Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN 2

Hubungan Struktur Kimia dengan Absorpsi dan Distribusi Obat

Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu, misal melalui oral, parenteral, anal, dermal
atau cara lainnya, obat akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Selain proses di atas, kemungkinan obat akan mengalami modifikasi fisika yang melibatkan
bentuk sediaan atau formulasi obat, dan modifikasi kimia yang melibatkan perubahan struktur
molekul obat, dan hal ini dapat memengaruhi respons biologis.
Setelah diabsorpsi, obat masuk ke cairan tubuh dan didistribusikan ke organ-organ dan
jaringan-jaringan, seperti otot, lemak, jantung dan hati. Sebelum mencapai reseptor, obat
melalui bermacam-macam sawar membran, pengikatan oleh protein plasma, penyimpanan
dalam depo jaringan dan mengalami metabolisme.
Permukaan sel hidup dikelilingi oleh cairan sel yang bersifat polar. Molekul obat yang
tidak terlarut dalam cairan tersebut tidak dapat diangkut secara efektif ke permukaan reseptor
sehingga tidak dapat menimbulkan respons biologis. Oleh karena itu molekul obat memerlukan
beberapa modifikasi kimia dan enzimatik agar dapat terlarut, walaupun sedikit, dalam cairan
luar sel. Yang penting adalah harus ada molekul obat yang tetap utuh atau dalam bentuk tidak
terdisosiasi pada waktu mencapai reseptor dan jumlahnya cukup untuk dapat menimbulkan
respons biologis.
Proses absorpsi dan distribusi obat dapat dijelaskan dengan bagan seperti yang terlihat pada
Gambar 3.1.
Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah:
1. Fasa farmasetis, yang meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk
sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam
ketersediaan obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh.
2. Fasa farmakokinetik, yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran
(target) atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3. Fasa farmakodinamik, yaitu fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalamjaringan
sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis obat.

Hubungan fasa-fasa di atas dijelaskan dalam bentuk bagan seperti yang terlihat pada Gambar
3.2.

Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-proses


sebagai berikut.
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel spesifik dan
menimbulkan respons biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan
senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis (bioaktivasi).
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif,
kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.

Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang tetap
utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat akan berubah atau
terikat pada biopolimer. Tempat di mana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat
mencapai reseptor disebut sisi kehilangan (site of loss).

A. Hubungan Struktur Kimia dengan Absorpsi Obat


Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan dan
intraperitonial, melibatkan proses absorpsi obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral,
tidak melibatkan proses absorpsi, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian
menuju sisi reseptor (receptor site). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi
melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata.

Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan memengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan.

1) Absorpsi Melalui Saluran Cerna


Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada
saluran cerna.

Prinsip teori sebagai dasar untuk memahami proses absorpsi obat adalah sebagai
berikut (Lemke, et al., 2008).
a) Membran saluran cerna dan membran biologis lainnya bekerja sebagai sawar
lemak (lipid barrier).
b) Bentuk molekul atau tak terionkan dari obat yang bersifat asam atau basa, mudah
larut dalam lemak, mudah menembus membran biologis, sehingga akan diabsorbsi
dengan baik.
c) Sebagian besar obat akan diabsorpsi melalui mekanisme difusi pasif.
d) Kecepatan absorpsi dan jumlah obat yang diabsorpsi berhubungan dengan nilai
koefisien partisi lemak/air.
e) Obat yang bersifat asam lemah atau netral akan lebih banyak diabsorbsi di
lambung, sedang obat yang bersifat basa lemah akan lebih banyak diabsorpsi di
usus.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna
antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis
dan faktor lain-lain.
a) Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang
secara tidak langsung dapat memengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk
sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk dan larutan, proses absorpsi
obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati
kemungkinan juga berlainan.
b) Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
memengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga memengaruhi proses
absorpsi obat.
Contoh:
1. Penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah melarut dibanding penisilin V
bentuk basa.
2. Novobiosin bentuk amorflebih cepat melarut dibanding bentuk kristal.
c) Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah variasi keasaman (pH) saluran cema, sekresi cairan lambung, gerakan
saluran cema, luas permukaan saluran cema, waktu pengosongan lambung dan
waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi.
d) Faktor Lain-lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah
umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya
penyakit tertentu.

Absorpsi obat melalui saluran cema terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi. Suatu obat yang
bersifat basa lemah, seperti amin aromatik (AR-NH), aminopirin,asetanilid,kafein dan
kuinin, bila diberikan melalui oral, dalam lambung yang bersifat asam (pH=1--3,5),
sebagian besar akan menjadi bentuk ion (AR-NH,), yang mempunyai kelarutan dalam
lemak sangat kecil sehingga sukar menembus membran lambung. Bentuk ion tersebut
kemudian masuk ke usus halus yang bersifat agak basa (pH = 5-8), dan berubah menjadi
bentuk tidak terionisasi (AR-NH). Bentuk ini mempunyai kelarutan dalam lemak besar
sehingga mudah terdifusi menembus membran usus. Contoh distribusi teoritis senyawa
amin aromatik pada saluran cema dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Asam lemah, seperti asam salisilat, asetosal, fenobarbital, asam benzoat dan
fenol, pada lambung yang bersifat asam akan terdapat dalam bentuk tidak terionisasi,
mudah larut dalam lemak sehingga dengan mudah menembus membran lambung.
Senyawa yang terionisasi sempurna, pada umumnya bersifat asam atau basa kuat,
mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar menembus membran
saluran cerna. Contoh: asam sulfonat dan turunan amonium kuarterner, seperti
heksametonium, dekualinium dan benzalkonium klorida. Senyawa yang sangat sukar
larut dalam air, seperti BaSO4, MgO dan Al(OH)3, juga tidak diabsorpsi oleh saluran
cerna. Contoh perbandingan absorpsi berbagai macam obat di lambung tikus pada pH
1 dan 8 dan pada usus halus tikus pada pH 4 dan 8, dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa saluran cerna bersifat permeabel selektif
terhadap bentuk tidak terdisosiasi obat yang bersifat mudah larut dalam lemak. Makin
besar kelarutan dalam lemak makin tinggi pula derajat absorpsi obat ke membran
biologis. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2, yang menunjukkan hubungan antara
kelarutan beberapa senyawa dalam lemak, dinyatakan dalam koefisien partisi
kloroform/air, dan derajat absorpsi melalui membran biologis (dinding usus). Studi
tentang masalah yang berhubungan dengan absorpsi turunan amonium kuarterner pada
saluran cerna kadang-kadang sangat kompleks.

Contoh:
1. Pemberian secara oral anthelmintik turunan amonium kuartemer yang bersifat basa
kuat, seperti pirvinium pamoat (Povan) dan ditiazanin iodida, temyata obat tidak
diabsorpsi oleh saluran cema dan bersifat toksik terhadap cacing di usus. Bila
terserap, senyawa menimbulkan toksisitas sistemik yang tidak diharapkan.
2. Kecepatan absorpsi obat yang mudah terionkan, seperti turunan amonium
kuarterner, dalam epitel usus lebih lambat dibanding molekul yang tidak bermuatan
dan kecepatannya makin lama makin menurun. Hal ini disebabkan obat berinteraksi
dengan gugus karboksilat atau sulfonat yang terdapat pada mukosa usus,
membentuk senyawa kompleks yang sukar diabsorpsi.
3. Bila trimetilen-bis(trimetilamonium) diklorida yang relatiftidak aktif diberikan
secara oral bersama-sama dengan IN 292, suatu senyawa biskuarterner yang aktif
sebagai antihipertensi, akan terjadi potensiasi dan efek penurunan tekanan darahnya
meningkat. Diduga ha! ini disebabkan senyawa amonium kuarterner yang tidak
aktifberkompetisi dengan amonium kuarterner aktifpada mukosa sisi pengikatan
sehingga absorpsi molekul aktifmeningkat. Bila keduanya diberikan bersama-sama
secara intravena, tidak terjadi efek potensiasi.

(CH3)3-N+-CH2CH2CH2-N+-(CH3)3
Cl- Cl-

Trimetilen-bis (metilamonium) diklorida IN-292


2) Absorpsi Obat Melalui Mata
Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui
membran konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi
tergantung pada derajat ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang tidak
terionisasi dan mudah larut dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran mata.
Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam karena dalam
suasana tersebut bentuk tidak terionisasinya besar sehingga mudah menembus
membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah penetrasi lebih cepat dalam
suasana basa.

3) Absorpsi Obat Melalui Paru


Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui epitel
paru dan membran mukosa saluran napas. Karena mempunyai luas permukaan besar
maka absorpsi melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat.
Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:
a) Kadar obat dalam alveoli.
b) Koefisien partisi gas/darah.
c) Kecepatan aliran darah paru.
d) Ukuran partikel obat. Hanya obat dengan garis tengah lebih kecil dari 10 µm yang
dapat masuk peredaran aliran paru.

4) Absorpsi Obat Melalui Kulit


Penggunaan obat pada kulit pada umumnya ditujukan untuk memperoleh efek
setempat. Pada waktu ini sedang dikembangkan bentuk sediaan obat yang digunakan
melalui kulit dengan tujuan untuk mendapatkan efek sistemik. Absorpsi obat melalui
kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena epidermis kulit
berfungsi sebagai membran lemak biologis.

B. Hubungan Struktur Kimia dengan Distribusi Obat


Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke
seluruh jaringan dan organ tubuh. Melalui proses distribusi ini molekul obat aktif mencapai
jaringan sasaran atau reseptor obat. Proses distribusi dan eliminasi obat berlangsung secara
bersamaan dan pada umumnya proses distribusi obat lebih cepat dibanding proses
eliminasi.

Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada faktor-
faktor sebagai berikut.
a. Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak.
b. Sifat membran biologis.
c. Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh.
d. Ikatan obat dengan sisi kehilangan.
e. Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat.
f. Masa atau volume jaringan.
Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis melalui
proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika obat
dan sifat membran biologis.
Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
a) Difusi Pasif
Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi
pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak
penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.
1. Difusi Pasif melalui Pori
Membran sel mempunyai pori dengan garis tengah sekitar 4A° dan dapat dilewati
secara difusi oleh molekul yang bersifat hidrofil, molekul dengan garis tengah
lebih kecil dari 4A° dan molekul dengan jumlah atom C lebih kecil dari 3 atau
berat molekul lebih kecil dari 150. Kecepatan difusi obat tergantung pada ukuran
pori, ukuran molekul obat dan perbedaan kadar antar membran.
2. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak
Penyusun Membran Overton (1901), mengemukakan suatu konsep bahwa
kelarutan senyawa organik dalam lemak berhubungan dengan mudah atau
tidaknya penembusan membran sel. Senyawa non polar bersifat mudah larut
dalam lemak, mempunyai harga koefisien partisi lemak/air besar sehingga mudah
menembus membran sel secara difusi.
Peran koefisien partisi terhadap absorpsi obat turunan barbiturat dapat dilihat
pada Gambar 3.7.

Pada Gambar 3.7 terlihat bahwa makin besar nilai koefisien partisi klorofonn/air
dari bentuk tak terionisasi obat, makin besar persentase obat yang diabsorpsi.
3. Difusi Pasif dengan Fasilitas
Kadang-kadang beberapa bahan obat yang mempunyai garis tengah lebih besar
4A°, dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan
oleh perbedaan kadar antar membran. Pengangkutan ini berlangsung dari daerah
dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih rendah, dan berhenti
setelah mencapai keseimbangan. Gerakan ini tidak memerlukan energi dan terjadi
secara spontan.

b) Difusi Aktif
Penembusan membran secara difusi aktif dibedakan menjadi dua, yaitu sistem
pengangkutan aktif dan pinositosis.
1. Sistem Pengangkutan Aktif
Sistem pengangkutan aktif atau transpor aktif, mirip dengan proses difusi pasif
dengan fasilitas yaitu sama-sama berdasarkan teori pembawa membran.
Perbedaannya adalah:
a. Pengangkutan obat dapat berjalan dari daerah yang berkadar rendah ke
daerah yang berkadar lebih tinggi, jadi tidak tergantung pada perbedaan
kadar antar membran.
b. Pengangkutan tersebut memerlukan energi, yang berasal dari adenosin
trifosfat (ATP).
c. Reaksi pembentukan kompleks obat-pembawa memerlukan afinitas.
2. Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe spesifik pengangkutan aktif dari obat yang
mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel, seperti lemak, amilum,
gliserin dan vitamin A, D, E, K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem
fagositosis pada bakteri. Bila membran sel didekati oleh molekul obat maka
membran akan membentuk rongga yang mengelilingi molekul obat dan
kemudian obat bergerak menembus membran sel.
Proses pengangkutan aktif secara pinositosis dapat dilihat pada Gambar 3.9.
Mekanisme pinositosis ini berjalan sangat pelan sehingga dipandang kurang
penting sebagai suatu proses penembusan obat ke membran sel.
Inteaksi Obat dengan Biopolimer
Semua molekul organik asing yang masuk ke tubuh, kemungkinan besar berikatan
dengan konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asam nukleat,
mukopolisakarida, enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat-biopolimer
dipengaruhi oleh bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus
fungsional. Besar dan tipe interaksi obat-biopolimer tergantung pada sifat kimia fisika molekul
obat dan karakteristik biopolimer. Molekul obat berinteraksi dengan lebih dari satu biopolimer
yang berada dalam cairan luar sel, membran sel dan cairan dalam sel.
Interaksi obat-biopolimer memengaruhi awal kerja dan masa kerja obat serta besar efek
biologis yang ditimbulkannya. Berdasarkan sifatnya, interaksi obat-biopolimer dikelompokkan
menjadi dua, yaitu interaksi tidak spesifik dan interaksi yang spesifik.

1) lnteraksi Tidak Spesifik


Interaksi tidak spesifik adalah interaksi obat dengan biopolimer, yang hasilnya tidak
memberikan efek yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur
molekul obat maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat terpulihkan, ikatan kimia yang
terlibat pada umumnya mempunyai kekuatan yang relatif lemah. Interaksi tidak spesifik
tidak menghasilkan respons biologis.
Contoh interaksi tidak spesifik obat dengan biopolimer antara lain adalah interaksi obat
dengan protein, jaringan, asam nukleat, mukopolisakarida dan lemak.

a) Interaksi Obat dengan Protein


Di dalam tubuh terdapat protein, baik pada plasma darah maupun jaringan, yang
dapat berinteraksi dengan hampir semua molekul obat. Interaksi obat-protein bersifat
terpulihkan dan ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi ini adalah ikatan-ikatan ion,
hidrogen, hidrofob dan ikatan van der Waals. Pengikatan obat-biopolimer sebagian
besar terjadi dalam cairan darah dan kadar obat bebas dalam darah selalu berkaitan
dengan kadar obat yang terikat oleh protein plasma.
Kurang lebih 6,5% komposisi darah adalah protein, dan ± 50% dari protein
tersebut adalah albumin, yang mempunyai peran penting dalam proses pengikatan
obat. Albumin mempunyai berat molekul ± 69.000, bersifat amfoter, mempunyai pH
isoelektrik yang lebih rendah dibanding pH fisiologis (7,4), sehingga dalam darah
akan bermuatan negatif. Karena mengandung ion Zwitter, albumin dapat berinteraksi
baik dengan kation maupun anion obat. Selain albumin, protein yang sering mengikat
obat adalah y-globulin. Bila protein plasma telahjenuh, obat bebas dalam cairan darah
berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis. Bila kadar obat bebas
dalam darah menurun, kompleks obat-protein plasma akan terurai dan obat bebas
kembali ke plasma darah.
Untuk berinteraksi dengan protein plasma, molekul obat harus mempunyai
struktur dengan derajat kespesifikan tinggi walaupun tidak terlalu spesifik seperti pada
interaksi obat-reseptor. Pada umumnya, pengikatan obat oleh protein plasma lebih
tergantung pada struktur kimia dibanding dengan koefisien partisi lemak/air.
Contoh:
Analog tiroksin, untuk dapat bergabung secara maksimal dengan albumin plasma,
strukturnya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu mempunyai:
1. Struktur inti difenileter,
2. Empat atom iodida pada posisi 3,5 dan 3,5,
3. Gugus hidroksil fenol bebas,
4. Rantai samping alanin atau gugus anion yang terpisah dengan tiga atom C dari inti
aromatik.

Bila salah satu keempat syarat di atas tidak dipenuhi maka penggabungan analog
tiroksin dengan albumin plasma menjadi rendah. Hubungan antara struktur analog
tiroksin dengan penggabungan terhadap albumin plasma dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Pada Tabel 3.3 terlihat bahwa perubahan struktur rantai samping alanin,
hilangnya atom iodida dan perubahan gugus hidroksil fenol akan menurunkan
penggabungan analog tiroksin dengan albumin plasma secara drastis. Kompleks obat-
protein mempunyai beberapa fungsi, antara lain adalah.
1. Pengangkutan senyawa biologis, contoh: pengangkutan O oleh hemoglobin, Fe
oleh transferin dan Cu oleh seruloplasmin.
2. Detoksifikasi keracunan logam berat, contoh: pada keracunan Hg, Hg diikat secara
kuat oleh gugus SH protein sehingga efek toksisnya dapat dinetralkan.
3. Meningkatkan absorpsi obat, contoh: dikumarol diabsorpsi dengan baik oleh usus
karena dalam darah obat diadsorpsi secara kuat oleh protein plasma.
4. Memengaruhi sistem distribusi obat yaitu dengan membatasi interaksi obat
dengan reseptor spesifik, menghambat metabolisme dan ekskresi obat, sehingga
memperpanjang masa kerja obat.
Contoh: Suramin, obat antitripanosoma, bila diberikan dalam dosis tunggal secara
intravena, dapat mencegah serangan penyakit tidur selama beberapa bulan. Hal ini
disebabkan ikatan kompleks suramin-protein plasma cukup kuat dan kompleks
mempunyai ukuran molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati penyaringan
glomerulus. Kompleks suramin-protein plasma tersebut terdisosiasi dengan lambat,
melepas obat bebas sedikit demi sedikit sehingga obat mempunyai masa kerja yang
panjang.

b) lnteraksi Obat dengan Jaringan


Selain dengan protein plasma, obat dapat pula berinteraksi dengan jaringan
membentuk depo obat di luar plasma darah.
Contoh:
1. Klorpromazin HCl, suatu obat tranquilizer, pada keadaan kesetimbangan temyata
perbandingan total obat dalam jaringan otak dan plasma darah = 501:11, yang
berarti klorpromazin lebih terikat pada jaringan otak dibanding protein plasma.
Perbandingan kadar klorpromazin HCl dalam jaringan otak dan plasma darah
dapat dilihat pada Gambar 3.10.

2. Kuinakrin (Atebrin), suatu obat antimalaria, empat jam setelah pemberian secara
oral temyata kadar total obat dalam jaringan hati 2000 kali lebih besar dibanding
kadar total pada protein plasma. Ikatan kompleks obat-jaringan kadang-kadang
memengaruhi aktivitas biologis obat. Pengikatan obat oleh protein plasma dan
jaringan dapat memberi penjelasan mengapa kadar total obat yang tinggi dalam
darah belum tentu mempunyai keefektifan yang tinggi. Hal ini dijelaskan dengan
membandingkan kadar hipotetik obat A dan B dalam darah dan jaringan, seperti
yang terlihat pada Gambar 3.11.
Dari Gambar 3.11 disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kadar total obat A dalam darah lebih besar di banding kadar total obat B.
b. Bentuk terikat obat A lebih besar dibanding obat B.
c. Obat B lebih efektif dibanding obat A karena kadar obat B bebas lebih besar di
banding obat A dan di atas kadar efektif minimal (KEM) sehingga dapat
menimbulkan respons biologis.

Jadi yang lebih menentukan respons biologis adalah kadar obat bebas dalam
darah dan bukan kadar total obat dalam darah.

c) Interaksi Obat dengan Asam Nukleat


Beberapa obat tertentu dapat berinteraksi dengan asam nukleat dan terikat secara
terpulihkan pada asam ribosa nukleat (ribose nucleic acid= RNA), asam deoksiribosa
nukleat (deoxyribose nucleic acid= DNA) atau nukleotida inti sel. Contoh: kuinakrin,
obat antimalaria, akan terikat pada asam nukleat dengan kuat sehingga untuk
mencapai secara cepat kadar kemoterapetik hams diberikan dosis awal yang besar
d) Interaksi Obat dengan Mukopolisakarida
Mukopolisakarida merupakan makromolekul yang mempunyai gugus-gugus
polar dan sebagian besar bermuatan negatif. Daya hidrasinya sangat kuat, dan
makromolekul ini dapat mengikat secara tidak spesifik obat yang bermuatan positif
e) Interaksi Obat dengan Jaringan Lemak
Tubuh mengandung lemak netral cukup besar, ± 20-50% berat badan, yang
berfungsi sebagai depo obat-obat yang mudah larut dalam lemak. Dalam depo lemak,
obat terikat pada gliserida netral asam lemak, fosfolipid yang bersifat polar, seperti
lesitin dan sefaelin, sterol, seperti kolesterol, dan glikolipid, seperti serebrosida. Ikatan
obat-jaringan lemak bersifat terpulihkan dan tidak begitu kuat. Sifat kelarutan dalam
lemak dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat.
Contoh: Tiopental, suatu obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai
awal kerja dan masa kerja yang sangat singkat sehingga dimasukkan dalam golongan
barbiturat dengan kerja sangat singkat.
f) Pengaruh Lain-lain dari Interaksi Tidak Spesifik
Pada interaksi tidak spesifik, jumlah obat yang terikat pada tempat pengikatan
merupakan fungsi dari kadar obat, afinitas obat terhadap tempat pengikatan dan
kapasitas tempat pengikatan. Tempat pengikatan obat jumlahnya terbatas sehingga
kemungkinan dapat terjadi kejenuhan, walaupun pada dosis normal keadaan tersebut
jarang terjadi.
Afinitas terhadap tempat pengikatan dari tiap obat berbeda-beda, sehingga
kemungkinan terjadi persaingan antar molekul obat atau antara molekul obat dengan
bahan normal tubuh dalam memperebutkan tempat pengikatan. Hal ini dapat
memberikan pengaruh yang menguntungkan ataupun merugikan.
Contoh:
Fenilbutazon, oksifenbutazon, sulfinpirazon, etilbishidroksikumarin asetat,
bishidroksikumarin dan asam salisilat dapat mendesak turunan sulfonamida dari
ikatannya dengan albumin plasma. Sulfonamida yang terbebaskan mendifusi ke
jaringan dan menimbulkan efek antibakteri.

2) Interaksi Spesifik
Interaksi spesifik adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur
makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal,
yang diamati sebagai respons biologis. Yang termasuk interaksi spesifik adalah interaksi
obat dengan enzim biotransformasi dan interaksi obat dengan reseptor.
a) Interaksi Obat dengan Enzim Biotransformasi
Interaksi obat-enzim biotransformasi, ditinjau dari tipe interaksi, bersifat relatif
tidak spesifik tetapi bila ditinjau dari akibat interaksi temyata bersifat spesifik.
Contoh:
Fisostigmin, suatu penghambat enzim asetilkolinesterase, dapat menghambat
pemecahan asetilkolin pada reseptor spesifik sehingga terjadi pengumpulan
asetilkolin dalam tubuh dan menimbulkan respons kolinergik.
b) lnteraksi Obat dengan Reseptor
Tubuh mengandung makromolekul protein yang antara lain dapat berfungsi
sebagai berikut.
a. Menyusun alat regenerasi sel, contoh: asam nukleat.
b. Untuk pengangkutan senyawa biologis, contoh: hemoglobin untuk pengangkutan
O2.
c. Untuk kontraksi otot, contoh: aktin dan miosin.
d. Sebagai katalisator dan mengontrol proses mekanisme tubuh, contoh: enzim.
e. Sebagai reseptor obat.
Fungsi organ spesifik diatur oleh makromolekul yang bekerja sebagai pemicu
biologis dan dapat mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Fungsi
pemicu biologis tergantung pada struktur makromolekul yang terlibat. Bila suatu
mikromolekul obat berinteraksi dengan gugus fungsional makromolekul reseptor,
timbul suatu energi yang akan berkompetisi dengan energi yang menstabilkan
makromolekul tersebut, terjadi perubahan struktur dan distribusi muatan molekul,
menghasilkan makromolekul dengan bentuk konformasi yang baru. Perubahan
konformasi ini merupakan bagian penting dalam sistem pemicu biologis karena dapat
menyebabkan modifikasi fungsi organ spesifik sehingga timbul respons biologis.
Respon biologis inilah yang merupakan perbedaan utama antara interaksi spesifik dan
interaksi yang tidak spesifik.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap yaitu:
a. Kombinasi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi ini memerlukan
afinitas.
b. Kombinasi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul
protein sehingga timbul respons biologis.
Kombinasi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik) yaitu
kemampuan obat untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga
dapat menimbulkan respons biologis.

Contoh interaksi beberapa obat dengan reseptor spesifiknya dan respons biologis
yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Anda mungkin juga menyukai