DISUSUN OLEH :
NAMA : NURHIKMA
NIM : G70118155
KELAS :B
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
I. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Absorpsi suatu obat
2. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Distribusi suatu obat
3. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Eksresi suatu obat
II. ISI
2. Fasa farmakokinetik, yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran
(targer) atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis
3. Fasa farmakodinamik, yaitu fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan
Sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis obat
Hubungan fasa-fasa di atas dijelaskan dalam bentuk bagan seperti yang terlihat pada
Gambar 3.2
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-proses
sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel spesifik dan
menimbulkan respons biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan
senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis (bioaktivasi)
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif,
kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang
tetap utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat akan berubah
atau terikat pada biopolimer. Tempat di mana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat
mencapai reseptor disebut sisi kehilangan (site of loss).
Distribusi obat pada reseptor dan sisi kehilangan tergantung dari sifat kimia fisika
molekul obat, seperti kelarutan dalam lemak/air, derajat ionisasi, kekuatan ikatan obat-
reseptor, kekuatan ikatan obat-sisi kehilangan dan sifat dari reseptor atau sisi kehilangan.
Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang
dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak aktif
dan proses ekskresi obat, baik sebelum maupun sesudah proses metabolisme.
Depo penyimpanan adalah sisi kehilangan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan obat sebelum berinteraksi dengan reseptor. Ikatan obat-depo penyimpanan
bersifat terpulihkan (reversible), bila kadar obat dalam darah menurun maka obat akan
dilepas kembali ke cairan darah.
Contoh depo penyimpanan: jaringan lemak, hati, ginjal dan otot
2.1 HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES
ABSORPSI OBAT
Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
memengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain
adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara
tidak langsung dapat memengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil,
tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu
yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
Ukuran partikel bentuk sediaan juga memengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran
partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan
melarut obat makin besar.
Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelicin,
penghancur, pembasah dan emulgator, dapat memengaruhi waktu hancur dan melarut obat,
yang akhimya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
memengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf,
kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga memengaruhi proses absorpsi obat.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah variasi keasaman (plH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakansaluran cerna,
luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung danwaktu transit dalam usus,
serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi.
d. Faktor Lain-lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah
umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit
tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi. Suatu obat yang bersifat
basa lemah, seperti amin aromatik (AR-NH2), aminopirin, asetanilid, kafein dan kuinin, bila
diberikan melalui oral, dalam lambung yang bersifat asam (pH=1-3,5), sebagian besar akan
menjadi bentuk ion (AR-NH3+), yang mempunyai kelarutan dalamlemak sangat kecil
sehingga sukar menembus membran lambung. Bentuk ion tersebut kemudian masuk ke usus
halus yang bersifat agak basa (pH = 5-8), dan berubah menjadi bentuk tidak terionisasi (AR-
NH2). Bentuk ini mempunyai kelarutan dalam lemak besar sehingga mudah terdifusi
menembus membran usus. Contoh distribusiteoritis senyawa amin aromatik pada saluran
cerma dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Asam lemah, seperti asam salisilat, asetosal, fenobarbital, asam benzoat dan fenol,
pada lambung yang bersifat asam akan terdapat dalam bentuk tidak terionisasi, mudah larut
dalam lemak sehingga dengan mudah menembus membran lambung.
Senyawa yang terionisasi sempurna, pada umumnya bersifat asam atau basa kuat,
mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar menembus membran
saluran cerna. Contoh: asam sul fonat dan turunan amonium kuarterner, seperti
heksametonium, dekualinium dan benzalkonium klorida. Senyawa yang sangat sukar larut
dalam air, seperti BaSO4, MgO dan Al(OH)3. juga tidak diabsorpsi oleh saluran cerna.
Contoh perbandingan absorpsi berbagai macam obat di lambung tikus pada pH 1 dan
8 dan pada usus halus tikus pada plH 4 dan 8, dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa saluran cerna bersifat permeabel selektif
terhadap bentuk tidak terdisosiasi obat yang bersifat mudah larut dalam lemak. Kelarutan
obat dalam lemak merupakan salah satu sifat fisik yang memengaruhi absorpsi obat ke
membran biologis. Makin besar kelarutan dalam lemak makin tinggipula derajat absorpsi
obat ke membran biologis.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2, yang menunjukkan hubungan antara kelarutan
beberapa senyawa dalam lemak, dinyatakan dalam koefisien partisi kloroform/air, dan derajat
absorpsi melalui membran biologis (dinding usus).
Studi tentang masalah yang berhubungan dengan absorpsi turunan amonium
kuarterner pada saluran cerna kadang-kadang sangat kompleks.
Contoh :
1. Pemberian secara oral anthelmintik turunan amonium kuarterner yang bersifat basa kuat,
seperti pirvinium pamoat (Povan) dan ditiazanin iodida, ternyata obat tidak diabsorpsi oleh
saluran cerma dan bersifat toksik terhadap cacing di usus. Bila terserap, senyawa
menimbulkan toksisitas sistemik yang tidak diharapkan.
2. Kecepatan absorpsi obat yang mudah terionkan, seperti turunan amonium kuarterner,
dalam epitel usus lebih lambat dibanding molekul yang tidak bermuatan dan kecepatannya
makin lama makin menurun. Hal ini disebabkan obatt berinteraksi dengan gugus karboksilat
atau sulfonat yang terdapat pada mukosa usus, membentuk senyawa kompleks yang sukar
diabsorpsi.
3. Bila trimetilen-bis(trimetilamonium) diklorida yang relatif tidak aktif diberikan secara oral
bersama-sama dengan IN 292, suatu senyawa biskuarterner yang aktif sebagai antihipertensi,
akan terjadi potensiasi dan efek penurunan tekanan darahnya meningkat. Diduga hal ini
disebabkan senyawa amonium kuarterner yang tidak aktif berkompetisi dengan amonium
kuarterner aktif pada mukosa sisi pengikatan sehingga absorpsi molekul aktif meningkat. Bila
keduanya diberikan bersama-sama secara intravena, tidak terjadi efek potensiasi.
b. Difusi Aktif
Penembusan membran secara difusi aktif dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengangkutan
aktif dan pinositosis.
1) Sistem Pengangkutan Aktif
Sistem pengangkutan aktif atau transpor aktif, mirip dengan proses difusi pasif dengan
fasilitas yaitu sama-sama berdasarkan teori pembawa membran.
Perbedaannya adalah:
a. Pengangkutan obat dapat berjalan dari daerah yang berkadar rendah ke daerah yang
berkadar lebih tinggi, jadi tidak tergantung pada perbedaan kadar antar membran.
b. Pengangkutan tersebut memerlukan energi, yang berasal dari adenosin trifosfat (ATP).
c. Reaksi pembentukan kompleks obat-pembawa memerlukan afinitas.
Contoh pengangkutan aktif:
a. sekresi H+ dari lambung,
b. pelepasan Na+ dari sel saraf dan otot,
c. absorpsi kembali glukosa dalam tubulus renalis,
d. pengangkutan aktif K+ dan Na+ dari sel darah merah,
e. pengangkutan aktif obat, contoh: pengangkutan penisilin ke tubulus renalis.
2) Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe spesifik pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran
molekul besar dan misel-misel, seperti lemak, amilum,gliserin dan vitamin A, D, E, K.
Pengangkutan ini digambarkan seperti sistemfagositosis pada bakteri. Bila membran sel
didekati oleh molekul obat maka membran akan membentuk rongga yang mengelilingi
molekul obat dan kemudian obat bergerak menembus membran sel.
Pada Tabel 3.3 terlihat bahwa perubahan struktur rantai samping alanin, hilangnya atom
iodida dan perubahan gugus hidroksil fenol akan menurunkan penggabungan analog tiroksin
dengan albumin plasma secara drastis.
Kompleks obat-protein mempunyai beberapa fungsi, antara lain adalah :
a. Pengangkutan senyawa biologis, contoh: pengangkutan O 2, oleh hemoglobin, Fe oleh
transferin dan Cu oleh seruloplasmin
b. Detoksifikasi keracunan logam berat, contoh: pada keracunan Hg, Hg diikat secara kuat
oleh gugus SH protein sehingga efek toksisnya dapat dinetralkan.
c. Meningkatkan absorpsi obat, contoh: dikumarol diabsorpsi dengan baik oleh usus karena
dalam darah obat diadsorpsi secara kuat oleh protein plasma
d. Memengaruhi sistem distribusi obat vaitu dengan membatasi interaksi obat dengan reseptor
spesifik, menghambat metabolisme dan ckskresi obat sehingga memperpanjang masa kerja
obat.
Contoh: Suramin, obat antitripanosoma, bila diberikan dalam dosis tunggal secara
intravena, dapat mencegah serangan penyakit tidur selama beberapa bulan. Hal ini
disebabkan ikatan kompleks suramin-protein plasma cukup kuat dan kompleks mempunyai
ukuran molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati penyaringan glomerulus.
Kompleks suramin-protein plasma tersebut terdisosiasi dengan lambat, melepas obat bebas
sedikit demi sedikit sehingga obat mempunyai masa kerja yang panjang
Ikatan obat-protein sebenarnya tidak diharapkan karena obat dalam bentuk terikat
dengan protein secara farmakologis tidak aktif. Ikatan tersebut bersifat terpulihkan, sehingga
bila ada gangguan kesetimbangan, obat bebas aktif akan dilepaskan kembali ke cairan tubuh.
2) Interaksi Obat dengan Jaringan
Selain dengan protein plasma, obat dapat pula berinteraksi dengan jaringan
membentuk depo obat di luar plasma darah.
Contoh:
1. Klorpromazin HCI, suatu obat tranquilizer, pada keadaan kesetimbangan ternyata
perbandingan total obat dalam jaringan otak dan plasma darah = 501:11, yang berarti
klorpromazin lebih terikat pada jaringan otak dibanding protein plasma. Perbandingan kadar
klorpromazin HCI dalam jaringan otak dan plasma darah dapat dilihat pada Gambar 3.10
2. Kuinakrin (Atebrin), suatu obat antimalaria, empat jam setelah pemberian secara oral
ternyata kadar total obat dalam jaringan hati 2000 kali lebih besar dibanding kadar total pada
protein plasma.
b. Interaksi Spesifik
Interaksi spesifik adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul
reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal, yang diamati
sebagai respons biologis. Yang termasuk interaksi spesifik adalah interaksi obat dengan
enzim biotransformasi dan interaksi obat dengan reseptor.
1) Interaksi Obat dengan Enzim Biotransformasi
Interaksi obat-enzim biotransformasi, ditinjau dari tipe interaksi, bersifat relatif tidak spesifik
tetapi bila ditinjau dari akibat interaksi ternyata bersifat spesifik
Contoh:
1. Fisostigmin, suatu penghambat enzim asetilkolinesterase, dapat menghambat pemecahan
asetilkolin pada reseptor spesifik sehingga terjadi pengumpulan asetilkolin dalam tubuh dan
menimbulkan respons kolinergik.
2. Asetazolamid, suatu penghambat enzim karbonik anhidrase, dapat menghambat
pembentukan asam bikarbonat sehingga jumlah H+ yang digunakan sebagai pengganti Na+
dalam tubulus renalis berkurang. Na+ yang tidak diabsorpsi kembali kemudian dikeluarkan
bersama-sama dengan molekul air dan menimbulkan diuresis.
3. Tetraetiltiuram disulfida (Disulfiram), dapat menghambat kerja aldehid oksidase, suatu
enzim yang mengoksidasi alkohol menjadi asetaldehid produk metabolisme yang bersifat
toksik. Hambatan tersebut menyebabkan pembentukan asetaldehid menurun sehingga
toksisitas alkohol menjad lebih rendah. Oleh karena itu disulfiram digunakan untuk
pengobatan kecanduan alkohol.
4. Tranilsipromin, dapat menghambat kerja enzim monoamin oksidase, suatu enzim yang
mengoksidasi katekolamin. Akibatnya terjadi pengumpulan katekolamin pada jaringan
sehingga menyebabkan efek rangsangan pada sistem saraf pusat
5. Alopurinol, dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase, suatu enzim yang
mengoksidasi turunan xantin menjadi asam urat. Hambatan tersebur menyebabkan produksi
asam urat menurun sehingga alopurinol dapat digunakan untuk pengobatan penyakit pirai.
2) Interaksi Obat dengan Reseptor
Tubuh mengandung makromolekul protein yang antara lain dapat berfungsi sebagai berikut
a. Menyusun alat regenerasi sel, contoh: asam nukleat.
b. Untuk pengangkutan senyawa biologis, contoh: hemoglobin untuk pengangkutan 02.
c. Untuk kontraksi otot, contoh: aktin dan miosin.
d. Sebagai katalisator dan mengontrol proses mekanisme tubuh, contoh: enzim.
e. Sebagai reseptor obat.
Fungsi organ spesifik diatur oleh makromolekul yang bekerja sebagai pemicu biologis
dan dapat mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Fungsi pemicu biologis
tergantung pada struktur makromolekul yang terlibat. Bila suatu mikromolekul obat
berinteraksi dengan gugus fungsional makromolekul reseptor, timbul suatu energi yang akan
berkompetisi dengan energi yang menstabilkan makromolekul tersebut, terjadi perubahan
struktur dan distribusi muatan molekul, menghasilkan makromolekul dengan bentuk
konformasi yang baru. Perubahan konformasi ini merupakan bagian penting dalam sistem
pemicu biologis karena dapat menyebabkan modifikasi fungsi organ spesifik sehingga timbul
respons biologis. Respon biologis inilah yang merupakan perbedaan utama antara interaksi
spesifik dan interaksi yang tidak spesifik.
Reseptor obat adalah suatu makromolekul protein jaringan sel hidup, mengandung
gugus fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik,
yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung gugus
fungsi spesifik (farmakofor), menghasilkan respons biologis tertentu.
Reseptor obat bukan enzim, tetapi sifatnya mirip dengan enzim dan merupakan bagian
lengkap dan terorganisasi dalam struktur sel. Dengan kemajuan tehnologi analisis yang
sangat pesat, sekarang reseptor obat sudah banyak yang berhasil dipisahkan dengan berbagai
teknik isolasi yang ada.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap yaitu:
a. Kombinasi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi ini memerlukan afinitas.
b. Kombinasi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein
sehingga timbul respons biologis.
Kombinasi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik) yaitu kemampuan obat
untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga dapat menimbulkan
respons biologis.
3.1 Kesimpulan
1. Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Proses absorpsi terjadi di saluran cerna, mata, paru
dan kulit.
2. Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke
seluruh jaringan dan organ tubuh. Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara
menembus membran biologis melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh
struktur kimia, sifat kimia fisika obat dan sifat membran biologis. Proses difusi dibagi
menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
3. Eksresi adalah pengeluaran obat dari dalam tubuh yang terjadi dengan melalui beberapa
rute yaitu: eksresi obat melalui paru, eksresi obat melali ginjal dan eksresi obat melalui
empedu.
3.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa memplajari dengan baik bagaimana pengaruh struktur, sifat
kimia dan fisika terhadap absorpsi, distribusi dan cksresi suatu obat, agar efek obat sesuai
dengan efck biologisnya.
DAFTAR PUSTAKA