Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi makanan yang disebabkan oleh patogen merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat global yang signifikan. Setiap tahunnya, diperkirakan terdapat 600 juta kasus infeksi
makanan di seluruh dunia, yang mengakibatkan 420.000 kematian (WHO 2015). Patogen seperti
E. coli dan Salmonella spp. sering kali menjadi penyebab utama dari infeksi makanan.E. coli
merupakan bakteri normal yang ditemukan di dalam usus manusia dan hewan, namun beberapa
jenis E. coli dapat menyebabkan penyakit pada manusia, seperti infeksi saluran kemih, infeksi
usus, dan bahkan sindrom hemolitik uremik (HUS), yang dapat mengakibatkan gagal ginjal dan
kematian pada anak-anak. Salah satu jenis E. coli yang berbahaya adalah E. coli O157:H7, yang
sering kali ditemukan pada daging sapi mentah atau yang kurang matang (Tarr dan Gordon
2005). Sementara itu, Salmonella spp. adalah bakteri yang dapat ditemukan di berbagai jenis
produk pangan, seperti daging, telur, susu mentah, dan produk hewani lainnya. Konsumsi
makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. dapat menyebabkan gejala infeksi usus,
seperti mual, muntah, diare, dan demam (EFSA dan ECDC 2021).

Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis patogen dalam pangan untuk
memastikan keamanan konsumen. Metode analisis patogen dalam pangan dapat dilakukan
menggunakan berbagai teknik, termasuk metode kultur bakteri, metode PCR, dan metode lainnya
seperti API test kit (Lafi et al. 2021). Namun, metode kultur bakteri memiliki kelemahan dalam
hal waktu yang diperlukan untuk menghasilkan hasil yang akurat, sehingga metode PCR dan API
test kit menjadi populer dalam analisis patogen dalam pangan. Metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) adalah teknik molekuler yang digunakan untuk mengidentifikasi DNA patogen dalam
sampel pangan Liu et al. 2018). Teknik ini memperbanyak DNA yang diambil dari sampel
pangan menggunakan enzim DNA polimerase, sehingga jumlah DNA patogen yang
diidentifikasi menjadi lebih banyak dan dapat dideteksi dengan lebih mudah. PCR dapat
digunakan untuk mengidentifikasi patogen dalam waktu yang lebih singkat dan lebih akurat
dibandingkan dengan metode kultur bakteri tradisional (Hoorfar et al. 2004). API test kit, di sisi
lain, adalah metode serologis yang menggunakan reaksi antigen-antibodi untuk mendeteksi
patogen dalam sampel pangan. API test kit dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
patogen dalam waktu yang lebih singkat dan lebih mudah dibandingkan dengan metode kultur
bakteri tradisional. (Rijgersberg et al. 2018).
Dalam analisis patogen dalam pangan, E. coli dan Salmonella spp. sering menjadi patogen yang
diidentifikasi karena sering ditemukan pada produk pangan. E. coli merupakan bakteri normal di
dalam usus manusia dan hewan, tetapi beberapa jenis E. coli dapat menyebabkan penyakit
seperti infeksi saluran kemih dan infeksi usus (CDCP 2020). Sedangkan Salmonella spp. dapat
ditemukan di berbagai produk pangan seperti daging, telur, dan susu mentah, dan dapat
menyebabkan infeksi usus (Gajda dan Długosz 2019).
Melalui penggunaan metode PCR standar dan API test kit, analisis patogen dalam pangan
dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, sehingga membantu memastikan keamanan pangan
yang dikonsumsi oleh masyarakat (Ma et al. 2018). Oleh karena itu, penggunaan metode ini
penting untuk meningkatkan keamanan pangan dan mencegah penyebaran penyakit melalui
makanan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis dengan Metode PCR Standar


Metode untuk identifikasi bakteri pada praktikum ini menggunakan teknik reaksi berantai
polymerase (Polymerase Chain Reaction) atau yang biasa dikenal teknik PCR. Pada dasarnya
prinsip PCR adalah melipatgandakan sampel DNA hingga mencapai jumlah yang cukup untuk
dipelajari dengan bantuan enzim DNA polymerase. Taq polymerase adalah salah satu enzim
DNA polymerase yang tahan panas. Polymerase yang digunakan sebaiknya tahan panas untuk
menghindari adanya perubahan sifat pada suhu tinggi saat tahapan denaturasi. Enzim ini
digunakan untuk proses penggandaan DNA. Fungsinya mengkatalis reaksi polimerisasi
deoksiribonukleotida menjadi untai DNA dengan membaca untai DNA utuh sebagai template
atau cetakan kemudian menggunakannya untuk membentuk untaian baru. Molekul baru yang
terbentuk ini adalah komplemen dari untai yang digunakan sebagai template dan identik dengan
komplemen dari DNA template saat sebelum terjadinya reaksi (Alberts dan Bruce, 2008)
Proses penggandaan sampel DNA ini terjadi dalam rangkaian siklus perubahan suhu.
Sebagian besar PCR menggunakan mesin dengan pengatur siklus suhu yang berulang dan akan
memungkinkan terjadinya berbagai reaksi sehingga terjadi replikasi DNA. Siklus ini biasanya
terjadi sebanyak 3 siklus, dengan masing-masing siklus terjadi pada suhu tertentu. Tahapan
siklus saat proses PCR secara detail dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan pada Siklus PCR (Yusuf, 2010)


Dapat dilihat berdasarkan Gambar 1, terdapat 3 tahapan penting dalam siklus PCR yang
diulang sebanyak 30-40 kali. Penjelasan 3 tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Denaturasi
Tahapan awal ini terjadi sebelum dilakukan penambahan enzim taq polymerase yang
merupakan langkah awal terjadinya siklus berulang pada proses PCR. Proses denaturasi
terjadi pada suhu 95oC selama ±1 menit, untuk memastikan denaturasi terjadi secara
optimal, proses ini dilakukan selama 3 menit. Denaturasi DNA dilakukan untuk
memungkinkan pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal. Proses
denaturasi yang tidak optimal mengakibatkan DNA mengalami renaturasi atau
terbentuknya kembali DNA untai ganda sehingga proses PCR menjadi gagal (Yusuf,
2010). Pemisahan rantai utas ganda terjadi akibat adanya pemutusan ikatan hidrogen
pada basa komplementer DNA yang akan menghasilkan DNA utas tunggal. Pemisahan
ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat bagi primer.

2. Annealing
Pada tahap ini terjadi penempelan primer pada DNA templat yang dihasilkan. Waktu
annealing pada umumnya selama 30 – 45 detik atau ±1 menit pada suhu 52 oC. Primer
yang digunakan adalah primer dengan sekuens basa yang berkomplementer dengan
DNA templat. Sekuens DNA dalam masing-masing primer sebaiknya tidak saling
berkomplemen untuk menghindari terbentuknya struktur sekunder dan akan
mengurangi efisiensi PCR (Yusuf, 2010). Jika sekuens primer sesuai dengan sekues
DNA templat, maka akan terbentuk DNA dengan ikatan hydrogen yang stabil.
Kemudian enzim polymerase akan menempel pada hybrid hasil penempelan primer
dengan DNA templat dan memulai pembentukan DNA baru.

3. Ekstensi/elongasi
Pada tahapan ini enzim Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang DNA
primer dari ujung 3’. Tahapan ini terjadi pada suhu 72 oC (suhu optimal Taq
polimerase) selama ±1 menit. Pemanjangan primer diperkirakan 35 – 100
nukleotida/detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA
target (Yusuf, 2010). Sehingga untuk produk PCR yang ditargetkan pada praktikum ini
yaitu dengan panjang 1500 pasang basa, dibutuhkan waktu sekitar 40 detik atau
dikondisikan pada waktu 1 menit.

Tahapan yang terjadi diatas akan diulangi sebanyak 30 siklus sehingga akan
menghasilkan molekul DNA rantai ganda yang baru dalam jumlah yang lebih banyak
(dilipatgandakan) dibandingkan DNA templat awal. Jumlah siklus yang dibutuhkan
tergantung pada konsentrasi DNA target dalam campuran reaksi dan tergantung dari jumlah
DNA templat yang ada pada saat awal reaksi serta efisiensi dari ekstensi primer dan
amplifikasi (Yusuf, 2010).
Produk PCR kemudian diidentifikasi berdasarkan ukurannya dengan elektroforesis
menggunakan gel agarose. Metode ini diawali dengan menginjeksi produk PCR ke dalam
sumur-sumur pada gel agarose yang sudah dibuat kemudian dilakukan elektroforesis pada
kondisi 90 Volt selama 45 menit. Prinsip dasar elektroforesis adalah adanya pergerakan
molekul bermuatan di bawah pengaruh suatu medan listrik. Elektroforesis dapat digunakan
untuk mengetahui ukuran DNA dengan menggunakan DNA marker yang sudah diketahui
ukurannya. DNA marker ini berfungsi sebagai pembanding sehingga bisa diketahui
perkiraan ukuran DNA sampel. (Sundari dan Priadi, 2019). DNA merupakan molekul
bermuatan negatif, sehingga ketika dilewatkan melalui gel agarosa, kemudian dialiri arus
listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka DNA akan bergerak dari
kutub negatif ke kutub positif, sehingga elektroforesis dapat memisahkan DNA
berdasarkan ukuran panjangnya (Yuwono, 2006 dalam Sundari dan Priadi, 2019). Hasil
visualisasi elektroforesis pada praktikum ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Visualisasi Elektroforesis


Berdasarkan hasil tersebut dapat terlihat pita-pita yang menggambarkan hasil isolasi
DNA secara kualitatif. Sumur 1 menunjukkan pita-pita dari ladder. Ladder digunakan
sebagai penanda ukuran amplicon untuk sampel yang dianalisis. Ukuran dari fragmen
DNA sampel dapat diketahui dengan membandingkan pita yang terlihat dengan pita pada
ladder. Biasanya ukuran fragmen pada ladder dapat diketahui berdasarkan jenis dan
ukuran ladder yang digunakan dari berbagai produsen. Berdasarkan Gambar 2 dapat
terlihat pita pada sumur 2 dan 3 yang merupakan sumur dengan sampel E.coli positif, dapat
terlihat pita pada ukuran amplikon sekitar 500-600 bp, sedangkan primer yang dipakai
yaitu pada ukuran amplikon 585 bp. Dengan demikian hasil praktikum sudah sesuai
dengan hasil yang seharusnya didapatkan. Gen target yang digunakan dalam analisis isolate
E.coli ini adalah gen 16S-rRNA. Gen ini telah digunakan sebagai parameter sistematik
molekuler universal, representative dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan
filogenetik pada tingkat spesies (Aris et al. 2013).
Sumur 4 merupakan isolate dengan sampel DNA Salmonella namun dalam kondisi
analisis untuk isolate E.coli, dengan demikian tidak menunjukkan pita pada sumur 4. Hal
ini berarti menunjukkan E.coli negatif pada isolate tersebut. Sedangkan pada sumur 5 dan 6
merupakan sumur dengan isolate Salmonella pada kondisi analisis untuk Salmonella,
sehingga seharusnya akan menunjukkan pita pada amplikon ukuran sekitar 119 bp (ukuran
primer yang digunakan untuk deteksi Salmonella spp.). Berdasarkan Gambar 2, terlihat
adanya pita pada sumur 5 dengan ukuran amplikon diatas 100 bp. Hal ini menunjukkan
hasil yang sudah sesuai karena primer yang digunakan adalah primer dengan gen invA
berukuran 119 bp. Gen invA digunakan sebagai target gen untuk identifikasi Salmonella
karena sekuen gen 16S-rRNA hanya dapat membedakan dengan baik hingga tingkat
spesies. Dengan demikian, untuk identifikasi semua jenis Salmonella spp pada tingkat
genus dan bersifat spesifik digunakan invA sebagai target gen (Melati et al. 2022).
Sedangkan pada sumur 6, terlihat tidak adanya pita yang terbentuk yang seharusnya pada
sumur ini akan teridentifikasi gen Salmonella sesuai isolate yang digunakan. Hal ini dapat
terjadi akibat kesalahan saat injeksi isolate pada proses elektroforesis sehingga tidak
terbacanya fragmen DNA pada sumur tersebut. Selanjutnya pada sumur 7 merupakan
isolate dengan DNA E.coli pada kondisi identifikasi Salmonella, sehingga hasil
elektroforesis tidak menunjukkan pita pada sumur tersebut karena menghasilkan isolate
Salmonella negatif. Hal ini berarti hasil praktikum sudah sesuai dengan hasil yang
seharusnya pada sumur 7. Pada sumur terakhir merupakan sumur dengan senyawa kontrol
negatif yaitu nucleus free water (NFW) yang tidak akan menghasilkan pita.
DAFTAR PUSTAKA

 Alberts, Bruce (2008).  Molecular Biology of the cell. Garland Science. ISBN 978-0-8153-


4106-2.
Aris M, Sukenda, Harris E, Sukadi MF. 2013. Identifikasi Molekular Bakteri Patogen dan
Desain Primer PCR. Budidaya Perairan. 1(3):43-50.
Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Escherichia coli (E. coli).
https://www.cdc.gov/ecoli/general/index.html
European Food Safety Authority (EFSA) and European Centre for Disease Prevention and
Control (ECDC). 2021. The European Union One Health 2019 Zoonoses Report.
EFSA Journal, 19(12), p.e06406.
Gajda AM, Długosz E. 2019. The Importance of Detection and Identification of Bacterial
Pathogens in Food. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 16(10), 1764. doi: 10.3390/ijerph16101764
Hoorfar J, Ahrens P, Rådström P, Cook N. 2004. The use of PCR for detection of
foodborne pathogens. Molecular and Cellular Probes, 18(4), 277-284.
Lafi SQ, Abushelaibi A, Hartmann R. 2021. Molecular methods for detection of foodborne
pathogens: Current status and future prospects. Critical reviews in food science and
nutrition, 61(3), 508-525.
Liu Y, Mustapha A, Hu X. 2018. Advances in detection, enumeration, and quantification
of foodborne pathogens. Journal of microbiological methods, 151, 1-13.
Ma Y, Zhang G, Wu Q, Xu X, Zhou G, Chen Q. 2018. Rapid and Sensitive Detection of
Salmonella Typhimurium in Raw Chicken Using Loop-Mediated Isothermal
Amplification Coupled With Immunomagnetic Separation and Gold Nanoparticles-
Based Lateral Flow Biosensor. Frontiers in microbiology, 9, 1514. doi:
10.3389/fmicb.2018.01514
Melati RP, Nurjanah S, dan Rahayu WP. 2022. Desain Primer Gen Virulensi invA untuk
Identifikasi dan Sekuensing Salmonella pada Sampel Karkas Ayam. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 10(2): 91-97.
Rijgersberg H, Zwietering MH, Ross T, van der Fels-Klerx H J. 2018. Performance of
molecular and traditional methods for detection and quantification of foodborne
pathogens: a critical appraisal. Journal of Food Protection, 81(4), 679–698.
Sundari S dan Priadi B. 2019. Teknik Isolasi dan Elektroforesis DNA Ikan Tapah. Buletin
Teknik Litkayasa Akuakultur. 17(2): 87-90.
Tarr PI, Gordon CA. 2005. Chandler's syndrome: Hemolytic-uremic syndrome and
Escherichia coli O157:H7. Microbes and Infection, 7(4), 693-699. doi:
10.1016/j.micinf.2004.12.015
World Health Organization (WHO). 2015. WHO estimates of the global burden of
foodborne diseases. Geneva, Switzerland: World Health Organization.
Yusuf ZK. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Saintek. 5(6):1-6.

Anda mungkin juga menyukai