Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

EFEK FARMAKOKINETIKA OBAT PADA HEWAN UJI (ABSORPSI)

Disusun oleh
Nama : Wahyuni futri
Nim : 2020E1C060
Kelas : 4C

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2022
A. Tujuan Praktikum

1. Mahasiswa mampu menguasai perhitungan konversi dosis fenobarbital manusia ke


mencit
2. Mahasiswa mampu menguasai onset dan durasi fenobarbital pada mencit
3. Mahasiswa mampu menguasai onset dan durasi fenobarbital melalui berbagai rute
pemberian obat

B. Dasar Teori

Senyawa obat adalah zat kimia (sintetik/alami) selain makanan yang bertujuan untuk
mempengaruhi fungsi tubuh, biokimiawi, psikologis dan khususnya untuk diagnosa,
pengobatan, melunakkan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit pada manusia atau
hewan.

Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis,mengurangi rasa
sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.

Menurut PerMenKes 917/MenKes/Per/X/1993, obat (jadi) adalah senyawaatau padu-


paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi/menyelidiki secara fisiologis dalam
rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi. 

Obat merupakan sediaan atau padu-paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi/menyelidiki system fisiologis atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI,2005).

Obat yang diberikan pada pasien akan banyak mengalami proses sebelum tiba pada
tempat tujuannya dalam tubuh , yaitu tempat kerjanya atau reseptor, obat harus
mengalami beberapa proses. Obat yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai cara
pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai
ditempat kerja dan menimbulkan efek. Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak
sekali proses dan umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga
fase:

1. Fase Farmasetik

Fase ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,
pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Karena itu fase iniutamanya
ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalamketersediaan obat
untuk diabsorpsi ke dalam tubuh (ketersediaan farmasetik).

2. Fase Farmakokinetik
Fase ini meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Faseini
berperan dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma (ketersediaan hayati)
sehingga dapat menimbulkan efek. Fase ini termasuk bagian prosesinvasi dan
eliminasi. Yang dimaksud dengan invasi adalah proses-proses yang berlangsung
pada pengambilan suatu bahan obat dalam organisme, sedangkan eliminasi
merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasiobat dalam
organisme.

3. Fase Farmakodinamik

Fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi obat. Fase ini berperan
dalam menentukan seberapa besar efek obat dalam tubuh.Suatu obat mungkin
lebih efektif jika diberikan melalui salah satu cara pemberian, tetapi tidak atau
kurang efektif melalui cara pemberian yang lain.Perbedaan ini salah satunya dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan absorpsi dari berbagai cara
pemberian tersebut. Konsekuensinya,efek farmakologi yang ditimbulkan juga
berbeda untuk masing-masing pemberian.

Obat dalam tubuh mengalami fase farmakokinetik, yaitu ADME(Absorpsi, Distribusi,


Metabolisme, Ekskresi).

a. Absorpsi

Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian/aplikasi menuju ke


sirkulasi/peredaran darah yang selanjutnya mencapai target aksiobat. Hal ini
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan
dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tapi secara klinik yang paling penting
adalah bioavailibilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat dalam persen yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena obat-obat
tertentu tidak semua diabsorpsidari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian
per oral atau dimetabolisme dihati pada first pass metabolism. Obat demikian
memiliki bioavailibilitas rendah.

i. Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

Sifat fisika-kimia obat


Bentuk sediaan obat
Dosis obat
Rute dan cara pemberiane
Waktu kontak dengan permukaan absorpsif
Luas permukaan tempat absorpsi
Nilai PH cairan pada tempat absorpsi
Integritas membrane
Aliran darah pada tempat absorpsi
ii. Jumlah obat yang dapat diabsorpsi dipengaruhi oleh:

o Luas permukaan absorpsi 

Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi


semakin banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah
obat yang diabsorpsi semakin sedikit

o Banyaknya membrane yang dilalui obat

Semakin banyak membrane yang dilalui, maka obat yang diabsorpsi


semakin sedikit. Sebaliknya, jika membrane yang dilalui sedikit maka
obat yang diabsorpsi semakin banyak

o Banyaknya obat yang terdegradasi

Semakin banyak obat yang terdegradasi, maka obat yang diabsorpsi


semakin sedikit, begitu pula sebaliknya

o Jumlah ikatan depot

Banyaknya ikatan depot obat dengan molekul tidak aktif


(albumin,lemak, tulang) berpengaruh pada jumlah obat yang
diabsorpsi, yaitu semakin banyak ikatan depot maka semakin sedikit
jumlah obat yang diabsorpsi, begitu pula dengan sebaliknya

iii. Mekanisme absorpsi obat dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:

o Difusi pasif

Proses perpindahan molekul obat yang bersifat spontan, mengikuti


gradient konsentrasi, dari konsentrasi tinggi (hipertonis) ke konsentrasi
yang rendah (hipotonis), berbanding lurus dengan luas permukaan
absorpsi, koefisien distribusi senyawa yang bersangkutan, dan
koefisien difusi serta berbanding terbalik dengan tebal membrane.
 
o Transpor aktif

Molekul ditranspor melawan gradient transportasi. Proses ini


memerlukan adanya energi dan dapat dihambat oleh senyawa
analog,secara kompetitif dan secara tak kompetitif oleh racun
metabolisme.
 
o Difusi terfasilitasi
Molekul hidrofil sulit untuk menembus merman yang komposisi
luarnya adalah lipid, maka berikatan dengan suatu protein pembawa
yang spesifik. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat
bergerak bebas dalam membran, dengan demikian penetrasi zat yang
ditransport melalui membrane sel lipofil kedalam bagian dalam sel
dipermudah.

b. Distribusi

Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, untuk mencapai tepat pada letakdari
aksi harus melalui membrane sel yang kemudian dalam peredaran,kebanyakan obat-
obatan didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi merupakan transfer obat yang
reversible antara letak jaringan dan plasma. Pola distribusi menggambarkan
permainan dalam tubuh oleh beberapa factor yang berhubungan dengan
permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan ikatan pada makromolekul. Distribusi obat
dibedakan menjadi dua fase berdasarkan penyebarannya dalam tubuh. Fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan yaitu kedalam organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih
luas, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik jaringan diatas yang
meliputi otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Factor-faktor yang berhubungan
dengan distribusi obat dalam badan adalah:

Perfusi darah melalui jaringan


Kadar gradient, pH, dan ikatan zat dengan makromolekul
Partisi kedalam lemak
Sawar
Ikatan obat dengan protein plasma

c. Metabolisme

Biotransformasi atau metabolism adalah proses perubahan struktur kimia obat


didalam tubuh yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi bentuk yang lebih polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut
didalam lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain intu pada umumnya
obat diubah menjadi bentuk inaktif, sehingga proses biotransformasi menentukan
dalam mengakhiri kerja obat.

d. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan organ ekskresi
yang terpenting. Ekskresi pada ginjal merupakan resultan dari tiga proses yaitu filtrasi
diglomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal dan reabsorpsi pasif di tubulus
proximal dan distal. Ekskresi obat selain pada ginjal juga dapat terjadi melalui air
liur, keringat, air mata, air susu dan rambut.
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Berikut ini ada
beberapa cara pemberian obat berdasarkan ada tidaknya intervensi saluran
pencernaan (melewati gastrointestinal)

a) Enteral

Merupakan cara pemberian obat melalui saluran pencernaan, umumnya obat


ditujukan untuk efek secara sistemik. Contoh pemberian obat secara enteral
yaitu:
 
b) Per oral (p.o)

Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian


melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum
karena mudah digunakan, relative aman, murah dan praktis (dapat dilakukan
sendiri tanpa keahlian dan alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara
peroral adalah efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat
tidak teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara
100%dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
 
c) Jumlah makanan dalam lambung
d) Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroralakan
dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal.
e) Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapatdiabsorpsi.
f) Dikehendaki kerja awal yang cepat. 
g) Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh darisuatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik.

Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek sistemik,
yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi
absorpsi obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran gastrointestinal.
Tetapi ada obat yang memberi efek lokal dalam usus atau lambung karena obat yang
tidak larut, misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang
digunakan untuk menetralkan asam lambung.

a. Sublingual

Merupakan cara pemberian obat melalui mukosa mulut. Keuntungannya


absorpsi lebih cepat daripada peroral, karena pada mukosa mulut banyak
terdapat pembuluh darah. Namun cara pemberian ini tidak bisa digunakan
untuk obat yang rasanya tidak enak sehingga jenis obat yang dapat diberikan
secara sublingual sangat terbatas.
 
b. Per rektal
Biasanya cara pemberian ini dilakukan pada penderita muntah muntah, tidak
sadar, dan pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas pertamanya
sebesar 59%. Namun, cara pemberian melalui rektal dapat mengiritasi
mukosarektum, absorpsinya tidak sempurna, dan tidak teratur. 
 
c. Parenteral

Cara pemberian ini tidak memasukkan obat ke dalam tubuh melalui saluran
cerna. Pemberian obat secara intravaskuler termasuk ke dalam parenteral.
Berdasarkan ada tidaknya proses absorbsi, pemberian obat dibagi menjadi
2,yakni:

Intravaskuler

Merupakan cara pemberian obat yang pengaplikasiannya pada


pembuluh darah, meliputi intra vena dan intra cardiac, intra arterial.
Intravena tidak mengalami proses absorpsi karena semua obat masuk
sirkulasi sistemik, bioavalibilitasnya 100% serta kadarnya akurat.
Namun, efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik kembali jika
ada kesalahan dosis, serta perlu teknik medik khusus. Intra cardiac
merupakan cara pemberian yang langsung dimasukkan ke dalam
pembuluh darah cardiac.
 
Ekstravaskuler

Merupakan pemberian obat yang aplikasinya di luar pembuluh darah.


Ada 3 macam, yaitu:

1. Intra muscular (i.m)

Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada


otot pantat dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat
banyak pembuluh darah dan saraf sehingga relative aman untuk
digunakan. Obatdengan cara pemberian ini dapat berupa larutan,
suspensi, atau emulsi.

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan


absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air akan mengendap di tempat
suntikan sehingga absorpsinya lambat atau terjadi tagositosis dari
partikel obat. Contoh obat yang absorpsinya tidak sempurna adalah
Ampicillin, Cephadrin, Chlordiazepodixide, Diazepam, Dicloxacilin,
Digoksin, Pherylbutazone, Phenytoin, Quinine. Sebaliknya, obat yang
larut dalam air akan diabsorpsi dengan cepat. Absorpsi biasanya
berlangsung dalam waktu 10-30 menit. Namun, kecepatan absorpsi
juga bergantung pada vaskularitas tempat suntikan dengan kecepatan
peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit. Molekul yang kecil
langsung diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang besar
masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening. Absorpsi obat cara
suntikan i.m pada pria lebih cepat dari pada wanita karena pada wanita
lebih banyak terdapat jaringan adipose.

Keuntungannya:

- Keuntungan obat dalam gastrointestinal dapat dihindari


- Efek obat cepat
- Fleksibel dan accurable jika diberikan pada penderita yang
mengalami collaps, shock, dan bagi yang sukar menelan.

Kerugiannya:

- Lebih mahal
- Jika terjadi efek toksik sulit diatasi
- Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat
 
Terdapat juga efek samping pemberian obat melalui i.m, yaitu:

- Nyeri
- Peningkatan kreatinfasfokinase dalam serum akibat daritrauma
yang kadang-kadang menyebabkan nervussciatica setelah
pemberian intraglutal.
 
2. Subkutan (s.c)

Pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah kulit.


Bentuk sediaan yang mungkin diberikan dengan cara ini antara lain
larutan dan suspensi dalam volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya
insulin. Obat diabsorpsi secara lambat sehingga intensitas efek
sistemik dapat diatur. Pemberian obat dengan cara ini dilakukan bila
obat tidak diabsorpsi pada saluran pencernaan atau dibutuhkan kerja
obat secara tepat, misalnya pada situasi akut. Pemberian subkutan
hanya boleh digunakan untuk obat-obat yang tidak menyebabkan
iritasi pada jaringan.

Keuntungannya:

- Absorpsinya lambat dan diperpanjang


- Efek obat lebih teratur dan cepat disbanding per oral
- Fleksibel bagi penderita yang collaps dan disorientas.
- Berguna pada kondisi darurat.

Kerugiannya:
- Tidak boleh untuk obat-obat yang iritatif/dicampur
denganvasokonstriktor.
- Variable absorpsi tergantung aliran darah
 
3. Intra peritoneal (i.p)

Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena
hati,karena dapat menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut ini,
oba tdiabsorpsi secara cepat karena pada mesentrium banyak
mengandung pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya lebih
cepat dibandingkan peroral dan intramuscular. Obat yang diberikan
secara i.p akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan
dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

4. Intra vena (i.v)

Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat,


tepat, dan dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk
larutan iritatif. Namun,cara pemberian intravena biasanya efek toksik
mudah terjadi, dan tidak dapat ditarik jika terjadi kesalahan
perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak
tidak boleh diberikan karena mengendapkan konstituen darah, serta
bagi intravena penyuntikan dengan cara perlahan-lahan sambal
mengawasi respon.

Selain cara pemberian, ada faktor lain yang mempengaruhi absorpsi


obat,antara lain sebagai berikut:
 
Faktor Kimiai.

Ukuran partikelSemakin kecil ukuran partikel berarti luas permukaan


absorpsiobat akan lebih besar sehingga akan memudahkan
obatdiabsorpsi.ii.
 
- Kecepatan disolusi

Kecepatan terlepasnya zat aktif dari bentuk sediaannya.Semakin


cepat zat aktif terlepas dari bentuk sediaannya makasemakin cepat
absorpsinya.iii.
 
- Ionisasi

Obat dalam bentuk ion lebih mudah larut dalam air, sedangkanobat
dalam bentuk molekul lebih mudah larut dalam lipid. Obattak
terionkan lebih mudah diabsorpsi.iv.
 
- Kadar obat

Semakin tinggi kadar obat, tingkat absorpsinya akan semakin


besar. Namun, perlu diperhatikan juga kadar toksis minimumobat
tersebut.
 
Faktor Fisiologisi.
 
- Luas permukaan absorpsi

Semakin luas permukaan absorpsi, semakin cepat absorpsinya.

- Kecepatan aliran darah

Semakin cepat aliran darah, semakin cepat absorpsinya.

- Pengosongan lambung

Jika obat diberikan bersama dengan makanan, maka proses


pengosongan lambung akan lebih lama, sehingga obat dilambung
dihancurkan oleh asam dan tak terabsorpsi.

- Motilitas obat

Jika gerakan peristaltik usus yang mendorong obat besar dancepat,


maka absorpsinya akan semakin cepat.

C. Pelaksanaan Praktikum

1. Alat dan bahan

Alat : spuit 1cc, spuit sonde, kapas, kendang mencit, beaker gelas, gelas ukur,
timbangan, stopwatch

Bahan : alcohol 70%, mencit, fenobarbital, Na CMC, aquadest

2. Cara kerja

a. Pembuatan Na CMC 1%

o Panaskan 200ml air hingga mendidih


o Timbang Na CMC sebanyak 1 gram
o Tambahkan 50ml air panas pada Na CMC daan aduk hingga homogen
o Tambahkan air panas sedikit demi sedikit hingga volume 100ml
b. Pembuatan larutan fenobarbital pada pemberian per oral

c. Pembuatan fenobarbital 0,0234%

Berat 1 tablet fenobarbital, misal : 198mg


Berat serbuk fenobarbital yang ditimbang : (23,4mg/30mg) x 198mh
: 154,44mg
Atau
Karena dibutuhkan tablet fenobarbital sebanyak 23,4mg maka dibutuhkan kira-
kira 1 tablet fenobarbital.
Timbang berat 1 tablet fenobarbital
Missal : berat 1 tablet fenobarbital 198mg
Maka serbuk tablet fenobarbital yang : (23,4mg/30mg) x198mg
dibutuhkan sebanyak : 154,44mg
Pembuatan fenobarbital 0,0234% : ambil 1 tablet, gerus
kemudian timbangserbuk
fenobarbital sejumlah yang
dibutuhkan
: campur serbuk dengan Na CMC 
  1%    sebanyak 
  50ml kemudian aduk homogen
: tambahkan Na CMC 1%
  hingga  100ml

d. Pelaksanaan percobaan
i. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok
o Kelompok 1 : kelompok perlakuan diberikan fenobarbital per oral dengan
dosis 0,078mg/20gr BB
o Kelompok 2 : kelompok perlakuan diberikan injeksi fenobarbital intravena
dengan dosis 0,078mg/20gr BB
o Kelompok 3 : kelompok perlakuan diberikan injeksi fenobarbital secara
intraperitoneal dengan dosis 0,078mg/20gr BB
o Kelompok 4 : kelompok perlakuan diberikan injeksi fenobarbital
intramuscular dengan dosis 0,078mg/20gr BB
o Kelompok 5 : kelompok perlakuan diberikan injeksi fenobarbital subkutan
dengan dosis 0,078mg/20gr BB

ii. Mencit ditimbang berat badan masing-masing


iii. Mencit diamati waktu tidur (onset) dan lama mencit tidur (durasi) yang dilihat
dari reflex balik badan

D. Hasil Praktikum

1. Rute intra peritoneal

o Dipegang pada tengkuknya dan dibalikkan badannya


o Diambil 1 ml larutan stok fenobarbital ke dalam kulit
o Diinjeksikan pada perut sebelah kiri mencit

2. Rute subkutan

o Dipegang mencit pada tengkuk dan ekornya ditahan


o Diambil 0,5 ml larutan stok fenobarbital ke dalam spuit
o Diinjeksikan pada bawah kulit tengkuk mencit

3. Rute intra muscular

o Dipegang pada tengkuknya dan badannya ditahan


o Diambil 0,05 ml larutan stok fenobarbital ke dalam spuit
o Diinjeksikan pada paha mencit

4. Rute oral

o Dipegang pada tengkukya


o Diambil 0,05 ml larutan stok fenobarbital ke dalam spuit
o Diinjeksikan pada langit-langit dan diluncurkan masuk kedalam esophagus

5. Rute intra vena


o Dipegang pada ekor dan dimasukkan pada alat khusus
o Diambil 0,05 ml larutan stok fenobarbital ke dalam spuit
o Diinjeksikan pada ekornya

E. Hasil pengamatan

Rute pemberian Jam pemberian Reflek balik badan (pada jam)


Hilang Kembali
Oral 09.15 09.45 11.00
Sc 09.10 09.25 11.00
Im 09.05 09.12 11.00
Ip 09.12 09.20 11.00
Iv 09.00 09.05 11.00

F. Pembahasan

Absorbsi obat adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh menuju ke


peredaran darah. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi absorbsi obat,
diantaranya : tingkat keasaman (pH), bentuk, konsentrasi dan dosis obat, adanya makanan
dalam lambung.

Rute pemberian obat terbagi atas beberapa cara, antara lain : per oral, intra vena (IV),
subkutan (SC), intra rektal, sublingual, intra peritoneal (IP) dan intra muskular (IM). Pada
percobaan ini, digunakan lima macam rute pemberian obat, yaitu : intra peritoneal (IP),
intra vena (IV), subkutan (SC) dan intra muskular (IM), dan oral.

Intra peritoneal (IP) yaitu injeksi diberikan melalui rongga perut sebelah kiri. Keuntungan
dari rute ini yaitu penyerapannya berlangsung cepat. Adapun kerugiannya yaitu tidak
lakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan radiasi terlalu besar. Intra vena (IV)
yaitu injeksi diberikan langsung ke pembuluh darah. Keuntungan dari rute ini yaitu
memberikan reaksi tercepat dan efeknya lebih cepat dan kuat. Kerugiannya yaitu dapat
menimbulkan tekanan darah yang turun mendadak hingga terjadi syok.

Subkutan (SC) yaitu injeksi diberikan melalui bawah kulit tengkuk. Keuntungan dari rute
ini yaitu absorbsi terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Adapun kerugiannya yaitu hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan
iritasi jaringan. Intra muskular (IM) yaitu injeksi diberikan melalui otot paha.
Keuntungan dari rute ini yaitu absorbsi cepat dan dapat diberikan pada pasien sadar
maupun tidak sadar. Kerugianya yaitu memerlukan prosedur steril karena dapat terjadi
iritasi.

Fenobarbital adalah turunan barbiturat yang merupakan antikonvulsan yang efektif dalam
mengatasi epilepsi pada dosis sub hipnotis. Adapun mekanisme kerjanya menghambat
kejang kemungkinan melibatkan potensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja
reseptor GABA.
Hewan coba yang digunakan pada percobaan ini adalah Mencit (Mus musculus). Alasan
dipilih mencit sebagai hewan coba adalah karena proses metabolisme dalam tubuh mencit
berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.

Percobaan ini dilakukan untuk mengamati onset dan durasi dari efek yang ditimbulkan
oleh sediaan obat yang diberikan pada hewan coba. Yang dimaksud dengan onset adalah
periode waktu yang dibutuhkan untuk permulaaan terapi, dengan kata lain periode waktu
dari setelah pemberian sediaan obat hingga timbul efek. Adapun durasi adalah lamanya
masa kerja obat yaitu dari timbulnya efek hingga hilangnya efek.

Setelah melakukan percobaan ini, diperoleh onset yang tercepat terjadi pada hewan coba
yang diberikan sediaan obat fenobarbital melalui injeksi intra muskular (IM) dan yang
terlama terjadi pada hewan coba yang diberikan sediaan obat fenobarbital melalui injeksi
intra peritoneal (IP). Hal ini tidak sesuai dengan penjelasan dalam literatur yang
menyatakan bahwa injeksi intra vena lah yang memberikan reaksi tercepat. Hal ini dapat
disebabkan karena perbedaan dosis yang diberikan pada masing-masing rute pemberian.

Selain onset, diperoleh durasi dari masing-masing rute pemberian. Ad apun durasi
tercepat terjadi pada hewan coba yang diberikan sediaan obat melalui rute subkutan.
Sedangkan durasi terlama terjadi pada hewan coba yang diberikan sediaan obat
fenobarbital melalui rute intra peritoneal.

G. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Rute pemberian obat sangat berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat.


2. Rute pemberian obat terdiri atas inta vena, intra peritoneal, intra muskular, subkutan
dan per oral.
3. Rute pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat sehingga berpengaruh pada onset dan durasi.
4. Onset paling cepat adalah intra muskular > intra vena > subkutan > intra peritoneal.
Sedangkan durasi paling cepat yaitu subkutan > intra vena > intra muskular > intra
peritoneal.
DARTAR PUSTAKA

Anief,Moh,1993, Farmasetika, Gadjahmada University Press,Yogyakarta


Ansel, H. C, 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.
Akbar, B., 2010, Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi sebagai Bahan
Anti Fertilitas, Edisi Pertama, Adaba Press : Jakarta. Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia,
Edisi Ketiga, Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta
Fadila, S., Nadjmir, Rahmatini, 2014, “Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan Tidak
Rutin pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)”,
Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 3(2).
Gitawati, R., 2008, “Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya”, Media Litbang Kesehatan,
Vol. 18(4).
Iradiyanti, W. P., Erlin. K., 2013, “Pemberian Obat melalui Intra Vena terhadapa Kejadian
Plebitis pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit”, Jurnal Stikes, Vol. 6(1).
Kee, J. L., Evelyn. R. H., 1996, Farmakologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Nasif, H., Monalisa. Y., Husni. M., 2013, “Kajian Penggunaan Obat Intra Vena di SMF Penyakit
dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi”, Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol.
18(1).
Neal, M. J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima, Erlangga : Jakarta.
Rahardjo, R., 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi Kedua, Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai