Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan).
Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada
sistem biologis, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh sifat fisika kimiawinya
terhadap tubuh, respon bagian-bagian tubuh terhadap sifat obat, nasib yang dialami obat
dalam tubuh dan kegunaan obat bagi kesembuhan.

Dalam arti luas, obat merupakan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup,melalui reseptor yang termasuk dalam proses kimia, maka farmakologi adalah ilmu
yang cakupannya sangat luas. Namun, bagi seorang dokter ilmu ini bertujuan agar dapat
menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit. Serta,
penting pula mengetahui efek samping obat agar seorang dokter mampu mengenali tanda
dan gejala yang disebabkan obat.(Djamaludin, 2017)

Farmakologi terfokus pada 2 sub-disiplin, yaitu farmakokinetik dan


farmakodinamik. Untuk memahami nasib obat dalam tubuh sejak mulai dikonsumsi,
diabsorbsi hingga diekskresikan diperlukan pemahaman yang baik tentang
farmakokinetik obat. Farmakokinetik adalah nasib obat didalam tubuh dan efek tubuh
terhadap obat serta mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh mulai dari absorbsi,
distribusi, metabolisme dan eksresi. Prinsip ini sangat penting untuk memilih obat yang
tepat untuk pasien. Pemahaman akan farmakokinetik suatu obat akan meningkatkan
kemungkinan keberhasilan terapi dan mengurangi efek samping obat terhadap tubuh.
Dalam makalah ini akan membahas tentang prinsip farmakokinetik yang sangat perlu
dipahami oleh para klinisi.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh
terhadap obat yang mencakup 4 proses (gambar 1), Empat proses mendasar yang
mempengaruhi farmakokinetik in vivo suatu senyawa adalah absorbsi (penyerapan),
distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Ini berbeda, meskipun dalam banyak hal,
proses yang saling terkait yang terjadi antara administrasi dan menghilangkan senyawa
dari tubuh. Proses metabolisme sering disebut juga dengan biotransformasi, sedangkan
proses ekskresi dikenal juga dengan eliminasi.

Gambar 1. Empat proses farmakokinetik (ADME) (Harvey,2012)

Terapi obat yang aman dan efektif bukan hanya dipengaruhi oleh sifat fisik
maupun kimia dari obat, namun juga oleh respon dari tubuh manusia terhadap pemberian
obat. Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari berbagai proses dalam tubuh
manusia yang mempengaruhi pergerakan maupun modifikasi obat di dalam tubuh.

2
Gambar 2. Hubungan antara proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat serta
konsentrasinya di lokasi tempat obat bekerja. (Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
of Therapeutic. 12th ed, p.18)
Pertama-tama, obat akan diabsorbsi dari lokasi pemberian obat sehingga senyawa
yang terkandung di dalamnya dapat masuk ke dalam sirkulasi darah. Saat sudah
diabsorbsi, obat kemudian dapat meninggalkan sirkulasi darah dan didistribusikan ke
berbagai macam jaringan dan cairan intraseluler, dimana obat akan membentuk ikatan
yang bersifat reversibel dengan sejumlah reseptor. Meskipun molekul obat umumnya
akan berikatan dengan reseptor, sebagian dapat dilepaskan dari reseptor dan kembali
masuk ke dalam sirkulasi darah. Partikel obat yang berada di dalam sirkulasi darah dapat
mengalami suatu proses biokimiawi yang dikenal sebagai metabolisme, baik di hepar
maupun di berbagai jaringan lain. Terakhir, obat dan sejumlah metabolitnya akan
diekskresikan ke luar tubuh melalui urin atau feses. Metabolisme dan ekskresi merupakan
jalur untuk mengeliminasi obat dari dalam tubuh.

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari
dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus
menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan

3
sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada
endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah
transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua
sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam
di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran.
Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul
kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran yang
terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponen-
komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang
menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air.
Proses ADME pada obat melibatkan membran sel. Mayoritas obat harus melewati
plasma membran berbagai sel untuk mencapai site of action. Plasma membran
menggambarkan umumnya sawar yang terdapat dalam distribusi obat. Plasma membran
terdiri dari lapisan lipid bilayer, dengan rantai hidrokarbon mengarah ke dalam pusat dari
lapisan bilayer untuk membentuk fase hidrofobik dan ujung hidrofilik mengarah keluar.
Protein membran tertanam dalam lapisan bilayer, berperan sebagai struktur pemancang,
reseptor, ion channel, atau transporter untuk transduksi listrik atau jalur sinyal kimia,
yang menyediakan target bagi aksi selektif obat.(Buxton,2011)

Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal.
Proses ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga
zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat
secara konpetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas
maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport
aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula di pengaruhi obat lain.
Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) ialah suatu proses transport yang terjadi
dengan bantuan suatu faktor pembawa ( carrier) yang merupakan komponen membran
sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun
potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang
transport nya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa
kedalam sel perifel.

4
2.2 Absorbsi
2.2.1 Definisi
Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah
bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat dapat melalui saluran cerna
(enteral), parenteral, dan rute lainnya Absorbsi juga merupakan proses pemindahan obat
dari lokasi pemberian obat menuju ke dalam sirkulasi darah.(Benedetti,2009)
Absorbsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang memungkinkan
suatu zat aktif melalui jalur pemberian obat melalui sistem peredaran darah, dan
penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran.
Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya zat aktif kedalam tubuh,
pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya zat aktif yang berada dalam
bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau
keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan faktor yang dapat mengubah pH
ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga merupakan faktor penentu laju
penyerapan ( Leon Sharger dan Andew B, 2005).

2.2.2 Rute Pemberian Obat


Secara umum obat dapat diberikan melalui berbagai macam jalur yang berbeda.
Secara umum, rute pemberian obat dapat dibedakan menjadi pemberian melalui saluran
cerna (enteral), suntikan (parenteral), dan rute lainnya. Rute pemberian obat secara
enteral meliputi pemberian secara oral dan sublingual. Sementara pemberian secara
parenteral meliputi injeksi intravena, injeksi intramuskular, dan injeksi subkutan. Rute
lain yang sering digunakan antara lain inhalasi (oral dan nasal), transdermal, topikal,
rektal, dan intratekal atau intraventrikular. (Bennedetin,2009)

5
6
Gambar 3. Rute Pemberian Obat

Salah satu yang paling sering digunakan adalah jalur pemberian obat oral, karena
dianggap sebagai yang paling mudah, murah, dan aman. Jalur lain yang juga sering
digunakan adalah pemberian obat parenteral. Obat yang diberikan secara intravena dapat
masuk ke dalam sirkulasi sistemik dengan cepat, dan obat yang diberikan secara intra-
arterial umumnya dapat mencapai lokasi target dalam konsentrasi yang sangat tinggi.
Jalur pemberian obat subkutan dan intramuskularis nampak bergantung pada proses
difusi obat ke dalam sirkulasi darah, yang dapat dipengaruhi oleh proses penghangatan
atau pendinginan area pemberian obat, atau oleh obat lain yang diberikan di waktu yang
sama. Pemberian obat secara inhalasi dapat menghasilkan respon cepat terhadap obat
karena luasnya permukaan paru dan banyaknya jumlah suplai darah pada organ tersebut.
Selain beberapa jalur pemberian obat yang sering digunakan dan sudah dipaparkan di
atas, beberapa jalur alternatif yang juga dapat digunakan antara lain adalah pemberian
obat secara transdermal (untuk efek lokal), melalui membrana mukosa (untuk efek
sistemik), insuflasi (paru), intraneural (saraf), melalui mata, melalui telinga,
intraperitoneal, dan epidural.

2.2.3 Mekanisme Absorbsi Obat


Mekanisme absorbsi obat dari saluran cerna dapat dibedakan menjadi 4 yaitu
seperti yang dijelaskan pada gambar 4.(Harvey 2012)

7
1. Difusi pasif
Pada difusi pasif, obat bergerak dari tempat dengan konsentrasi tinggi ke
tempat dengan konsentrasi rendah. Difusi pasif tidak memerlukan protein pembawa,
dapat bersifat jenuh tetapi tidak memerlukan energi. Obat yang larut dalam airdapat
menembus membran sel melalui kanal atau pori, sementara obat yang larut lemak
dapat langsung menembus membran sel lipid bilayer. Contoh dari difusi pasif antara
lain adalah absorbsi dari asam dan basa lemah yang tidak terionisasi.

2. Difusi terfasilitasi
Pada difusi terfasilitasi, obat dapat menembus membran sel dengan bantuan
dari protein pembawa. Protein pembawa ini akan berubah bentuk sehingga
memungkinkan berpindahnya obat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Pada
difusi terfasilitasi tidak diperlukan energi, dapat bersifat jenuh dan dihambat oleh
substansi lain yang berikatan dengan protein pembawa. Contoh dari difusi terfasilitasi
adalah absorbsi dari glukosa dan asam amino.
3. Transpor aktif
Mirip seperti difusi terfasilitasi, transport aktif juga membutuhkan adanya
protein pembawa, yang membedakan adalah pada transport aktif juga membutuhkan
energy. Energi yang digunakan pada transpor aktif berasal dari hidrolisis ATP
(adenosine triphosphate) menjadi ADP (adenosine diphosphate). Pada transpor aktif,
obat berpindah dari tempat dengan konsentrasi rendah ke tempat dengan konsentrasi
tinggi. Transpor aktif menunjukan kinetik saturasi (mirip dengan reaksi yang
dikatalisasi enzim, dimana kecepatan maksimal didapat ketika semua tempat aktif
terisi oleh substrat), bersifat selektif, dan dapat dihambat oleh substrat lain yang
berikatan dengan protein pembawa. Contoh dari transpor aktif adalah transpor dari K +
ke dalam sel dan Na+ ke luar sel melalui pompa Na+-K+.
4. Endositosis dan eksositosis
Endositosis adalah proses memasukkan molekul obat ke dalam sel dengan
cara membentuk vesikel baru dari membran plasma. Sementara eksositosis adalah

8
kebalikan dari endositosis. Contoh dari endositosis adalah absorbsi dari vitamin B12
di membran usus, sedangkan contoh dari eksositosis adalah pengeluaran norepinefrin
dari sinaps.

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Absorbsi


Ada sejumlah faktor spesifik-pasien yang dapat mempengaruhi absorbsi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi absorbsi dari obat antara lain (Harvey,2012)
a. Aliran darah
Untuk dapat terjadi absorbsi, diperlukan adanya aliran darah. Pasien dalam kondisi syok
atau henti kardiopulmonal umumnya memerlukan pemberian obat secara intravena untuk
dapat memperoleh respon yang diinginkan karena berkurangnya sirkulasi darah pada
kondisi semacam ini. Sebagian besar absorbsi obat yang diberikan secara oral akan
terjadi di usus halus karena luas permukaannya yang lebih besar sehingga memiliki aliran
darah yang lebih banyak. Pada individu yang pernah menjalani pemotongan segmen usus
halus karena alasan medis, maka dapat terjadi gangguan absorbsi yang bermakna.
Sebagai contoh, aliran darah ke usus lebih besar dibandingkan aliran darah ke lambung,
maka absorbsi di usus juga lebih baik.

b. pH
Sebagian besar obat adalah asam lemah atau basa lemah. Asam lemah (HA) akan
melepaskan proton (H+) dan membentuk anion (A-). Sementara basa lemah (BA+) akan
melepaskan proton dan menghasilkan basa yang tidak bermuatan (B). Reaksi asam lemah
dan basa lemah dapat dilihat pada gambar 2.3. Obat akan lebih mudah menembus
membran sel apabila dalam keadaan tidak bermuatan. Sehingga untuk obat yang bersifat
asam lemah, asam lemah (HA) dapat menembus membran sel sementara anion tidak
dapat menembus membran sel. Pada obat yang bersifat basa lemah, basa yang tidak
bermuatan (B) lebih dapat menembus membran sel dibandingkan basa lemah (BA).

c. Luas permukaan
Absorbsi di usus lebih baik dibandingkan di lambung oleh karena luas permukaan usus
1000 kali lebih luas dibandingkan lambung.

9
d. Waktu kontak
Waktu kontak dengan lapisan epitel saluran gastrointestinal juga merupakan salah satu
faktor penting yang berperan dalam absorbsi obat. Segala sesuatu yang menghambat
perpindahan obat dari lambung ke usus (pengosongan usus) akan menghambat proses
absorbs. Pada individu dengan waktu transit gastrointestinal yang sangat cepat, misalnya
karena mengalami diare berat, maka obat-obatan umumnya tidak dapat diabsorbsi dengan
efektif. Sebaliknya, kondisi yang memperlambat pengosongan lambung (misalnya makan
dalam jumlah yang terlalu banyak) juga akan memperlambat dan dapat mengurangi
absorbsi.
Contoh hal yang dapat menghambat pengosongan usus adalah rangsangan parasimpatis.
Sementara rangsangan simpatis (misalnya: olahraga dan stres emosional), obat
antikolinergik (dicyclomine), dan makanan yang ada di lambung akan mempercepat
pengosongan usus. Oleh karena itu, apabila obat diminum bersamaan dengan makan,
maka absorbsinya akan lebih lambat.
e. Interaksi dengan zat lain
Beberapa obat dapat mengalami interaksi dengan makanan, jenis obat lain, atau dengan
berbagai senyawa lain yang terdapat di dalam saluran gastrointestinal. Obat dapat
berikatan dengan beberapa jenis makanan tertentu atau jenis obat lain sehingga akan
mencegah terjadinya absorbsi. Salah satu contohnya adalah terjadinya interaksi antara
tetrasiklin dan berbagai produk olahan susu atau antasida.

f. Ekspresi dari glikoprotein-p


Glikoprotein-p merupakan protein transporter dari berbagai obat yang
bertanggung-jawab dalam transpor berbagai molekul. Berbagai fungsi glikoprotein-p
antara lain:
 Hepar : mentranspor obat ke empedu untuk dieliminasi
 Ginjal : memompa obat ke urin untuk diekskresi
 Plasenta : mentranspor obat kembali ke dalam sirkulasi ibu sehingga mengurangi
paparan obat ke janin
 Usus : mentranspor obat ke lumen usus dan mengurangi absorbsi obat ke darah

10
 Kapiler otak: memompa obat kembali ke darah sehingga membatasi akses obat ke
otak
Pada area dengan ekspresi glikoprotein-p yang tinggi, absorbsi obat akan
berkurang. Selain berperan dalam transpor berbagai obat keluar dari sel, glikoprotein-p
juga berperan dalam terjadinya resistensi berbagai obat.

2.2.5 Bioavailabilitas
Bioavabilitas adalah perbandingan antara dosis obat yang diberikan dan jumlah
obat yang pada akhirnya akan masuk ke dalam sirkulasi darah disebut, dan umumnya
disajikan dalam bentuk persentase. Bioavailabilitas diartikan sebagai sebagian dari obat
yang masuk ke dalam tubuh yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Penghitungan
bioavailabilitas penting untuk mengetahui dosis obat yang diberikan selain melalui
injeksi intravena (apabila diberikan secara intravena, maka bioavailabilitasnya 100%).
Penentuan bioavailabilitas dapat dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi
dalam plasma dari obat yang diberikan selain secara intravena dengan konsentrasi dalam
plasma dari obat yang diberikan secara intravena.(Harvey 2012)

Bioavailabilitas merupakan hasil penghitungan dan bukan hasil pengukuran


langsung. Luas area di bawah kurva (AUC = area under the curve) konsentrasi plasma
dibandingkan waktu dapat menunjukkan jumlah total obat yang berhasil masuk ke dalam
sistem sirkulasi. Kurva ini umumnya memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung
pada jalur pemberian obat yang digunakan. Kurva yang diperoleh dari hasil pemberian
obat secara intravena umumnya digunakan sebagai standar rujukan untuk bioavailabilitas
total (100%). Bioavailabilitas dihitung dengan membandingkan luas area di bawah kurva
untuk obat yang diberikan secara non-parenteral dan luas area di bawah kurva untuk obat
yang diberikan secara parenteral. Sebagai contoh, bioavailabilitas sebesar 50% untuk obat
oral menunjukkan bahwa dari seluruh obat yang diberikan melalui jalur oral, hanya
separuh saja yang berhasil masuk ke dalam sirkulasi darah.

11
Gambar 5. Kurva konsentrasi serum dibandingkan waktu untuk jalur pemberian obat
oral dan intravena. Waktu yang dibutuhkan bagi konsentrasi obat dalam serum untuk
mengalami penurunan sampai separuh dari konsentrasi awal disebut sebagai waktu paruh
eliminasi (t½). Bioavailabilitas obat dapat ditentukan dengan membandingkan area di
bawah kurva (AUC) obat oral dan intravena. (Practical Pharmaco-logy for the Pharmacy
Technician, p.29)

Bioavailabilitas diartikan sebagai sebagian dari obat yang masuk ke dalam tubuh
yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Penghitungan bioavailabilitas penting untuk
mengetahui dosis obat yang diberikan selain melalui injeksi intravena (apabila diberikan
secara intravena, maka bioavailabilitasnya 100%). Penentuan bioavailabilitas dapat
dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi dalam plasma dari obat yang
diberikan selain secara intravena dengan konsentrasi dalam plasma dari obat yang
diberikan secara intravena(Harvey,2012). Bioavailabilitas yang ditentukan dengan rumus
di atas adalah bioavalabilitas absolut. Apabila tidak didapatkan data konsentrasi plasma
dari obat intravena, bioavailabilitas tetap dapat dihitung dengan membandingkan
berbagai dosis, rute pemberian obat, maupun bentuk sediaan. Bioavailabilitas yang
dihitung dengan cara tersebut disebut sebagai bioavailabilitas relatif.(Benedetti, 2009)

12
Biovailabilitas dari berbagai rute pemberian obat dapat dilihat pada tabel 2.1
Jalur pemberian Bioavailabilitas Karakteristik
(%)
Intravena (IV) 100 Onset paling cepat
Intramuskuler (IM) 75 sampai ≤100 Kadang dapat diberikan dalam
volume besar, dapat terasa nyeri
Subkutan (SC) 75 sampai ≤100 Volume lebih sedikit dari IM, dapat
terasa nyeri
Oral (PO) 5 sampai <100 Paling mudah, dipengaruhi efek
lintas pertama
Rektal (PR) 30 sampai <100 Efek lintas pertama lebih kecil dari
obat PO
Inhalasi 5 sampai <100 Onset efek dapat sangat cepat
Transdermal 80 sampai ≤100 Absorbsi biasanya sangat lambat,
digunakan karena tidak ada efek
lintas pertama, durasi aksi lebih
lama

Tabel 1. Biovailabilitas dari berbagai rute pemberian obat(Katzung,2015)


Beberapa jenis obat, seperti propranolol atau enalapril, dapat mengalami
metabolisme yang bermakna saat dibawa melewati hepar. Untuk jenis obat yang lebih
rentan terhadap efek metabolisme lintas pertama, dosis oral yang dibutuhkan untuk
menghasilkan respon umumnya akan jauh lebih besar dibandingkan dosis obat intravena
yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon yang sama.

Bioavailabilitas memainkan peranan penting dalam pemilihan obat. Meskipun dua


produk generik yang berbeda mungkin mengandung bahan aktif yang sama, keduanya
mungkin tidak memiliki karakteristik disolusi atau absorbsi yang sama, sehingga tidak
memiliki bioavailabilitas yang setara.(Holford,2015)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu obat antara lain


(Harvey,2012)
 Metabolisme tingkat pertama di hepar
Setelah obat diabsorbsi di saluran cerna, obat akan masuk ke sirkulasi portal sebelum
masuk ke sirkulasi sistemik. Apabila obat dimetabolisme secara cepat di hepar, maka
konsentrasi obat yang tidak berubah yang sampai ke sirkulasi sistemik akan berkurang.
 Kelarutan obat

13
Obat yang sangat hidrofilik absorbsinya akan jelek karena obat tersebut tidak dapat
menembus membran lipid bilayer. Sementara itu, obat yang terlalu hidrofobik juga akan
memiliki absorbsi yang jelek karena obat tersebut akan sangat tidak larut dalam cairan
tubuh sehingga tidak dapat masuk ke dalam sel. Obat yang memiliki absorbsi yang baik
adalah yang bersifat hidrofobik tetapi juga masih memiliki kelarutan dalam air, seperti
asam lemah dan basa lemah).
 Instabilitas kimiawi
Misalnya: penisilin G bersifat tidak stabil dalam pH asam (lambung), insulin akan
dihancurkan di lambung oleh enzim-enzim lambung.
 Karakteristik dari sediaan obat
Absorbsi dari obat juga dipengaruhi oleh karakteristik sediaan obat, misalnya: ukuran
partikel, bentuk garam, polimorfisme kristal, lapisan enterik, adanya eksipien (bahan
pengikat atau pelarut).

2.2.6 Bioekuivalensi
Ekuivalensi kimia merupakan kesataraan melalui obat dalam sediaan belum tentu
menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang di sebut
ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekivalensi kimia
tetapi tidak berekivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Dua
sediaan obat dikatakan bioekuivalen apabila kedua obat tersebut menunjukkan
bioavailabilitas yang sebanding dan memiliki waktu yang hampir sama untuk mencapai
konsentrasi tertinggi.(Harvey,2012) Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorpsi nya
lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya di goksin dan
difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsi nya,
misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10%
umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya
memperkihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan
inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya di
goksin, difenilhidantoin, teofilin.

2.3 Distribusi

14
2.3.1 Definisi
Distribusi obat adalah proses dimana obat yang telah diabsorbsi meninggalkan
peredaran darah dan masuk ke dalam cairan ekstraseluler dan kemudian masuk ke sel.
Setelah diabsorpsi dan pemberian sistemik ke dalam aliran darah, obat akan didistribusi
ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah juga ke cairan interstitial dan intraseluler.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.
Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua
jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas
misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi
cepat karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat
bebas, kecuali di otak.
Pada obat yang diberikan secara intravena (dimana tidak terjadi proses absorbsi),
fase inisial (mulai dari saat obat masuk ke dalam tubuh sampai konsentrasi obat mulai
turun) merepresentasikan fase distribusi. Pada fase distribusi, konsentrasi obat dalam
darah akan menurun dengan cepat karena obat masuk ke dalam jaringan. Fase distribusi
ini diikuti oleh fase eliminasi, yaitu ketika konsentrasi obat dalam plasma seimbang
dengan konsentrasi obat dalam jaringan.(Benedetti,2009)

15
Gambar 6. Fase Distribusi Obat Diikuti Fase Eliminasi

Setelah penyerapan atau pemberian sistemik ke dalam aliran darah, obat


didistribusikan ke cairan interstitial dan intraseluler. Proses ini mencerminkan sejumlah
faktor fisiologis dan sifat fisikokimia tertentu dari obat individu. Keluaran jantung, aliran
darah regional, permeabilitas kapiler, dan jaringan volume menentukan tingkat
pengiriman dan jumlah potensial obat yang didistribusikan ke jaringan. Awalnya, hati,
ginjal, otak, dan organ-organ lain yang perfusinya baik menerima sebagian besar obat;
pengiriman ke otot, sebagian besar organ, kulit, dan lemak lebih lambat, dan fase
distribusi kedua ini mungkin memerlukan beberapa menit hingga beberapa jam sebelum
konsentrasi obat dalam jaringan berada dalam keseimbangan dalam darah.
Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler halus
ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan plasma
disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan interstinal,
molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam sitoplasma (Shargel et al., 2012).
Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak
sebagai sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak akan
melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut
dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas, terutama
di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut bersifat polar sehingga
akan terikat pada protein plasma (albumin) dan membentuk kompleks obat-protein yang
terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran sel (Katzung, 2011).

2.3.2 Fase Distribusi Obat


Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam
tubuh, yaitu:
a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak (waktu distribusi kurang
dari 2 menit).

16
b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot, visera, kulit dan jaringan
lemak (waktu distribusi 2-4 jam)

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang
tinggi adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah
yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan
kulit merupakan perfusi sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah pada
penderita sakit jantung akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan
berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat (Shargel et al., 2012).

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat


Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi obat antara lain(Harvey,2012):
1. Perfusi darah melalui jaringan
Perfusi darah ke organ atau jaringan berperan penting dalam distribusi obat.
Organ atau jaringan dengan perfusi darah yang tinggi cenderung lebih cepat dalam
mengambil obat dibandingkan jaringan yang perfusi darahnya rendah.(Harvey,2012)
Beberapa organ dengan perfusi darah tinggi antara lain otak, ginjal, hepar, dan jantung.
Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin cepat obat
mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam jaringan. Kadar obat
dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi keadaan yang disebut keadaan
siap (steady state). Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan
distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat
dalam jaringan dengan kadar obat dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini disebut
keseimbangan distribusi. Oleh karena itu, pada jaringan tubuh yang mendapat suplai
darah relatif paling banyak dibandingkan ukurannya akan menyebabkan terjadinya
keseimbangan distribusi yang paling cepat (Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008)

2. Permeabilitas kapiler

17
Permeabilitas kapiler ditentukan oleh struktur kapiler dan komposisi kimia dari
obat. Membran basal hepar dan lien memiliki celah yang bisa dilewati oleh protein
plasma berukuran besar akibat adanya diskontinuitas kapiler, berbeda dengan membran
basal pada otak yang memiliki struktur kapiler yang kontinyu. Obat yang larut lemak
dapat menembus sawar darah otak karena dapat larut dalam membran sel endotel,
sementara obat yang terionisasi atau bersifat polar tidak dapat menembus sawar darah
otak.(Harvey,2012)
Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas, bergantung pada
jaringannya. Sebagai contoh, membran kapiler dalam hati dan ginjal lebih permeable
untuk pergerakan obat transmembran dari pada kapiler dalam otak. Kapiler sinusoid hati
sangat permeable dan memungkinkan lewatnya molekul dengan ukurang besar. Dalam
otak dan spinal cord, sel endotel kapiler dikelilingi oleh suatu lapisan sel-sel glial, yang
mempunyai hubungan interseluler yang rapat. Lapisan tambahan dari sel sekitar
membran kapiler secara efektif berindak untuk memperlambat laju difusi obat ke dalam
otak dengan bertindak sebagai suatu sawar lemak yang lebih tebal. Sawar lemak ini
disebut sawar darah-otak (blood-brain barrier), memperlambat difusi dan penetrasi ke
dalam otak dan spinal cord dari obat yang polar. Pada kondisi patofisiologis tertentu,
permeabilitas membrane sel dapat berubah. Sebagai contoh, luka bakar akan mengubah
permeabilitas kulit dan memungkinkan obat-obat dan molekul besar untuk menembus
masuk atau ke luar. Pada meningitis, yang melibatkan inflamasi membran spinal cord
atau otak, ambilan otak ke dalam otak akan meningkat (Katzung, 2011; Shargel et
al.,2012).

3. Ikatan obat dengan protein plasma


Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas
yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan
mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat yang terikat
pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada umumnya tidak mengalami
biotransformasi dan eliminasi. Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak terikat dengan
protein plasma yang dapat berdifusi dan memberikan efek farmakologis, sedangkan

18
kompleks zat aktif dengan protein tidak dapat melintasi membran, namun kompleks ini
hanya bersifat sementara. Apabila molekul zat aktif yang bebas telah dimetabolisme atau
ditiadakan maka, kompleks ini akan melepaskan bentuk zat bebasnya (Shargel et al.,
2012).
Hanya obat bebas (tidak terikat dengan protein) yang dapat menembus membran
sel dan menimbulkan efek farmakologis maupun toksik(Harvey,2012).
 Ikatan dengan protein plasma
Ikatan reversibel dengan protein plasma akan menyebabkan obat berubah menjadi
bentuk yang tidak bisa terdifusi dan memperlambat transpor keluar dari pembuluh
darah. Albumin merupakan protein plasma yang paling utama dan dapat berfungsi
sebagai cadangan obat (pada saat konsentrasi obat bebas berkurang akibat eliminasi
oleh proses metabolisme atau ekskresi, obat yang terikat pada albumin dapat
melepaskan diri).
 Ikatan dengan protein jaringan
Obat dapat terakumulasi akibat ikatan dengan lemak, protein, atau asam nukleat. Obat
juga dapat ditranspor secara aktif ke jaringan. Akumulasi obat pada jaringan dapat
memperlama kerja obat dan menyebabkan toksisitas. Contoh: acrolein (metabolit dari
siklofosfamid) bersifat toksik terhadap ginjal akibat akumulasi pada sel renal.
 Hidrofobisitas
Obat yang bersifat hidrofobik dapat melewati membran sel karena obat tersebut dapat
menembus membran lipid bilayer, sementara obat yang hidrofilik tidak bisa
menembus membran sel dan harus melewati celah untuk bisa masuk ke sel.
4. Komposisi tubuh
Obat yang larut dalam lemak, lebih banyak disimpan oleh orang yang obesitas
dibandingkan orang kurus. Demikian pula dengan lansia, dikarenakan proporsi lemak
tubuh yang meningkat seiring bertambahnya usia.
5. Distribusi volume
Distribusi obat dalam tubuh dapat dibandingkan dengan volume kompartemen
cairan tubuh. Cairan tubuh dapat dibagi menjadi 3 kompartmen, yaitu:

19
Gambar 7. Kompartemen Cairan Tubuh
 Kompartemen plasma
Volume cairan plasma ±6% dari berat badan. Apabila obat memiliki berat molekul
besar atau terikat pada protein plasma, obat akan menjadi terlalu besar untuk dapat
melewati celah endotel, sehingga obat akan terperangkap di kompartemen plasma.
 Cairan ekstraseluler
Volume cairan ekstraseluler sekitar ±20% dari berat badan.Apabila obat memiliki
berat molekul rendah tetapi bersifat hidrofilik, obat akan dapat menembus celah
endotel dan masuk ke cairan interstitial tetapi obat tidak dapat menembus membran
lipid bilayer.
 Total air tubuh
Volume total air tubuh adalah sekitar ±60% dari berat badan. Apabila obat memiliki
berat molekul rendah dan bersifat hidrofobik, obat akan dapat menembus celah
endotel menuju ke interstitial dan menembus menbran sel menuju ke cairan
intraseluler. Contoh: etanol.(Harvey,2012)

2.4 Metabolisme
2.4.1 Definisi
Metabolisme adalah modifikasi struktural kimia oleh enzim dalam tubuh.
Metabolisme obat atau yang disebut juga biotransformasi ialah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Hinz, 2005)

20
Proses metabolisme merupakan proses yang dilakukan oleh tubuh untuk
menginaktivasi atau mengubah / biotransformasi suatu obat. Obat – obatan bisa
dimetabolisme di beberapa organ. Hepar merupakan organ utama lokasi terjadinya proses
metabolisme ini. Metabolisme obat yang terjadi di hati, yaitu di membran endoplasmic
reticulum (makrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik)
adalah dinding usus, ginjal, paru, darah, otak juga di lumen kolon (flora usus)
Kebanyakan obat – obatan diinaktivasi oleh enzim hepar dan kemudian
dikonversi atau ditransformasi oleh enzim hepar menjadi bentuk yang tidak aktif atau
substansi yang larut di dalam air agar bisa kemudian diekskresi ke luar tubuh. Sebagian
besar obat bersifat larut dalam lemak, maka dari itu hepar akan memetabolisme substansi
obat larut dalam lemak menjadi substansi obat larut dalam air untuk diekskresi oleh
ginjal. Adapun beberapa obat yang diubah ke dalam bentuk metabolit aktif, yang akan
meningkatkan respon farmakologi.(Kee,2015. Katzung,2015)

Metabolisme obat mempunyai dua efek penting yaitu:


a. Obat menjadi lebih hidrofilik. Hal ini dapat mempercepat ekskresinya melalui ginjal
karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal.
b. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti
itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli

Bahan kimia yang diserap di saluran pencernaan harus melewati hati, di mana
mereka dapat dimetabolisme sebelum didistribusikan ke bagian lain dari tubuh.
Fenomena ini dikenal sebagai efek first-pass, yaitu obat didistribusikan ke seluruh tubuh
setelah melalui hati pada pemberian oral. Metabolisme memfasilitasi ekskresi melalui
urin atau empedu

2.4.2 Peran Metabolisme / Biotransformasi dalam Disposisi Obat


Sebagian besar biotransformasi obat terjadi pada suatu tahap antara penerapan
obat ke dalam sirkulasi darah dan eliminasinya di ginjal. Metabolisme bahan kimia
eksogen (bahan kimia yang tidak secara alami ditemukan di dalam tubuh) umumnya
terjadi dalam dua fase, diklasifikasikan sebagai reaksi fungsionalisasi fase I dan reaksi
biosintetik fase II (konjugasi).

21
Pada fase I, molekul eksogen dimodifikasi oleh penambahan gugus fungsi seperti
hidroksil, karboksil, atau sulfhidril. Modifikasi ini memungkinkan terjadinya fase II,
yaitu fase konjugasi, atau penggabungan dari molekul eksogen dengan molekul endogen
(yang secara alami ditemukan di dalam tubuh. Produk akhir utama dalam banyak kasus
adalah bahan kimia yang lebih mudah larut dalam air yang mudah diekskresikan.
Reaksi fase I biasanya mengubah obat induk menjadi metabolit yang lebih polar
melalui proses oksidasi, reduksi, atau hidrolisis dengan memperkenalkan atau
memunculkan suatu gugus fungsional (-OH, -NH2, -SH). Hasil metabolitnya, secara
farmakologi bisa bersifat tidak aktif, sedikit tidak aktif, atau lebih aktif (seperti pada
contoh obat enalapril, dimana metabolit sebelumnya bersifat prodrug) dari metabolit
sebelumnya. (Katzung,2015)

Gambar 8. Reaksi fase I dan fase II, dan eliminasi langsung, dalam biodisposisi obat
(Katzung,2015)

2.4.3 Reaksi Biotransformasi Obat


Enzim biotransformasi hepatik memainkan peranan penting untuk inaktivasi dan
selanjutnya elimasi obat-obat yang tidak terbersihkan dengan mudah melalui
ginjal.sebagian besar reaksi biotransformasi, metabolit obat menjadi lebih polar daripada
senyawa induk. Perubahan obat menjadi metabolit yang lebih polar memungkinkan obat

22
terelimasi lebih cepat dibandingkan jika obat larut dalam lemak.Obat-obat yang larut
dalam lemak melewati membran sel dan dengan mudah di reabsorpsi oleh sel-sel tubula
ginjal, sehingga cenderung tinggal lebih lama di dalam tubuh.Sifat obat dan rute
pemakaian dapat mempengaruhi tipe metabolit yang terbentuk.

Tabel 2.Jalur Biotransformasi dan Jenis Reaksi

2.4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Metabolisme Obat


Proses metabolisme obat di dalam tiap individu berbeda – beda, serta dapat
mengalami perubahan dan hal ini membawa dampak pada perubahan efek farmakologi
obat yang bersangkutan, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
yaitu:
a. Faktor Genetik
Perbedaan faktor genetik menyebabkan polimorfisme genetik dalam metabolisme
obat. Terdapat polimorfisme genetik enzim metabolisme fase I dan fase II yang
nyata yang menyebabkan perubahan kemanjuran obat atau efek samping obat,

23
seperti pada pemakaian obat suksinilkolin (pelemas otot), isoniazid (anti
tuberculosis), dan warfarin (antikoagulan). (Brunton dan Johnson,2011)
b. Intrinsik obat
Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma,
dosis yang digunakan dan cara pemberian.
c. Fisiologi organisme
Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur
dan kondisi kehamilan.Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia
diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan
dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan,
sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat
toksik.
d. Usia
Usia kerap mempengaruhi kerentanan terhadap aktivitas farmakologi atau toksik
obat. Hal ini dipengaruhi akibat perbedaan proses farmakokinetik yang berbeda di
rentang usia. Metabolisme yang lambat dapat disebabkan oleh berkurangnya
aktivitas enzim metabolisme atau kurangnya ketersediaan kofaktor endogen
esensial.(Katzung,2015)
e. Farmakologi
Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat yang
dapat menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan
tolbutamid. Obat tersebut dapat menginduksi enzim metabolisme obat sehingga
keberadaan obat dalam tubuh menjadi berkurang mengakibatkan penurunan efek
klinik obat.Sedangkan inhibitor enzim misalnya aspirin, kloramfenikol,
fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme fase I klorpropamid,
heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor tersebut akan menghambat
reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan
sebagai konsekuensi klinik adalah kenaikan efek farmakologinya (Mike, 2005).
d. Kondisi patologi
Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi
metabolisme suatu obat.Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama

24
bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ
tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan
dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme
sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan
mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada
apoteker yang akan berkerja di rumah sakit (Mike, 2005).
e. Susunan makanan
Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur
runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa
unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun
kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk mengkatalisis reaksi
metabolisme obat. Faktor diet ikut berperan dalam variasi individual dalam
metabolisme obat. Makanan yang dipanggang arang dan sayuran cruciferae
diketahui menginduksi enzim CYP1A, sementara jus anggur diketahui
menghambat metabolisme enzim CYP3A obat yang diberikan bersamanya.
f. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang
berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga
terkait dengan kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim
pemetabolisme (Mike, 2005). Perokok memetabolisme sebagian obat lebih cepat
daripada bukan perokok karena induksi enzim. Pekerja industri yang terpajan
pestisida memetabolisme obat tertentu lebih cepat daipada orang yang tidak
terpajan. Faktor intake makanan juga kadang mempengauhi metabolisme obat,
namun pada penggunaan paracetamol atau analgesic lainnya hal ini tidak
mempengaruhi.

2.4.5 Enzim Terkait Metabolisme / Biotransformasi Fase I

Banyak enzim permetabolisasi obat terletak di membran hidrofilik retikulum


endoplasmatik hati dan jaringan lain. Secara khusus, mikrosom mengandung kelas enzim

25
penting yaitu mixed function oxidase (MFO) atau monooxygenases. Aktivas enzim-
enzim ini memerlukan bahan pereduksi (nikotinamid adenin dinukleotida [NADPH]) dan
oksigen molekular. Dalam proses oksidasi-reduksi biotransformasi obat, terdapat dua
enzim mikrosom kunci yaitu NADPH-sitokrom P450 oksidoreduktase (POR) dan
sitokrom P450 (P450 atau CYP). POR merupakan flavoprotein dan P450 merupakan
hemoprotein. Sitokrom P450 ini berfungsi sebagai terminal oksidase. P 450 berasal dari
sifat spektral hemoprotein. Dalam bentuk tereduksinya (fero), protein ini mengikat
karbon monoksida yang menghasilkan kompleks yang menyerap sinar secara maksimal
pada 450 nm. Dari berbagai isokrom CYP1A2, CYP1A6, CYP1B6, CYP1C9, CYP1D6,
CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4 merupakan bentuk terpenting masing - masing
membentuk 15%, 4%, 1%, 20%, 5%, dan 30% dari kandungan P450 total di hati
manusia.

2.4.5 Enzim Terkait Metabolisme / Biotransformasi Fase II

Enzim reaksi fase II yang terpenting adalah uridin 5’-difosfat (UDP)-glukuronil


transferase (UGT). Enzim ini mengkatalis penggabungan suatu bahan endogen aktif
(misalnya turunan UDP dari asam glukuronat) dengan suatu obat atau senyawa endogen
seperti bilirubin. Enzim ini mengkatalis penggabungan suatu bahan endogen aktif
(misalnya turunan UDP dari asam glukuronat) dengan suatu obat atau senyawa endogen
seperti bilirubin. Adapun enzim lain yang juga terlibat di fase II, diantaranya adalah
sulfotransferase (SULT) (mengkatalis sulfasi substrat dengan menggunakan 3’-
fosfoadenosis 5’-fosfosulfat (PAPS) sebagai donor sulfat endogen), N-asetiltransferase
(pada asetilasi), transmetilase (pada metilasi), dan glutation transferase (GST) sitosol dan
mikrosom (GSH). N-asetilbenzoiminokuinon) bereaksi dengan gugus nukleofilik protein-
protein sel menyebabkan hepatotoksisitas. N-asetilsistein dalam 8-16 jam setelah
keracunan asetaminofen melindungi korban dari hepatotoksisitas fulminan dan kematian.
(Katzung,2015)

26
Gambar 9. Siklus sitokrom p450 dalam obat oksidasi.(Katzung,2015)

2.5 Eksresi
2.5.1 Definisi
Ekskresi obat adalah proses pengeluaran/eliminasi obat atau metabolitnya dari
tubuh. Obat diekskresi dari tubuh baik dalam bentuk yang tidak berubah atau dikonversi
menjadi metabolit. Pada sistem ekskresi manusia melibatkan beberapa alat ekskresi yang
terdiri dari ginjal, kulit, hati, dan paru-paru. Setiap alat ekskresi berfungsi untuk
mengeluarkan zat sisa metabolisme yang berbeda-beda, kecuali air yang dapat
dikeluarkan melalui semua alat ekskresi. Organ ekskresi kecuali paru-paru lebih efisien
dalam mengeliminasi senyawa polar dibandingkan dengan senyawa non-polar yang
sangat larut dalam lemak. Ginjal adalah organ yang paling penting untuk
mengekskresikan obat dan metabolitnya.(Kee,2015)
Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh, seperti CO2,
H2O, NH3, zat warna empedu, dan asam urat. Zat hasil metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui alat ekskresi. Sistem ekskresi merupakan
salah satu hal yang penting dalam homeostatis tubuh karena selain berperan dalam
pembuangan limbah hasil metabolisme sistem ekskresi juga dapat merespon terhadap
ketidakseimbangan cairan tubuh. Fungsi dari sistem ekskresi yaitu : (A)Membuang
limbah yang tidak bergunadari dalam tubuh. (B)Mengatur konsentrasi dan volume cairan
tubuh (osmoregulasi). (C)Mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran normal
(termoregulasi)

27
2.5.2 Rute Ekskresi Obat
2.5.2.1 Ekskresi Melalui Ginjal
Pada neonatus fungsi ginjal masih rendah dibanding masa tubuh tapi akan cepat
matang dalam beberapa bulan pertama. Pada orang dewasa terdapat penurunan masa
ginjal yang lambat , sekitar 1% per tahun, sehingga pada pasien usia lanjut sejumlah
besar kerusakan fungsional dapat terjadi. Ekskresi obat dan metabolit dalam urin
melibatkan tiga proses yang berbeda: filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan
reabsorpsi tubular pasif. Perubahan fungsi ginjal secara keseluruhan umumnya
mempengaruhi ketiga proses tersebut dengan tingkat yang sama. Jumlah obat yang masuk
ke lumen tubulus melalui filtrasi glomerulus tergantung pada laju filtrasi glomerulus dan
banyaknya obat yang terikat oleh protein plasma. Ginjal memfiltrasi obat yang tidak
terikat, obat yang larut dalam air dan dalam bentuk yang tidak berubah. Pada tubulus
proksimal terjadi sekresi tubulus yang diperantarai oleh pembawa/karier dan bersifat
aktif, menyebabkan penambahan obat ke dalam cairan tubulus.

Gambar 10
.Eliminasi obat-obatan dan metabolit melalui ginjal oleh filtrasi glomerulus dan/atau
sekresi tubular dan reabsorpsi (Ritter,2008)

28
Ginjal terlibat dalam hampir setiap eliminasi obat atau metabolit obat (Gambar 10),
dengan cara melakukan ionisasi untuk membersihkan obat secara total dari tubuh. Proses
ionisasi ini akan mengubah obat yang tidak larut dalam lemak menjadi larut dalam lemak
yang masuk ke dalam urin.

Jumlah obat yang masuk ke lumen tubulus dengan filtrasi tergantung GFR
(glomerular filtration rate) dan tingkat pengikatan plasma obat , hanya yang tak terikat
yang tersaring. Pada tubulus proksimal ginjal ,carrier- mediated tubular secretion dapat
menambahkan obat ke cairan tubular. Membran transporter, terutama terletak di tubulus
distal ginjal, juga bertanggungjawab untuk reabsorpsi aktif obat dari lumen tubulus kembali
ke sirkulasi sistemik.(Buxton,2011)

 Filtrasi Glomerulus

Filtrat glomerulus mengandung konsentrasi zat terlarut dengan berat molekul


rendah yang mirip dengan plasma. Zat dengan berat molekul 66.000 (termasuk
protein plasma dan kompleks obat-protein) tidak dapat melewati glomerulus, jadi
jumlah obat yang memasuki lumen tubular karena proses filtrasi tergantung pada laju
filtrasi glomerulus dan tingkat pengikatan plasma obat, dan hanya obat yang tidak
berikatan dapat difilter. Kerusakan ginjal akan mengurangi eliminasi obat yang
bergantung pada filtrasi glomerular untuk pembersihannya (misalnya digoksin). Obat-
obatan yang sangat terikat dengan albumin atau glikoprotein asam α-1 dalam plasma
tidak efisien untuk difiltrasi.
 Sekresi Tubular Proksimal (Aktif)
Sekresi aktif anion organik dan kation organik (OAT dan OCT) ke dalam
tubulus proksimal memiliki mekanisme tersendiri. OAT mengekskresikan obat-
obatan, seperti probenesid dan penisilin. Asam para-aminohippuric (PAH)
diekskresikan dengan sangat efisien melalui ginjal, sehingga benar-benar diekstraksi
dari plasma ginjal hanya dalam sekali jalan (selama pemberian infus intravena,
konsentrasi PAH dalam darah vena ginjal adalah nol). OCT berperanan pada
eliminasi obat-obatan dalam bentuk dasar (misalnya cimetidine, amphetamine), setiap
mekanisme ditandai oleh tingkat pengangkutan obat yang maksimum, sehingga
prosesnya secara teoritis dapat dijaga, meskipun dalam prakteknya tingkat maksimum

29
ini jarang dicapai. Sekresi obat yang bebas (tidak terikat) terjadi pada gradien
konsentrasi dari cairan peritubular ke lumen, maka kesetimbangan antara obat terikat
dan tidak terikat dalam plasma dapat terganggu, akibatnya obat terikat akan
memisahkan diri dari tempat pengikatannya dengan protein. Jadi sekresi tubular dapat
mengeliminasi obat secara efisien, walaupun obat sangat terikat dengan protein.
Persaingan antara obat akan terjadi pada obat yang diangkut melalui sistem ini,
misalnya anatara probenecid yang akan menghambat metotreksat secara kompetitif.
Pengangkut membran, terutama yang terletak di tubulus ginjal distal, juga
bertanggung jawab untuk setiap reabsorpsi aktif obat dari lumen tubular kembali ke
sirkulasi sistemik, namun sebagian besar reabsorpsi seperti itu terjadi oleh difusi non-
ionik. Pada tubulus proksimal dan distal, bentuk asam lemah dan basa lemah yang
tidak terionisasi mengalami reabsorpsi pasif.
 Reabsorpsi Tubular Pasif
Tubulus ginjal berperan sebagi penghalang lipid, memisahkan antara obat
berkonsentrasi tinggi dalam lumen tubular dan obat berkonsentrasi yang lebih rendah
dalam cairan interstisial dan plasma. Reabsorpsi obat melalui difusi pasif terjadi
berkaitan dengan gradasi konsentrasinya. Obat yang sangat larut dalam lemak,
reabsorpsinya sangat efektif sehingga pembersihan ginjal hampir nol. Senyawa polar
seperti manitol, terlalu larut dalam air untuk diserap, dan dieliminasi secara virtual
tanpa reabsorpsi.

2.5.2.2 Eksresi Melalui Empedu

Ekskresi melalui empedu merupakan rute lainnya dalam mengeluarkan obat


dari tubuh. Karakteristik fisikokimawi obat dengan berat molekul 500-600 dalton (pada
manusia) dan bersifat lipofilik, akan mengalami metabolisme atau ekskresi melalui
empedu. Transporter juga hadir dalam membran canalicular hepatosit, secara aktif
mengeluarkan obat-obatan dan metabolit ke dalam empedu, dilepaskan ke saluran
pencernaan selama proses pencernaan.(Brunton,2011)
Karena transporter sekretori juga diekspresikan pada membran apikal enterosit
pada usus halus, sekresi langsung obat dan metabolit dapat terjadi dari sirkulasi sistemik
ke dalam lumen usus. Selanjutnya, obat dan metabolit pada lumen usus ini dapat

30
langsung diekskresi atau dapat direabsorbsi kembali ke sirkulasi sistemik, dimana
metabolit konjugat seperti glukoronida mungkin memerlukan hidrolisis enzimatik oleh
mikroflora usus untuk menjadi senyawa non-polar sehingga dapat diabsorbsi kembali ke
plasma darah, kembali ke hepar untuk dimetabolisme, dikeluarkan kembali melalui
empedu menuju ke usus halus, sehingga merupakan suatu siklus yang disebut dengan
siklus enterohepatik. Siklus ini dapat memperpanjang keberadaan obat/toksin secara
signifikan sebelum dieliminasi oleh jalur lain. Karena alasan ini, obat-obatan dapat
diberikan secara oral dengan tujuan mengikat zat yang diekskresikan melalui empedu.
Beberapa Obat-obatan yang diekskresikan ke dalam empedu mengalami beberapa tahap
reabsobsi sepanjang saluran gastrointestinal, seperti warfarin, digoksin dan asam
mikofenolik.(Brunton,2011)

Seperti pada daur ulang enterohepatic, dapat memperpanjang kehadiran obat


(atau racun) dan dampaknya dalam tubuh sebelum eliminasi oleh jalur lain secara
signifikan. Untuk alasan ini, obat-obatan dapat diberikan secara oral untuk mengikat zat-
zat yang diekskresikan dalam empedu

2.5.2.3 Eksresi Melalui Rute Lainnya

Ekskresi obat melalui keringat, saliva, airmata secara kuantitatif tidak penting.
Eliminasi dengan rute tersebut terutama tergantung pada difusi dari obat yang larut dalam
lemak melalui sel epitel kelenjar dan tergantung pada pH. Konsentrasi beberapa obat
pada saliva sama dengan konsentrasinya pada plasma darah. Dengan demikian, saliva
merupakan cairan biologis yang bermanfaat untuk menentukan konsentrasi obat jika
mengalami kesulitan dalam pengambilan darah. Prinsip yang sama berlaku pada ekskresi
obat pada ASI. Karena ASI lebih asam jika dibandingkan dengan plasma, konsentrasi
senyawa asam pada ASI lebih rendah dibandingkan dengan plasma. Senyawa non-
elektrolit seperti etanol dan urea, mudah masuk ke dalam ASI dan mencapai konsentrasi
yang sama seperti pada plasma, terlepas dari pH pada ASI. Ekskresi obat dalam ASI
penting, bukan karena jumlah yang dieliminasi tetapi karena obat yang diekskresikan
merupakan sumber potensial dari efek farmakologis yang tidak diinginkan pada bayi
yang menyusu pada ibunya. Ekskresi dari paru-paru penting terutama untuk
mengeliminasi gas anestesi. Walaupun ekskresi melalui rambut dan kulit secara

31
kuantitatif tidak penting, metode untuk mendeteksi obat pada jaringan tersebut memiliki
makna pada uji forensik. (Katzung,2015)

2.5.3 Klirens

Klirens didefinisikan sebagai ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat


dari sirkulasi sistemik. Prinsip dari klirens obat serupa dengan konsep klirens dalam
fisiologi ginjal, contohnya klirens kreatinin didefinisikan sebagai kecepatan eliminasi
kreatinin pada urine berhubungan dengan konsentrasinya pada plasma. Dengan demikian,
klirens obat adalah kecepatan eliminasi obat melalui semua rute terhadap konsentrasi
obat pada plasma (C) pada beberapa cairan biologis dimana pengukuran tersebut
dilakukan (klirens plasma, klirens darah atau klirens berdasarkan konsentrasi obat yang
tidak terikat).

CL = Laju eliminasi

Oleh karena itu pada saat klirens tetap/konstan, kecepatan eliminasi berbanding
lurus dengan konsentrasi obat. Perlu diperhatikan bahwa klirens tidak mengindikasikan
seberapa banyak obat yang dieksresikan, tetapi lebih kepada volume cairan biologis
seperti darah atau plasma, dari mana obat tersebut akan diekskresikan untuk
memperhitungkan klirens per unit berat badan (misalnya mL/menit/kgBB). Perlu
diketahui pula bahwa klirens obat memiliki karakter aditif. Eliminasi obat dari sirkulasi
sistemik mungkin melibatkan proses-proses yang terjadi pada ginjal, hepar dan organ
lainnya. Pembagian laju eliminasi pada tiap organ dengan konsentrasi obat yang terdapat
pada organ tersebut, menghasilkan klirens bagi organ yang bersangkutan. Jika
dijumlahkan, makan klirens tiap organ ini setara dengan klirens sistemik total.
(Katzung,2015)

CLginjal + CLhepar + CLlain = CLsistemik

Rute lainnya dari eliminasi dapat melibatkan ekskresi obat pada saliva atau
keringat, sekresi pada saluran cerna, eliminasi gas volatil dari paru dan metabolisme pada

32
kulit. perubahan klirens pada satu organ akan merubah klirens secara keseluruhan.
Konsep klirens sangat penting pada farmakokinetik klinis karena nilai klirens untuk obat
tertentu biasanya konstan sepanjang kisaran konsentrasi yang ditemui pada situasi klinis.
Hal ini terjadi karena sistem dari eliminasi obat seperti enzim yang memetabolisme obat
dan transporter biasanya tidak mengalami kejenuhan, dan dengan demikian laju absolut
dari eliminasi obat pada dasarnya adalah fungsi linier dari konsentrasi obat pada plasma.
Dengan demikian, eliminasi dari sebagian besar obat mengikuti eliminasi ordo pertama,
dimana fraksi konstan obat pada tubuh dieliminasi per unit waktu. (Katzung,2015)

2.5.4 Waktu Paruh (Half-life)

Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang diperlukan untuk mengubah konsentrasi
obat pada plasma menjadi separuhnya (50%) selama eliminasi. Waktu paruh berguna
karena menunjukkan waktu yang diperlukan untuk memperoleh 50% dari steady state
atau untuk berkurang 50% dari steady state. Konsentrasi obat pada plasma sering
mengikuti pola ekponensial yang mencerminkan perubahan jumlah obat dalam tubuh.
Perubahan waktu paruh suatu obat merupakan fungsi dari klirens dan volume distribusi,
sesuai dengan persamaan di bawah ini. (Katzung,2015)

t1/2 = 0,7 x V/CL

keterangan :

t1/2 = waktu paruh, V = Volume distribusi, CL = Klirens

33
Gambar 11. Kurva hubungan antara konsentrasi obat pada plasma dan waktu pada
pemberian obat secara intravena. Pada kurva ini waktu paruh (t 1/2) dari obat yang diberikan
adalah 4 jam (Katzung,2015)

BAB III
KESIMPULAN

Bagi seorang dokter/klinisi pemahaman tentang farmakokinetik sangat penting dalam


meningkatkan kemungkinan keberhasilan terapi dan mengurangi efek samping obat terhadap
pasien. Farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses yaitu proses absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme (M),
dan ekskresi (E).

Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat dapat melalui saluran cerna (enteral), parenteral,
dan rute lainnya Absorbsi juga merupakan proses pemindahan obat dari lokasi pemberian obat
menuju ke dalam sirkulasi darah. Molekul obat yang telah diabsorpsi akan diangkut ke seluruh
bagian tubuh pada proses distribusi. Distribusi obat adalah proses dimana obat yang telah
diabsorbsi meninggalkan peredaran darah dan masuk ke dalam cairan ekstraseluler dan
kemudian masuk ke sel. Setelah diabsorpsi dan pemberian sistemik ke dalam aliran darah, obat

34
akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah juga ke cairan interstitial dan
intraseluler. Pada proses obat akan di-inaktivasi/biotransformasi.Metabolisme obat ialah
proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Obat
– obatan bisa dimetabolisme di beberapa organ. Hepar merupakan organ utama lokasi terjadinya
proses metabolisme ini. Proses metabolisme obat atau biotransformasi akan mengubah struktur
kimia obat dengan enzim katalisator, sehingga obat bersifat lebih polar sehingga lebih mudah
diekskresikan. Setelah terbentuk metabolit obat sebagai hasil metabolisme, maka obat akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui berbagai organ ekskresi, dengan organ ekskresi utama
adalah ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamaludin. (2017). Pengantar Farmakologi. Jakarta Indonesia: Rajawali Press.


2. Harvey R, Clark M, Finkel R, Rey J, Whalen K. Lippincott’s Illustrated Reviews
Pharmacology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012. 1–24 p.
3. Skinner BW, Curtis KA, Goodhart AL. Hypnotics and Sedatives. Vol. 40, Side Effects of
Drugs Annual. 2018. 91–98 p.
4. Benedetti MS, Whomsley R, Poggesi I, Cawello W, Mathy FX, Delporte ML, et al. Drug
metabolism and pharmacokinetics. Drug Metab Rev. 2009;41(3):344–90.
5. Buxton IL, Benet LZ. Pharmacokinetics: The Dynamics of Drug Absorption,
Distribution, Metabolism, and Elimination. In: Brunton LL, Chabner BA, Knollmann BC,
editor. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutic. 12th ed. New
York: Mc Graw-Hill; 2011: 17-40.
6. Holford, NHG. Pharmacokinetics & pharmacodynamics: rational dosing & the time
course of drug action. In: Katzung BG, Trevor AJ, editors. Basic and Clinical
Pharmacology. 13th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2015: p. 41-55

35
7. Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, dan Andrew B. C. 2012. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Edisi 5. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
8. Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Diterjemahkan oleh
Aryandhito Widhi N, Leo Rendy, dan Linda Dwijayanthi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
9. Katzung BG. Introduction: The nature of drugs & drugs development and regulation. In:
Katzung BG, Trevor AJ, editors. Basic and Clinical Pharmacology. 13 thed. New York:
Mc Graw-Hill; 2015: p. 1-19
10. Mike J. Neal. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
11. Kee, J.L., Hayes, E.R., Mc Cuishon, L.E. 2015. Drug Action : Pharmaceutic,
Pharmacokinetic, and Pharmacodynamic Phases in Pharmacology : A Patient –
Centered Nursing Process 8th Ed. Missouri : Elsevier. p. 2 – 7.

12. Johnson, J.A., et al. 2011. Clinical Pharmacogenetics Implementation Consortium


Guidelines for CYP2C9 and VKORC1 Genotypes and Warfarin Dosing. USA : NIH
Public Access.
13. Brunton, L., Chabner, B., Knollman, B. 2011. Goodman’s & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics 12th Ed. p. 37 – 57, 141 – 62.
14. Moore, R.A., et al. 2015. Effects of Food on Pharmacokinetics of Immediate Release
Oral Formulatiobs of Aspirin, Dipogrone, Paracetamol, and NSAIDs – A Safety Review
in British Journal of Clinical Pharmacology. Canada : BJCP
15. Ritter M, Lewis L, Mant T, Ferro A. A Textbook of Clinical Pharmacology and
Therapeutic. 5th ed. London: Hodder Arnold; 2008.

36

Anda mungkin juga menyukai