitas relatif molekul obat terhadap fase air dan fase non air (minyak).
Semakin besar harga P maka semakin besar kelarutan molekul obat dalam
minyak (Sinko, 2011; Aulton, 1988).
Membran biologi secara alami bersifat lipoid yang memegang peranan
penting dalam transpor obat. Kemampuan suatu molekul obat melintasi
membran pada tempat absorbsi dapat dihubungkan dengan koefisien partisi
minyak-air suatu obat. Permeabilitas merupakan kemampuan suatu obat
melintasi membran biologi yang tersusun atas fosfolipid bilayer. Permeabilitas
obat melewati membran biologi tergantung pada lipofilisitas dan koefisien
difusi. Senyawa obat yang sangat larut dalam air maka kecepatan permeasi
melewati membran biologi merupakan tahap penentu kecepatan absorbsi,
sedangkan senyawa obat dengan lipofilisitas yang tinggi atau mempunyai
kelarutan besar dalam minyak pada umumnya mempunyai kemampuan
melintasi membran biologis dengan baik dibandingkan dengan obat-obat
yang bersifat hidrofilik (Shargel et al.,  2005; Aulton, 1988).
Khusus untuk obat-obat yang mempunyai tempat aksi di otak, maka obat
harus dapat melewati membran biologi yaitu dengan menembus sawar darah-
otak (Blood Brain Barrier  = BBB). Sawar darah-otak terutama tersusun atas sel-
sel kapiler endotelial, yang berbeda dibandingkan dengan jaringan lainnya.
Sel-sel kapiler endotelial otak tersambung satu
dengan yang lain dengan rapat sehingga merupakan barrier bagi obat-obat
yang bersifat hidrofilik. Untuk dapat menembus sawar darah-otak, suatu obat
harus relatif kecil (ukuran molekul kurang dari 500 Da), memiliki koefisien
partisi yang tinggi (larut minyak), tetap tidak terion pada pH cairan tubuh dan
mampu membentuk ikatan hidrogen kurang dari 8 dengan air (Shargel et
al.,  2005; Rautiobet al., 2008).
2.2.TINJAUAN TENTANG BIOAVAILABILITAS
Rute pemakaian secara oral merupakan rute umum dan nyaman digunakan
untuk bahan obat yang dikehendaki memiliki efek sistemik. Pemberian obat
secara oral memiliki beberapa keuntungan seperti kenyamanan dan keamanan
pemakaian. Akan tetapi rute oral bukanlah rute yang sederhana, oleh karena
barier saluran cerna menyebabkan kadar obat dalam tubuh setelah pemakaian
lebih bervariasi dibandingkan pemakaian secara parenteral. Kadar obat dalam
tubuh yang bervariasi terutama bagi obat yang sukar larut dalam air
menyebabkan penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-
ubah atau tidak sempurna (Shargel et al., 2005; Alavijeh et al., 2012).
Rute pemakaian obat memengaruhi bioavailabilitas obat, oleh karena itu
memengaruhi mula kerja dan lama efek farmakologi. Bila suatu obat diberikan
melalui rute oral maka obat harus terlarut secara molekuler sebelum
diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dalam keadaan terlarut akan
berdifusi atau ditranspor ke tempat aksi dan bila konsentrasi obat pada
tempat aksi melebihi konsentrasi efektif minimum maka akan dihasilkan suatu
respon farmakologis (Shargel et al., 2005)
Gambar 2.6. Proses absorbsi sistemik suatu obat (Shargel et al., 2012)
Absorbsi sistemik dari suatu obat (Gambar 2.6) terdiri dari suatu rangkaian
proses laju, meliputi disintegrasi, disolusi dan absorbsi melewati membran sel
menuju sirkulasi sistemik. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi
ditentukan oleh tahapan yang paling
Obat dalam produk obat Partikel obat padat Obat dalam larutan Obat dalam tubuh disintegrasi  disolusi absorbsi

lambat dalam rangkaian di atas. Bagi obat-obat yang mempunyai kelarutan


kecil dalam air, laju disolusi obat seringkali merupakan tahap yang paling
lambat, sehingga merupakan tahap penentu kecepatan (rate-limiting
step) terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya bagi obat yang mempunyai
kelarutan besar dalam air, laju disolusinya cepat sedangkan laju melintasi
membran merupakan tahap paling lambat atau tahap penentu kecepatan
(Shargel et al.,  2005).
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Ukuran dari laju dan jumlah obat
aktif yang mencapai sirkulasi umum atau tempat aksi. Memahami prinsip
biofarmasetika merupakan hal penting oleh karena biofarmasetika bertujuan
untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi
sistemik. Biopharmaceutical classification system  (BCS) merupakan kerangka
ilmiah untuk membagi senyawa obat berdasarkan kelarutan dalam air dan
permeabilitas melalui usus. Tabel 2.3. menyatakan pembagian biofarmasetika
suatu obat berdasarkan sifat kelarutan dan permeabilitas. BCS telah
ditetapkan Food and Drug Administration  (FDA) pada tahun 1995 dengan
tujuan untuk membantu memperkirakan hubungan antara disolusi in
vitro dengan bioavailabilitas in vivo (Amidon et al.,1995).
Tabel 2.3. Sistem pembagian biofarmasetika obat (Amidon et al.,  1995)
Kelas Kelarutan/Permeabilitas Sifat-sifat
I Tinggi/Tinggi -Obat diabsorbsi baik
-Disolusi dan pengosongan lambung merupakan
tahap penentu kecepatan absorbsi
II Rendah/Tinggi -Disolusi merupakan tahap penentu
kecepatan Absorbsi
III Tinggi/Rendah - Permeabilitas merupakan tahap penentu kecepatan
absorbsi
IV Rendah/Rendah -Masalah-masalah efektivitas penghantaran obat melalui
oral
Bioavailabilitas obat dapat diprediksi dengan memilih rute pemberian obat
secara teliti dan rancangan bentuk sediaan yang tepat. Suatu obat dapat
diberikan dalam berbagai rute dan tetap menghasilkan aktivitas yang ekivalen,
akan tetapi lama dan mula kerja obat mungkin sangat berbeda karena
perubahan farmakokinetika yang disebabkan oleh rute pemberian. Perubahan
fisiologik dan fisikokimia yang mungkin disebabkan oleh perubahan bentuk
sediaan merupakan hal penting untuk dipertimbangkan (Shargel et al.,  2005).
Rute pemakaian secara oral merupakan rute umum dan nyaman digunakan
untuk pengobatan penderita. Akan tetapi rute oral bukanlah rute yang
sederhana, oleh karena barier saluran cerna menyebabkan kadar obat setelah
pemakaian lebih bervariasi dibandingkan pemakaian parenteral. Bila bahan
obat mempunyai kelarutan kecil dalam air (< 0,1 mg/mL) maka disolusi obat
merupakan tahap penentu kecepatan absorbsi obat dalam saluran cerna
(Aulton, 1988).
Pada absorbsi obat sistemik setelah pemberian secara oral, molekul obat
harus melintasi epitel intestinal melalui suatu sel epitel untuk mencapai
sirkulasi sistemik. Permeabilitas suatu obat pada tempat absorbsi berkaitan
dengan struktur molekul obat dan sifat fisik dan biokimia membran sel. Ketika
obat berada dalam plasma, maka obat harus melintasi membran biologis yang
bertindak sebagai sawar pelepasan obat untuk mencapai tempat aksi
(Shargel et al., 2005).
Membran merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruhan sel
(membran plasma) dan bertindak sebagai antara sel dan cairan interstisial.
Secara fungsional membran sel merupakan partisi semipermiabel yang
bertindak sebagai sawar selektif untuk lintasan molekul. Beberapa molekul
kecil dan molekul larut lemak melewati membran, sedangkan molekul
bermuatan dan molekul besar seperti protein dan molekul terikat protein tidak
dapat melewatinya.
Ada beberapa teori tentang struktur membran sel. Teori lipid
bilayer  menggambarkan membran plasma sel terutama tersusun dari
fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat
dan protein. Teori yang diajukan Davson dan Danielli (1952) ini menganggap
gugus "kepala" hidrofilik dari fosfolipid menghadap lapisan protein dan gugus
"ekor" hidrofobik dari fosfolipid berposisi di bagian dalam.
Dengan struktur membran sel yang demikian, teori ini menjelaskan bahwa
obat larut lemak cenderung untuk penetrasi ke membran sel lebih mudah
daripada molekul polar. Akan tetapi teori struktur membran sel dua lapis tidak
menjelaskan difusi air, molekul dengan berat molekul kecil seperti urea dan
ion muatan tertentu.
Teori membran plasma yang diajukan Singer dan Nicolson (1972),
menggambarkan membran plasma sebagai model fluid mosaic  dapat dilihat
pada Gambar 2.7. Menurut model ini, membran sel terdiri atas protein
globular yang tertanam dalam suatu matriks cairan dinamik (dynamic fluid),
lipid bilayer. Protein tersebut memberi suatu jalur transpor selektif dari
molekul polar tertentu dan ion bermuatan melalui sawar lipid. Protein
membran tersebar ke seluruh membran dan pada membran tersebut terdapat
dua tipe pori berukuran 10 nm dan berukuran 50 sampai 70 nm. Pori-pori kecil
ini memberi suatu kanal yang dapat dilewati oleh air, ion-ion dan obat terlarut
seperti urea.
Senyawa obat dapat melintasi membran sel melalui dua mekanisme utama,
yaitu difusi pasif (passive diffusion) dan pengangkutan dengan pembawa
(carrier mediated transport). Selain mekanisme transpor tersebut, terdapat
mekanisme transpor yang lain yaitu transpor vesikular, yang merupakan
proses pemindahan molekul secara spesifik ke dalam dan ke luar sel
(endositosis dan eksositosis). Transpor obat melewati membran terdiri dari
satu atau lebih proses (Shargel et al.,  2005, Alavijeh et al., 2005).
Gambar 2.7. Model membran plasma fluid mosaic (Shargel, et al., 2012)
Difusi pasif merupakan proses perpindahan molekul obat secara spontan dari
daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar rendah. Proses berjalan
pasif karena tidak memerlukan energi dari luar. Difusi pasif merupakan proses
absorbsi utama untuk sebagian
besar obat dan dapat digambarkan melalui persamaan Fick's (persamaan 2.4)
sebagai berikut (Shargel et al.,  2005):
) (CGI CP h DAK dt dQ   ... (2.4) dengan dt
dQ = laju difusi; D = koefisien difusi; K = koefisien partisi lemak:air senyawa  obat; A= luas permukaan
membran; h = tebal membran dan C GI - Cp = perbedaan antara kadar obat
dalam saluran cerna dan dalam plasma.
Menurut persamaan difusi Fick's, laju difusi pasif obat terutama dipengaruhi
oleh perbedaan kadar obat antar membran dan koefisien partisi senyawa obat.
Kadar obat yang lebih tinggi dalam saluran cerna dibandingkan dalam darah
menjadi tenaga pendorong dalam difusi pasif. Demikian juga harga koefisien
partisi, K dari senyawa obat yang lebih besar menyatakan partisi obat dalam
lemak-air dari obat lebih besar untuk melintasi membran mukosa. Obat-obat
yang lebih larut dalam lemak cenderung melintasi membran lebih mudah
dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak atau molekul yang lebih
larut dalam air (Shargel et al., 2005).
Keberhasilan proses absorbsi suatu senyawa obat ke dalam sirkulasi sistemik
bergantung pada sifat fisikokimia senyawa obat, bentuk sediaan, dan anatomi
maupun fisiologi (faktor biologi) tempat absorbsi. Sifat fisikokimia obat selain
memengaruhi disolusi senyawa obat pada akhirnya juga memengaruhi
keberhasilan proses absorbsi dan akan berdampak terhadap
bioavailabilitasnya. Beberapa sifat fisikokimia senyawa obat yang
memengaruhi proses absorbsi di antaranya:
1. Lipofilisitas
Lipofilisitas merupakan salah satu sifat fisikokimia yang sangat berperan dalam
proses absorsi. Lipofilisitas suatu senyawa berkaitan dengan koefisien partisi
(P), yang merupakan perbandingan kadar obat dalam pelarut oktanol dan air
pada suhu konstan. Lipofilisitas senyawa obat sangat menentukan terhadap
kemampuan molekul obat dalam menembus
membran melalui proses difusi pasif. Pada umumnya, senyawa obat yang
memiliki koefisien partisi yang baik (log P besar), lebih mudah melintasi
membran mukosa sehigga proses absorbsi berjalan dengan baik (Shargel et
al.,  2005; Sinko, 2011).
2.Kelarutan dan Disolusi Bahan Obat
Kelarutan menyatakan massa solut yang melarut dalam satu volume tertentu
dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu. Disolusi merupakan proses solut
terlarut dalam suatu pelarut. Kelarutan bersifat statik sedangkan disolusi
bersifat dinamik. Kelarutan dalam air merupakan salah satu sifat fisikokimia
yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas obat. Obat yang sukar larut dalam
air akan menyebabkan masalah secara in vivo, karena obat diabsorbsi tidak
sempurna ketika diberikan secara oral sehingga menyebabkan
bioavailabilitasnya tidak menentu. Kelarutan obat dalam saluran cerna yang
tinggi akan memberikan gradien konsentrasi yang mendorong absorbsi ketika
obat diberikan melalui rute oral dan distribusi menuju tempat aksi sebelum
memberikan respon farmakologi (Waterbeemd, 2009). Dalam sistem biologi,
disolusi obat dalam media air merupakan bagian sangat penting dalam proses
absorbsi. Dalam saluran cerna, laju disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam
air sangat kecil seringkali mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Uji
disolusi suatu senyawa obat atau sediaan obat seringkali dapat digunakan
untuk meramalkan bioavailabilitasnya (Shargel et al.,  2005).
3. Derajat ionisasi obat
Tingkat ionisasi molekul obat memengaruhi laju transpor obat. Obat-obat
yang bersifat elektrolit lemah (asam atau basa lemah) akan terionisasi
bergantung pada harga pKa obat dan pH media senyawa obat terlarut.
Spesies obat terionisasi mengandung suatu muatan dan lebih larut air
dibandingkan spesies obat tak terionisasi yang lebih larut dalam lipid (Sinko,
2011).
Beberapa faktor biologi memengaruhi absorbsi obat seperti struktur saluran
cerna, pH saluran cerna, motilitas saluran cerna, waktu pengosongan lambung,
dan aliran saluran cerna. Selain faktor-faktor tersebut, proses absorbsi obat
juga dipengaruhi oleh makanan, interaksi obat dengan senyawa lain dan
faktor individu seperti umur dan adanya penyakit tertentu (Shargel et al.,
2005).
In document DISERTASI PEMBENTUKAN PRODRUG KARBAMAZEPIN-ASAM AMINO
SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI SIFAT FISIKOKIMIA DAN BIOAVAILABILITAS
KARBAMAZEPIN (Page 40-47)

OUTLINE

 Tinjauan Tentang Prodrug


 Tinjauan Tentang Koefisien partisi (You are here )
 TINJAUAN TENTANG KARBAMAZEPIN
 TINJAUAN TENTANG ASAM AMINO
 KONSEP ILMIAH DAN HIPOTESIS
 Kelarutan senyawa prodrug dan campuran fisik
 Profil Bioavailabilitas Senyawa Prodrug dan Campuran fisik
 Parameter Farmakokinetika Senyawa Prodrug dan Campuran Fisik

RELATED DOCUMENTS

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Ekonomi Terhadap


Fluktuasi Kurs Rupiah 2000-2002
Juga hasil penelitian ini mengimplikasikan bahwa pentingny a Bank Indonesia
rnengupayakan keseimbangan variabel variabel
 3    0    0

PENINGKATAN AKTIVITAS FISIK DAN PENYEDIAAN


PANGAN SEHAT DALAM UPAYA MENDUKUNG GE...
Seperti halnya kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh Junita,dkk (2020)
adapun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan gaya hidup sehat
masyarakat diantaranya
 9    0    0

Tata Ibadah Umum I GKI Soka Salatiga Minggu, 15


Oktober 2017 Pukul WIB BELAJAR B...
Fragmen ( Drama Singkat ).. : Bersama dengan umat Tuhan, marilah kita
memperbarui iman percaya kita dengan mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli
bersama-sama. Umat :
 12   0   0

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Penggunaan


kaolin pada formula sediaan...
Hipotesis dari penelitian ini adalah penggunaan kaolin sebagai clay mineral
pada berbagai konsentrasi (10%, 20%, dan 30%) akan mempengaruhi
besarnya viskositas dan
 9    0    0

ID | EN
ABOUT US
POLICY
TERMS OF USE
CONTACT US
Copyright 123dok.com © 2023

Anda mungkin juga menyukai