Anda di halaman 1dari 53

PERBANDINGAN FUNGSI PARU PADA PASIEN PENYAKIT

PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DENGAN PEROKOK

DAN TIDAK PEROKOK DI RUSD H.A.SULTHAN

DAENG RAJA BULUKUMBA

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

NUR HIJRAH MUTMAINNAH

NIM. A 17 09 025

PROGRAM STUDI S I KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

PANRITA HUSADA BULUKUMBA

2021
PERBANDINGAN FUNGSI PARU PADA PASIEN PENYAKIT

PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DENGAN PEROKOK

DAN TIDAK PEROKOK DI RUSD H. A. SULTAN DAENG

RAJA BULUKUMBA

TAHUN 2021

PROPOSAL PENELITIAN

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Gelar


Serjana Keperawatan (S.Kep)
Pada Program Studi S1 Keperawatan
Stikes Panrita Husada Bulukumba

Oleh :
NUR HIJRAH MUTMAINNAH

NIM.A.17.09.025

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
LEMBAR PERSETUJUAN

PERBANDINGAN FUNGSI PARU PADA PASIEN PENYAKIT

PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DENGAN PEROKOK

DAN TIDAK PEROKOK DI RUSD H.A.SULTHAN DAENG RAJA

BULUKUMBA

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :

NUR HIJRAH MUTMAINNAH

NIM.A.17.09.025

Proposal Penelitian Ini Telah Disetujui

Tanggal 16 Maret 2021

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

A.Baso Tombong, S.Kep, Ns, MANP A.Nurlaela Amin, S.Kep,Ns,M.Kes


NIP. 198612202011011007 NIP. 19841102 011010 2 028
i

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah

melimpahkan rahmat dan karunianya kepada saya selaku penulis. Tak lupa pula

salam dan shalawat dikirimkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga dalam

hal ini penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul

“perbandingan fungsi paru pada pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

dengan perokok dan tidak perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba” dengan tepat waktu. Proposal ini merupakan sebuah langkah awal

dalam proses penyusunan skripsi yang juga sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada program studi S1

keperawatan STIKes Panrita Husada Bulukumba.

Bersama dengan ini, izinkan saya memberikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada :

1. H. Muh. Idris Aman, S. Sos selaku Ketua Yayasan Stikes Panrita Husada

Bulukumba.

2. Dr. Muriyati, S.Kep, M. Kes selaku Ketua Stikes Panrita Husada Bulukumba

yang telah merekomendasikan pelaksanaan penelitian dan sekaligus sebagai

penguji I yang telah meluangkan waktu untuk menguji hasil penyusunan

proposal ini.

3. Dr. A. Suswani M, SKM. M. Kes selaku Wakil Ketua I yang telah membantu

merekomendasikan pelaksanaan penelitian.

4. Haerani, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan

yang telah merekomendasikan pelaksanaan penelitian.


ii

5. Andi Baso Tombong, S.Kep., Ns, MANP., selaku pembimbing utama yang

telah bersedia memberikan bimbingan dari awal hingga akhir penyusunan

proposal ini.

6. Andi Nurlaela Amin, S.Kep., Ns, M.Kes. selaku selaku pembimbing

pendamping yang telah bersedia memberikan bimbingan dari awal hingga

akhir penyusunan proposal ini.

7. Nadia Alfira, S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji II yang telah meluangkan

waktu untuk menguji hasil penyusunan proposal ini.

8. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staff Stikes Panrita Husada Bulukumba atas

bekal pengetahuan dan keterampilan yang telah diberikan kepada penulis

selama proses perkuliahan.

9. Teruntuk orang tuaku, Ibunda tercinta Nur Aisya Jamil yang selalu

memberikan dukungan do’a dan spiritual serta materi, sehingga saya bisa

menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan proposal dengan baik.

10. Teruntuk Keluarga Bapak kamil, Rahmatiah, S.Pd, terimakasih karena selalu

ada dan bertahan bersama hingga saat ini yang selalu memberikan support.

11. Sahabat-sahabat saya Kimochi Squad, Nurul Fatimah bakri yang selalu

menghibur, Nova Rita Anugrah dan Annisya Cahya Amsani yang selalu

memaksa saya untuk mengerjkan proposal saya selama penyusunan proposal

ini, seluruh pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Stikes Pantita Husada

Bulukumba periode 2020/2021 serta teman-teman S1 keperawatan angakatan

2017 yang telah memberikan dukungan sehingga proposal ini dapat

terselesaikan dengan baik.


iii

12. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada

saya selama penyusunan proposal ini berlangsung.

Saya selaku penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari kata sempurna,

dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kritikan dan saran sangat

saya perlukan demi kesempurnaan proposal ini. Saya juga berharap semoga

proposal ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, serta kepada semua pihak

khususnya bagi dunia pendidikan keperawatan di Indonesia.

Bulukumba,16 Maret 2021

Penulis

Nur Hijrah Mutmainnah


iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................iv

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................5

C. Tujuan Penelitian....................................................................................................5

D. Manfaat Penelitian..................................................................................................6

BAB II..............................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................8

A. Tinjauan Teori Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)......................................8

B. Pemeriksaan Fungsi Paru.....................................................................................26

C. Teknik Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri).....................................................27

D. Kerangka Teori.....................................................................................................30

BAB III...........................................................................................................................31

KERANGKA KONSEP DAN VARIABEL PENELITIAN........................................31

A. Kerangka Konsep.................................................................................................31

B. Variabel Penelitian...............................................................................................31

B. Defenisi Konseptual.............................................................................................32

C. Definisi Operasional.............................................................................................32

D. Hipotesis Penelitian..............................................................................................32
v

BAB IV...........................................................................................................................34

METODE PENELITIAN..............................................................................................34

A. Desain penelitian..................................................................................................34

B. Waktu dan Lokasi Penelitian................................................................................34

C. Populasi dan sampel penelitian.............................................................................34

D. Instrumen Penelitian.............................................................................................35

E. Tehnik pengumpulan data....................................................................................35

F. Alur penelitian......................................................................................................37

G. Pengolahan data dan analisa data.........................................................................38

H. Etika penelitian.....................................................................................................40
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut Global Initiative for

Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2014 adalah suatu keadaan

yang ditandai oleh terbatasnya aliran udara, biasanya progresif, disertai respon

inflamasi kronik pada saluran napas dan paru akibat partikel berbahaya seperti gas

(GOLD, 2017). Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan salah satu

penyakit tidak menular yang jarang terekspose karena keterbatasan informasi yang

diberikan.

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sekarang ini menjadi penyebab

kematian keempat di dunia, tetapi diproyeksikan akan meningkat menjadi

penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. PPOK merupakan penyebab utama

masalah kronik yang mengakibatkan kematian dan kesakitan di dunia (GOLD,

2017). The 2013 Global Burden Disease Study menunjukkan bahwa PPOK

menjadi urutan ke-8 yang menyebabkan penderitanya hidup dalam kecacatan.

Gas atau partikel berbahaya yang masuk ke dalam paru dapat meningkatkan

stress oksidatif pada pasien PPOK, sehingga menimbulkan derajat keparahan yang

berbeda-beda sesuai dengan banyaknya iritan yang masuk ke dalam paru (Safitri,

2016). Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif, yaitu kondisi

ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas yang ada dengan jumlah

antioksidan di dalam tubuh (Werdhasari, 2014). Asupan makanan sumber

antioksidan yang tinggi dapat meningkatkan fungsi paruparu, menurunkan gejala

infeksi pernafasan dan eksaserbasi (Tsiligianni and van der molen, 2010)
2

Menurut Word Health Organization (WHO) data tahun 2017 di Amerika

Serikat menunjukkan bahwa prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 11,8% dan

perempuan 8,5%. Mortalitas menduduki peringkat keempat terbanyak yaitu 18,6

per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan meningkat 32,9% dari tahun 1979

sampai 1991. Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan

6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%)

(Oemiati, 2018). Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok yang

banyak, dipastikan prevalensi PPOK tinggi (Oemiati, 2018).

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular (PPM) dan Penyehatan Lingkungan (PL) dilima rumah sakit

provinsi (Sulawesi Selatan) tahun 2019 menunjukan PPOK menempati urutan

pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker

paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2019). Angka kejadian PPOK di

Sulawesi Selatan tahun 2018 adalah 0,20% dan tahun 2019 mengalami penurunan

menjadi 0,12% (Profil Kesehatan Sulawesi Selatan, 2019). Menurut hasil studi

pendahuluan yang telah dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BBKPM) Sulawesi Selatan didapatkan data penderita PPOK meningkat 20%

pada bulan maret 2018. Penelitian yang dilakukan oleh Denis menyatakan bahwa

kasus tertinggi adalah PPOK derajat 2 (Denis, 2017). Penurunan massa sel tubuh

merupakansalah satu manifestasi sistemikpada PPOK.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD H.A Sulthan

Daeng Raja Bulukumba, 2021 yang diambil dari 6 bulan terakhir dari bulan Juli

2019 - Desember 2020 prevalensi penyakit tidak menular di Ruang Korpri Paru

merupakan penyebab pertama kesakitan terbesar di Indonesia pada sistem saluran


3

nafasbagian bawah, setelah asma bronkial juga merupakan kasus penyakit tidak

menular di RSUD H.A Sulthan Daeng Raja Bulukumba terbesar ke empat setelah

TB Paru, Pneumonia, dan Asma selama Juli 2019 - Desember 2020 dengan

jumlah pasien sebanyak 67 orang, dan hasil persentase dari 5 kasus terbesar yaitu

sebanyak 10,3%.

Tingginya angka kejadian PPOK menimbulkan resiko meningkatnya angka

kematian pada pasien. PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup

penderita, termasuk pasien yang berumur >40 tahun akan menyebabkan disabilitas

penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif namun tidak

dapat bekerja maksimal karena sesak nafas yang kronik. Mordibitas PPOK akan

menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker broncial, infeksi paru –paru,

trombo embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi, osteoporosis, sakit sendi,

depresi dan axiety. Penyakit paru obstruktif kronikdapat menimbulkan komplikasi

seperti Gagal nafas akut dan Acute Respiratory Faiture (ARF), Corpumonal/

dekompensasi ventrikel kanan dan Pneumothoraks.

Penyakit paru obstruktif kronik akan terus mengalami perkembangan yang

progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat

terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya

hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit

paru obstruktif kronik (Reeves, 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

adalah salah satu dari sepuluh besar penyebab utama kematian di Indonesia.

Prevalensi dan angka kematian akibat PPOK yang tinggi menunjukkan

pentingnya deteksi dan tatalaksana dini PPOK. Gold standard diagnosis PPOK

adalah spirometri untuk tes skrining.


4

Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk

mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Partners, 2011). Uji fungsi

paru yang paling sederhana adalah ekspirasi paksa.Volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1 / KVP) / kapasitas vital paksa (KVP) adalah perbandingan antara

volume gas yang dikeluarkan dalam satu detik pertama melalui ekspirasi paksa

sesudah inspirasi penuh dan volume total gas yang dapat dikeluarkan setelah

inspirasi penuh. Uji tersebut merupakan uji yang informatif dan hanya

membutuhkan sedikit peralatan serta mudah dihitung (West, 2013). Rasio

VEP1/KVP dijadikan ukuran dasar untuk menentukan beratnya obstruksi saluran

nafas pada penyakit PPOK (Jameset al, 2017).

Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menentukan diagnosis tetapi

juga penting untuk menilai beratnya obstruksi, berat restriksi dan efek

pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya

menunjukkan obstruksi atau restriksi dan hal ini dapat dijadikan peringatan dini

terhadap gangguan fungsi paru yang kemungkinan dapat terjadi sehingga dapat

ditentukan tindakan pencegahan secepatnya. Spirometri merekam secara grafis

atau digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa (Alasagaff, 2015)

Melihat angka kejadian penyakit paru yang semakin meningkat dikarenakan

pola makan dan gaya hidup yang tidak teratur serta beberapa faktor lainnya

sehingga dalam penelitian ini ingin mengetahui “perbandingan fungsi paru pada

pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan tidak perokok

di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba”.


5

B. Rumusan Masalah
Menurut data Riskesdas 2018 prevalensi kejadian penyakit paru tertinggi

yaitu sulawesi utara 24,07% dan sulawesi selatan dengan kejadian penyakit paru

13,56% dan meningkat pada tahun 2019 sedangkan kejadian penyakit paru

terendah yaitu NTT 6,23% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data kabupaten

bulukumba persentase penyakit paru pada penduduk 10.3% (profil dinkes

bulukumba , p. 2021). Berdasarkan observasi langsung yang dilakukan di RUSD

H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba. Salah satu faktor yang mengakibatkan

terjadinya penyakit paru yaitu pola asupan makan dan gaya hidup yang tidak

terarur. Angka kejadian penyakit paru di Bulukumba dari tahun ketahun terus

meningkat maka peneliti ingin mengetahui “apakah ada perbedaan fungsi paru

pada pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan tidak

perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba”. Maka dapat diuraikan

pertanyaan peneliti yaitu : Bagaimana perbandingan fungsi paru pada pasien

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan tidak perokok di

RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan fungsi paru pada pasien penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan tidak perokok di

RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba.


6

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui fungsi paru pada pasien penyakit paru obstruktif

kronis (PPOK) dengan perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba.

b. Untuk mengetahui fungsi paru pada pasien penyakit paru obstruktif

kronis (PPOK) tidak perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

aktual seputar kejadian tentang fungsi paru pada pasien penyakit paru

di Bulukumba

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Institusi

Peneliti diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

dapat menjadikan sebuah referensi tentang perbandingan fungsi

paru pada pasien penyakit paru di Bulukumba.

b. Bagi Instansi

Diharapkan peneliti dapat memberikan informasi seputar

kejadian yang mengalami penyakit paru bagi petugas kesehatan

dan dapat melakukan promosi kesehatan tentang fungsi paru pada

pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok

dan tidak perokok untuk menurungkan angka kejadian.


7

c. Bagi Responden

Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan informasi

dan pengetahuan bagi anak remaja atau siapapun yang mengalami

pasien penyakit paru untuk tetap menjaga kesehatan dengan

memperhatikan pola hidup sehari-hari.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


1. Pengertian

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan

dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya

reversible Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang

sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang

menumpuk pada paru-paru (Saputra, 2010). PPOK adalah penyakit paru

kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas

yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya

respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,

2017).

Selain itu menurut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi

yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk

dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama

yang menahun, bronkiektasis (Murwani, 2011)

2. Etiologi

Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK). Sejumlah zat iritan yang ada didalam rokok

menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia,

menyebabkan inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus.

Faktor resiko lain termasuk polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi

saluran nafas saat anak-anak, dan keturunan. Paparan terhadap beberapa


9

polusi industri tempat kerja juga dapat meningkatkan resiko terjadinya

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Black, 2014). Faktor – faktor

yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut

Brashers (2017) adalah :

a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15%

perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan

mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok

dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan

peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.

b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama

perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen

alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal

emfisema.

c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan

dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan

peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas

kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam

terjadinya PPOK.

d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan

peningkatan resiko morbiditas PPOK.

3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi

Kronis adalah Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari

PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi


10

awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang

makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang

menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang

dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan

produksi dahak yang semakin banya (Reeves, 2011).

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan

kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien

tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas

rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.

Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak

mampu melakukan kegiatan sehari-hari (Reeves, 2011).

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan

berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan

karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan

tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan

pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem

(GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak

kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan

pernafasan (Reeves, 2011).

4. Patofisiologi

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu

pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran

karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari

tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
11

masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa

pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi

adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi (Sherwood, 2009).

Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan

pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran

udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat

gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan

obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap

kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2009).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-

komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil

mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami

kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan

pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator

mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah

besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai

tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat

purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses

ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari

ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental

dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya

peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara


12

progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya

elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.

Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal

terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.

Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan

terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2012).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK

predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag

untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang

tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan

(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran

gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi

berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,

bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan

dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2013).

5. Penatalaksanaan

Mansjoer (2012) Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit

Paru Obstruksi Kronis pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok,

infeksi, polusi udara. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :

a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi

ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka

digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5

g/hari.
13

b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika

kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis

yang memproduksi beta laktamase.

c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau

doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti

mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan

peak flow rate. Namun hanya dalam 7- 10 hari selama periode

eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda

pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.

d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena

hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.

e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan

baik.

f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan

adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau

ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan

nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.

g. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :

1) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin

4 x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.

2) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran

nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan

pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.

a) Fisioterapi.
14

b) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

c) Mukolitik dan ekspektoran.

d) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal

nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).

e) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja,

merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan

sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada

pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah

fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih (2013) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien

dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah Penatalaksanaan medis

untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau

penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah

untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala

kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.

Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma

adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat,

progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah

merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid

bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan.

Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih

dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan

dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik


15

diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi

steroid akan menjadi lebih berguna.

Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada

pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas

darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.

Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena

perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat

pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk

mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.

Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan (Asih,

2013).

Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis

kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan

perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan

sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk

konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi,

dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir

dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik,

terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada

proses penyakit tahap lanjut (Asih, 2013).

Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik,

drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah

batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental.

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang


16

diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda

dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari

pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru.

Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien

mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini,

tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang

banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi

sebelum mengatasi sisi lainnya (Patricia, et.al, 2011).

Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas

hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan

nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih

(2013) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati

ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan

cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi

pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan

pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang

berkesinambungan.

6. Kelompok penyakit yang masuk dalam jenis PPOK

Klasifikasi penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) antara lain :

a. Asma
17

Asma merupakan penyakit obstruksi kronik saluran napas yang

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan

(Kosasih, 2018). Asma adalah penyakit inflamasi kronis jalan napas

yang ditandai dengan hiperresponsivitas jalan napas terhadap berbagai

rangsangan (Patricia, et.al, 2011).

Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

bronkospasme episodik reversible yang terjadi akibat respons

bronkokonstriksi berlebih terhadap berbagai rangsangan (Robbins,

2017).

b. Bronkitis kronis

Bronkitis kronis merupakan suatu keadaan adanya batuk

produktif lebih dari 250 ml sputum perhari selama minimal 3 bulan

pertahun selama 2 tahun berturut-turut, tanpa ada penyebab medis lain

(Patricia, et.al, 2011). Sedangkan menurut GOLD (2017) bronkitis

kronis merupakan batuk produktif dan menetap minimal 3 bulan

secara berturut-turut dalam kurun waktu sedikitnya 2 tahun.

c. Emfisema

Emfisema adalah suatu penyakit yang dimana terjadi kehilangan

elastisitas paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada ruang

udara yang jauh dari bronkiolus terminal termasuk destruksi dinding

alveolar dan bantalan kapiler tanpa fibrosis yang nyata.

d. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah gangguan pada saluran pernapasan yang

terjadi akibat adanya pelebaran bronkus dan bronkiolus akibat


18

kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh

atau berkaitan dengan infeksi nekrotikan kronis. Sekaliterbentuk,

bronkiektasis menimbulkan kompleks gejala yang didominasi oleh

batuk dan pengeluaran sputum purulen dalam jumlah besar (Robins,

et.al, 2007)

7. Penilaian Tingkat Keparahan PPOK

Spirometri merupakan baku emas untuk mendiagnosa PPOK.

Spirometri merupakan alat yang sangat penting dalama mendiagnosa dan

mengetahui tingkat keparahan dari penderita PPOK. Pada pengukuran

spirometri penderita PPOK, didapat penurunan Forced Expiratory

Volume1 derik (FEV1) dan penurunan Forced Vital Capcity (FVC). Nilai

FEV1/FVCselalu kurang dari 70% nilai normal. Forced Expiratory

Volime (FEV) merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Pemeriksaan

FEV1 dan rasio FEV1 dan Forced Vital Capacity (FVC) merupakan

pemeriksaan yang standar, sederhana, dapat diulang dan akurat untuk

menilai obstruksi saluran napas. Nilai dasar dari diagnosis PPOK dengan

spirometri adalah perbandingan Forced Expiratory Volume detik pertama

(FEV1) dengan Forced Vital Capacity (FVC) dibawah 0,70 (FEV/

FVC<0,70) dan beratnya PPOK dari nilai FEV1 <80, 50, atau 30% dari

nilai prediksi (Global Initiative for Chronic Obstruktif Lung Disease,

2011).

Tabel 2.1
Klasifikasi derajat hambatan aliran udara pada PPOK
(Berdasarkan FEV1 paksa bronkodilator)

Pada pasien dengan FEV1/ FVC<0,70


19

GOLD 1 Ringan FEV≥ 80% prediksi


GOLD 1 Ringan FEV≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1<50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1 <30% prediksi
Sumber: (Global Initiative for Chronic Obstruktif Lung Disease, 2011)

Menurut penelitian Hurst (2010) didapatkan eksaserbasi akan lebih

sering terjadi dengan semakin meningkatnya tingkat keparahan PPOK,

dengan angka eksaserbasi pada tahun pertama pengamatan adalah 22%

pada pasien PPOK derajat 2, pada derajat 3 sebanyak 33%, dan pada

derajat 4 sebanyak 27%.

8. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang

jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat

hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK sedang dan PPOK berat

seringkaliterlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi

thoraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal

(Lawry, 2015) sebagai berikut :

a. Inspeksi Bentuk dada : barre chest (dada seperti tong), terdapat cara

napas pursed lips breathing (seperti orang meniup), terlihat

penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas dan

pelebaran sela iga.

b. Perkusi

Perkusi dinding thorak dengan cara mengetuk dengan jari tengah,

tangan kanan pada jari tengah tangan kiri yang ditempeklan erat pada

dinding dada celah interkostalis. Perkusi dindng thorak bertujuan


20

untuk mengetahui batas jantung, paru, serta suara jantung maupun

paru. Suara paru normal yang didapat dengan cara perkusi adalah

resonan atau sonor, seperti dug, dugm dug, redup atau kurang resonan

suara perkusi terdengar bleg, bleg, bleg. Pada kasus terjadnya

konsolidasi paru seperti pneumonia, pekak atau datar terdengar

mengetuk paha sendiri seperti kasus adanya cairan rongga pleura,

perkusi hepar dan jantung . hiperesonan/tympani suara oerkusi pada

daerah berongga terdapat banyak udara seperti lambung,

pneumothorax dan coverna paru terdengar dang, dang, dang.

1) Batas paru hepar : di ICS 4 sampai ICS ke 6

2) Batas atas kiri jantung ICS 2-3 8

3) Batas atas kanan jantung : ICS 2 linea sternalis kanan

4) Batas kiri bawah jantung line media clavicuralis ICS ke 5 kiri

c. Auskultasi.

Auskultasi paru adalah menedengarkan suara pada dinding thorax

menggunakan stetoskope karena sistematik dari atas ke bawah dan

membandngkan kiri maupun kanan suara yang didengar adalah:

1) Suara napas

a) Vesikuler : suara napas vesikuler terdengar di semua lapang

paru yang normal, bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih

panjang dari ekspiasi.

b) Brancho vesikuler: terdengar di daerah percabangan bronchus

dan trachea sekitar sternum dari regio inter scapula maupun

ICS 1: 2. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi.


21

c) Brochial : terdengar di dzerah trachea dan suprasternal notch

bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek, atau

ekspirasi

2) Suara tambahan

Pada pernapasan normal tidak ditemukan suara tambahan, jika

ditemukan suara tambahan indikasi ada kelainan, adapun suara

tambahan adalah:

a) Rales/ Krakles

Bunyi yang dihasilkan oleh exudat lengket saat saluran halus

pernapasan mengembang dan tidak hilang, suruh pasien batuk,

sering ditemui pada pasien dengan peradangan paru seperti

TBC maupun pneumonia.

b) Ronchi

Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik

inspirasi maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret dalam

trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien oedema paru,

bronchitis.

c) Wheezing

Bunyi musical terdengar “ngii...” yang bisa ditemukan pada

fase ekspirasi maupun ekspirasi akibat udara terjebak pada

celah yang sempit seperti oedema pada brochus.

d) Fleural Friction Rub


22

Suatu bunyi terdengar kering akibat gesekan pleura yang

meradang, bunyi ini biasanya terdengar pada akhir inspirasi

atau awal ekspirasi, suara seperti gosokan amplas.

e) Vocal resonansi

Pemeriksaan mendengarkan dengan stethoscope secara

sistematik disemua lapang guru, membandingkan kanan dan

kiri pasien diminta mengucapkan tujuh puluh tujuh berulang-

ulang.

(1) Vokal resonan normal terdengar intensitas dan kualitas

sama antara kanan dan kiri.

(2) Bronchophoni : terdengar jelas dan lebih keras

dibandingkan sisi yang lain umumnya akibat adanya

konsolidasi.

(3) Pectorilequy : suara terdengar jauh dan tidak jelas

biasanya pada pasien effusion atau atelektasis.

(4) Egopony : suara terdengar bergema seperti hidungnya

tersumbat.

d. Palpasi

Palpasi dada bertujuan mengkaji kulit pada dinding dada, adanya nyeri

tekan, masssa, kesimetrisan ekspansi paru dengan menggunakan

telapak tangan atau jari sehingga dapat merasakan getaran dinding

dada dengan meminta pasien mengucapkan tujuh puluh tujuh secara

berulang –ulang getaran yang diraskan disebut : vocal fremetus.

Perabaan dilakukan diseluruh permukaan dada (kiri, kanan depan,


23

belakang) umumnya pemeriksaan ini bersifat membandingkan bagian

mana yang lebih bergetar atau kurang bergetar, adanya kondisi

pendataan paru akan terasa lebih bergetar, adanya kondisi pemadatan

paru akan terasa lebih bergetar seperti pnimonia, keganasan pada

pleural effusion atau pneumathorak akan terasa kurang bergetar.

9. Gejala psikologis pasien PPOK

Volpato (2015) menyebutkan bahwa pasien dengan COPD bukan hanya

mengalami masalah secara fisik tetapi juga masalah psikologis yang

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien (quality of life). Masalah ini

muncul karena pasien harus terpapar secara berulang dengan gejala yang

sama seumur hidup pasien. Masalah psikologis tersebut antara lain

a. Gangguan emosional/ emosi yang tidak stabil

b. Koping strategi yang rendah

c. Gangguan kecemasan

d. Depresi

e. Perasaan tidak berdaya, perasaan tidak mempunya kekuatan

f. Perasaan kehilangan kebebasan dan aktivitas gerak

g. Gangguan panik

h. Terjadinya isolasi sosial

i. Gangguan dalam ,menjalani hubungan dengan orang lain.

10. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK

antara lain pemeriksaan radiologi (foto thoraks), spirometri, laboratorium

darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia


24

kronik), analisa gas darah, mikrobiologi sputum (diperlukan untuk

pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi). Meskipun kadang-kadang

hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi

pemeriksaan radiologi ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis

penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan

pasien (PDPI, 2011).

Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan paru hiperinflasi

atau hiperluse, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat,

bulla, jantung pendulum. Catatan : dalam menegakkan diagnosa PPOK

perlu disingkirkan kemungkinan adanya gagal jantung kongestif, TB paru,

dan sindrome obstruksi pasca TB paru. Penegakkan diagnosa PPOK secara

klinis dilaksanakan dipuskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas

spirometri. Sedangkan penegakkan diagnosis penentuan klasifikasi

(derajatPPOK) sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru

Indonesia (PDPI), dilaksanakan dirumah sakit/ fasilitas kesehatan lainnya

yang memiliki spirometri (PDPI, 2011).

11. Derajat PPOK

Klasifikasi derajat PPOKmenurut Global Initiative for Chronic Obstruktif

Lung Disease (GOLD, 2017) antara lain :

a. Derajat 0 (berisiko)

Gejala : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum

dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : normal

b. Derajat I (Ringan)
25

Gejala : batuk kronis dan ada produksi sputum tapi tidak sering. Pada

derajat ini pasien tidak menyadari bahwa dirinya menderita PPOK.

Sesak napas derajat 0 sampai derajat sesak napas 1Spirometri :

FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80 %

c. Derajat II ( sedang)

Gejala : sesak napas mulai terasa pada saat beraktivitas terkadang

terdapat gejala batuk dan produksi sputum. Biasanya pada derajat ini

pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Sesak napas derajat sesak 2

(sesak timbul pada saat aktivitas) Spiromteri : FEV1/FVC <70%, 50 %

<FEV1 < 80 %

d. Derajat III (berat)

Gejala : sesak napas terasa lebih berat, terdapat penurunan aktivitas,

mudah lelah, serangan eksaserbasi bertambah sering dan mulai

memberikan dampat terhadap kualaitas hidup.Sesak napas derajat 3

sampai4. Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri : FEV1/ FVC

<70% ; 30% FEV <50 %

e. Derajat IV ( sangat berat )

Gejala : terdapat gejala pada derajat I, II, III serta adanya tanda-tanda

gagal napas atau gaggak jantung kanan. Pasien mulai bergantung pada

oksigen. Kualitas hidup mulai memburuk dan dapat terjadi gagal napas

kronik pada saat terjadi eksaserbasi dehingga dapat mengancam jiwa

pasien. Spirometri : FEV1/ FVC <70%; FEV1 < 30% atau <50%

12. Tanda-tanda Klinis Penyakit PPOK


26

Tandacronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain

batuk, produksi sputum berlebih (pada jenis bronkitis kronik), dispnea

(sesak napas), obstruksi saluran napas yang progresif. Menurut Li dan

Huang (2012) penderita PPOK akan mengalami hipoksemia, hipercapnea

sampai dengan pada gangguan kognitif. Gejala PPOK yang berkaitan erat

dengan respirasi yaitu batuk kronik. Batuk kronik merupakan batuk hilang

timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan. Sesak napas,

terutama terjadi pada saat melakukan aktivitas.

B. Pemeriksaan Fungsi Paru


Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara

fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung

growth). Mulai dari fase anak sampai kira- kira umur 22-24 tahun terjadi

pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar

bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru

menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual, biasanya pada usia 30

tahun mulai mengalami penurunan, selanjutnya nilai fungsi paru mengalami

penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun usia seseorang

(Sherwood, 2009).

Gangguan fungsi ventilasi paru menyebabkan jumlah udara yang masuk

ke dalam paru-paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi

paru yang utama adalah :

a. Restriksi, yaitu penyempitan saluran paru-paru yang diakibatkan oleh

bahan yang bersifat alergen seperti debu, spora jamur, dan sebagainya,

yang mengganggu saluran pernapasan.


27

b. Obstruksi, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh

penimbunan debu-debu sehingga menyebabkan penurunan kapasitas

fungsi paru.

c. Kombinasi obstruksi dan restriksi (mixed), yaitu terjadi juga karena


proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran
udara, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%)
merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume
paru merupakan suatu restriktif (Sherwood, 2009).

C. Teknik Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)


1. Persiaan Tindakan
a. Bahan dan Alat :

1) Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus

minimal 1 kali dalam seminggu.

2) Mouth piece sekali pakai.

b. Pasien :

1) Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan

2) Tidak boleh makan terlalu kenyang, sesaat sebelum pemeriksaan

3) Tidak boleh berpakaian terlalu ketat

4) Penggunaan bronkodilator kerja singkat terakhir minimal 8 jam

sebelum pemeriksaan dan 24 jam untuk bronklodilator kerja

panjang.

5) Memasukkan data ke dalam alat spirometri, data berikut :

a) Identitas diri (Nama)

b) Jenis kelamin

c) Umur

d) Berat badan
28

e) Tinggi badan

f) Suhu ruangan

c. Ruang dan fasilitas :

1) Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik

2) Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh <170C atau >400C

3) Pemeriksaan terhadap pasien yang dicurigai menderita penyakit

infeksi saluran napas dilakukan pada urutan terakhir dan setelah itu

harus dilakukan tindakan antiseptik pada alat.

2. Prosedur Tindakan

a. Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai

dugaan berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project

Indonesia

b. Pemeriksaan sebaliknya dilakukan dalam posisi berdiri

c. Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV :

1) Kapasitas vital (Vital Capasity, VC)

a) Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri

b) Menerangkan manuver yang akan dilakukan

c) Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece

sehingga tidak ada kebocoran

d) Instruksikan pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan

kemudian udara dikeluarkan sebanyak mungkin melalui

mouthpiece

e) Manuver dilakukan minimal 3 kali

2. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capasity, FVC) dan Volume


29

ekspirasi paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume in

One Second, FEV1)

a) Pilih pemeriksaan FVC pada alat spirometri

b) Menerangkan manuver yang akan dilakukan

c) Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth

piece sehingga tidak ada kebocoran

d) Istruksikan pasien menghirup udara semaksimal mungkin

dengan cepat kemudian sesegera mungkin udara dikeluarkan

melalui mouth piece dengan tenaga maksimal hingga udara

dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya

e) Nilai FEV1 ditentukan dari FVC dalam 1 detik pertama

(otomatis)

f) Pemeriksaan dilakukan 3 kali

3. Maksimal Voluntary Ventilation (MVV)

a) Pilih pemeriksaan MVV pada alat spirometri

b) Menerangkan manuver yang akan dilakukan

c) Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth

piece sehingga tidak ada kebocoran

d) Instruksikan pasien bernapas cepat dan dalam selama 15 detik

e) Manuver dilakukan 1 kali

d. Menampilkan hasil di layar spirometri dan mencetak hasil grafik.

e. Menentukan interpretasi hasil uji faal paru (spirometri).


30

D. Kerangka Teori
Kerangka Teori
Fungsi Paru

PPOK Faktornya

1. Faktor Fsikis
1. Usia
Keadaan emosional (menangis,
2. Jenis Kelamin
tertawa, mengeluh, dan
3. Kebiasaan hidup tidak
merintih)
sehat
2. Faktor irama pernafasan
4. Lapang kerja berdebu
3. Otok pernafasan yang
5. Polusi Udara
obnorman

Sumber : Francis (2008), Hidayat (2008), Nanda (2012), Padila (2012), Tanto (2014),
Tierney et al.,(2008)
31

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN VARIABEL PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2010), kerangka konsep adalah suatu
hubungan atau kaitan antara konsep konsep atau variabel yang akan diamati
(diukur) melalui penelitian yang dimaksud dan sesuai dengan apa yang
diuraikan dalam tinjaun pustaka.

PPOK Fungsi Paru

Perokok Tidak Perokok

Keterangan

: Variabel yang diteliti

: Hubungan antar Variabel

B. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau

menyebabkan variabel tergantung. Variabel independen dalam penelitian

ini adalah fungsi paru pasien dengan PPOK dengan riwayat perokok.

2. Variabel dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi diakibatkan oleh

variabel bebas (Notoatmodjo, 2012). Variabel dependen dalam penelitian

ini adalah fungsi paru pasien dengan PPOK dengan riwayat bukan

perokok.
32

B. Defenisi Konseptual
Definisi konseptual adalah unsur penelitian yang menjelaskan tentang

karakteristik sesuatu masalah yang hendak diteliti. Berdasarkan landasan

teori yang telah dipaparkan di atas, dapat dikemukakan definisi konseptual

dari masing-masing variabel adalah fungsi paru pasien dengan PPOK

dengan riwayat perokok dan bukan perokok dengan menggunakan

spirometri untuk tes skrining. Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru

yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis

(PPOK)

C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel diamati/diteliti, perlu sekali variabel-variabel

tersebut diberi batasan (Notoatmodjo, 2012). Adapun depenisi operasional

dari penelitian ini adalah fungsi paru pasien PPOK dengan riwayat

merokok dan bukan merokok adalah fungsi paru yang diukur dengan

menggunakan spirometry pada penderita PPOK yang memiliki riwayat

merokok. Fungsi paru ini dinyatakan dalam skala numerik sesuai dengan

hasil yang didapatkan oleh alat spirometry.

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai perbedaan antar

variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil

penelitian. Di dalam pernyataan hipotesis terkadang variabel yang akan

diteliti dan hubungan antar variabel variabel tersebut pernyataan hipotesis

mengarahkan peneliti untuk menentukan desain penelitian, tekhnik


33

pemilihan sampel, pengumpulan data dan metode analisis data (Hidayat,

2014).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan fungsi paru

pada pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan

tidak perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba”


34

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian
Desain penelitian merupakan rencana peneliti yang disusun sedemikian rupa

sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian.

Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk

mencapai tujuan penelitian, serta sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan

tersebut (setiadi, 2013). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah jenis penelitian dekstriptif dengan pendekatan analisis deskriptif

komparatif.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan direncanakan pada bulan Maret-April 2021 dan akan

dilaksanakan di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba.

C. Populasi dan sampel penelitian


1. Populasi

Populasi dalam penelitian merupakan wilayah yang ingin diteliti oleh

peneliti. Seperti menurut Sugiyono (2011 : 80) dalam (Sulistiyono, 2013)

populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempnyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh peneliti

untuk di pelajari dan kemuadian ditarik kesimpulannya. Maka populasi

dalam penelitian ini adalah pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

dengan perokok dan tidak perokok di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba dengan jumlah 67 orang tahun 2020.


35

2. Sampel dan Estimasi Penelitian

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin di teliti oleh peneliti.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut Sugiyono (2011:80) dalam (Sulistiyono, 2013). Dari

pengertian diatas agar memudahkan peneliti, peneliti menetapkan sifat-

sifat dan karakteristik yang digunakan dalam penelitian ini, maka sampel

dalam penelitian ini adalah teknik sampling atau seluruh pasien penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK) dengan perokok dan tidak perokok di

RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba dengan jumlah 67 orang.

D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah satu alat yang digunakan oleh peneliti untuk

mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Data yang diperoleh dari

suatu pengukuran kemudian dianilisis dan dijadikan sebagai bukti dari suatu

penelitian (Hidayat, 2014). Adapun instrumen penelitian yang di gunkan dalam

penelitian ini berupa Lembar Observasi dengan menggunakan spirometri untuk

tes skrining. Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan

untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

E. Tehnik pengumpulan data


1. Data primer

Data primer adalah data yang didapat melalui usaha peneliti sendiri

yang sehubungan dengan kebutuhan informasi yang dibututuhkan dan

harus didapatkan dalam menyelesaikan penelitian (syamsuddin, muriyati,

asnidar, & sumarni, 2015).


36

Adapun penelitian ini akan dilakukan di RUSD H.A.Sulthan Daeng

Raja Bulukumba dengan jumlah 67 orang pada tahun 2021, dimana

dalam penelitian terdapat data primer yang diperoleh langsung di tempat

penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui responden dan observasi,

yaitu jumlah pasien penyakit paru merokok dan bukan merokok di RUSD

H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba yang akan menjadi sampel

penelitian.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang dapat dilihat atau didapatkan

melalui instansi terkait atau tempat dimana penelitian dilakukan, data

sekunder inicenderung sudah rapih atau telah siap untuk dipakai dalam

penelitian karena telah melalui analisis (Syamsuddin, Muriyati, Asnidar,

& Sumarni, 2015).

Dalam penelitian ini data sekunder yang didapatkan berupa jumlah

kseluruhan pasien penyakit paru di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba dengan jumlah 67 orang.


37

F. Alur penelitian

Proposal penelitian :

Perbandingan fungsi paru pada pasien penyakit

paru di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba dengan jumlah 50 orang


Populsi:

Dalam penelitian ini populuasinya adalah pasien

penyakit paru di RUSD H.A.Sulthan Daeng Raja

Bulukumba dengan jumlah 50 orang


Sampel :

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 orang

Instreumen penelitian :

Instrument penelitian yang digunakan adalah

daftar ceklis dan kuesioner

Izin penelitian RUSD H.A.Sulthan Daeng


Raja Bulukumba

Pengumpulan data melalui observasi

Variabel independ Pengumpulan data menggunakan Variabel dependen

Fungsi Paru daftar ceklis dan kuesioner PPOK

Analisa data :
Univariat dan bivariat
38

G. Pengolahan data dan analisa data


1. Tehnik pengolahan data

Setelah data yang di perlukan terkumpul, maka selanjutnya data

tersebut akan di olah pada tahapan berikut.

a. Editing

Editing adalah kegiatan untuk memeriksa data yang belum jadi

yang telah dikumpulkan sebelumnya., meliputi :

1) Melengkapi data yang kurang

2) Memperbaiki kesalahan atau yang kurang jelas dari pencatatan

data

3) Memeriksa konsistensi dari data yang diperlukan

4) Memeriksa keseragaman hasil pengukuran

5) Memeriksa atau menghilangkan data-data yang ekstrim atau

reliabilitas data (Syamsuddin, Muriyati, Asnidar, & Sumarni,

2015).

b. Coding

Tahapan ini adlah pengkodean terhadapa data sehingga

memudahkan untuk menganalisa data, biasanya digunakan untuk data

kuantitatif. Denga tahapan pengkodean data kualitatif dapat di

konversi menjadi kuantitatif. Proses ini mengikuti prosedur yang

berlaku misalnya dengan menerapkan skala pengukuran ordinal dan

nominal (Syamsuddin, Muriyati, Asnidar, & Sumarni, 2015).

c. Scoring
39

Pada tahapan ini jawaban diubah ke dalam bentuk bilangan

yang disesuikan dengan nilai yang telah ditemukan (Syamsuddin,

Muriyati, Asnidar, & Sumarni, 2015).

d. Tabulating

Kegiatan ini adalah kegiatan untuk menyajikan data dalam

bentuk tabel untuk memudahkan analisa data ataupun pelaporan

data yang diperlukan. Tabel data lain dibuat sesederhana mungkin

yang harus mudah dimengerti oleh semua pengguna data

(Syamsuddin, Muriyati, Asnidar, & Sumarni, 2015).

2. Analisa data

Setelah data di olah menjadi suatu data yang di harapakan

(tepat dan konsisten) selanjutnya di lakukan analisa dengan uji chi

Square mengunakan perangkat komputer melalui program SPSS 22

untuk menjawab pertanyaan peneliti (Sujarweni, 2014).

a. Analisa univariat

Penelitian analisis univariat adalah yang dilakukan

menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian Notoadmodjo

(2005). Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan

data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data

hasil pengukuran. Dalam analisis ini berupa tabel, dan grafik. Pada

penelitian ini akan diketahui distribusi frekuensi mengenai

perbandingan fungsi paru pada pasien penyakit paru di RUSD

H.A.Sulthan Daeng Raja Bulukumba. (Sujarweni, 2014).

b. Analisa bivariate
40

Penelitian analisa bivariate adalah analisa yang dilakukan

lebih dari dua variabel (Notoadmodjo, 2012) analisa bivariate

berfungsi menegetahui hubungan antar variabel. Analisis bivariate

dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya perbandingan

fungsi paru pada pasien penyakit paru di RUSD H.A.Sulthan

Daeng Raja Bulukumba. Analisi ini mengunakan uji Kolmogorov.

Uji ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan

proporsi yang bermakna antara distribusi frekuensi yang diamati

dengan di harapkan dengan derajat kemaknaan 0,05. Bila P-Value

< 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna (Ho di tolak)

sedangkan P-Value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang

bermakna (Ho diterima) (Sujarweni, 2014).

H. Etika penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapat rekomendasi

dari STIKES Panrita Husada Bulukumba. Setelah mendapatkan

persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah

etika penelitian menurut Pedoman Nasional Etika Penelitian Kesehatan

(KNEPK-Depkes RI) yang meliputi :

1. Respect for person

Menghargai harkat martabat manusia, peneliti perlu

mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendaptakan informasi

yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki

kebebasan menetukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk

berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.


41

2. Beneficiensi

Peneliti melaksanakan penelitiannya sesui dengan prosedur,

peneliti juga mendapatkan hasil yang bermanfaar semaksimal mungkin

bagi subjek penelitian dan dpat digeneralisasikan ditingkat populasi.

3. Justice

Prinsip keadilan memiliki konotasi latar belakang dan keadaan

untuk memnuhi prinsip ketrbukaan. Penelitian dilakukan secara jujur,

hati-hati, professional, berperikemanusiaan dan memperhatikan faktor-

faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intinitas, psikologis serta

religious subjek penelitian.

:
DAFTAR PUSTAKA
Asih, 2013. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta: EGC
.
Alasagaff, 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.

Black, 2014. Analisis Faktor Resiko Kadar Debu Organik di Udara terhadap
Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Penggilingan Padi di
Kabupaten Demak. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Brashers, 2017. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan. Dalam: Price, S.A,
and Wilson, L.M. Editor. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses
penyakit. Vol. 2. Edisi 6. Jakarta : EGC

Chojnowski, 2013. Kelainan Perfusi Berhubungan Dengan Konstriksi Hipoksik


Pada Arteriol Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.Engram

Departemen Kesehatan RI. 2019. Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) dan


Penyehatan Lingkungan (PL). Jakarta.

Denis, 2017. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Manifestasi Sistemik


pada PPOK. PENELITIAN, ARTIKEL Politeknik Kesehatan
Kemenkes Gorontalo, pp. 1-10.

Hidayat, A. A. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.


Jakarta: Salemba Medika.

Huang, 2012. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A, Wilson, L.M. Editor.
Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit. Vol. 2. Edisi 6.
Jakarta : EGC.

Hurst, 2010. Kurangnya Pemahaman Tentang Fungsi Paru Dapat Meningkatnya


Tingkat Keparahan PPOK. Skripsi , Medan: Universitas Sumatra
Utara.

Jameset al, 2017. Summary and analysis based on paper. Safety and Health in the
Fising Indusrty, International Lobour Organization (ILO). (http//
www.ilo.org/public/english/sector/links=translate.googleusercon
tent.co.id. diakses pada tanggal 21 Februari 2021).

Lawry, George V. 2015. Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jakarta : Erlangga

Kamangar, 2010. Patologi Paru dan Pleura. Bagian Patologi Anatomi Fakulta

Kosasih, 2018. Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.


Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Mansjoer, 2012. Panduan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Sagung Seto.


2

Murwani, 2011. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi


2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran

Muriyati, & Syamsuddin. (2018). Dasar-Dasar Penelitian. Babadan Ponorogo


Jawa Timur: Wade Group.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Oemiati. 2018. Prevalensi PPOK Tinggi. Jakarta: Binarupa Aksara

Volpato, 2015. Pelaksanaan Pemeriksaan Fisik Oleh Perawat Rumah Sakit


Advent Bandar Lampung. Jurnal Skolastik Keperawatan, Vol. 2, No.1
Hlm. 13

Partners, 2011. Pemeriksaan Fungsi Paru Dengan Alat Spirometri, (Online),


(http://forum.kompas.c om/kesehatan/33638- pemeriksaan-fungsi
parudengan-alat-spirometri.html, diakses pada tanggal 3 Februari
2021).

Patricia, et.al, 2011. Hubungan Derajat Sesak Napas Penderita Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Menurut Kuesioner Modified Medical Research
Council Scale Dengan Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Jurnal Respir Indo Vol. 32, No. 4 Hlm 206

Robbins, 2017. bronkospasme episodik reversible yang terjadi akibat respons


bronkokonstriksi. Dalam: Price, S.A, Wilson, L.M. Editor.
Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit. Vol. 2. Edisi 6.
Jakarta : EGC.

Reeves, 2011. Penyakit Paru Obstriksif Kronik. Laboratorium-SMF Penyakit


Paru. Fakultas

Safitri, 2016. oksidatif PPOK masuk ke dalam paru. Yogyakarta: Penerbit Graha
Ilmu

Saputra, 2010. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Edisi Ke-I. Yogyakarta : Graha
Ilmu

Setiadi. (2013). Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Sherwood, 2009. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Edisi Ke-I. Yogyakarta : Graha
Ilmu.

Sugiono. (2011). Suyanto. In Metodologi Dan Aplikasi Peneltian Keperawatan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta.


3

Sulistiyono, N. Y. (2013). Gambaran Aktivitas Fisik Mahasiswa Ilmu Olahraga


Univesitas Pendidikan Indonesia. Ilmu Keolahragaan ,
Repository.Upi.Edu.

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. (2014). Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Iv. Jakarta: Media Aesculapius.

Tsiligianni and van der molen, 2010. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.Brashers

Werdhasari, 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta : EGC Buku Kedokteran

West, 2013. Patologi Paru dan Pleura. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Unsrat, Manado

World Health Organization (WHO). 2017. Prevalensi PPOK. Jakarta.


4

LEMBAR OBSERVASI

Nilai Fungsi Paru pada Pasien


No Nama Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Perokok Tidak Perokok

Anda mungkin juga menyukai