Anda di halaman 1dari 2

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat

terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang
mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005). Fase biofarmasetik melibatkan seluruh
unsur-unsur yang terkait mulai saat permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif.
Peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik
dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan
absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993).

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh
atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache, et al., 1993).
Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat
(Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel. Membran sel mempunyai pori yang bergaris
tengah antara 3,5 - 4,2 Ǻ, merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping
molekul protein yang bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena
kekuatan tekanan darah (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Sebelum obat diabsorpsi,
terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya
melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral,
cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis
obat masuk ke peredaran sistemik (Joenoes, 2002).

Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam
tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati membran biologik. Penyerapan
ini hanya dapat terjadi bila zat aktif berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian
dari fase biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif
bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat. Dengan
demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah
melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993).
Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik
melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat.
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke
dalam partikel–partikel kecil melepaskan obat.
2. Pelarutan obat dalam media “aqueous”
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut
dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media “aqueous”
merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik.
3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut
harus melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai
struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel. Banyak
obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang lebih larut dalam
lemak lebih mudah melewati membrane sel daripada obat yang kurang larut dalam
lemak atau obat yang lebih larut dalam air.

Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi proses
absorpsi obat di saluran cerna antara lain:
1. Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan
tambahan dalam sediaan.
2. Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
3. Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi) darah
dari saluran cerna.
4. Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan
obat lain, penyakit tertentu.

HUBUNGAN
Untuk dapat memberikan efek, suatu obat harus berada di tempat aksinya dan darah adalah satu
– satunya “alat transpotasi” yang dapat menghantarkan obat ke tempat aksinya tersebut. Maka
adalah hal yang logis jika profil obat di dalam darah akan sangat mempengaruhi profil
intensitas efek obat. Sedangkan untuk utuk mencapai peredaran darah, suatu obat harus
mengalami serangkaian proses absorbsi yang umumnya terdiri atas disintegrasi, disolusi dan
permeasi. Oleh karenanya, studi tentang absorbsi obat sangat penting untuk dapat memprediksi
profil intensitas efeknya. Setiap proses absorbsi memiliki suatu rate limiting step atau fase yang
paling dominan. Rate limiting step ini bisa berupa fase disintegrasi, disolusi, permeasi maupun
gabungan dari fase – fase tersebut tergantung fase mana yang memakan waktu paling lama.
Rate limiting step ini ditentukan oleh dua faktor utama; yaitu sifat fisiko kimia suatu obat dan
faktor formulasi.

Anda mungkin juga menyukai