Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan


dengan farmakokinetiknya, dan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu
bentuk sediaan ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya).
Bioavailibilitas adalah persentase zat aktif dalam suatu produk obat yang
tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh setelah pemberian obat
tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari
ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas suatu senyawa obat dari sediaannya
ditentukan/dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: kualitas dan sifat
fisiko-kimia bahan baku zat aktif yang dipakai, jenis dan komposisi bahan
pembantu, teknik pembuatan, dll. Dengan demikian, sediaan-sediaan obat yang
mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan yang sama
("pharmaceutical equivalent") tetapi diproduksi oleh pabrik yang berbeda bisa
menghasilkan efektivitas klinik yang berbeda.
Untuk mengetahui perbandingan kualitas dan mutu dua sediaan obat
tersebut perlu dilakukan uji bioekivalensi obat, khususnya yang berupa sediaan
padat dan digunakan secara sistemik menjadi penting dilakukan untuk
menjamin efektivitas obat yang bersangkutan. Uji ini disyaratkan untuk
dilakukan bagi produk obat copy, yaitu produk obat innovator/ pembandingnya.
Dua produk obat dinyatakan mempunyai ekuivalensi farmasetik jika
mengandung zat berkhasiat dalam jumlah dan bentuk sediaan yang sama.
Salah satu sediaan oral yang perlu diujikan bioekivalensi adalah sediaan
oral Itrakonazol.. Penelitian ini bertujuan untuk evaluasi ketersediaan hayati
sediaan kapsul itrakonazol 100 mg (PT Dexa Medica) yang dibandingkan
dengan kapsul produk originnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk

1
membuat makalah tentang studi perbandingan bioavailabilitas antijamur pada
dua sediaan Itrakonazol untuk memenuhi tugas biofarmasetika.

B. Maksud
1. Bagimana mekanisme obat dalam tubuh?
2. Bagaimana biovailabilitas dan bioekivalensi?
3. Bagimana bentuk sediaan oral ?
4. Apa saja optimasi ketersediaan hayati?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui mekanisme obat dalam tubuh
2. Untuk mengetahui biovailabilitas dan bioekivalensi
3. Untuk mengetahui bentuk sediaan oral
4. Untuk mengetahui optimasi ketersediaan hayati

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mekanisme Obat dalam Tubuh

Setiap obat yang masuk ke tubuh (kecuali yang diberikan secara


intravena) akan melalui proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian


ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian
obat (oral, kulit, paru, otot dan lain-lain. Absorpsi sebagian besar obat
secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi adalah membran sel epitel
saluran cerna. Pemberian intravena tidak mengalami absorpsi, maka kadar
obat dalam darah diperoleh secara tepat, cepat dan dapat disesuaikan
dengan renspon penderita.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada


saluran cerna antara lain :

3
a. Bentuk sediaan

Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang


secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis
obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat
memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati
kemungkinan juga berlainan.

b. Sifat fisika kimia obat

Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat
dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu
bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan
derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih
mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam
lemak

c. Faktor biologis

Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung,


gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit
dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.

b. Distribusi

Obat dalam darah akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah ( ikatan hidrofobik, van der walls, hidrogen dan ionik ). Obat
yang terikat protein plasma akan dibawa oleh protein plasma akan dibawa
oleh darah keseluruh tubuh sedangkan obat bebas akan keluar ke jaringan
ke tempat kerja obat kemudian ke jaringan yang membutuhkan obat
tersebut lalu ke hati (dimana obat mengalami metabolisme menjadi
metabolit yang dikeluarkan melalui empedu ata masuk kembali ke darah)
dan ke ginjal (dimana obat/metabolitnya di ekskresi ke dalam urin). Pada
jaringan obat yang larut air akan tetap berada di luar sel sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke

4
dalam sel tetapi karena perbedaan pH di dalam sel dengan di luar sel
maka obat-obat yang bersifat asam lebih banyak diluar sel dan obat-obat
basa lebih banyak di dalam sel. Ikatan obat dengan protein plasma
merupakan ikatan yang reversibel.

Obat + Protein Obat –Protein


Maka jika obat bebas telah keluar jaringan, obat yang terikat protein akan
menjadi bebas sehingga distribusi berjalan terus sampai habis.

c. Metabolisme

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, tempat metabolisme


yang lain seperti paru, dinding usus, ginjal, darah, otak, kulit, dan di lumen
kolon (oleh flora usus). Reaksi metabolisme obat terdiri dari reaksi fase I
dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi dan hidrolisis
yang menmgubah obatmenjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif,
lebih aktif atau kurang aktif sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi
konjugasi dengan substrat endogen seperi asam glukuronat, asam sulfat,
asam asetat, atau asam amino dan hasilnya menjadi sangat polar dengan
demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I
saja atau reaksi fase II saja atau reaksi I dan diikuti reaksi fase II.

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim


cytochrome P450 (CYP) yang digunakan untuk metabolisme obat. Pada
fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-
glukuroniltransferase yang terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi
juga dijaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, dan kulit) interaksi
dalam metabolisme obat berupa inhibisi atau induksi enzim metabolisme.
Inhibisi enzim metabolisme terjadi secara langsung dengan akibat
peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat
juga terjadi secara langsung. Untuk mencegah terjadinya toksisitas
diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak

5
boleh diberikan bersama penghambatnya (kontraindikasinya) jika
akibatnya membahayakan. Hambatan pada umumnya bersifat kompetitif
(karena merupakan substrat dari enzim yang sama) tetapi dapat juga
bersifat nonkompetitif (bukan substat dari enzim).

d. Ekskresi

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat


diekresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh merupakan cara eliminasi obat
melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses yakni proses
filtrasi glomerulus, sekresi aktif ditubulus proksimal dan reabsorpsi pasif
disepanjang tubulus.

2. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi

Bioavailabiltas suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi


(exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu
terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari
perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah dan
eksresinya dalam urin terhadap waktu.

Bioavailabilitas terbagi menjadi 2, yaitu:

 Bioavailabilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi


sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat
aktif tersebut dengan pemberian intra vena.
 Bioavailabilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain
selain intra vena.

Faktor yang mempengaruhi bioavailabiltas:

 Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan zat tambahan.

6
Sifat kimia-fisik bahan baku merupakan pertimbangan dalam membuat
preparat untukdapat memberikan efek terapeutik optimal. Faktor ini
memegang peranan penting dalam kelarutan obat. Beberapa faktor kimia-
fisik yang berperanan ialah : Crystal solvate, bentuk garam, ukuran
partikel (particle size), bentuk kristal.

Pengaruh formulasi terhadap bioavailabilitas obat jelas tampak pada


beberapa tahap proses yang mempengaruhi kecepatan absorbs obat dari
sediaan tablet/kapsul yang dapatdigambarkan sbb : sediaan mengalami
proses pemecahan(disintegrasi) menjadi granul-granul; ini diikutidengan
pelepasan zat aktif dari granul(disaggregasi) dan larut ke dalam cairan
usus(dissolusi), untuk kemudian di absorpsi

Zat pengisi, pengikat, pembantu disintegrasi, pelican dan pewarna dapat


mempengaruhi kecepatan dissolusi obat. Dengan demikian mempengaruhi
bioavailabilitas obat tersebut.

 Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis,


posisis dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).
 Rute pemberian (oral, iv, dsb)

7
 Antraksi obat/makanan, misalnya grisovulvin sukar larut dalam air.
Apabila diberikan bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam
tubuh, digunakan surfaktan alami sehingga baik diabsorpsi.

Tujuan bioavaibilitas:

 Pengembangan ilmu
 Pengembangan produk/formulasi
 Pengembangan senyawa baru
 Jaminan mutu produk (quality control)

a. Ekivalensi farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan
yang sama.
b. Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam,
ester, dsb) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
c. Ekivalensi terapeutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya
mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan
pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi
klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian,
ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji
klinik.seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik.
d. Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada
pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas
yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun

8
keamanan. Jika bioavailabilitas nya yang tidak memenuhi kriteria bioekivalen
maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen

Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam uji BA/BE:

1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (absorpsi, distribusi,


metabolisme, dan eliminasi).
2. Pemilihan metode analisis yang tepat: hal ini diperlukan untuk mengetahui
efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-efek tersebut.
3. Stabilitas obat dalam sampel
4. Penyusunan percobaan protokol yang tepat: sebelum dilakukan uji,
sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik
terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah.

e. Produk obat pembanding (reference product)


Produk obat inovator yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia
berdasarkan penilaian dossier lengkap yang membuktikan efikasi, keamanan
dan mutu. Hanya jika produk obat inovator tidak dipasarkan di Indonesia atau
tidak lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar di pasar,
maka dapat digunakan produk obat inovator dari primary market (Negara
dimana produsennya menganggap bahwa efikasi, keamanan dan kualitas
produknya terdokumentasi paling baik) atau produk yang merupakan market
leader yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian
efikasi, keamanan dan mutu. Produk obat pembanding yang akan digunakan
harus disetujui oleh Badan POM.
f. Produk obat “copy”
Produk obat yang mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan
alternative farmaseutik dengan produk obat inovator/pembandingnya, dapat
dipasarkan dengan nama generik atau dengan nama dagang.
3. Obat Jamur
Infeksi jamur pada manusia dari segi terpeutiknya dapat dibedakan
atas infeksi sistemik, dermatofit, dan mukokutan.

9
a. Anti jamur untuk infeksi sistemik, terdiri dari
 Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi streptomyces nodosus.
Aktivitas antijamur amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan
sel matang. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung
pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi.
 Flusitosin
Flusitosin merupakan antijamur sintetik yang berasal dari fluorinasi
pirimidin. Spektrum antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif
untuk pengobatan kriptokokosis, kandidiasis, kromomokosis, torulopsis,
dan aspergilosis.
 Imidazol dan Triazol
Antijamur golongan imidazol dan triazol mempunyai spektrum yang luas.
Kelompok imidazole terdiri atas ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol,
sedangkan kelompok triazol meliputi itrakonazol, flukonazol, dan
vorikonazol.
Ketokonazol, merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur mirip
mikonazol dan klotrimazol. Aktivitas antijamur ketokonazol aktif sebagai
antijamur baik sistemik maupun nonsistemik., efektif terhadap candida,
coccidiodes immitis, cryptococcus neofarmans, H. Capsulatum, B.
Dermatitidis, aspergilus dan aporothrix spp.
Itrakonazol, merupakan antijamur sistemik turunan triazol yang
berhubungan erta dengan ketokonazol. Obat ini dapat diberikan secara
peroral dan IV. Aktivitas antijamurnya lebih lebar sedangkan efek samping
yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol.
Itrakonazol diserap lebih sempurna melalui salurancerna bila diberikan
bersama makanan. Itrakonazol seperti golongan azol lainnya uga
berinteraksi dengan enzim mikrosom hati tapi tidak sebanyak ketokonazol.
Itrakonazol tersedia dalam kapsul 100 mg, suspensi 10 mg/mL dan larutan
IV 10 mg/mL dengan bioavailabilitas yang lebih baik.

10
b. Anti jamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, terdiri dari :
 Griseofulvin
Griseofulvin di isolasi dari penicillium griseovulum dierckx. Aktivitas anti
jamur griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenisjamur dermatofit
seperti trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Griseofulvin
bersifat fungisidal pada sel muda yang sedang berkembang. Griseofulvin
memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur dikulit, rambut, dan
kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitif.
 Imidazol dan Triazol
Golongan ini memiliki spektrum yang luas, terdiri dari mikonazol dan
klotrimazol. Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif
stabil, mempunyai spektrum antijamur yang luas terhaap jamur dermatofit.
Mikonazol menghambat aktivitas jamur Trichophyton, Epidermophyn,
candida. Mikonazol in vitro efektif terhadap beberapa kuman gram positif.
Klotrimazol merupakan turunan triazol, dan mempunyai efek antijamur
antibakteri dengan mekanisme kerja mirip mikonazol dan secara topikal
digunakan untuk pengobatan tinea pedis juga untuk infeksi kulit dan
vulvovaginitis yang disebabkan oleh C. Albicans.
 Tolnaftat dan Tolsiklat
Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian
besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
Tolsiklat adalah antijamur topikal yang diturunkan dari tiokarbamat.
Namun karena spektrumnya sempit antijamur ini tidak banyak digunakan
lagi
 Nistatin
Nistatin dihasilkan oleh streptomyces noursei. Nistatin menghambat
pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri,
protozoa dan virus.

11
4.. Bentuk Sediaan Oral

a. Obat Cair (liquid)

 Solutio:
Larutan dari sebuah zat dalam suatu cairan / pelarut, dimana zat pelarutnya
adalah air, bila bukan air maka harus dijelaskan dalam namanya, misalnya
minyak kamfer, nitrogliserin dalam spiritus
 Mixtura:
Larutan yang didalamnya terdapat lebih dari satu macam zat, yang dapat
berupa campuran dari cairan dengan zat padat, cairan dengan cairan, cairan
dengan extrak kental
 Suspensi:
Sediaan cairan yang mengandung partikel padat tidak larut yang terdispersi
dalam fase cair (cairan pembawa), zat yang terdispersi harus halus dan tidak
boleh cepat mengendap dan dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin
stabilitas suspensi serta tidak boleh terlalu kental agar sediaan mudah dikocok
dan dituang
 Sirup:
Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi.
 Elixir:
Larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven.
 Emulsi
Adalah dua fase cairan dalam sistim dispersi (tetesan) dimana fase cairan yang
satu terdispersi sangat halus dalam merata dalam fase cairan lainnya dan
umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi (Emulgator).

Emulsi O/W: Emulsi minyak dalam air, dimana minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi / pembawa (emulsi ini
dapat dicernakan dengan air). Emulgatornya larut dalam air.
Contoh : susu (emulgatornya putih telur) Scott Emultion

12
Emulsi W/O: Emulsi air dalam minyak, dimana air atau larutan air yang
merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak
merupakan pembawa atau pendispersi (Emulsi ini dapat diencerkan dengan
minyak). Emulgatornya larut dalam minyak.
contoh : Mentega, Ianolin

b. Obat Padat (Solid)

 Pulvis dan pulveres adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan dan digunakan untuk pemakaian oral ataul luar. isi serbuk terdiri
dari:

1. Obat (tunggal / campuran)


2. Konstituen / vehiculum : Untuk serbuk oral à Saccharum Lactis, untuk
serbuk tabur à Talcum venetum, Bolus Alba, Amylum.

 Tablet Kunyah

Untuk dikunyah dan memberikan residu dengan rasa enak dalam rongga
mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan rasa pahit atau tidak enak, serta
biasanya untuk anak – anak (terutama untuk multivitamin, antasisda
antibiotik tertentu)

 Tablet Buih / Efervesen

Selain mengandung zat aktif, juga mengandung campuran asam dan natrium
bicarbonat, yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan CO2, maka
tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat atau pada kemasan tahan
lembab.

13
 Tablet Hisap / Lozengens

Padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan
dasar beraroma dan manis yang membuat tablet melarut atau hancur perlahan
dalam mulut.

 Tablet bersalut

Disalut dengan bahan penyalut untuk maksud tertentu.


Tujuannya:

 Menutupi rasa tidak enak (mis. Kina)/ bau yang tidak enak (mis.
Vitazym)
 Membuat penampilan lebih baik menarik dan biasanya diberi warna
bagus dan mengkilap
 Melindungi obat / zat aktif terhadap pengaruh udara, kelembapan dan
cahaya (mis. Obat – obat yang hygroskopis dan mudah teroksidasi)
 Mengatur tempat pelepasan obat dalam saluran cerna.

 Tablet bersalut gula / dragee. Disalut dengan lapisan terdiri dari campuran
gula dan bahan lain yang cocok, dengan atau tanpa menambah zat warna.
 Tablet bersalut selaput / film Coated Tablet. Disalut dengan lapisan selofan,
metilselulosa, povidon atau bahan lain yang cocok
 Tablet bersalut kempa / salut kering. Disalut dengan massa granula terdiri
dari Laktosa, Calsium Fosfat atau bahan lain yang cocok à untuk
mempercepat lepasnya satu obat dan obat lain
 Tablet bersalut enteric / Enteric coated. Disalut sedemikian rupa sehingga
obat tidak hancur dalam lambung tapi hancur dalam usus halus, yang disebut
juga Delayed Action. Bahan penyalutnya adalah bahan yang tahan terhadap
pengaruh asam lambung yaitu Sehellak, keratin dan salol. Tablet ini dibuat
untuk obat – obat yang dapat mengiritasi lambung dan obat –obat yang dapat
rusak bila kena asam lambung (contoh : Voltaren Aropas)

14
 Capsulae / capsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut, dimana didalamnya dapat diisi dengan obat
serbuk, butiran atau granul, cair, semi padat.

5. Optimasi Ketersediaan Hayati

Optimasi ketersediaan hayati sediaan oral dapat dilakukan pada saat


preformulasi, dan melakukan formulasi dengan menggunakan teknologi yang
lebih baik, sehingga sistem penghantaran obat akan lebih baik. Pemakaian
tekhnologi dan formulasi yang baik akan menentukan:

 Bentuk sediaan; menentukan pre disposisi obat dalam tubuh


 Pelepasan zat aktif yang diharapkan sempurna
 Absorpsi; bentuk yang diharapkan ialah bentuk aktif, terlarut dan tidak
terion.
 Bioavailabilitas tinggi

Sediaan oral memiliki dua bentuk, yaitu bentuk padat dan bentuk cair.
Bentuk padat ada tiga bentuk sediaan oral padat, yaitu serbuk, kapsul dan
tablet. Serbuk harus dibasahi oleh cairan di saluran cerna agar dapat terlarut.
Kualitas suatu serbuk halus obat ditentukan oleh; energi penggabungan,
porositas, karakter hidrofil/hidrofob, bentuk dan keadaan porositas partikel.

1. Kapsul

Pembukaan kapsul gelatin. Gelatin melarut, cangkang dimasuki


cairan, lalu rusak dan lepas menjadi dua bagian dalam waktu 3-5 menit, isi
kapsul terlepas dan memasuki media sebelum cangkang terlarut sempuran,
cairan lambung merembes ke dalam isi kapsul. Pembukaan kapsul
dipengaruhi oleh ukuran kapsul, pH lambung, suhu, interaksi gelatin dan
isi kapsul, waktu dan kondisi penyimpanan sediaan. Pembasahan dan
penyebaran serbuk akan mempengaruhi proses melarutnya zat aktif.
Peningkatan proses pembasahan dengan cara penambahan surfaktan.

15
2. Tablet

Predisposisi zat aktif: penghancuran tablet dengan bantuan


pemberian dengan cairan, pelepasan zat aktif, pelarutan; ukuran partikel,
laju pelarutan, penyerapan.

Optimasi ketersediaan hayati dengan cara meningkatkan


tekhnologi dan formulasi.

 Teknologi
 Pertimbangan gaya kempa dan porositas masa tablet
 Jenis mesin pengempa
 Metode pembuatan; kempa langsung atau granulasi basah dan granulasi
kering
 Formulasi
 Pemilihan eksepien; pengisi, penghancur, pelican, lubrikan (mencakup
konsentrasi, criteria pemilihan dan cara penambahan)
 Cara pemberian dan pelepasan secara in vivo.

2. Bentuk cair

Dibagi dua, yaitu system larutan (zat aktif terlarut) dan system dispersi
(zat aktif terdispersi). System Larutan (zat aktif terlarut)
- Jika kelarutan zat tinggi terhadap pelarutnya, maka zat akan terlarut sempurna
- Jika kelarutan zat rendah terhadap pelarutnya, maka zat harus ditingkatkan
kelarutanya. Peningkatan kelarutan (optimasi ketersediaan hayati) dapat
dilakukan dengan berbagai cara, anatra lain:

 Mengubah konstanta dielektrik pembawa melalui penggunaan pelarut


campuran.
 Zat aktif yang sangat larut dalam lemak dilarutkan dalam pembawa yang
mudah terdispersi dalam air dan tipe minyak esterifikasi

16
 Modifikasi zat aktif sehingga lebih larut air, melalui cara:
Pembentukan garam (garam HCl atau garam asam organic; sitrat, oksalat,
askorbat, dll). Interaksi dengan zat lain (kafein-Na. benzoate, Riboflavin-
kafein). Penambahan surfaktan dalam larutan.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Setiap obat yang masuk ke tubuh (kecuali yang diberikan secara intravena)
akan melalui proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Setiap
obat yang masuk ke tubuh (kecuali yang diberikan secara intravena) akan
melalui proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
2. Bioavailabiltas suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent)
obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi.
Extent biasanya dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari
perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah
dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
3. Optimasi ketersediaan hayati sediaan oral dapat dilakukan pada saat
preformulasi, dan melakukan formulasi dengan menggunakan teknologi
yang lebih baik, sehingga sistem penghantaran obat akan lebih baik.
Pemakaian tekhnologi dan formulasi yang baik akan menentukan: Bentuk
sediaan; menentukan pre disposisi obat dalam tubuh. Pelepasan zat aktif
yang diharapkan sempurna.Absorpsi; bentuk yang diharapkan ialah bentuk
aktif, terlarut dan tidak terion. Bioavailabilitas tinggi

B. Saran
Adapun saran dan masukkan dari para pembaca sekiranya bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ansel , Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI – Press

Ardiariniaa, ari., 2006., Perbandingan Bioavailabilitas ( Bioekivalensi ) Obat


Cimetidine Dalam Sediaan Generik Dan Paten Secara In Vitro., Artikel
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang
Cerimin Dunia Kedokteran, Max Joseph Herman. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
FKUI, 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta : Gaya Baru.
Mufti, N.H. 1976. Bioavailability Obat Pada Pemakaian Per Oral. Cermin Dunia
Kedokteran7: 35-37.
Ringoringo, Victor S, 1985. Bioavailabilitas. Cermin Dunia Kedokteran: 49-52.
Shargel, Leon. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. 2005. Surabaya:
Airlngga University Press
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor : Hk.00.05.3.1818 Tentang Pedoman Uji Bioekivalensi.
http://www.scribd.com/doc/43948937/Bioavailabilitas-Obat-Pada-Pemakaian-
Per-Oral

19

Anda mungkin juga menyukai