1.
2.
3.
4.
5.
6.
Disusun oleh :
Kiki Indrayani
Molina Indarwati
Maulinnatul Islamiyah
Eka Setyaningsih
Annisa Arum Kartika Dewi
Sri Rahayu
6411414097
6411414098
6411414099
6411414100
6411414101
6411414102
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai analgetik dan antipiretika. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . i
Daftar Isi... ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang... 1
1.2 Rumusan masalah.. 2
1.3 Tujuan 2
ii
BAB II Pembahasan
iii
BAB I
PENDAHULUAN
hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen). Antipiretik
ini bekerja dengan cara menghambat produksi prostaglandin di hipotalamus anterior (yang
meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem syaraf pusat secara
selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran.Analgetika
bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Rasa nyeri dalam kebanyakan
hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda
dan
menidurkan)
dan
menimbulkan
perasaan
nyaman
(euforia).
a. Morfina
penghilang rasa nyeri morfin jauh lebih besar dari pada codeina. Sifat analgetika dari
morfina berdasarkan penekanannya pada susunan saraf sentral yang disertai dengan perasaan
nyaman, menghambat pernafasan dan dapat menyembuhkanbatuk.Penggunaannya; Untuk
mengobati rasa sakit yang tidak dapat disembuhkan dengananalgetika antipiretika, misalnya
pada kanker, menahan rasa sakit pada waktu operasidan sebagainya.
Kerja ikutannya; dapat mengakibatkan sembelit yang hebat, perasaan mual danmuntah
muntah, alergi (gatal gatal) dan yang terutama adalah mengakibatkangatal gatal. Morfina
tak boleh diberikan kepada penderita radang hati atau asma, karenamorfina menekan pusat
pernafasan. Juga tak boleh diberikan kepada bayi. Pemberianmorfina kepada orang tua dan
anak anak harus hati hati, sebab mereka sangatpeka.
b. Metadone
Mempunyai efek analgesik mirip morfin, tetapi tidak begitu menimbulkan efek sedatif.
Dieliminasi dari tubuh lebih lambat dari morfin (waktu paruhnya 25 jam) dan gejala
withdrawal-nya tak sehebat morfin, tetapi terjadi dalam jangka waktu lebih lama. Diberikan
secara per oral, injeksi IM, dan SC.Diindikasikan untuk analgesik pada nyeri hebat,dan juga
digunakan untuk mengobati keterganungan heroin.
c.
Meperidin (petidin)
Menimbulkan efek analgesik, efek euforia, efek sedatif, efek depresi nafas dan efek
diperlihatkan bahwa zat-zat ini berikatan dengan reseptor opioid dan dapat digeser dari
ikatannya oleh a1ntagonis opioid. Walaupun terlihat bahwa zat-zat endogen ini bekerja
sebagai neurotransmiter, perananya dalam fisiologi dan patofisiologi belumlah seluruhnya
dapat dijelaskan.
Efek utama opioid oleh 4 famili reseptor, yang ditunjukkan dengan huruf Yunani: (mu),
(kappa), (sigma), dan (delta). Tiap reseptor menunjukkan spesifisitas yang berlainan
untuk obat-obat yang diikatnya.
Dalam otak dan jaringan tubuh lainnya terdapat 8 jenis reseptor, di antaranya ialah:
1. Reseptor (mu), yang ternyata berperanan dalam efek-efek
ketergantungan fisik;
2. Reseptor (kappa), yang mungkin memperantarai efek-efek analgesik spinal, miosis, dan
sedasi;
3. Reseptor (sigma), yang berperanan dalam efek-efek halusinogenik dan perangsangan
jantung.
Salah satu penjelasan tentang farkokinetika dan farmakodinamika pada
Analgesik
Narkotika(Opioid)morfin dan alkaloid opium. Opium atau candu adalah getah Papaver
somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid opium secara kimia dibagi dalam dua
golongan :
-
Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor . Akan tetapi selain itu morfin juga mempunyai afinitas
yang lebih lemah terhadap reseptor dan k.
-
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalu kulit luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin
kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis
yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan
setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah
6
pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di
hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin
dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresimorfin terutama melalui ginjal.
Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan oleh
paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.
b. Analgesik Non-narkotika
Beberapa penjelasan tentang farmakokinetika dan farmakodinamika obat analgesik non
narkotika digolongkan sebagai berikut :
1. Asam Mefenamat
- Farmakokinetika
Asam mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal apabila diberikan
secara oral. Kadar plasma puncak dapat dicapai 1 sampai 2 jam setelah pemberian 2x250 mg
kapsul asam mefenamat; Cmax dari asam mefenamat bebas adalah sebesar 3.5 g/mL dan
T1/2 dalam plasma sekitar 3 sampai 4 jam. Pemberian dosis tunggal secara oral sebesar 1000
mg memberikan kadar plasma puncak sebesar 10 g/mL selama 2 sampai 4 jam dengan T1/2
dalam plasma sekitar 2 jam. Pemberian dosis ganda memberikan kadar plasma puncak yang
proporsional tanpa adanya bukti akumulasi dari obat. Pemberian berulang asam mefenamat
(kapsul 250 mg) menghasilkan kadar plasma puncak sebesar 3.7 sampai 6.7 g/mL dalam 1
sampai 2.5 jam setelah pemberian masing-masing dosis.
Asam mefenamat memiliki dua produk metabolit, yaitu hidroksimetil dan turunan suatu
karboksi, keduanya dapat diidentifikasi dalam plasma dan urin. Asam mefenamat dan
metabolitnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian besar diekskresikan lewat
urin, tetapi ada juga sebagian kecil yang melalui feces. Pada pemberian dosis tunggal, 67%
dari total dosis diekskresikan melalui urin sebagai obat yang tidak mengalami perubahan atau
sebagai 1 dari 2 metabolitnya. 20-25% dosis diekskresikan melalui feces pada 3 hari pertama.
-
Farmakodinamika
Asam mefenamat dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri sedang dalam
berbagai kondisi seperti nyeri otot, nyeri sendi, nyeri ketika atau menjelang haid, sakit kepala
dan sakit gigi. Secara terperinci efek dari asam mefenamat antara lain:
1. Nyeri perut ketika masa menstruasi (dysmenorrhoea)
7
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertamam duodenum. Namun,
karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung. Mulai efek analgeis dan
antipiretisnya cepat, yakni setelah 30 menit dan bertahan 3-6 jam, kerja antiradangnya baru
nampak setelah 1-4 hari. Resorpsi dari rektum (suppositoria) lambat dan tidak emnentu,
sehingga dosisnya perlu digandakan. Dalam hati, zat ini segera dihidrolisa menjadi asam
salisilat dengan daya anti nyeri lebih ringan.
-
Farmakodinamik
Asetosal atau asam asetil salisilat merupakan senyawa anti inflamasi non steroid yang
juga menunjukkan aktivitas antitrombosis, analgesik dan antipiretik. Asetosal secara
tradisional merupakan analgesik anti iinflamasi pilihan pertama, tapi banyak dokter sekarang
lebih suka memilih AINS (antiinflamasi non steroid) lain yang mungkin lebih dapat diterima
dan lebih menyenangkan bagi pasien. Dalam dosis tinggi yang umum, efek anti inflamasi
asetosal sama dengan efek AINS lain.
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serumpuncak dicapai
dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme dihati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melaluiurin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinonyang sangat reaktif dan berpotensi menjadi
metabolit berbahaya. Pada dosis normalbereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation
menjadi substansi nontoksik. Padadosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati.(Lusiana Darsono 2002).
-
Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya
sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai
antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian
juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.(Mahar Mardjono 1971)
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
9
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain,
seperti latihan fisik. (Aris 2009).
2.4
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek sampingnya.
Kebanyakan analgetik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgetiknya telah kelihatan
dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah
tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam
darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan
mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh
eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh
indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan
piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).
NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini
adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi
di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
dosis besar.
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri dan
temperature. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan penurunan
suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin
(PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer (vasodilatasi)
dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus atau di tempat cedera.
Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti
brandikinin, PG dan histamin. PG dan brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan
membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan brandikinin
sehingga menghambat terjadinya perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak
digunakan sebagai analgetik dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetominafin
(parasetamol).
11
Obat antipiretik
Menghambat
biosintesis prostalgin
Enzim
siklooksigenase
terhambat
12
Konversi asam
arachidonat menjadi
PGG2 terganggu
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem syaraf pusat secara
selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran.
Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Jenis jenis
analgetika yaitu Analgetik Narkotika (Opioid) dan Analgetik Non Narkotika. Mekanisme
kerja analgetik terdiri dari Mekanisme kerja Analgetik Opioid dan Mekanisme Kerja Obat
Analgetik Non-Narkotik (perifer).
Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh. Pada keadaan
demam, thermostat di hipotalamus terganggu, menyebabkan suhu tubuh meningkat. JenisJenis Obat Antipiretik yaitu Benorylate, Fentanyl dan Piralozon. Mekanisme kerja obat
antipiretik adalah dengan penghambatan biosintesis prostaglandin, yang akan dilepaskan
bilamana sel mengalami kerusakan dengan cara menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arachidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase dengan cara yang berbeda.
13
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16911/4/Chapter%20II.pdf
(diakses
pada
14
15