Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH RESUME KIMIA MEDISINAL

“HUBUNGAN STRUKTUR SIFAT KIMIA DENGAN PROSES


ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN EKSKRESI OBAT”

DISUSUN OLEH :

NAMA : NURHIKMA
NIM : G70118155
KELAS :B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sifat-sifat fisika kimia merupakan dasar yang sangat penting untuk menjelaskan
aktivitas biologis obat, oleh karena:
1. Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk mencapai
reseptor.
2. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan tinggi saja yang dapat berinteraksi
dengan reseptor biologis
Absorpsi obat merupakan cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual
(bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal,
intramuskular, subkutan dan intraperitonial, melibatkan proses absorpsi obat yang berbeda-
beda. Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas
farmakologi obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
memepengaruhi efek obat dan menyebabakan kegagalan pengobatan.
Distribusi obat merupakan sebuaha proses perpindahan suatau obat sccara reversible
dari sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/ atau sel-sel jaringan.
Eksresi adalah pengeluaran obat dari dalam tubuh yang terjadi dengan melalui
beberapa rute yaitu: eksresi obat melalui paru, eksresi obat melali ginjal dan eksresi obat
melalui empedu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Absorpsi suatu obat?
2. Bagaimana Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Distribusi suatu obat?
3. Bagaimana Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Eksresi suatu obat?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Absorpsi suatu obat
2. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Distribusi suatu obat
3. Untuk mengetahui Hubungan Struktur, Sifat Fisika Kimia dan Eksresi suatu obat
II. ISI

Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah:


1. Fasa farmasetis, yang meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk
sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam
ketersediaan obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh

2. Fasa farmakokinetik, yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran
(targer) atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis
3. Fasa farmakodinamik, yaitu fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan
Sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis obat
Hubungan fasa-fasa di atas dijelaskan dalam bentuk bagan seperti yang terlihat pada
Gambar 3.2
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-proses
sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel spesifik dan
menimbulkan respons biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan
senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis (bioaktivasi)
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif,
kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang
tetap utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat akan berubah
atau terikat pada biopolimer. Tempat di mana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat
mencapai reseptor disebut sisi kehilangan (site of loss).
Distribusi obat pada reseptor dan sisi kehilangan tergantung dari sifat kimia fisika
molekul obat, seperti kelarutan dalam lemak/air, derajat ionisasi, kekuatan ikatan obat-
reseptor, kekuatan ikatan obat-sisi kehilangan dan sifat dari reseptor atau sisi kehilangan.
Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang
dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak aktif
dan proses ekskresi obat, baik sebelum maupun sesudah proses metabolisme.
Depo penyimpanan adalah sisi kehilangan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan obat sebelum berinteraksi dengan reseptor. Ikatan obat-depo penyimpanan
bersifat terpulihkan (reversible), bila kadar obat dalam darah menurun maka obat akan
dilepas kembali ke cairan darah.
Contoh depo penyimpanan: jaringan lemak, hati, ginjal dan otot
2.1 HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES
ABSORPSI OBAT
Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
memengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.

1. Absorpsi Obat Melalui Saluran Cerna


Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada saluran
cerna. Prinsip teori sebagai dasar untuk memahami proses absorpsi obat adalah sebagai
berikut (Lemke, et al., 2008).
1) Membran saluran cema dan membran biologis lainnya bekerja sebagai sawar lemak (lipid
barrier).
2) Bentuk molekul atau tak terionkan dari obat yang bersifat asam atau basa, mudah larut
dalam lemak, mudah menembus membran biologis, schingga akan diabsorbsi dengan baik.
3) Sebagian besar obat akan diabsorpsi melalui mekanisme difusi pasif.
4) Kecepatan absorpsi dan jumlah obat yang diabsorpsi berhubungan dengan nilai koefisien
partisi lemak/air.
5) Obat yang bersifat asam lemah atau netral akan lebih banyak diabsorbsi di lambung,
sedang obat yang bersifat basa lemah akan lebih banyak diabsorpsi di usus.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain
adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara
tidak langsung dapat memengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil,
tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu
yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
Ukuran partikel bentuk sediaan juga memengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran
partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan
melarut obat makin besar.
Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelicin,
penghancur, pembasah dan emulgator, dapat memengaruhi waktu hancur dan melarut obat,
yang akhimya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
memengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf,
kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga memengaruhi proses absorpsi obat.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah variasi keasaman (plH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakansaluran cerna,
luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung danwaktu transit dalam usus,
serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi.
d. Faktor Lain-lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah
umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit
tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi. Suatu obat yang bersifat
basa lemah, seperti amin aromatik (AR-NH2), aminopirin, asetanilid, kafein dan kuinin, bila
diberikan melalui oral, dalam lambung yang bersifat asam (pH=1-3,5), sebagian besar akan
menjadi bentuk ion (AR-NH3+), yang mempunyai kelarutan dalamlemak sangat kecil
sehingga sukar menembus membran lambung. Bentuk ion tersebut kemudian masuk ke usus
halus yang bersifat agak basa (pH = 5-8), dan berubah menjadi bentuk tidak terionisasi (AR-
NH2). Bentuk ini mempunyai kelarutan dalam lemak besar sehingga mudah terdifusi
menembus membran usus. Contoh distribusiteoritis senyawa amin aromatik pada saluran
cerma dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Asam lemah, seperti asam salisilat, asetosal, fenobarbital, asam benzoat dan fenol,
pada lambung yang bersifat asam akan terdapat dalam bentuk tidak terionisasi, mudah larut
dalam lemak sehingga dengan mudah menembus membran lambung.

Senyawa yang terionisasi sempurna, pada umumnya bersifat asam atau basa kuat,
mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar menembus membran
saluran cerna. Contoh: asam sul fonat dan turunan amonium kuarterner, seperti
heksametonium, dekualinium dan benzalkonium klorida. Senyawa yang sangat sukar larut
dalam air, seperti BaSO4, MgO dan Al(OH)3. juga tidak diabsorpsi oleh saluran cerna.
Contoh perbandingan absorpsi berbagai macam obat di lambung tikus pada pH 1 dan
8 dan pada usus halus tikus pada plH 4 dan 8, dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa saluran cerna bersifat permeabel selektif
terhadap bentuk tidak terdisosiasi obat yang bersifat mudah larut dalam lemak. Kelarutan
obat dalam lemak merupakan salah satu sifat fisik yang memengaruhi absorpsi obat ke
membran biologis. Makin besar kelarutan dalam lemak makin tinggipula derajat absorpsi
obat ke membran biologis.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2, yang menunjukkan hubungan antara kelarutan
beberapa senyawa dalam lemak, dinyatakan dalam koefisien partisi kloroform/air, dan derajat
absorpsi melalui membran biologis (dinding usus).
Studi tentang masalah yang berhubungan dengan absorpsi turunan amonium
kuarterner pada saluran cerna kadang-kadang sangat kompleks.

Contoh :
1. Pemberian secara oral anthelmintik turunan amonium kuarterner yang bersifat basa kuat,
seperti pirvinium pamoat (Povan) dan ditiazanin iodida, ternyata obat tidak diabsorpsi oleh
saluran cerma dan bersifat toksik terhadap cacing di usus. Bila terserap, senyawa
menimbulkan toksisitas sistemik yang tidak diharapkan.
2. Kecepatan absorpsi obat yang mudah terionkan, seperti turunan amonium kuarterner,
dalam epitel usus lebih lambat dibanding molekul yang tidak bermuatan dan kecepatannya
makin lama makin menurun. Hal ini disebabkan obatt berinteraksi dengan gugus karboksilat
atau sulfonat yang terdapat pada mukosa usus, membentuk senyawa kompleks yang sukar
diabsorpsi.
3. Bila trimetilen-bis(trimetilamonium) diklorida yang relatif tidak aktif diberikan secara oral
bersama-sama dengan IN 292, suatu senyawa biskuarterner yang aktif sebagai antihipertensi,
akan terjadi potensiasi dan efek penurunan tekanan darahnya meningkat. Diduga hal ini
disebabkan senyawa amonium kuarterner yang tidak aktif berkompetisi dengan amonium
kuarterner aktif pada mukosa sisi pengikatan sehingga absorpsi molekul aktif meningkat. Bila
keduanya diberikan bersama-sama secara intravena, tidak terjadi efek potensiasi.

2. Absorpsi Obat melalui Mata


Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui
membran konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi tergantung pada
derajat ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah larut
dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran mata. Penetrasi obat yang bersifat asam lemah
lebih cepat dalam suasana asam karena dalam suasana tersebut bentuk tidak terionisasinya
besar sehingga mudah menembus membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah
penetrasi lebih cepat dalam
suasana basa.
3. Absorpsi Obat melalui Paru
Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui epitel
paru dan membran mukosa saluran napas. Karena mempunyai luas permukaan besar maka
absorpsi melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat.
Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:
a. Kadar obat dalam alveoli.
b. Koefisien partisi gas/darah.
c. Kecepatan aliran darah paru.
d. Ukuran partikel obat. Hanya obat dengan garis tengah lebih kecil dari 10 jam yang dapat
masuk peredaran aliran paru.
4. Absorpsi Obat melalui Kulit
Penggunaan obat pada kulit pada umumnya ditujukan untuk memperoleh efek
setempat. Pada waktu ini sedang dikembangkan bentuk sediaan obat yang digunakan melalui
kulit dengan tujuan untuk mendapatkan efek sistemik. Absorpsi obat melalui kulit sangat
tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena epidermis kulit berfungsi sebagai
membran lemak biologis.
2.2 HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES
DISTRIBUSI OBAT
Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke
seluruh jaringan dan organ tubuh. Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh
bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut.
a. Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak.
b. Sifat membran biologis.
c. Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh.
d. Ikatan obat dengan sisi kehilangan.
e. Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat.
f. Masa atau volume jaringan.

1. Struktur Membran Biologis


Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang berfungsi untuk memelihara keutuhan
sel, mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang, dan mengatur keluar
masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma. Membran biologis mempunyai dua
fungsi utama, yaitu sebagai penghalang dengan sifat permeabilitas yang spesifik dan sebagai
tempat untuk reaksi biotransformasi energi.
a. Komponen Membran Sel
1) Lapisan Lemak Bimolekul
2) Protein
3) Mukopolisakarida
b. Model Membran Sel
1) Model Struktur Membran Davson-Danielli
Davson dan Danielli (1935), mengemukakan bahwa struktur membran sel terdiri dua
bagian, bagian dalam adalah lapisan lemak bimolekul, dan bagian luar adalah satu lapis
protein, yang mengapit lapisan lemak bimolekul. Protein ini bergabung dengan bagian polar
lemak melalui kekuatan elektrostatik.
2) Model Struktur Membran Robertson
Robertson (1964), memperjelas model membran biologis Davson-Danielli yaitu
dengan mengemukakan bahwa dacrah polar molckul lemak secara normal berorientasi pada
permukaan sel dan diselimuti oleh satu lapis protein pada permukaan membran.
3) Model Struktur Membran Singer dan Nicholson
Singer dan Nicholson (1972), mengemukakan model struktur membran yang berbeda
yaitu model cairan mosaik. Pada model ini struktur membran terdiri dari lemak bimolekul
dan protein globular yang tersebar diantara lemak bimolekul tersebut. Beberapa dari protein
tersebut adalah integral, yaitu protein yang secara keseluruhan melewati membran, dan yang
lain adalah protein perifer, yang bergabung hanya dengan salah satu permukaan membran.

2. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat


Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika
obat dan sifat membran biologis. Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan
difusi aktif.
a. Difusi Pasif
Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasit
melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun
membran dan difusi pasif dengan fasilitas.
1) Difusi Pasif melalui Pori
Membran sel mempunyai pori dengan garis tengah sekitar 4 A° dan dapat dilewati
secara difusi oleh molekul yang bersifat hidrofil, molekul dengan garis tengah lebih kecil dari
4 A° dan molekul dengan jumlah atom C lebih kecil dari 3 atau berat molekul lebih kecil dari
150. Kecepatan difusi obat tergantung pada ukuran pori, ukuran molekul obat dan perbedaan
kadar antar membran.
Sel glomerulus kapsula Bowman ginjal mempunyai membran karakteristik, dengan
pori yang lebih besar dibanding pori membran biologis lain. Pori tersebut dapat dilewati oleh
molekul obat dengan garis tengah ± 40 A° dan molekul protein dengan berat molekul sampai
5000.
Sebagian besar molekul obat mempunyai garis tengah lebih besar 4 A° sehingga cara
penyaringan ini kurang penting dalam mekanisme pengangkutan obat.
2) Difusi Pasif Dengan Cara Melarut Pada Lemak Penyusun Membran Overton (1901),
mengemukakan suatu konsep bahwa kelarutan senyawa organik dalam lemak berhubungan
dengan mudah atau tidaknya penembusan membran sel. Senyawa non polar bersifat mudah
larut dalam lemak, mempunyai harga koefisien partisi lemak/air besar sehingga mudah
menembus membran sel secara difusi.
Peran koefisien partisi terhadap absorpsi obat turunan barbiturat dapat dilihat pada Gambar
3.7.
Pada Gambar 3.7 terlihat bahwa makin besar nilai koefisien partisi kloroform/air dari bentuk
tak terionisasi obat, makin besar persentase obat yang diabsorpsi.
Obat modern sebagian besar bersifat elektrolit lemah, yaitu asam atau basa lemah, dan derajat
ionisasinya ditentukan oleh nilai pKa dan suasana pH.
Hubungan antara pKa dengan fraksi obat terionisasi dan yang tidak terionisasi dari obat yang
bersifat asam dan basa lemah, dapat dinyatakan melalui persamaan Henderson-Hasselbalch
sebagai berikut.
3) Difusi Pasif dengan Fasilitas
Kadang-kadang beberapa bahan obat yang mempunyai garis tengah lebih besar 4A°,
dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan oleh perbedaan
kadar antar membran. Pengangkutan ini berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke
daerah dengan kadar yang lebih rendah, dan berhenti setelah mencapai keseimbangan.
Gerakan ini tidak memerlukan energi dan terjadi secara spontan.
Membran sel bersifat permeabel terhadap senyawa polar tertentu. Kecepatan
penetrasinya 10-10.000 kali lebih besar dibanding kelarutan dalam lemak. Di sini terjadi
suatu mekanisme khusus yang dapat dijelaskan dengan teori pembawa membran.
Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa dalam
membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak
menembus membran. Pada sisi membran yang lain (sisi 2), kompleks akan terurai melepas
molekul obat, dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula, berinteraksi lagi
dengan molekul obat lain, demikian seterusnya sehingga tercapai suatu keadaan
keseimbangan.
Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan muatan
molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis di atas dapat berjalan dengan
cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.
Contoh difusi pasif dengan fasilitas adalah penetrasi gula, misal glukosa, asam
amino, gliserin, urea dan ion CI ke membran sel darah merah

b. Difusi Aktif
Penembusan membran secara difusi aktif dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengangkutan
aktif dan pinositosis.
1) Sistem Pengangkutan Aktif
Sistem pengangkutan aktif atau transpor aktif, mirip dengan proses difusi pasif dengan
fasilitas yaitu sama-sama berdasarkan teori pembawa membran.
Perbedaannya adalah:
a. Pengangkutan obat dapat berjalan dari daerah yang berkadar rendah ke daerah yang
berkadar lebih tinggi, jadi tidak tergantung pada perbedaan kadar antar membran.
b. Pengangkutan tersebut memerlukan energi, yang berasal dari adenosin trifosfat (ATP).
c. Reaksi pembentukan kompleks obat-pembawa memerlukan afinitas.
Contoh pengangkutan aktif:
a. sekresi H+ dari lambung,
b. pelepasan Na+ dari sel saraf dan otot,
c. absorpsi kembali glukosa dalam tubulus renalis,
d. pengangkutan aktif K+ dan Na+ dari sel darah merah,
e. pengangkutan aktif obat, contoh: pengangkutan penisilin ke tubulus renalis.
2) Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe spesifik pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran
molekul besar dan misel-misel, seperti lemak, amilum,gliserin dan vitamin A, D, E, K.
Pengangkutan ini digambarkan seperti sistemfagositosis pada bakteri. Bila membran sel
didekati oleh molekul obat maka membran akan membentuk rongga yang mengelilingi
molekul obat dan kemudian obat bergerak menembus membran sel.

3. Interaksi Obat Dengan Biopolimer


Semua molekul organik asing yang masuk ke tubuh, kemungkinan besar berikatan
dengan konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asam nukleat,
mukopolisakarida, enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat-biopolimer
dipengaruhi oleh bentuk kontormasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus
fungsional.
a. Interaksi Tidak Spesifik
Interaksi tidak spesifik adalah interaksi obat dengan biopolimer, yang hasilnya tidak
memberikan efek yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molckul
obat maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat terpulihkan, ikatan kimia yang terlibat pada
umumnya mempunyai kekuatan yang relatif lemah. Interaksi tidak spesifik tidak
menghasilkan respons biologis.
1) Interaksi Obat dengan Protein
Di dalam tubuh terdapat protein, baik pada plasma darah maupun jaringan, yang dapat
berinteraksi dengan hampir semua molekul obat. Interaksi obat-protein bersifat terpulihkan
dan ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi ini adalah ikatan-ikatan ion, hidrogen, hidrofob
dan ikatan van der Waals. Pengikatan obat-biopolimer sebagian besar terjadi dalam cairan
darah dan kadar obat bebas dalam darah selalu berkaitan dengan kadar obat yang terikat oleh
protein plasma.
Kurang lebih 6,5% komposisi darah adalah protein, dan ± 50% dari protein tersebut
adalah albumin, yang mempunyai peran penting dalam proses pengikatan obat. Albumin
mempunyai berat molekul ± 69.000, bersifat amfoter, mempunyai pH isoelektrik yang lebih
rendah dibanding pH fisiologis (7,4), sehingga dalam darah akan bermuatan negatit. Karena
mengandung 1on Zwitter, albumin dapat berinteraksi baik dengan kation maupun anion obat.
Selain albumin, protein yang sering mengikat obat adalah γ-globulin. Bila protein plasma
telah jenuh, obat bebas dalam cairan darah berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan
respons biologis. Bila kadar obat bebas dalam darah menurun, kompleks obat-protein plasma
akan terurai dan obat bebas kembali ke plasma darah.
Untuk berinteraksi dengan protein plasma, molekul obat harus mempunyai struktur
dengan derajat kespesifikan tinggi walaupun tidak terlalu spesifik seperti pada interaksi obat-
reseptor. Pada umumnya, pengikatan obat oleh protein plasma lebih tergantung pada struktur
kimia dibanding dengan koefisien partisi lemak/air.
Contoh:
Analog tiroksin, untuk dapat bergabung secara maksimal dengan albumin plasma, strukturnya
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu mempunyai:
a. struktur inti difenileter,
b. empat atom iodida pada posisi 3,5 dan 3',5',
c. gugus hidroksil fenol bebas
d. rantai samping alanin atau gugus anion yang terpisah dengan tiga atom C dari inti
aromatik.
Bila salah satu keempat syarat di atas tidak dipenuhi maka penggabungan analog
tiroksin dengan albumin plasma menjadi rendah.
Hubungan antara struktur analog tiroksin dengan penggabungan terhadap albumin
plasma dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Pada Tabel 3.3 terlihat bahwa perubahan struktur rantai samping alanin, hilangnya atom
iodida dan perubahan gugus hidroksil fenol akan menurunkan penggabungan analog tiroksin
dengan albumin plasma secara drastis.
Kompleks obat-protein mempunyai beberapa fungsi, antara lain adalah :
a. Pengangkutan senyawa biologis, contoh: pengangkutan O 2, oleh hemoglobin, Fe oleh
transferin dan Cu oleh seruloplasmin
b. Detoksifikasi keracunan logam berat, contoh: pada keracunan Hg, Hg diikat secara kuat
oleh gugus SH protein sehingga efek toksisnya dapat dinetralkan.
c. Meningkatkan absorpsi obat, contoh: dikumarol diabsorpsi dengan baik oleh usus karena
dalam darah obat diadsorpsi secara kuat oleh protein plasma
d. Memengaruhi sistem distribusi obat vaitu dengan membatasi interaksi obat dengan reseptor
spesifik, menghambat metabolisme dan ckskresi obat sehingga memperpanjang masa kerja
obat.
Contoh: Suramin, obat antitripanosoma, bila diberikan dalam dosis tunggal secara
intravena, dapat mencegah serangan penyakit tidur selama beberapa bulan. Hal ini
disebabkan ikatan kompleks suramin-protein plasma cukup kuat dan kompleks mempunyai
ukuran molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati penyaringan glomerulus.
Kompleks suramin-protein plasma tersebut terdisosiasi dengan lambat, melepas obat bebas
sedikit demi sedikit sehingga obat mempunyai masa kerja yang panjang
Ikatan obat-protein sebenarnya tidak diharapkan karena obat dalam bentuk terikat
dengan protein secara farmakologis tidak aktif. Ikatan tersebut bersifat terpulihkan, sehingga
bila ada gangguan kesetimbangan, obat bebas aktif akan dilepaskan kembali ke cairan tubuh.
2) Interaksi Obat dengan Jaringan
Selain dengan protein plasma, obat dapat pula berinteraksi dengan jaringan
membentuk depo obat di luar plasma darah.
Contoh:
1. Klorpromazin HCI, suatu obat tranquilizer, pada keadaan kesetimbangan ternyata
perbandingan total obat dalam jaringan otak dan plasma darah = 501:11, yang berarti
klorpromazin lebih terikat pada jaringan otak dibanding protein plasma. Perbandingan kadar
klorpromazin HCI dalam jaringan otak dan plasma darah dapat dilihat pada Gambar 3.10
2. Kuinakrin (Atebrin), suatu obat antimalaria, empat jam setelah pemberian secara oral
ternyata kadar total obat dalam jaringan hati 2000 kali lebih besar dibanding kadar total pada
protein plasma.

Ikatan kompleks obat-jaringan kadang-kadang memengaruhi aktivitas biologis obat.


Pengikatan obat oleh protein plasma dan jaringan dapat memberi penjelasan mengapa kadar
total obat yang tinggi dalam darah belum tentu mempunyai keefektifan vang tinggi. Hal ini
dijelaskan dengan membandingkan kadar hipotetik obat A dan B dalam darah dan jaringan,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.11.
Dari Gambar 3.11 disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
a. Kadar total obat A dalam darah lebih besar dibanding kadar total obat B
b. Bentuk terikat obat A lebih besar dibanding obat B.
c. Obat B lebih efektif dibanding obat A karena kadar obat B bebas lebih besar dibanding
obat A dan di atas kadar efektif minimal (KEM) sehingga dapat menimbulkan respons
biologis.
Jadi yang lebih menentukan respons biologis adalah kadar obat bebas dalam darah
dan bukan kadar total obat dalam darah.
3) Interaksi Obat dengan Asam Nukleat
Beberapa obat tertentu dapat berinteraksi dengan asam nukleat dan terikat secara
terpulihkan pada asam ribosa nukleat (ribose nucleic acid RNA). asam deoksiribosa nukleat
(deoxvribose nucleic aid DNA) atau nukleotida inti sel.
4) Interaksi Obat dengan Mukopolisakarida
Mukopolisakarida merupakan makromolekul yang mempunyai gugus-gugus polar dan
sebagian besar bermuatan negatif. Daya hidrasinya sangat kuat, dan makromolekul ini dapat
mengikat secara tidak spesifik obat yang bermuatan positif.
5) Interaksi Obat dengan Jaringan Lemak
Tubuh mengandung lemak netral cukup besar, ±20-50% berat badan, yang berfungsi
sebagai depo obat-obat yang mudah larut dalam lemak. Dalam depo lemak, obat terikat pada
gliserida netral asam lemak, fosfolipid yang bersifat polar, seperti lesitin dan sefaelin, sterol,
seperti kolesterol, dan glikolipid, seperti serebrosida. Ikatan obat-jaringan lemak bersifat
terpulihkan dan tidak begitu kuat. Sifat kelarutan dalam lemak dapat berpengaruh terhadap
aktivitas biologis obat.
6) Pengaruh Lain-lain dari Interaksi Tidak Spesifik
Pada interaksi tidak spesifik, jumlah obat yang terikat pada tempat pengikatan
merupakan fungsi dari kadar obat, afinitas obat terhadap tempat pengikatan dan kapasitas
tempat pengikatan. Tempat pengikatan obat jumlahnya terbatas sehingga kemungkinan dapat
terjadi kejenuhan, walaupun pada dosis normal keadaan tersebut jarang terjadi
Afinitas terhadap tempat pengikatan dari tiap obat berbeda-beda, sehingga
kemungkinan terjadi persaingan antar molekul obat atau antara molekul obat dengan bahan
normal tubuh dalam memperebutkan tempat pengikatan. Hal ini dapat memberikan pengaruh
yang menguntungkan ataupun merugikan.

b. Interaksi Spesifik
Interaksi spesifik adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul
reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal, yang diamati
sebagai respons biologis. Yang termasuk interaksi spesifik adalah interaksi obat dengan
enzim biotransformasi dan interaksi obat dengan reseptor.
1) Interaksi Obat dengan Enzim Biotransformasi
Interaksi obat-enzim biotransformasi, ditinjau dari tipe interaksi, bersifat relatif tidak spesifik
tetapi bila ditinjau dari akibat interaksi ternyata bersifat spesifik
Contoh:
1. Fisostigmin, suatu penghambat enzim asetilkolinesterase, dapat menghambat pemecahan
asetilkolin pada reseptor spesifik sehingga terjadi pengumpulan asetilkolin dalam tubuh dan
menimbulkan respons kolinergik.
2. Asetazolamid, suatu penghambat enzim karbonik anhidrase, dapat menghambat
pembentukan asam bikarbonat sehingga jumlah H+ yang digunakan sebagai pengganti Na+
dalam tubulus renalis berkurang. Na+ yang tidak diabsorpsi kembali kemudian dikeluarkan
bersama-sama dengan molekul air dan menimbulkan diuresis.
3. Tetraetiltiuram disulfida (Disulfiram), dapat menghambat kerja aldehid oksidase, suatu
enzim yang mengoksidasi alkohol menjadi asetaldehid produk metabolisme yang bersifat
toksik. Hambatan tersebut menyebabkan pembentukan asetaldehid menurun sehingga
toksisitas alkohol menjad lebih rendah. Oleh karena itu disulfiram digunakan untuk
pengobatan kecanduan alkohol.
4. Tranilsipromin, dapat menghambat kerja enzim monoamin oksidase, suatu enzim yang
mengoksidasi katekolamin. Akibatnya terjadi pengumpulan katekolamin pada jaringan
sehingga menyebabkan efek rangsangan pada sistem saraf pusat
5. Alopurinol, dapat menghambat kerja enzim xantin oksidase, suatu enzim yang
mengoksidasi turunan xantin menjadi asam urat. Hambatan tersebur menyebabkan produksi
asam urat menurun sehingga alopurinol dapat digunakan untuk pengobatan penyakit pirai.
2) Interaksi Obat dengan Reseptor
Tubuh mengandung makromolekul protein yang antara lain dapat berfungsi sebagai berikut
a. Menyusun alat regenerasi sel, contoh: asam nukleat.
b. Untuk pengangkutan senyawa biologis, contoh: hemoglobin untuk pengangkutan 02.
c. Untuk kontraksi otot, contoh: aktin dan miosin.
d. Sebagai katalisator dan mengontrol proses mekanisme tubuh, contoh: enzim.
e. Sebagai reseptor obat.
Fungsi organ spesifik diatur oleh makromolekul yang bekerja sebagai pemicu biologis
dan dapat mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Fungsi pemicu biologis
tergantung pada struktur makromolekul yang terlibat. Bila suatu mikromolekul obat
berinteraksi dengan gugus fungsional makromolekul reseptor, timbul suatu energi yang akan
berkompetisi dengan energi yang menstabilkan makromolekul tersebut, terjadi perubahan
struktur dan distribusi muatan molekul, menghasilkan makromolekul dengan bentuk
konformasi yang baru. Perubahan konformasi ini merupakan bagian penting dalam sistem
pemicu biologis karena dapat menyebabkan modifikasi fungsi organ spesifik sehingga timbul
respons biologis. Respon biologis inilah yang merupakan perbedaan utama antara interaksi
spesifik dan interaksi yang tidak spesifik.
Reseptor obat adalah suatu makromolekul protein jaringan sel hidup, mengandung
gugus fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik,
yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung gugus
fungsi spesifik (farmakofor), menghasilkan respons biologis tertentu.
Reseptor obat bukan enzim, tetapi sifatnya mirip dengan enzim dan merupakan bagian
lengkap dan terorganisasi dalam struktur sel. Dengan kemajuan tehnologi analisis yang
sangat pesat, sekarang reseptor obat sudah banyak yang berhasil dipisahkan dengan berbagai
teknik isolasi yang ada.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap yaitu:
a. Kombinasi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi ini memerlukan afinitas.
b. Kombinasi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein
sehingga timbul respons biologis.
Kombinasi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik) yaitu kemampuan obat
untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga dapat menimbulkan
respons biologis.

Reseptor mempunyai dua bagian yang spesifik yaitu:


a. Bagian yang bertanggung jawab terjadinya afinitas sehingga terbentuk kompleks obat-
reseptor.
b. Bagian yang bertanggung jawab terjadinya efikasi sehingga timbul respons biologis.
Contoh interaksi beberapa obat dengan reseptor spesifiknya dan respons biologis yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.4.
2.3 HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES
EKSKRESI OBAT
1. Ekskresi Obat melalui Paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara
inhalasi, seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan enfluran.
Sifat fisik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi
darah/udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah/udara kecil, seperti siklopropan
dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi
darah/udara besar, seperti eter dan halotan, diekskresikan lebih lambat.
2. Ekskresi Obat melalui Ginjal
Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi obat
melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu:
a. Penyaringan Glomerulus
b. Absorpsi Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal
c. Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
3. Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis
menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu, menuju
ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk
terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di usus bentuk konjugat
tersebut secara langsung diekskresikan melalui tinja, atau dapat mengalami proses hidrolisis
oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar, sehingga diabsorpsi
kembali ke plasma darah, kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melalui empedu
menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus, yang dinamakan
siklus enterohepatik. Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Proses absorpsi terjadi di saluran cerna, mata, paru
dan kulit.
2. Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke
seluruh jaringan dan organ tubuh. Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara
menembus membran biologis melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh
struktur kimia, sifat kimia fisika obat dan sifat membran biologis. Proses difusi dibagi
menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
3. Eksresi adalah pengeluaran obat dari dalam tubuh yang terjadi dengan melalui beberapa
rute yaitu: eksresi obat melalui paru, eksresi obat melali ginjal dan eksresi obat melalui
empedu.

3.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa memplajari dengan baik bagaimana pengaruh struktur, sifat
kimia dan fisika terhadap absorpsi, distribusi dan cksresi suatu obat, agar efek obat sesuai
dengan efck biologisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Siswandono, 2020. Kimia Medisinal 1 Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai