Anda di halaman 1dari 15

CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

PARANTERAL,INHALASI,ORAL DAN SALEP

OLEH :

SYAMSUDIN HARSIS
(918312906201.012)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
2021
1. Bagaimana proses distribusi obat ketika obat yang kita gunakan dalam bentuk salep, rurte
parenteral, dan inhalasi?
Jawab : Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.

Senyawa obat adalah zat kimia (sintetik/alami) selain makanan yang bertujuan untuk
mempengaruhi fungsi tubuh, biokimiawi, psikologis dan khususnya untuk diagnosa,
pengobatan, melunakkan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit pada manusia atau
hewan.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis,
mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau
hewan.
Menurut PerMenKes 917/MenKes/Per/X/1993, obat (jadi) adalah senyawa atau
padu-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi/menyelidiki secara fisiologis
dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi.
Obat merupakan sediaan atau padu-paduan bahan-bahan yang siap digunakan
untuk mempengaruhi/menyelidiki system fisiologis atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005)
1. Fase Farmasetik
Fase ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,
pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Karena itu fase ini utamanya
ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk
diabsorpsi ke dalam tubuh (ketersediaan farmasetik).
2. Fase Farmakokinetik
Fase ini meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Fase ini berperan
dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma (ketersediaan hayati) sehingga dapat
menimbulkan efek. Fase ini termasuk bagian proses invasi dan eliminasi. Yang dimaksud
dengan invasi adalah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat
dalam organisme, sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan
penurunan konsentrasi obat dalam organisme.
3. Fase Farmakodinamik
Fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi obat. Fase ini berperan dalam
menentukan seberapa besar efek obat dalam tubuh.
Suatu obat mungkin lebih efektif jika diberikan melalui salah satu cara pemberian, tetapi
tidak atau kurang efektif melalui cara pemberian yang lain. Perbedaan ini salah satunya
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan absorpsi dari berbagai cara
pemberian tersebut. Konsekuensinya, efek farmakologi yang ditimbulkan juga berbeda
untuk masing-masing pemberian.
Obat dalam tubuh mengalami fase farmakokinetik, yaitu ADME (Absorpsi,
Distribusi, Metabolisme, Ekskresi).
1. Absorpsi
Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian/aplikasi menuju ke
sirkulasi/peredaran darah yang selanjutnya mencapai target aksi obat. Hal ini menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari
jumlah obat yang diberikan. Tapi secara klinik yang paling penting adalah
bioavailibilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat dalam persen yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena obat-obat tertentu tidak semua
diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian per oral atau dimetabolisme
dihati pada first pass metabolism. Obat demikian memiliki bioavailibilitas rendah.
 Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Sifat fisika-kimia obat
b. Bentuk sediaan obat
c. Dosis obat
d. Rute dan cara pemberian
e. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
f. Luas permukaan tempat absorpsi
g. Nilai PH cairan pada tempat absorpsi
h. Integritas membrane
i. Aliran darah pada tempat absorpsi
 Jumlah obat yang diabsorpsi dipengaruhi oleh:
a. Luas permukaan absorpsi
Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi semakin
banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah obat yang
diabsorpsi semakin sedikit.
b. Banyaknya membrane yang dilalui obat
Semakin banyak membrane yang dilalui, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit. Sebaliknya, jika membrane yang dilalui sedikit maka obat yang diabsorpsi
semakin banyak.
c. Banyaknya obat yang terdegradasi
Semakin banyak obat yang terdegradasi, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit, begitu pula sebaliknya.
d. Jumlah ikatan depot
Banyaknya ikatan depot obat dengan molekul tidak aktif (albumin, lemak, tulang)
berpengaruh pada jumlah obat yang diabsorpsi, yaitu semakin banyak ikatan
depot maka semakin sedikit jumlah obat yang diabsorpsi, begitu pula dengan
sebaliknya.
 Mekanisme absorpsi obat dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
a. Difusi pasif
Proses perpindahan molekul obat yang bersifat spontan, mengikuti gradient
konsentrasi, dari konsentrasi tinggi (hipertonis) ke konsentrasi yang rendah
(hipotonis), berbanding lurus dengan luas permukaan absorpsi, koefisien
distribusi senyawa yang bersangkutan, dan koefisien difusi serta berbanding
terbalik dengan tebal membrane.
b. Transpor aktif
Molekul ditranspor melawan gradient transportasi. Proses ini memerlukan adanya
energi dan dapat dihambat oleh senyawa analog, secara kompetitif dan secara tak
kompetitif oleh racun metabolisme.
c. Difusi terfasilitasi
Molekul hidrofil sulit untuk menembus merman yang komposisi luarnya adalah
lipid, maka berikatan dengan suatu protein pembawa yang spesifik. Pembawa dan
kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas dalam membran, dengan
demikian penetrasi zat yang ditransport melalui membrane sel lipofil kedalam
bagian dalam sel dipermudah.
2. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, untuk mencapai tepat pada letak dari aksi
harus melalui membrane sel yang kemudian dalam peredaran, kebanyakan obat-obatan
didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi merupakan transfer obat yang reversible
antara letak jaringan dan plasma. Pola distribusi menggambarkan permainan dalam tubuh
oleh beberapa factor yang berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan
ikatan pada makromolekul. Distribusi obat dibedakan menjadi dua fase berdasarkan
penyebarannya dalam tubuh. Fase pertama terjadi segera setelah penyerapan yaitu
kedalam organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas, yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik jaringan diatas yang meliputi otot, visera, kulit dan jaringan
lemak. Factor-faktor yang berhubungan dengan distribusi obat dalam badan adalah:
a. Perfusi darah melalui jaringan
b. Kadar gradient, PH, dan ikatan zat dengan makromolekul
c. Partisi kedalam lemak
d. Transport aktif
e. Sawar
f. Ikatan obat dengan protein plasma
3. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan struktur kimia obat didalam
tubuh yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi bentuk
yang lebih polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut didalam lemak
sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain intu pada umumnya obat diubah
menjadi bentuk inaktif, sehingga proses biotransformasi menentukan dalam mengakhiri
kerja obat.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi pada ginjal merupakan resultan dari tiga proses yaitu filtrasi
diglomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal dan reabsorpsi pasif di tubulus proximal
dan distal. Ekskresi obat selain pada ginjal juga dapat terjadi melalui air liur, keringat, air
mata, air susu dan rambut.
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Berikut ini ada
beberapa cara pemberian obat berdasarkan ada tidaknya intervensi saluran pencernaan
(melewati gastrointestinal)
a. Enteral
Merupakan cara pemberian obat melalui saluran pencernaan, umumnya obat
ditujukan untuk efek secara sistemik. Contoh pemberian obat secara enteral yaitu:
1. Per oral (p.o)
Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian melalui mulut.
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum karena mudah digunakan,
relative aman, murah dan praktis (dapat dilakukan sendiri tanpa keahlian dan alat
khusus). Kerugian dari pemberian obat secara peroral adalah efeknya lama, mengiritasi
saluran pencernaan, absorpsi obat tidak teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak
diserapnya obat secara 100% dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
 Jumlah makanan dalam lambung
 Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim gastrointestinal,
misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral akan dirusak oleh enzim
proteolitik dari saluran gastrointestinal.
 Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat diabsorpsi.
 Dikehendaki kerja awal yang cepat.
 Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu dosis
yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik.
Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek sistemik, yaitu
obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi absorpsi
obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran gastrointestinal. Tetapi ada
obat yang memberi efek lokal dalam usus atau lambung karena obat yang tidak larut,
misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang digunakan
untuk menetralkan asam lambung.
2. Sublingual
Merupakan cara pemberian obat melalui mukosa mulut. Keuntungannya absorpsi lebih
cepat daripada peroral, karena pada mukosa mulut banyak terdapat pembuluh darah.
Namun cara pemberian ini tidak bisa digunakan untuk obat yang rasanya tidak enak
sehingga jenis obat yang dapat diberikan secara sublingual sangat terbatas.
3. Per rektal
Biasanya cara pemberian ini dilakukan pada penderita muntah muntah, tidak sadar, dan
pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas pertamanya sebesar 59%. Namun, cara
pemberian melalui rektal dapat mengiritasi mukosa rektum, absorpsinya tidak sempurna,
dan tidak teratur.
b. Parenteral
Cara pemberian ini tidak memasukkan obat ke dalam tubuh melalui saluran cerna.
Pemberian obat secara intravaskuler termasuk ke dalam parenteral.
Berdasarkan ada tidaknya proses absorbsi, pemberian obat dibagi menjadi 2, yakni:
1. Intravaskuler
Merupakan cara pemberian obat yang pengaplikasiannya pada pembuluh darah, meliputi
intra vena dan intra cardiac, intra arterial. Intravena tidak mengalami proses absorpsi
karena semua obat masuk sirkulasi sistemik, bioavalibilitasnya 100% serta kadarnya
akurat. Namun, efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik kembali jika ada
kesalahan dosis, serta perlu teknik medik khusus. Intra cardiac merupakan cara
pemberian yang langsung dimasukkan ke dalam pembuluh darah cardiac.
2. Ekstravaskuler
Merupakan pemberian obat yang aplikasinya di luar pembuluh darah. Ada 3 macam,
yaitu:
a. Intra muscular (i.m)
Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot pantat dan otot
paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat banyak pembuluh darah dan saraf
sehingga relative aman untuk digunakan. Obat dengan cara pemberian ini dapat berupa
larutan, suspensi, atau emulsi.
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang
sukar larut dalam air akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya lambat
atau terjadi tagositosis dari partikel obat. Contoh obat yang absorpsinya tidak sempurna
adalah Ampicillin, Cephadrin, Chlordiazepodixide, Diazepam, Dicloxacilin, Digoksin,
Pherylbutazone, Phenytoin, Quinine. Sebaliknya, obat yang larut dalam air akan
diabsorpsi dengan cepat. Absorpsi biasanya berlangsung dalam waktu 10-30 menit.
Namun, kecepatan absorpsi juga bergantung pada vaskularitas tempat suntikan dengan
kecepatan peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit. Molekul yang kecil langsung
diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang besar masuk ke sirkulasi melalui
saluran getah bening. Absorpsi obat cara suntikan i.m pada pria lebih cepat daripada
wanita karena pada wanita lebih banyak terdapat jaringan adipose.
o Keuntungannya:
 Keuntungan obat dalam gastrointestinal dapat dihindari
 Efek obat cepat
 Fleksibel dan accurable jika diberikan pada penderita yang
mengalami collaps, shock, dan bagi yang sukar menelan.
o Kerugiannya:
 Lebih mahal
 Jika terjadi efek toksik sulit diatasi
 Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat
o Terdapat juga efek samping pemberian obat melalui i.m, yaitu:
 Nyeri
 Peningkatan kreatinfasfokinase dalam serum akibat dari trauma
yang kadang-kadang menyebabkan nervus sciatica setelah
pemberian intraglutal
b. Subkutan (s.c)
Pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah kulit. Bentuk sediaan yang
mungkin diberikan dengan cara ini antara lain larutan dan suspensi dalam volume lebih
kecil dari 2 ml, misalnya insulin. Obat diabsorpsi secara lambat sehingga intensitas efek
sistemik dapat diatur. Pemberian obat dengan cara ini dilakukan bila obat tidak diabsorpsi
pada saluran pencernaan atau dibutuhkan kerja obat secara tepat, misalnya pada situasi
akut. Pemberian subkutan hanya boleh digunakan untuk obat-obat yang tidak
menyebabkan iritasi pada jaringan.
o Keuntungannya:
i. Absorpsinya lambat dan diperpanjang
ii. Efek obat lebih teratur dan cepat disbanding per oral
iii. Fleksibel bagi penderita yang collaps dan disorientasi
iv. Berguna pada kondisi darurat
o Kerugiannya:
i. Tidak boleh untuk obat-obat yang iritatif/dicampur dengan
vasokonstriktor.
ii. Variable absorpsi tergantung aliran darah

c. Intra peritoneal (i.p)


Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati, karena dapat
menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut ini, obat diabsorpsi secara cepat karena
pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya
lebih cepat dibandingkan peroral dan intramuscular. Obat yang diberikan secara i.p akan
diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum
mencapai sirkulasi sistemik.
d. Intra vena (i.v)
Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat
disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian
intravena biasanya efek toksik mudah terjadi, dan tidak dapat ditarik jika terjadi
kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh
diberikan karena mengendapkan konstituen darah, serta bagi intravena penyuntikan
dengan cara perlahan-lahan sambil mengawasi respon.Selain cara pemberian, ada faktor
lain yang mempengaruhi absorpsi obat, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor Kimia
i. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel berarti luas permukaan absorpsi obat akan
lebih besar sehingga akan memudahkan obat diabsorpsi.
ii. Kecepatan disolusi
Kecepatan terlepasnya zat aktif dari bentuk sediaannya. Semakin cepat zat
aktif terlepas dari bentuk sediaannya maka semakin cepat absorpsinya.
iii. Ionisasi
Obat dalam bentuk ion lebih mudah larut dalam air, sedangkan obat dalam
bentuk molekul lebih mudah larut dalam lipid. Obat tak terionkan lebih
mudah diabsorpsi.
iv. Kadar obat
Semakin tinggi kadar obat, tingkat absorpsinya akan semakin besar.
Namun, perlu diperhatikan juga kadar toksis minimum obat tersebut.
2. Faktor Fisiologis
i. Luas permukaan absorpsi
Semakin luas permukaan absorpsi, semakin cepat absorpsinya.
ii. Kecepatan aliran darah
Semakin cepat aliran darah, semakin cepat absorpsinya.
iii. Pengosongan lambung
Jika obat diberikan bersama dengan makanan, maka proses pengosongan
lambung akan lebih lama, sehingga obat di lambung dihancurkan oleh
asam dan tak terabsorpsi.
iv. Motilitas obat
Jika gerakan peristaltik usus yang mendorong obat besar dan cepat, maka
absorpsinya akan semakin cepat.

Pemberian asbsorbsi secara Inhalasi

Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan
penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam
saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas ketika serangan asma dapat
dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik penggunaan inhaler yang sesuai.
Setelah sekian lama, terapi inhalasi memainkan peranan penting di dalam merawat
penyakit asma dan penyakit paru lainnya. Obat yang diberikan dengan cara ini absorpsi
terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas
pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat
diberikan langsung pada bronkus. Tidak seperti penggunaan obat secara oral (tablet dan
sirup) yang terpaksa melalui sistem penghadangan oleh pelbagai sistem tubuh, seperti
eleminasi di hati.

DEFINISI

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera


bekerja. Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu
diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara
pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar
mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.Terapi inhalasi juga dapat
diartikan sebagai suatu pengobatan yang ditujukan untuk mengembalikan perubahan-
perubahan patofisiologi pertukaran gas sistem kardiopulmoner ke arah yang normal,
seperti dengan menggunakan respirator atau alat penghasil aerosol.

TINJAUAN ANATOMI-FISIOLOGIS SALURAN NAPAS


Untuk memahami tentang penggunaan serta farmakokinetik (terutama absorpsi
dan bioavailabilitas) dan farmakodinamik obat secara inhalasi, sebelumnya kita harus
memahami anatomi dan fisiologi pernapasan terlebih dahulu.
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi (penghantar udara) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran
gas). Pada bagian konduksi, udara bolak-balik di antara atmosfir dan jalan napas seakan
organ ini tidak berfungsi (dead space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi
juga berfungsi sebagai proteksi dan pengaturan kelembaban udara. Adapun yang
termasuk ke dalam konduksi adalah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,
sinus bronkur dan bronkiolus nonrespiratorius.
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan
unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium
dan sakus alveolaris.
Secara histologis epitel yang melapisi permukaan saluran pernapasan terdiri dari epitel
gepeng berlapis berkeratin dan tanpa keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris
bertingkat bersilia pada rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel silindris
rendah/kuboid bersilia dengan sel piala pada bronkiolus terminalis; epitel kuboid selapi
bersilia pada bronkiolus respiratorius; dan epitel gepeng selapis pada duktus alveolaris
dan sakus alveolaris serta alveolus.
Di bawah lapisan epitel tersebut terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar,
pembuluh darah, serabut saraf dan kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos dan
serabut elastin. 
Dari semua itu barulah kita pahami bagaimana obat dapat masuk dan bekerja pada paru-
paru. Obat masuk dengan perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan
ekspirasi) melalui saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel selanjutnya
diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot
polos.
Agar obat dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ,
maka ukuran partikel obat harus disesuaikan dengan ukuran/diameter saluran napas.

TUJUAN DAN SASARAN

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi
secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat
pada keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari
efek samping sistemik yang ditimbulkannya.Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk
mengatasi bronkospasme, meng-encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus,
serta mengatasi infeksi. Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka panjang
untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat, terutama penggunaan
kortikosteroid.
INDIKASI

Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit


paru obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis, fibrosis kistik,
bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket. 3
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol.

Kesimpulan
Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara
inhalasi. Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses
pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik.
Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja.
Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan
adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian
ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis,
dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.
Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi
secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat
pada keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari
efek samping sistemik yang ditimbulkannya. Seperti untuk  mengatasi bronkospasme,
meng-encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol.Kontra indikasi mutlak pada terapi
inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau
obat yang digunakan Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis
terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer),
(3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4) pemberian
melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator.Setelah penggunaan inhaler,
basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan obat
yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya
penyakit di mulut akibat efek obat (terutama kortikosteroid).
Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa faktor,
yaitu: ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia partikel, aktivitas kinetik, sifat alamiah
partikel, dan sifat dari pernapasan pasien.
Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2
simpatomimetik, kortikosteroid, antikolinergik, dan antihistamin. Bahaya iritasi saluran
napas dan terjadinya bronkospasme serta reaksi hipersensitivitas (obat atau vehikulum)
dapat terjadi pada penggunaan terapi ini.

Salep

1) Vehikulum sebagai pembawa obat aktif.


Untuk dapat masuk ke dalam lapisan kulit, bahan/ obat aktif dalam suatu
sediaan topikal harus dilepaskan dari vehikulumnya setelah sediaan obat topikal
diaplikasikan. Pelepasan/ disolusi bahan aktif dari vehikulumnya ditentukan oleh
koefisien partisinya. Makin besar nilai koefisien partisi, maka bahan aktif makin
mudah terlepas dari vehikulum.
2) Difusi ke dalam stratum korneum.

Bahan aktif yang telah terlepas dari vehikulumnya akan berinteraksi dengan
permukaan kulit/ stratum korneum. Bahan aktif yang telah berinteraksi dengan
stratum korneum akan segera berdifusi ke dalam stratum korneum. Difusi yang
terjadi dimungkinkan dengan adanya gradien konsentrasi. Pada awalnya, difusi
bahan aktif terutama berlangsung melalui folikel rambut (jalur transfolikular).
Setelah tercapai keseimbangan (steady state), difusi melalui stratum korneum
menjadi lebih dominan.
3) Epidermis dan dermis

Difusi bahan/obat aktif melalui kedua jalur, yaitu Jalur transfolikular dan Jalur
transkorneal. Pada akhirnya akan mencapai lapisan yang lebih dalam yaitu
epidermis hingga kemudian dermis. Dengan adanya pem-buluh darah dalam
dermis, bahan aktif yang mencapai lapisan dermis kemudian akan diresorpsi oleh
sistem sirkulasi.

Anda mungkin juga menyukai