Anda di halaman 1dari 3

Transgenik adalah suatu produk bioteknologi melalui teknik rekayasa genetika.

Pemindahan materi genetika


(gen) dari suatu organisme untuk dikombinasikan ke dalam materi genetika organisme lainnya bertujuan agar
gen yang dipindahkan akan diekspresikan oleh organisme yang menerima gen tersebut. Dengan kata lain, pada
akhir proses akan dihasilkan suatu individu yang secara genetika telah berubah gennya karena membawa gen
asing. Organisme inilah yang disebut organisme transgenik atau sering disebut pula genetically modified
organisms (GMO).
Beberapa puluh pangan transgenik saat ini telah beredar di pasaran. Para pakar Ribosomal
DeoksiriboNucleic Acid (rDNA) telah mampu memotong atau mencopot suatu gen yang dikehendaki, dari
individu hidup apa saja ke individu yang lain. Di bidang akuakultur, telah dilakukan beberapa metode transgenik
antara lain penggunaan vektor yang dinamakan replication defective pantropic retroviral untuk menginfeksi sel
lines ikan, kadal air, kodok, dan nyamuk. Metode alternatif lainnya adalah transfer gen dengan bantuan sel.
Teknik ini merupakan pengembangan dari metode mikroinjeksi, dengan pertimbangan bahwa untuk
menghasilkan ikan transgenik membutuhkan banyak waktu, biaya, fasilitas, dan tenaga. Teknik ini telah berhasil
diaplikasikan pada ikan rainbow trout dengan menggunakan sel bakal gonad yang membawa Green Fluorescent
Protein (GFP). Namun demikian teknik ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat diaplikasikan
pada spesies ikan lainnya (Alimuddin et al., 2003).
Transgenesis sangat bermanfaat dalam berbagai macam studi tentang biologi (Meng et al., 1999). Misalnya
studi mengenai fungsi dan pola ekspresi dari gen serta untuk memproduksi produk komersial yang diinginkan
(Kinoshita & Ozato, 1995). Di bidang perikanan budidaya, transfer DNA eksogenous umumnya ditujukan untuk
memproduksi galur transgenik yang mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi (Garcia-Pozo et al., 1998).
Perkembangan teknologi transgenik ikan di dunia meningkat dengan cepat. Keuntungan ekonomi yang potensial
dari teknologi transgenik ikan ini tidak diragukan lagi. Ikan transgenik bisa juga digunakan sebagai bioreaktor
untuk memproduksi bahan-bahan yang bersifat komersial maupun yang bermanfaat bagi kesehatan (Collas et
al., 2000).
Teknik transfer gen banyak dikembangkan untuk mengintroduksi molekul DNA ke dalam embrio.
Mikroinjeksi merupakan teknik transfer gen yang umum digunakan pada kegiatan transgenesis (Takagi et al.,
1994; Alimuddin et al., 2003; Kato et al., 2007). Meskipun demikian, elektroporasi, mediasi lewat sperma, dan
transfeksi juga memperlihatkan efektivitasnya tinggi dalam transfer DNA ke genom ikan (Khoo, 2000). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sun et al. (2005) yang mengkaji aplikasi metode transfer gen berbeda pada
udang, yaitu mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode transfeksi
memberikan daya tetas yang paling tinggi, dengan jumlah telur yang diperlakukan dapat lebih banyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Parenrengi et al. (2011) transfeksi gen antivirus terhadap embrio udang windu
tidak mempengaruhi daya tetasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan transfeksi tidak bersifat toksik.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, metode transfer gen yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode
transfeksi mengingat ukuran telur ikan cupang B. imbellis yang relatif kecil. Dengan metode tersebut jumlah
telur yang diaplikasikan relatif lebih banyak dalam satuan waktu tertentu (Sun et al., 2005).
Keberhasilan transfer gen menggunakan metode transfeksi ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
pemilihan larutan transfeksi yang sesuai dengan mempertimbangkan kesediaan secara komersial, mudah
diaplikasikan, keberhasilan tinggi, dan tidak bersifat toksik terhadap embrio.

Gen pemendar yang sering digunakan dalam kajian ilmiah ada beberapa jenis, diantaranya red
fluorescent protein (RFP), green fluorescent protein (GFP), dan yellow fluorescent protein (YFP).
Pada penelitian ini dipilih RFP dengan harapan dapat meningkatkan performa warna merah pada B.
imbellis. Penyisipan fluorescent protein seperti RFP diharapkan dapat menghasilkan individu
transgenik dengan mutu warna yang lebih baik seperti yang dilakukan oleh Gong et al (2003) dalam
Parenrengi (2010). Penggunaan tiga metode transfer gen yakni mikroinjeksi, elektroporasi, dan
transfeksi telah dilakukan oleh Sun et al. (2005) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode transfeksi merupakan metode yang paling sesuai
berdasarkan alasan ukuran telur yang relatif kecil, daya tetas yang tinggi, dan dapat diaplikasikan
dalam jumlah yang banyak. Telur ikan cupang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan telur
udang vaname, sehingga metode transfeksi dipilih untuk transgenesis pada ikan cupang alam.
Penelitian pendahuluan dengan menggunakan metode transfeksi dan elektroporasi menunjukkan
bahwa metode transfeksi lebih efektif digunakan pada transgenesis ikan cupang alam dilihat dari
hasil PCR. Konsentrasi DNA plasmid dan reagen transfeksi merupakan salah satu faktor utama yang
menentukan optimalisasi prosedur transfeksi (Sakurai et al. 2000 dalam Calderon 2004). Konsentrasi
DNA yang terlalu tinggi dapat bersifat toksik pada embrio target (Tseng et al. 2000 dalam Calderon
2004). Selain itu, rasio reagen dan DNA plasmid harus dioptimasi sesuai dengan tipe individu target.
Pada penelitian ini, rasio reagen transfeksi dan DNA yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan dalam derajat penetasan telur. Artinya konsentrasi DNA plasmid dan reagen
transfeksi yang digunakan dalam penelitian ini tidak berdampak buruk bagi individu target. Hal ini
dapat dilihat dari nilai rata-rata derajat penetasan telur dari perlakuan RFP 1:1, RFP 3:1, dan
kelompok kontrol yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Reagen transfeksi memiliki
mekanisme kerja yang unik dalam mengintegrasikan DNA asing ke organism target dengan risiko
kerusakan fisik yang kecil. Sebelumnya, beberapa reagen telah dipelajari potensinya dalam
transgenesis, misalnya calcium phosphate dan DEAE-dextran (Calderon 2004). Meskipun kedua
reagen tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antara DNA dan membran sel, namun sifat
kimianya dapat bersifat toksik bagi sel. Felgner (1987) mengembangkan prosedur transfeksi
menggunakan lipid yang lebih efisien dan toksisitasnya rendah. Saat ini, reagen transfeksi yang
berbasis lipid ini telah dikembangkan secara luas. Sun et al. (2005) dan Sucipto (2009) menyebutkan
bahwa penggunaan reagen transfeksi JetPEI (Qbiogene) tidak bersifat toksik terhadap organisme uji.
Pada penelitian ini dapat dilaporkan bahwa reagen yang digunakan, yaitu X-tremeGENE HP DNA
transfection reagents (Roche) juga tidak bersifat toksik sehingga berpotensi untuk dikembangkan
dalam transgensis. Jumlah telur yang menetas pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding
kelompok perlakuan. Jumlah ikan yang hidup dari hasil perlakuan yang berbeda tidak memiliki pola
yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa derajat penetasan telur bukan semata-mata pengaruh dari
perlakuan, tetapi ada faktor lain selama embriogenesis maupun setelah ikan menetas. Faktor lain
tersebut diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang ekstrim dan tidak stabil. Selain itu dapat
pula disebabkan karena penanganan embrio pascaperlakuan yang belum tepat. Telur dan larva
perlakuan diduga rentan terhadap fluktuasi suhu dan pH pada lingkungan. Dugaan lain adalah
kualitas telur yang tidak seragam. Pada umumnya rata-rata derajat penetasan telur ikan cupang
tanpa perlakuan dapat mencapai 90-100%, sedangkan pada penelitian ini berkisar antara 70-80%.
Oleh karena itu penggunaan telur dari induk yang sama perlu dilakukan untuk mendapatkan
keseragaman kualitas. Deteksi keberhasilan transfer gen dilakukan dengan polymerase chain
reaction (PCR). PCR dilakukan pada fase embrio akhir dan larva untuk melihat kestabilan ekspresi
gen asing pada setiap fase perkembangan. Hasil PCR telur dan larva menunjukkan bahwa pita DNA
yang teramplifikasi sesuai dengan ukuran primer yang digunakan, yaitu sekitar 0.6 kb. Pada
perlakuan RFP 1:1 ada pita DNA yang teramplifikasi sesuai dengan ukuran primer yang digunakan,
yaitu sekitar 0.6 kb. Pada perlakuan RFP 1:1 ada pita DNA yang muncul (1A, 4A, dan 6A) dan ada
yang tidak muncul (5A). Penyebab tidak munculnya pita diduga disebabkan karena proses ekstraksi
yang tidak tepat atau konsentrasi DNA yang terlalu tinggi sehingga sulit annealing pada saat proses
PCR. Perlakuan dengan rasio 3:1 menunjukkan hasil PCR yang positif, baik pada sampel telur maupun
larva. Secara keseluruhan, hasil PCR pada telur dan larva dari kedua perlakuan menunjukkan hasil
yang positif. PCR pada kelompok kontrol non transgenik dilakukan untuk memastikan keberhasilan
penyisipan gen melalui transfeksi. PCR pada kontrol seharusnya menunjukkan hasil yang negatif,
akan tetapi kontrol pun ternyata dapat teramplifikasi dengan ukuran DNA yang sama. Hasil yang
positif tersebut terjadi pada sampel telur maupun larva kontrol. Menurut Sambrook & Russel (2001),
munculnya pita DNA pada kontrol non transgenik diduga disebabkan oleh kontaminasi larutan PCR
atau peralatan yang digunakan dengan template DNA. Kontaminasi dapat terjadi saat ekstraksi DNA
maupun saat PCR. Selain itu, positifnya hasil PCR pada kelompok non transgenik juga dapat terjadi
karena primer PCR yang digunakan kurang spesifik. Untuk melihat spesifik atau tidaknya primer yang
digunakan, dilakukan PCR pada sirip induk B. Imbellis dan pada sirip ikan mas (Cyprinus carpio).
Pembanding pada konfirmasi PCR ini dapat dilakukan dengan sampel apa saja asalkan berbeda
spesies dengan organisme uji, dalam hal ini dipilih genom C. carpio koleksi BPPI Sukamandi.
Konfirmasi PCR menunjukkan bahwa pita DNA hanya muncul pada kontrol positif dan sampel sirip B.
imbellis. Dalam hal ini, hasil PCR yang belum konsisten dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Diduga terdapat kontaminan pada sampel kontrol non transgenik sehingga pita DNA muncul dengan
ukuran yang sama. Kondisi PCR yang belum optimal juga dapat menyebabkan hal tersebut terjadi.
Proses ekstraksi DNA atau pengambilan supernatan yang kurang tepat juag dapat menjadi
penyebabnya. Kespesifikan primer PCR juga harus dicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan
karena pada penelitian ini primer PCR tidak dapat mengamplifikasi genom ikan mas. Untuk
mendapatkan hasil yang spesifik, seharusnya konstruksi plasmid didesain dari ikan cupang alam
sendiri (allfish gene construct) seperti yang dilakukan oleh Parenrengi (2010) yang menggunakan all-
shrimp gene construct untuk transgenesis pada udang windu. Hal tersebut membutuhkan waktu dan
proses yang sangat panjang sehingga belum mungkin dilakukan pada penelitian ini. Secara umum,
hasil penyisipan RFP pada zigot B. imbellis melalui metode transfeksi memberikan hasil yang positif
baik pada rasio 1:1 maupun 3:1 walaupun tidak dibuktikan dengan PCR pada seluruh perlakuan.
Namun demikian hasil PCR terhadap telur yang ditransfeksi mewakili untuk melihat efektivitas
metode ini dalam teknologi transgenesis ikan hias, khususnya ikan cupang alam. Proses
embriogenesis pada B. imbellis belum dipublikasi secara ilmiah. Pada penelitian ini embriogenesis B.
imbellis telah berhasil diamati. Telur B. imbellis berwarna putih keruh jika diamati tanpa
menggunakan mikroskop. Di bawah mikroskop akan terlihat chorion yang bening dengan kuning
telur yang berwarna keruh dan tidak tembus cahaya. Perkembangan embrio dibagi menjadi
beberapa tahap, tahap pertama adalah pembelahan atau cleavage dari 2 (dua) sampai menjadi 64
sel lalu dilanjutkan dengan tahap kedua, pembelahan 128 sampai dengan kurang lebih 1000 sel.
Tahap ketiga adalah perisai embrio, keempat gastrula, kelima segmentasi dan tahap terakhir adalah
tahap embrio dan menetas menjadi larva (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Fase
pembelahan dimulai sesaat setelah blastodisk terbentuk dan akan membelah menjadi dua sampai
sekitar 32 sel (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Pada fase pembelahan, blastodisk akan
membelah sesuai bidang pembelahan menjadi dua dengan bentuk yang sama. Pembelahan pertama
pada B. imbellis terjadi dua menit setelah fertilisasi. Sebagai perbandingan, pembelahan pertama
pada ikan Neon Tetra terjadi pada waktu 50 menit setelah pembuahan (Hartono 2002) dan 70 menit
pada ikan Redfin Shark (Sedjati 2002).

Anda mungkin juga menyukai