Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI III

ANTI TUBERKULOSIS

OLEH :
KELAS B KELOMPOK 4
SILVIANA HAMDANI G70118002
ARI ANTONI MARBUN G70118066
RANI PURWANTI G70118098
NINDAH AMIR G70118126
NURUL AFIFAH G70118145
NURHIKMA G70118155
DEWI HASTUTI G70118167
SERLI G70118192
RISNA G70118207

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya serta maghfirah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ANTI TUBERKULOSIS“ tepat pada waktunya.

Tidak ada aral yang tidak melintang untuk sebuah kesuksesan. Seperti dalam
penyusunan makalah ini, penulis menemukan berbagai kesulitan dan hambatan.
Namun, berkat ketabahan, kesabaran, dan kerja keras yang diiringi dengan doa yang
tulus kepada Allah SWT, maka kesulitan dan hambatan tersebut sedikit demi sedikit
dapat diatasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah bersedia
membantu melancarkan penulisan makalah ini.

Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif dan bersifat membangun dari
dosen, rekan mahasiswa, dan para pembaca sekalian. Akhir kata, kami memohon
maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan.

Palu, 01 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar..............................................................................................................

Daftar isi........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Tujuan......................................................................................................................
C. Rumusan Masalah..................................................................................................

BAB II ISI......................................................................................................................
A. Pengertian Tuberkulosis........................................................................................
B. Patofisiologi Tuberkulosis......................................................................................
C. Sejarah Tuberkulosis..............................................................................................
D. Obat-Obat Antituberkulosis..................................................................................
E. Langkah-Langkah Penanganan Tuberkulosis.....................................................
F. Pengobatan TB pada keadaan khusus..................................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................


A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

Daftar Pustaka..............................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi paling sering menyerang jaringan
paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB)
paru ini dapat menyerang semua usia dengan kondisi klinis yang berbeda-beda
atau
tanpa dengan gejala sama sekali hingga manifestasi berat. Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Sampai sekarang
ini belum ada satu negara pun di dunia yang bebas dari tuberkulosis (TB). Jumlah
Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh bakteri Mycobacteriumss
tuberculosis cukup tinggi. Pada tahun 2009 sekitar 1,7 juta orang meninggal
karena menderita tuberkulosis (TB) (600.000 diantaranya perempuan) sementara
jumlah kasus baru tuberkulosis (TB) sebanyak 9,4 juta (3,3 juta diantaranya
perempuan). Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia sudah tertular dengan
tuberkulosis (TB) di mana sebagian besar penderita TB terjadi pada usia produktif
15-55 tahun (Kemenkes, 2011).

Di Indonesia angka prevalensi tuberkulosis ( TB) pada tahun 1990 sebesar 443
per 100.000 penduduk dan ditargetkan pada tahun 2015 harus menurun menjadi
222 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2007 telah terjadi penurunan prevalensi
secara nasional sebesar 45% yaitu angka prevelensi TB tersebut telah mencapai
244 per 100.000 penduduk. Sementara untuk angka kematian akibat tuberkulosis
(TB) pada tahun 1990 adalah sebesar 92 per 100.000 penduduk dan terjadi
penurunan menjadi 39 per 100.000 penduduk pada tahun 2007. Hal ini
menunjukkan secara nasional terjadi penurunan angka kematian sebesar 57%.
Pencapaian penurunan angka kematian dan kesakitan tuberkulosis (TB) ini masih
pada skala atau tingkat nasional karena apabila dicermati data-data pada tiap

4
kabupaten/kota dan provinsi maka masih terlihat adanya kesenjangan atau
disparitas yang besar antar kabupaten/kota dan provinsi (Kemenkes, 2010).

Bakteri ini sangat berperan dalam penularan dan penyebab terjadinya penyakit
tuberkulosi (TB) paru jika bakteri yang melayang di udara tersebut terhirup oleh
manusia sehat. Menurut Jawetz dan Adelberg’s (2008), bakteri yang terhirup akan
masuk ke alveoli melalui jalan nafas, alveoli adalah tempat bakteri berkumpul dan
bakteri mulai memperbanyak diri. Mycobacterium tuberculosis juga dapat masuk
ke bagian tubuh lainnya melalui system limfe dan cairan tubuh. Sistem imun dan
system kekebalan tubuh akan merespon dengan cara melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit menekan bakteri, dan limfosit spesifi k tuberculosis menghancurkan
bakteri dan jaringan normal. Reaksi jaringan tersebut menimbulkan penumpukan
eksudat di dalam alveoli yang bisa mengakibatkan bronchopneumonia. Setelah
pemajanan biasanya terjadi infeksi awal pada 2 sampai 10 minggu. Bakteri TB
paru dapat berada disemua tempat, hal ini sesuai dengan teori yang disebutkan
oleh (Muttaqin, 2012), saat bersin, batuk, atau berbicara, seseorang klien TB paru
secara tidak sengaja menyebarkan doplet nuklei dan terjatuh ke lantai, tanah, atau
tempat lainnya. Karena terkena paparan sinar matahari atau panasnya suhu udara,
doplet nuklei tersebut dapat menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan aliran angin yang menyebabkan bakteri tuberculosis
yang terkandung di dalam doplet nuklei terbang melayang mengikuti aliran udara.

Apabila bakteri tersebut terhirup oleh orang sehat maka orang itu berpotensi
terinfeksi bakteri tuberkulosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan
istilah air-born infection (Muttaqin, 2012). Bakteri bisa bertahan hidup beberapa
waktu di bawah paparan sinar matahari sehingga memungkinkan bakteri bisa
terbang jauh terbawa aliran udara, dan bila terbang ke tempat yang lembab dan
gelap akan membuat bakteri hidup lebih lama. Penyebaran bakteri juga bisa
terjadi ketika sore atau malam hari sehingga tidak terpapar oleh sinar matahari
yang menyebabkan bakteri tetap hidup.

5
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis?
2. Bagaimana patofisiologi dari Tuberkulosis?
3. Bagaimana sejarah penyakit Tuberkulosis?
4. Apa saja obat-obat Antituberkulosis yang digunakan untuk menangani
penyakit Tuberkulosis?
5. Bagaimana langkah-langkah penanganan yang harus diberikan pada pasien
penderita Tuberkulosis?
6. Bagaimana cara penanganan Tuberkulosis pada pasien dengan kebutuhan
khusus?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi penyakit Tuberkulosis
2. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Tuberkulosis
3. Untuk mengetahui sejarah penyakit Tuberkulosis
4. Untuk mengetahui apa saja obat-obat Antituberkulosis
5. Untuk mengetahui langkah-langkah penanganan yang harus diberikan pada
pasien penderita Tuberkulosis
6. Untuk mengetahui penanganan Tuberkulosis pada pasien dengan kebutuhan
khusus

6
BAB II

ISI

A. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit kronik, menular, yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang ditandai dengan jaringan granulasi nekrotik
(perkijauan) sebagai respons terhadap kuman tersebut. Penyakit ini menular
dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah. Diperkirakan
seorang penderita tuberkulosis kepada 1 dari 10 orang di sekitarnya. Tuberkulosis
adalah penyakit yang mengganggu sumberdaya manusia dan umumnya
menyerang kelompok masyarakat dengan golongan sosial ekonomi rendah
(Kenedyanti dan Sulistyorini, 2017). Mycobactearium tuberculosis, salah satu dari
sejumlah mikobakteri, dapat menyebabkan infeksi yang serius pada paru, saluran
urogenital, tulang, dan meninges. Pengobatan tuberculosis dan juga infeksi
mikobakterium lainnya menghadirkan masalah terapeutik. Organisme tumbuh
secara lambat jadi, penyakit harus diobati selama 6 bulan hingga 2 tahun.
Organisme yang resisten secara mudah muncul khususnya pada pasien yang
pernah mendapatkan terapi sebelumnya atau yang gagal mematuhi protocol p-
engobatan. Saat ini, diperkirakan sekitar sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh
M.tuberculosis dengan 30 juta orang mempunyai penyakit yang aktif. Di seluruh
dunia, 8 juta kasus baru muncul, dan kira-kira 2 juta orang meninggal akibat
penyakit ini setiap tahunnya.

B. Patofisiologi Tuberkulosis
Infeksi primer yang diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui
droplet nucleic yang sangat kecil (1-5 mm) untuk menghindari sel epithelial siliari
dari saluran pernafasan atas. Bila terinplantasi M. tuberculosis melalui saluran
napas, mikroorgansime akan membelah diri dan dicerna oleh makrofag pulmoner,
dimana pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun lebih pelan. Nekrosis

7
jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe regional
dapat terjadi, menghasilkan pembentukan radiodense area menjadi kompleks
Ghon. Makrofag yang teraktivasi dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah
yang ditumbuhi M. tuberculosis yang padat seperti keju (daerah nekrotik) sebagai
bagian dari imunitas yang dimedisiasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda juga
berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag juga
berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk
granuloma yang mengandung organisme. Keberhasilan dalam menghambat
pertumbuhan M. tuberculosis membutuhkan aktivasi dari limfosit CD4 subset,
yang dikenal sebagai sel Th-1, yang mengaktivasi makrofag melalui sekresi dari
interferon gamma.

Sekitar 90% pasien yang pernah menderita penyakit primer tidak memiliki
manifestasi klinis lain selain uji kulit yang positif dengan atau tanpa kombinasi
dengan adanya granuloma stabil yang diperoleh dari hasil radiografi. Sekitar 5%
pasien (biasanya anak-anakm orang tuam atau penurunan sistem imun)
mengalami penyakit primer yang berkembang pada daerah infeksi primer
(biasanya lobus paling bawah) dan lebih sering dengan diseminasi, menyebabkan
terjadinya infeksi meningitis dan biasanya juga melibatkan lobus paru-paru paling
atas. Sekitar 10% dari pasien mengalami reaktivasi, terjadi penyebaran organisme
melalui darah. Biasanya penyebaran organisme melalui darah ini menyebabkan
pertumbuhan cepat, penyebaran penyakit secara luas dan pembentukan granuloma
yang dikenal sebagai tuberculosis miliari.

C. Sejarah Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya dengan sejarah
manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang mummi yang sesuai dengan
TB ditemukan di Heidelberg, diduga berasal dari tahun 5000 SM. Demikian juga
halnya di Italia diduga berasal dari tahun 4000 SM. Keadaan ini juga dijumpai di
Denmark dan lembah Jordan. Di Mesir juga ditemukan lukisan-lukisan pada

8
dinding berupa bentuk kelainan tulang belakang yang sesuai dengan penemuan
TB spinal pada mummi. Di Indonesia catatan paling tua dari penyakit ini adalah
seperti didapatkan pada salah satu relief di candi Borobudur yang tampaknya
menggambarkan kasus tuberkulosis. Hipokrates juga mendeskripsikan tentang
penyakit ini dan menyebutnya “Pthisis”. Akhirnya pada tahun 1882 Robert Koch
menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebabnya dan hasil penemuannya
dipresentasikan pada tanggal 24 Maret 1882 di Berlin. Hal ini di peringati sebagai
hari TB sedunia (TB Day).

D. Obat-Obat Antituberkulosis
Obat Antituberkulosis Lini Pertama
I. Isoniazid
Isoniazid, hydrazine dari iso niat ini acid, adalah analog sintesis piridoksin.
Obat ini merupakan obat anti tuberkulosis yang paling kuat, tetapi tidak
pernah diberikan sebagai agen tunggal dalam pengobatan tuberkulosis aktif.
Pengenalannya merevolusi pengobatan tuberkulosis.
a) Mekanisme kerja
Isoniazid sering disebut sebagai INH adalah produk yang di aktifkan oleh
katalase - peroksida (KatG) mikrobakterium. bukti genetik dan biokimia
telah melibatkan setidaknya dua enzim target yang berbeda untuk
isoniazid dalam sistem sintesis asam lemak tipe II yang unik terlibat dalam
produksi mycolic acid. Catatan: Mycolic acid adalah asam lemak B-
hidroksilatat, kelas rantai sangat panjang yang unik ditemukan dalam
dinding sel mycobacterium. Penurunan sintesis Mycolic acid berhubungan
dengan kehilangan ketahanan terhadap asam sesudah paparan dengan
isoniazid titik enzim adalah protein membawa - enoly acyl (InhA) dan B-
ketosil-ACP sintase (KasA). obat yang diaktifkan berikatan secara kovalen
dengan enzim enzim ini dan menghambat enzim enzim ini mah yang
penting bagi sintesis Mycolic acid.
b) Spektrum antibakteri

9
Untuk hasil yang berada dalam fase stasioner, isoniazid bersifat
bakteriostatik tetapi untuk organisme yang membelah secara cepat,
isoniazid bersifat bakterisidal. Efektif melawan bakteri intraseluler.
Isoniazid spesifik untuk pengobatan M tuberkolosis walaupun
mycobacterium konsasii (suatu organisme yang menyebabkan 3%
penyakit klinis yang dikenal sebagai tuberkolosis) dapat peka terhadap
kadar obat yang lebih tinggi titik bila digunakan secara tunggal.
Organisme resisten muncul secara cepat.
c) Resisten
Hal ini terkait dengan beberapa mutasi kromosom yang berbeda; setiap
mutasi menyebabkan salah satu dari berikut ini: mutasi atau delesi KatG
(menghasilkan mutan yang tidak mampu mengaktifkan prodrug), mutasi
protein membawa acyl bervariasi, atau ekspresi inhA yang berlebih titik
resistensi silang tidak terjadi diantara isoniazid dengan obat anti
tuberkulosis lainnya.
d) Farmakokinetik
Isoniazid yang diberikan secara oral dapat dengan mudah diabsorbsi.
Absorbsi terganggu bila isoniazid diminum bersama dengan makanan,
khususnya karbohidrat, atau dengan antasida yang mengandung
aluminium. Obat ini berdifusi menuju keseluruh cairan tubuh, sel dan
materi keseosa (jaringan nekrotik yang menyerupai keju yang dihasilkan
dalam tuberkel). Kadar obat dalam cairan serebrospinal (cerebrospinal
fluid/CSF) hampir sama dengan kadarnya dalam serum. Obat mudah
menembus sel-sel pejamu dan efektif melawan basil yang tumbuh secara
intraseluler. Jaringan yang terinfeksi cenderung menahan obat lebih lama.
Isoniazid mengalami N-asetilasi dan hidrolisis, menghasilkan produk-
produk inaktif. (catatatan: Asetilasi diatur secara genetic dengan sifat
asetilator cepat bersifat dominan otosom. Terdapat dua model distribusi
asetilator, cepat dan lambat. Penyakit hati kronis menurunkan
metabolisme, dan dosis harus dikurangi. Ekskresi obat ini melalui filtrasi

10
glomerulus, sebagian besar sebagai metabolit. Asetilator lambat
mengekskresikan lebih banyak senyawa induk. Penurunan fungsi ginjal
yang berat menyebabkan akumulasi obat, terutama pada asetilator lambat.
e) Efek samping
Insidensi efek samping cukup rendah kecuali hipersensitivitas, efek
samping yang terjadi berhubungan dengan dosis lama pemberian.
a. Neuritis perifer
Neuritis perifer (bermanifestasi sebagai prestasi tangan dan kaki), yang
merupakan efek samping yang paling sering terjadi, tampaknya
diakibatkan oleh defisiensi pirodoksin yang relatif. Sebagian besar
reaksi toksik dikoreksi dengan suplementasi 25 hingga 50 mg
piridoksin (vitamin B6) per hari. Isoniazid dapat mencapai kadar
dalam air susu ibu yang cukup tinggi untuk menyebabkan defisiensi
piridoksin pada bayi, kecuali ibunya diberikan suplementasi vitamin
tersebut.
b. Hepatitis dan hepatotoksitas idiosinkratik
Hepatitis yang berpotensi fatal adalah efek samping terberat akibat
isoniazid. Di duga hal ini disebabkan oleh netabolit toksik
monoacetylhydrazine, dibentuk selama metabolisme isoniazid.
Insidennya meningkat di antara pasien yang berusia lebih tua, antara
pasien yang juga mengonsumsi rimfapin, atau antara pasien yang
meminum alkohol setiap hari.
c. Interaksi Obat
Karena isoniazid menghambat metabolisme phenytoin, isoniazid dapat
memperkuat efek samping obat tersebut (misal nistagmus dan ataksia).
Asetilator lambat, khususnya berisiko.
d. Efek Samping Lain
Abnormalitas mental, kejang pada pasien yang memiliki kecendrungan
untuk kejang, dan neuritis optik pernah diamati. Reaksi
hipersensitivitas berupa ruam dan demam.

11
II. Rifampycin : Rifampin, Rifabutin dan Rifapentine
Rifampin, rifabutin dan rifapentine dianggap sebagai rifampycin, suatu
kelompok antibiotik makrosiklik yang serupa secara struktural, yang
merupakan obat lini pertama untuk tuberkulosis. Anggota rifampycin apa pun
harus selalu digunakan bersama dengan setidaknya satu obat antituberkulosis
lainnya, yang terhadapnya isolat bersifat peka.
1. Rifampin
Rifampin, yang berasal dari jamur tanah Streptomyces, mempunyai
aktivitas antimikroba yang lebih luas daripada isoniazid dan telah
ditemukan penggunaannya dalam pengobatan sejumlah infeksi bakteri
yang berbeda. Karena galur yang resisten muncul secara cepat selama
terapi, rifampin tidak pernah diberikan sebagai agen tunggal dalam
pengobatan tuberkulosis aktif.
a. Mekanisme kerja
Rifampin menghalangi transkripsi dengan berinteraksi dengan subunit
β bakteri, tetapi tidak RNA polimerase yang tergantung DNA
manusia. Rifampin menghambat sintesis mRNA dengan menekan
lengkah insiasi.
b. Spektrum antimikroba
Rifampin bersifat bakterisidal untuk mikobakterium intraseluler dan
ekstraseluler, termasuk M. tuberculosis dan mikobakterium atipikal,
seperti M. kansasii. Rifampin efektif melawan berbagai organisme
gram-positif dari gram negative, serta sering digunakan untuk
profilaksis pada orang-orang yang terpapar meningitis akibat
meningokokus atau Haemophilus influenza.
c. Resisten

12
Resisten terhadap rifampin dapat disebabkan oleh mutase pada afinitas
RNA polymerase yang tergantung DNA bakteri untuk obat atau oleh
penurunan permeabilitas.
d. Farmakokinetik
Absorbsi obat ini adekuat pada pemberian oral. Distribusi rifampin
terjadi pada seluruh cairan tubuh dan organ. Kadar yang adekuat
diperoleh dalam CSF, bahkan saat tidak terjadi inflamasi. Obat
diambil oleh hati dan mengalami siklus enterohepatik. Eliminasi
metabolit dan obat induk dilakukan melalui empedu dalam feses atau
melalui urin. Urin dan feses serta sekresi lainnya berwarna merah-
jingga.
e. Efek samping
Rifampin biasanya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling
sering adalah mual, muntah dan ruam. Obat ini harus digunakan secara
hati-hati pada pasien yang alkoholik, usia tua atau mempunyai
penyakit hati kronis karena peningkatan insidensi disfungsi hepatic
yang berat bila rifampin diberikan tunggal atau bersama dengan
isoniazid.
f. Interaksi Obat
Karena rifampin dapat menginduksi sejumlah enzim sitokrom P450,
rifampin dapat memendekkan waktu paruh obat lain yang diberikan
secara bersamaan dan dimetabolisme oleh sistem ini.

2. Rifabutin
Rifabutin suatu derivate rifampin, adalah obat yang lebih disukai oleh
penderita HIV yang terinfeksi tuberculosis, yang secara bersamaan
diterapi dengan inhibitor protease atau nonucleoside reverse transcriptase
inhibitor karena obat ini merupakan pemicu enzim sitokrom P450 yang
kurang kuat. Rifabutin mempunyai efek samping yang mirip dengan

13
rifampin, tetapi dapat juga menyebabkan uveitis, hiperpigmentasi kulit
dan neutropenia.

3. Rifapentin
Rifapentin mempunyai aktivitas yang setara dengan rifampin tetapi
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dari rifampin dan rifabutin,
yang membuat pemberiannya dalam dosis mingguan. Meskipun demikian
fase intensif atau 2 bulan pertama pada terapi jangka pendek untuk
tuberkulosis rifapentine penting diberikan 2 kali seminggu. Pada fase
lanjutan, rifapentin diberikan 1 kali setiap minggu selama 4 bulan. Untuk
menghindari masalah resisten rifapentin tidak boleh diberikan secara
tunggal tetapi lebih baik disertakan dalam regiment tiga hingga empat
obat.

III. Pyrazinamide
Pyrazinamid adalah agen anti tuberkulosis sintetik, efektif melalui oral,
bersifat bakterisidal dan digunakan dalam kombinasi dengan isoniazid,
rifampin, dan ethambutol. Obat ini bersifat bakterisidal terhadap organisme
yang membelah secara aktif tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui.
Pyrazinamid harus dihidrolisis secara enzimatik menjadi pyrazinoic acid, yang
merupakan bentuk aktif obat. Pirazinamid aktif melawan basil tuberculosis
dalam lingkungan asam lisosom dan juga dalam makrofag. Pyrazinamide
didistribusikan menuju ke seluruh tubuh untuk menembus CSF. Obat ini
mengalami metabolisme yang ekstensif sekitar 1 hingga 5%.

IV. Ethambutol
Ethambutol bersifat bakteriostatik dan spesifik untuk sebagian besar Galur M.
tuberculosis dan M. Kansasii. Ethambutanol menghambat arabinosyl
transferase- suatu enzim yang penting untuk sintesis dinding sel
arabinogalactan mycobacterium. resisten bukan suatu masalah yang serius bila

14
obat ini digunakan bersama dengan agen anti tuberkulosis lainnya. ethambutol
dapat digunakan dalam kombinasi dengan pyrazinamide, isoniazid, dan
rifampin untuk pengobatan tuberkulosis. ketika diabsorpsi pada pemberian
oral, ethambutol didistribusikan secara baik menuju ke seluruh tubuh.
penetrasi dalam sistem saraf pusat (SSP) bersifat adekuat secara terapeutik
pada meningitis tuberkulosis. Baik obat induk maupun metabolit
diekskresikan oleh filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus Titik-titik efek
samping yang paling penting adalah neuritis optik, yang menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan warna merah dan hijau. ketajaman penglihatan harus diperiksa
secara periodik. Penghentian obat memulihkan gejala optik. Obat ini: jadi
gout dapat mengalami eksaserbasi. Sama seperti obat lainnya, obat anti
tuberkulosis mempunyai batas terapeutik, yaitu perbedaan antara konsentrasi
obat minimum yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan M.
tuberkulosis dengan konsentrasi maksimum yang dapat diberikan tanpa
menyebabkan toksisitas obat.

OBAT EFEK SAMPING KETERANGAN

Ethambutol Neuritis optic dengan Tentukan ketajaman visual


penglihatan kabur, dan penglihatan warna
kebutaan warna merah- awal, uji setiap bulan
hijau
Isoniazid Kenaikan enzim Lakukan pengukuran
hepatic, hepatitis, enzim hepatic awal, ulangi
neuropati perifer. bila abnormal atau pasien
beresiko atau bergejala.
Pyrazinamide Mual, hepatitis, Lakukan pengukuran
hiperurisemia, ruam, enzim hepatic dan asam
nyeri sendi, gout urat awal, ulangi bila
(jarang). abnormal atau bergejala
Rifampin Hepatitis, gangguan Lakukan pengukuran
pencernaan, ruam, enzim hepatic dan hitung
sindrom mirip flu, sel darah lengkap (CBC)
interaksi dengan awal, ulangi bila abnormal
beberapa obat atau pasien beresiko atau
15 bergejala, peringatkan
pasien bahwa urine dan air
mata dapat berubah warna
menjadi merah-jingga.
Obat Antituberkulosis Lini Kedua

Obat lini kedua bersifat lebih toksik dan kurang efektif daripada obat lini pertama
(WHO, 2001). Obat ini sebagian besar digunakan pada terapi MDR-TB dimana
waktu terapi total diperpanjang dari 6 ke 9 bulan (Cheng dkk., 2004)

I. Streptomycin
Streptomisin menjadi suatu alternatif lini pertama yang direkomendasikan
oleh WHO (Cooksey dkk.,1996). Obat ini ditambahkan pada regimen lini
pertama pada pasien yang sebelumnya telah diterapi dan ada kecurigaan
mengalami resistensi obat (Brzostek dkk., 2004). Kerjanya ditunjukkan
melawan organisme ekstraseluler. Infeksi akibat organisme yang resisten
streptomycin dapat diobati dengan kanamycin atau amikacin yang pada basil
masih sensitive.
II. Capreomycin
Ini merupakan suatu peptida yang menghambat sintesis protein. obat ini
diberikan secara parenteral. capreomycin digunakan terutama untuk
penatalaksanaan tuberkulosis yang resisten multi obat. Pengawasan terhadap
pasien secara cermat diperlukan untuk mencegah kejadian nefrotoksisitas dan
ototoksisitas
III. Cycloserine
Adalah agen tuberkolosis yang efektif secara oral yang tampaknya
mengantagonis langkah-langkah dalam sintesis dinding sel bakteri yang
melibatkan D-alanin. obat ini di distribusi secara baik pada cairan tubuh,
termasuk CSF. Cycloserine dimetabolisme, dan baik obat induk maupun
metabolitnya diekskresikan dalam urine. Akumulasi obat terjadi pada
insufisiensi ginjal. Efek samping berupa gangguan SSP dan dapat

16
memperburuk aktivitas kejang epilepsi. neuropati perifer juga merupakan
masalah tetapi gangguan ini berespon terhadap pyrodoxin.
IV. Etionamide
Obat ini merupakan analog isoniazid secara struktur, tapi tidak diyakini
bekerja melalui mekanisme yang sama. Etionamide dapat menghambat
asetilasi isoniazid. obat ini efektif pada pemberian melalui oral dan
didistribusikan secara luas pada seluruh tubuh, termasuk CSF.
metabolismenya luas, dan urine merupakan jalur ekskresi utama. efek
samping yang membatasi penggunaannya meliputi iritasi lambung
hepatotoksisitas, neuropati perifer dan neuritis optik. Suplementasi dengan
vitamin B6 (piridoksin) dapat mengurangi derajat keparahan efek samping
neurologis.
V. Fluoroquinolone
Fluoroquinolon, seperti moxifloxacin dan levofloxacin mempunyai peranan
penting dalam pengobatan tuberkulosis yang resisten multi obat. beberapa
galur mikrobakteria yang atipikal juga peka terhadap obat ini.
VI. Macrolide
Macrolide seperti azithromycin dan claritromisin adalah bagian regimen
penyerta ethambutol dan rifabutin yang digunakan untuk pengobatan infeksi
kompleks M. avium-intracellular. Azithromycin lebih disukai untuk pasien
yang terinfeksi HIV karena kemungkinannya kecil untuk mengganggu
metabolisme obat-obat antiretrovirus.

E. Langkah-Langkah Penanganan Tuberkulosis


Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Dikonsumsi secara teratur

17
4. Pengobatan diberikan alam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan TB

 Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Terapi tahap ini bertujuan
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
Kategori penyakit tuberculosis
1) Kategori-1 :
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru
2) Kategori-2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gaga;
 Pasien dengan pengobatan terputus

Sediaan OAT di Indonesia

Kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) Paket Kombipak


Tablet OAT KDT ini terdiri dari Adalah paket obat lepas yang terdiri

18
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam dari Isoniazid, Rifampicin,
satu tablet. Dosisnya disesuaikan Pirazinamide dan Ethambutol yang
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam bentuk blister. Paduan
dikemas dalam satu paket untuk satu OAT ini disediakan program untuk
pasien. digunakan dalam pengobatan pasien
Paket OAT KDT tahap intensif : 1 yang terbukti mengalami efek
tablet mengandung 4 jenis obat yaitu : samping pada pengobatan dengan
Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, OAT KDT sebelumnya.
Pirazinamide 400 mg, dan Ethambutol Jenis obat dalam paket kombipak :
275 mg. Tablet Isoniazid @ 300 mg
Paket OAT KDT tahap lanjutan : 1 Kaplet Rifampicin @ 450 mg
tablet mengandung 2 jenis obat yaitu : Tablet Pirazinamide @ 500 mg
Rifampicin 150 mg, Isoniazid 150 mg. Tablet Ethambutol @ 250 mg

Kategori 1 diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol selama 2


bulan (fase intensif) setiap hari dan selanjutnya 4 bulan (fase lanjutan) dengan
INH dan Rifampisin 3 kali dalam seminggu (2HRZE/4H3R3).

Kategori 2 diobati dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan


Streptomisin selama 2 bulan setiap hari dan selanjutnya dengan INH, Rifampisin
dan Etambutol selama 5 bulan seminggu 3 kali (2HRZES/HRZE/5H3R3E3).

Jika setelah 2 bulan BTA masih positif, fase intensif ditambah 1 bulan sebagai
sisipan (dengan HRZE).

Dosis untuk paduan OAT KDT untuk kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

19
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Dosis OAT Kombipak Kategori 1

Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah


Pengobata Pengobata hari/kal
n n i
Tablet Kaplet Tablet Tablet menela
Isoniazi Rifampici Pirazinamid Ethambuto n obat
d @ 300 n @ 450 e @ 500 mg l @ 250
mg mg mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275) + S seminggu RH (150/150)
+ E (275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab
500 mg Etambutol
Streptomisin
inj.
38-54 kg 3 tab 4 KDT + 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT + 3 tab
750 mg Etambutol
Streptomisin
inj.
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT + 4 tab
1000 mg Etambutol
Streptomisin
inj.

20
≥ 71 kg 5 tab 4 KDT + 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT + 5 tab
1000 mg Etambutol
Streptomisin
inj.

Dosis OAT Kombipak Kategori 2

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Tablet Streptomisi Jumlah


Terapi Terap Isoniazi Rifampici Pirazinamid Ethambuto Ethambuto n Inj. hari/kal
i d @ 300 n @ 450 e @ 500 mg l @ 250 l @ 400 i
mg mg mg mg menela
n obat
Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 g 56
awal bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis 1
harian) bulan
Tahap 5 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan bulan
(dosis 3 x
seminggu
)

Strategi Untuk Menangangi Resisten Obat

Galur M. tuberkulosis yang resisten terhadap agen tertentu muncul Selama


pengobatan dengan satu obat tunggal.. Oleh sebab itu terapi multiobat digunakan
ketika mengobati tuberkulosis dengan tujuan untuk memperlambat atau mencegah
kemunculan Galur yang resisten. isoniazid, rifampin, atau (rifabutin atau
rifapentine) etambutol dan pirazinamide adalah obat-obat utama yang disebut
sebagai "Lini pertama“, akan tetapi saat ini karena karena kepatuhan pasien yang
buruk dan faktor lainnya, jumlah organisme yang resisten multi obat telah
meningkat, beberapa bakteri telah diidentifikasi resisten terhadap sebanyak 7 agen
anti tuberkulosis. Oleh sebab, itu pengobatan bervariasi dalam hal durasi dan agen
yang digunakan, regimen selalu menggunakan minimum 2 obat, lebih disukai bila
keduanya bersifat bakterisidal. kombinasi obat harus mencegah kemunculan

21
Galur yang resisten. Obat tetap diteruskan sesudah ketiadaan penyakit klinis
untuk mengindikasi organisme yang menetap. Sebagai contoh kemoterapi jangka
pendek awal untuk tuberkolosis mencakup isoniazid, rifampin, Ethambutol dan
pyrazinamide selama 2 bulan kemudian, isoniazid dan rifampin, selama 4 bulan
berikutnya "fase lanjutan“. Sebelum tersedia data kepekaan, lebih banyak obat
dapat ditambah pada regimen Lini pertama untuk pasien yang sebelumnya pernah
terkena tuberkolosis atau pasien yang dicurigai menderita tuberkulosis resisten
multiobat. Obat-obat yang ditambahkan biasanya meliputi suatu aminoglikoside
(streptomysin, kanamysin dan amikacin) atau (capreomycin sebagai agen injeksi)
suatu fluoroquinolone dan mungkin agen anti tuberkulosis Lini kedua, seperti
cycloserin atau ethionamide, atau para-aminosalicyl acid.

F. Pengobatan TB pada keadaan khusus


I. Pengobatan TB pada kehamilan
 Prinsip pengobatan TB pada kehamilan sama dengan pengobatan TB biasa
 Hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan
Aminoglikosida seperti streptomycin atau kanamycin karena dapat
menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent toxic) dan dapat menembut
barrier placenta.
 Pemberian piridoksin 50mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang
mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10 mg/hari
juga dianjurkan apabila Rifampicin digunakan ada trimester 3 kehamilan
menjelang persalinan.

II. Pengobatan TB pada ibu menyusui


 Prinsip pengobatan TB pada ibu menyusui sana dengan pengobatan TB
biasa.
 Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.

22
 Ibu menyusui yang menderita TB harus mendapatkan paduan OAT secara
adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya.
 Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan
ASI.
 Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut
sesuai dengan berat badannya.

III. Pengobatan TB pada pengguna kontrasepsi


 Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, implant KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-
hormonal.

IV. Pengobatan TB pada gangguan hati


 Hepatitis Akut : Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut
dana tau klinis ikterik ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan.
 Pasien pembawa virus hepatitis, riwayat penyakit hepatitis akut, saat ini
masih sebagai pecandu alkohol dapat diberikan paduan pengobatan OAT
yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis. Reaksi
hepatotoksik terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi
tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
 Hepatitis Kronis : Lakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum mulai
pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum
memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan :
o 2 obat yang hepatotoksik : 2 HRSE / 6 HR atau 9 HRE
o 1 obat yang hepatotoksik : 2 HES / 10 HE

23
o Tanpa obat yang hepatotoksik : 18-24 SE + salah satu golongan
fluoroquinolone (ciprofloxacin tidak direkomendasikan karena
potensinya sangat lemah).
 Semakin berat atau tidak stabil penyakit hari yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.

V. Pengobatan TB pada gangguan ginjal


 Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal
atau gangguan fungsi ginjal yang berat : 2 HRZE/4HR
 H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan
perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi
melalui ginjal. Dosis pemberian 3x/minggu dengan dosis Z = 25 mg/kgBB
dan E = 15 mg/kgBB.
 Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu
diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya
neuropati perifer.
 Hindari penggunaan Streptomycin dan apabila harus diberikan, dosis yang
digunakan : 15 mg/kgBB, 2 atau 3x/minggu dengan maksimum dosis 1 g
untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau.

VI. Pengobatan TB pada pasien DM


 Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan panduan OAT
bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
 Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan.
 Hati-hati efek samping dengan penggunaan Ethambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
 Penggunaan Rifampicin perlu diperhatikan karena akan mengurangi
efektivitas sulfonylurea sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.

24
 Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesau untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi paling sering menyerang jaringan
paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular dengan
cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah. Di Indonesia catatan
paling tua dari penyakit ini adalah seperti didapatkan pada salah satu relief di
candi Borobudur yang tampaknya menggambarkan kasus tuberkulosis. Obat Anti
Tuberkulosis lini pertama yaitu Ethambutol, Isoniazid, Pyrazinamid, Rifamycins,
sedangkan lini kedua yaitu Aminoglycoside, Aminosalicyclic acid, Capreomycin,
Cycloserine, Ethionamide, Fluoroquinolone, Macrolide. Untuk mendapatkan
penanganan yang adekuat terhadap tuberculosis adalah pengobatan diberikan
dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat, dikonsumsi secara
teraturm pengobatan diberikan alam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Terapi OAT bagi
pasien dengan kondisi khusus juga perlu diperhatikan, seperti pada kehamilan, ibu
menyusui, pengguna kontrasepsi, gangguan hati, gangguan ginjal dan pada pasien
DM.

B. Saran
Kepada para pembaca kami ucapkan selamat belajar dan manfaatkanlah makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu
ditungkatkan mutunya, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Harvey, R. A. dan Champe, P.C., 2013, Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 4, C.


Ramadhani, Dian [et al], Tjahyanto, Adhi, Salim, ed., Jakarta, Buku Kedokteran
EGC.

Irianti, dkk. (2016). Mengenal Anti-Tuberkulosis. Yogyakarta : Tim Penulis

Jawetz, M., Adelberg’s. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta. Salemba Medika.

Kementrian Kesehatan. 2010. Pengendalian Tuberkulosis Salah Satu Indikator


Keberhasilan Pencapaian MDGS. Jakarta. Kemenkes RI.
http://www.depkes.go.id/article/view/1061/pengendalian-tuberkulosis-salah-
satu-indikatorkeberhasilan-pencapaian-mdgs.html

Kementrian Kesehatan. 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Jakarta. Kemenkes


RI. http://www.depkes.go.id/article/view/1444/tbcmasalah-kesehatan-
dunia.html

Kenedyanti, E., & Sulistyorini, L. (2017). Analisis Mycobacterium Tuberculosis dan


Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 5(2), 152-162.

Medical Mini Notes. (2019). Basic Pharmacology and Drug Notes. Makassar : Team
Medical Mini Notes

Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. [e-book] Jakarta. Salemba Medika.

27
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-faktor terjadinya tuberkulosis. KEMAS:
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 122-128.

Werdhani, R. A. (2002). Patofisiologi, diagnosis, dan klafisikasi tuberkulosis.


Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga.
FKUI. Hal, 2-3.

28
PERTANYAAN

1. Bagaimana penggunaan terapi OAT untuk pasien dengan keadaan khusus


seperti hamil dan menderita DM? (Fitri Anggun G70118085)
2. Apa terapi yang diberikan untuk TB laten dan TB kronis yang sudah diberikan
obat namun tidak memberikan hasil yang optimal? (Nur Asita G70118042)
3. Mengapa isoniazid tidak bisa diberikan secara tunggal? (Desi Astriana
G70118018)
4. Kondisi seperti apa baru lini kedua diberikan? Apa terapi non farmakologi
bagi pasien penderita TB? (Ni Komang G70118021)
5. TB aktif menular melalui apa saja? Apakah bisa melalui keringat? (Siti
Alimah Syafiqah G70118044)
6. Kenapa lini kedua dari terapi TB dikatakan kurang efektif dan lebih toksik
daripada lini pertama? Bukannya lini kedua dari suatu penyakit harusnya lebih
efektif daripada lini pertama? (Deviani Widnesari G70118055)
7. Kalau seandainya pasien TB lupa minum obat, harus diulang atau bisa
diteruskan saja? (Mutmainnah Ukas Abd Latif G70118113)
8. Salah satu gejala TB adalah batuk darah, apakah semua orang yang batuk
darah sudah bisa dikatakan batuk darah? (Shella Monica G70118201)

JAWABAN

1. Penjawab : Silviana Hamdani G70118002


Terapi OAT untuk pasien dengan keadaan khusus seperti ibu hamil yaitu :
 Prinsip pengobatan TB pada kehamilan sama dengan pengobatan TB biasa
 Hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan
sAminoglikosida seperti streptomycin atau kanamycin karena dapat
menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent toxic) dan dapat menembut
barrier placenta.

29
 Pemberian piridoksin 50mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang
mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10 mg/hari
juga dianjurkan apabila Rifampicin digunakan ada trimester 3 kehamilan
menjelang persalinan.

Terapi OAT untuk pasien dengan keadaan khusu seperti DM yaitu :

 Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan panduan OAT
bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
 Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan.
 Hati-hati efek samping dengan penggunaan Ethambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
 Penggunaan Rifampicin perlu diperhatikan karena akan mengurangi
efektivitas sulfonylurea sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.
 Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesau untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan.

2. Penjawab : Silviana Hamdani G70118002


Pengobatan TB laten :
TB laten bisa berkembang menjadi TB aktif yang bergejala dan menular,
sehingga tetap perlu diobati. Dokter biasanya memberikan tiga pilihan obat
antibiotik di bawah ini:
 Isoniazid
Obat antibiotik ini paling umum diresepkan dalam penanganan TB laten.
Pasien biasa perlu mengonsumsi isonazid setiap hari selama sembilan
bulan.
 Rifampicin
Rifampicin atau rifampin menjadi pilihan bila pasien tidak dapat
mengonsumsi isoniazid. Obat ini perlu dikonsumsi tiap hari selama empat
bulan oleh penderita.

30
 Kombinasi isoniazid dan rifapentine
Kedua obat ini dapat dikonsumsi secara bersamaan, yakni satu kali
seminggu dan selama tiga bulan.

Pasien TB kronis dan telah diberikan obat lini pertama namun belum
menunjukkan hasil yang maksimal bisa jadi merupakan pasien yang resisten
terhadap OAT, sehingga terapi yang bisa diberikan yaitu OAT lini kedua yaitu
Kanamycin, Levofloxacin, Ethionamide, Cycloserine, Moxifloxacin, dan PAS
serta OAT lini 1 yaitu Pyrazinamide dan Ethambutol.

3. Penjawab : Rani Purwanti G70118098 dan Andi Muh. Agung G70118040


Isoniazid bisa digunakan secara tunggal untuk terapi TB laten, namun untuk
terapi TB aktif, penggunaan Isoniazid tunggal atau monoterapi mengarahkan
pada perkembangan strain resisten obat. Sehingga, terapi kombinasi
seharusnya menjadi satu-satunya terapi yang digunakan.

4. Penjawab : Nindah Amir G70118126, Fitri Anggun G70118085 dan Aqsalam


Ismail G70118014
Obat lini kedua diberikan pada pasien TB resistan obat. Semakin banyak
bakteri yang kebal terhadap obat TBC lini pertama. Resistansi bisa disebabkan
oleh pengobatan yang terputus, jadwal minum obat yang tidak teratur, atau
sifat bakteri yang resistan terhadap jenis antibiotik tertentu. Kondisi tersebut
dikenal dengan TB MDR (Multidrug Resistance). Biasanya, bakteri penyebab
TBC resisten terhadap dua jenis obat TB, yaitu rifampicin dan isoniazid.
Orang dengan TB MDR akan menjalani pengobatan TBC menggunakan obat
lini kedua.

Terapi non Farmakologi


 Sering berjemur dibawah sinar matahari pagi (pukul 6-8 pagi)
 Memperbanyak istirahat(bedrest) / istirahat yang cukup

31
 Diet sehat (pola makan yang benar), dianjurkan mengkonsumsi
banyaklemak dan vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru
danmeningkatkan sistem imun
 Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal.
 Menjaga sirkulasi udara di dalam rumah agar selalu berganti dengan
udarayang baru.
 Berolahraga secara teratur, seperti jalan santai di pagi hari.
 Minum susu kambing atau susu sapi
 Menghindari kontak langsung dengan pasien TB
 Rajin mengontrol gula darah

5. Penjawab : Ari Antoni Marbun G70118066 dan Nurul Afifah G70118145


Penularan TBC umumnya terjadi melalui udara. Ketika penderita TBC aktif
memercikkan lendir atau dahak saat batuk atau bersin, bakteri TB akan ikut
keluar melalui lendir tersebut dan terbawa ke udara. Selanjutnya, bakteri TB
akan masuk ke tubuh orang lain melalui udara yang dihirupnya. Jadi
hindarilah batuk di depan orang lain, gunakan masker, dan usahakan agar
sirkulasi udara dengan baik. Jadi TB tidak bisa ditularkan melalui keringat.

6. Penjawab : Aqsalam Ismail G70118015 dan Andi Muh. Agung G70118040


Obat lini kedua diberikan pada pasien TB resistan obat. Semakin banyak
bakteri yang kebal terhadap obat TBC lini pertama. Resistensi bisa disebabkan
oleh pengobatan yang terputus, jadwal minum obat yang tidak teratur, atau
sifat bakteri yang resistan terhadap jenis antibiotik tertentu. Kondisi tersebut
dikenal dengan TB MDR (Multidrug Resistance). Biasanya, bakteri penyebab
TBC resisten terhadap dua jenis obat TB, yaitu rifampicin dan isoniazid.
Orang dengan TB MDR akan menjalani pengobatan TBC menggunakan obat
lini kedua. Jadi obat lini kedua hanya diberikan bukan karena lini kedua lebih
efektif dan lebih kurang toksis dari lini pertama, tapi karena pasien sudah

32
resistensi dengan OAT lini pertama, makanya terapi obat harus diganti dengan
OAT lain yaitu OAT lini kedua.

7. Penjawab : Fitri Anggun G70118085


Obat TBC harus diminum teratur setiap hari selama 6-9 bulan agar dapat
membunuh seluruh kuman, mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
anti TBC tersebut. Apabila pasien lupa HANYA SATU HARI atau satu dosis
maka pasien dapat tetap melanjutkannya, tetapi apabila pasien nda lupa lebih
dari satu hari atau lebih maka pasien harus datang kembali ke dokter untuk
menanyakan apa yang harus pasien lakukan, dokter akan melakukan
pemeriksaan dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk pasien.

Bila pasien dalam sehari lupa untuk minum obat, biasanya obat TBC tetap
bisa dikonsumsi seperti biasa keesokan harinya. Namun, jangan sampai telat
mengonsumsi obat lagi di hari berikutnya. Sementara, jika pasien lupa minum
obat TBC hingga dua hari berturut-turut atau lebih, sebaiknya hubungi dokter
sebelum jadwal minum obat selanjutnya. Dokter akan memberikan petunjuk
pengobatan selanjutnya.

8. Penjawab : Serli G70118192, Fatima Siti Khomairah G70118138 dan


Aqsalam Ismail G70118015
Batuk darah adalah suatu keadaan di mana seseorang mengeluarkan darah dari
saluran pernapasannya. Saluran napas bagian bawah biasanya. Ada banyak
penyebab batuk darah. Misalnya karena infeksi atau non-infeksi. Hal ini
terjadi karena pecahnya pembuluh darah di paru atau jaringan sekitarnya.
batuk darah memang merupakan salah satu gejala dari TB tapi bukan hanya
tuberkulosis saja yang bisa menyebabkan seseorang mengalami batuk darah.
Kondisi seperti infeksi, pneumonia, radang paru, atau jamur juga pun bisa
membuat seseorang mengalami hal ini. Bahkan, bekas TB pun juga bisa
menimbulkan batuk darah. Walaupun begitu, tidak semua penderita

33
tuberkulosis akan mengalami batuk darah. Kalau lesinya mengenai paru-
parunya dan pembuluh darah di sekitarnya, membuat hal tersebut menjadi
rapuh yang menimbulkan batuk darah.

34

Anda mungkin juga menyukai