Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

DIABETES MELITUS TIPE 1 DAN 2

DI SUSUN OLEH:

NAMA : YUSUP YANDO

NIM : 20150811024143

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU

KEPERAWATAN

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa telah memberikan rahmat
serta karunianya sehingga penulis dapat menyelesaiakan makalah yang berjudul (Diabetes Melitus Tipe 1
dan 2) ini tepat pada waktuntya.

Adapun tujuan dari penulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Sistem Endokrin selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan diabetes mellitus bagi
para pembaca dan juga penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan waawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya meyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata atau kalimat sempurna. Oleh ,arena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jayapura,20 Maret 2022

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus yang biasa disebut dengan DM merupakan sebuahpenyakit yang dikenal
masyarakat dengan sebutan penyakit kencing manis.Diabetes Melitus merupakan penyakit dengan
gangguan metabolik secara kronis atau menahun yang terjadi karena tubuh tidak mempunyai
hormon insulin yang cukup yang diakibatkan gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin
tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya maupun keduanya (WHO, 2016). Ewadh (2014)
menyatakan bahwa Diabetes Melitus merupakan penyakit dengan gangguan metabolik yang dapat
ditemukan dengan ciri konsentrasi glukosa yang tinggi didalam darah (hiperglikemia). Diabetes
Melitus merupakan sekumpulan dari suatu gejala penyakit yang timbul pada seseorang yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia yang di sebabkan oleh meningkatnya kadar gula dalam
darah dikarenakan penurunan sekresi kinerja insulin progresif, sehingga dalam hal ini muncul
gejala polifagi, polidipsi, dan poliuri.Diabetes Melitus merupakan sebuah penyakit yang telah
menjadi masalah utama di dalam dunia kesehatan dikarenakan semakin tingginya tingkat
mortalitas dan morbiditas (Buraerah dalam Fatimah, 2015 ; Laurentia et al dalam Fathurrohman,
2016). Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat adanya kecenderungan peningkatan
angka pada insidensi dan prevalensi Diabetes
Melitus di berbagai penjuru dunia. World Health Organization (WHO) yang merupakan Badan
Kesehatan Dunia memprediksikan adanya peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus yang
akan menjadi salah satu ancaman bagi kesehatan global (PERKENI, 2015).
Di Indonesia diketahui berdasarkan data terbaru pada Riskesdas 2018, secara umum angka
prevalensi Diabetes Melitus mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama 5 tahun
terakhir. Pada saat tahun 2013, angka prevalensi penyakit Diabetes Melitus pada orang dewasa saja
mencapai 6,9%, dan di tahun 2018 angka tersebut terus melonjak hingga menjadi 8,5%.Jumlah
penderita Diabetes Melitus ini diperkirakan akan meningkat pada tahun 2040, yaitu hingga
sebanyak 16,2 juta jiwa penderita, dapat diartikan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadi
peningkatan penderita hingga sebanyak 56,2% dari tahun 2015 sampai 2040. Indonesia juga
merupakan Negara ketiga dengan jumlah orang dengan gangguan toleransi glukosa (rentang usia
20-79 tahun) pada tahun 2015 yakni sebesar 29 juta jiwa orang (IDF, 2015).
Diabetes Mellitus di Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi penderita hingga sebesar
2,1%. Diperoleh data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012, adapun 10 pola
penyakit terbanyak yang dialami oleh pasien rawat jalan pada rumah sakit tipe-X Diabetes Melitus
yakni penyakit dengan prevalensi terbanyak setelah hipertensi sebanyak 102.399 kasus (Martins,
dkk., 2018).
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2018 menunjukkan
adanya prevalensi Diabetes Melitus pada Kabupaten Jember yang telah mengalami kenaikan jika

3
dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Berdasarkan pemeriksaan gula darah yang dilakukan,
Diabetes Melitus naik dari angka 6,9% menjadi 8,5%.
Hasil yang telah diperoleh dari data Dinkes Kabupaten Jember mengenai jumlah kasus
penderita Diabetes Melitus merupakan terbanyak ke empat yang berada di Puskesmas Bangsalsari
Kabupaten Jember dengan jumlah kasus 25 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah kasus DM yang
berada di Wilayah kerja Puskesmas lain sebanyak 44 jiwa, sebanyak 40 jiwa dan sebanyak 40 jiwa.
Penelitian ini penting dilakukan karena bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan gaya hidup pada penderita Diabetes Melitus yang berobat di Puskesmas
Bangsalsari.
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik kronis yang masih
menjadi perhatian dunia. Penyakit diabetes melitus ini ditandai dengan tingginya kadar glukosa
pada darah atau disebut dengan hiperglikemia.
Faktor resiko terjadinya penyakit diabetes melitus ini yaitu obesitas, gaya pola hidup yang tidak
sehat, dan juga faktor keturunan. Seseorang dikatakan menderita penykit diabetes melitus apabila
dijumpai gejala klasik, antara lain yaitu poliuri (banyak minum), polifagi (banyak makan),
polidipsi (banyak kencing), dan penurunan berat badan, ditambah kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dL (Asmadi,2013].
Deteksi dini penyakit diabetes melitus dan pemantauan kadar glukosa darah pada penderita
penyakit diabetes melitus sangatlah penting untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan apabila
kadar glukosa darah sangat tinggi atau tidak terkontrol akan menyebabkannya komplikasi serius
diberbagai organ tubuh seperti pada jantung, ginjal, mata, dan syaraf, sehingga dapat
meningkatkan angka kematian dan angka kesakitan.
Pemeriksaan glukosa darah yang sangat mudah digunakan masyarakat yaitu glukometer.
Namun, tampaknya masih banyak masyarakat yang belum terampil menggunakannya. Selain itu,
masih banyak masyarakat yang belum memahami penyakit diabetes melitus secara holistik.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang memiliki peranan penting dan strategis dalam
memberikan pengertian dan kemampuan kepada keluarga dan pasien untuk melakukan
penanganan secara mandiri. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat
sebagai tenaga medis mempunyai peran yang cukup mempengaruhi perilaku pasien (Tagliacozzo
D.M., et.al., 1974).
Pemberian pemahaman oleh perawat terhadap keluarga mengenai penanganan yang benar
dan memberdayakan keluarga, dan juga pasien dalam partisipasinya untuk dapat melakukan
perawatan diri secara mandiri. Berbagai komplikasi mungkin akan muncul jika dapat dikendalikan
dan pasien memiliki angka derajat kesehatan yang optimal. Beberapa penelitian mencatat
kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit pada diabetisi mencapai 50-
80% (Norris, Engelgau, & Narayan, 2001 ; Palestin, Hermawan, & Donsu, 2005)
fungsi keluarga adalah fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan pada keluarganya
yakni keluarga berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan keadaan kesehatan pada anggota
keluarganya. Namun kenyataannya masih banyak keluarga yang belum dan tidak memiliki
kemampuan untuk merawat anggota keluarganya sendiri dengan masalah kesehatan Diabetes
Melitus sehingga dalam hal ini diperlukan intervensi pendidikan kesehatan bagi setiap keluarga.
4
Masyarakat bisa saja tidak sepenuhnya memahami Diabetes Melitus, terutama pada masyarakat
dengan pendidikan rendah dan kelompok tidak bekerja

1. 2 Tujuan
1. Tujuan Umum Tujuan umun dibuatnya karya tulis ini yaitu untuk menerapkan asuhan
keperawatan kepada keluarga yang menderita penyakit Diabetes Melitus.
2. Tujuan Khusus Tujuan Khusus diadakannya penelitian ini yaitu sebagai di bawah berikut:
a. Mampu melakukan pengkajian terhadap keluarga dengan Diabetes Melitus.
b. Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan terhadap keluarga yang menderita Diabetes
Melitus berdasarkan data yang diperoleh.
c. Mampu melakukan tindakan keperawatan terhadap keluargakeluarga yang menderita
Diabetes Melitus.
d. Menyusun perencanaan keperawatan terhadap pengelolaan keluarga dengan Diabetes
Melitus.
e. Mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan terhadap keluarga yang
menderita Diabetes Melitus.
1.3 Metodologi
1. Karya tulis ini menggunakan pendekatan pada proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
analisis data, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Tempat dan waktu pelaksanaan pengambilan kasus pada penelitian ini dilakukan di Dusun
Jatisari, Desa Tisnogambar, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember pada 1 Februari 2021.
3. Alasan penulis mengambil kasus tersebut karena masih kurangnya pengetahuan akan Diabetes
Melitus pada penduduk wilayah tersebut
1.3.1 Teknik pengumpulan data
Dalam karya tulis ini penulis menggunakan teknik untuk mengumpulkan data yaitu dilakukan
adalah dengan:
1. Wawancara Wawancara dilakukan dengan berkomunikasi langsung pada keluarga yang
menderita Diabetes Melitus.
2. Observasi Observasi dilakukan dengan pengumpulan data dan melakukan pengamatan secara
langsung dan sistematis.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan secara berkala terhadap penderita Diabetes
Melitus dari ujung rambut hingga ujung kaki (head to toe) dengan metode inspeksi, perkusi,
palpasi, dan auskultasi.
1.3.2 Manfaat
Manfaat dilakukannya karya tulis ini adalah:
1. Keluarga Diharapkan keluarga dapat mengetahui dan mampu mengatasi masalah kesehatan
Diabetes Melitus
Puskesmas Bangsalsari Diharapkan hasil studi kasus pada penelitian ini dapat menjadi bahan
masukan dan evaluasi Puskesmas Bangsalsari dalam memberikan asuhan keperawatan
keluarga pada keluarga dengan masalah kesehatan Diabetes Melitus.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Konsep Dasar Medis
2.1.1 Definisi
6
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah
tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu
suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan
mengatur produksi dan penyimpanannya (Brunner & Suddarth, 2015)
Pada diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau
pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan
hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis
dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang
dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan
komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens
penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer
(Brunner & Suddarth, 2015).

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes ada empat jenis, antara lain (Damayanti, 2015):
2.1.2.1 DM Tipe 1
DM tipe 1 ditandai oleh destruksi sel beta pankreas, terbagi dalam dua sub tipe yaitu tipe
1A yaitu diabetes yang diakibatkan proses immunologi (immunemediated diabetes) dan
tipe 1B yaitu diabetes idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya. Diabetes 1A ditandai
oleh destruksi autoimun sel beta. Sebelumnya disebut dengan diabetes juvenile, terjadi
lebih sering pada orang muda tetapi dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe 1
merupakan gangguan katabolisme yang ditandai oleh kekurangan insulin absolut,
peningkatan glukosa darah, dan pemecahan lemak dan protein tubuh (Damayanti, 2015)
2.1.2.2 .DM Tipe 2
DM tipe 2 atau juga dikenal sebagai Non-Insulin Dependent Diabetes (NIDDM). Dalam
DM tipe 2, jumlah insulin yang diproduksi oleh pankreas biasanya cukup untuk mencegah
ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh total. Jumlahnya
mencapai 90-95% dari seluruh pasien dengan diabetes, dan banyak dialami oleh orang
dewasa tua lebih dari 40 tahun serta lebih sering terjadi pada individu obesitas. Kasus DM
tipe 2 umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan DM secara klinis. Sel
beta pankreas masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin
disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan
normalisasi kadar glukosa darah. Mekanisme kompensasi yang terus menerus
menyebabkan kelelahan sel beta pankreas yang disebut dekompensasi, mengakibatkan
produksi insulin yang menurun secara absolut. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh
produksi insulin yang menurun, akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat
sehingga memenuhi kriteria diagnosa DM (Damayanti, 2015).

7
Resistensi insulin utamanya dihasilkan dari kerusakan genetik dan selanjutnya oleh factor
lingkungan.
Ketika glukosa intrasel meningkat, maka asam lemak bebas (Free Fatty Acid- FFAs)
disimpan, namun ketika glukosa menurun maka FFAs masuk ke sirkulasi sebagai substrat
dari produksi glukosa. Pada kondisi normal, insulin memicu sintesa trigliserida dan
menghambat lipolisis postprandial. Glukosa diserap ke dalam jaringan adiposa dan
sirkulasi FFAs mempunyai efek yang bahaya pada produksi glukosa dan sensitifitas
insulin, peningkatan glukosa darah pun ikut berperan. Pada tipe ini terjadi kehilangan sel
beta pankreas lebih dari 50% (Damayanti, 2015).

2.1.2.3 Diabetes pada kehamilan (Gestasional Diabetes)


Diabetes kehamilan terjadi pada intoleransi glukosa yang diketahui selama kehamilan
pertama. Jumlahnya sekitar 2-4% kehamilan. Wanita dengan diabetes kehamilan akan
mengalami peningkatan risiko terhadap diabetes setelah 5-10 tahun melahirkan
(Damayanti, 2015).

2.1.2.4 DM tipe lain (Others Specific Types)


Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan hiperglikemia akibat peningkatan
produksi glukosa hati atau penurunan penggunaan glukosa oleh sel.Sebelumnya dikenal
dengan istilah diabetes sekunder, diabetes tipe ini menggambarkan diabetes yang
dihubungkan dengan keadaan sindrom tertentu, misalnya diabetes yang terjadi dengan
penyakit pankreas atau pengangkatan jaringan pankreas dan penyakit endokrin seperti
akromegali, atau syndrome chusing, karena zat kimia atau obat, infeksi dan endokrinopati
(Damayanti, 2015).

2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Diabetes Melitus


2.1.3.1 Anatomi
Pancreas adalah sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah
panjangnya kira-kira 15 cm dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 69-90
gr. Terbentang pada vertebra lumbarlis I dan II dibelakang lambung. Bagian-Bagian dari
pancreas adalah :
a. Kepala pankreas, terletak disebelah kanan rongga abdomen dan didalam ekukan
duodenum.
b. Badan pankreas, merupakan bagian utama dari organ ini letaknya dibelakang lambung
dan didepan vertebralumbalis pertama.
c. Ekor pankreas, bagian runcing disebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limfa.

Fungsi dari pankreas ada 2 yaitu :


a. Fungsi eksokrin yaitu membentuk getah pancreas yang berisi enzim dan elektrolit.

8
b. Fungsi endokrin yaitu sekelompok kecil atau pulau Langerhans, yang bersama-sama
membentuk organ endokrin yang mensekresikan insulin. Pulau Langerhans terdiri
atas : sel-sel alfa yang menghasilkan glucagon, sel-sel beta yang menghasilkan insulin,
glucagon dan insulin mengatur kadar gula darah. Insulin adalah hormon hipoglikemik
(menurunkan gula darah) sedangkan glucagon bersifat hiperglikemik (meningkatkan
gula darah). Selain ini ada sel-sel delta yang menghasilkan somastostatin yang
menghambat pelepasan insulin dan glukagon. Selain itu sel F menghasilkan
polipeptida dan pankreatik yang berperan mengatur fungsi eksokrin pancreas
(Tambayong, 2015).

Anatomi Pankreas

2.1.3.2 Fisiologi
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh
jaringan prifer tergantung dari keseimbangan fisiologi beberapa hormon antara lain :
1. Hormon yang dapat merendahkan kadar gula darah yaitu insulin. Kerja insulin yaitu
merupakan hormon yang menurunkan glukosa darah dengan cara membantu glukosa
darah masuk kedalam sel.
2. Hormone yang meningkatkan kadar gula darah Antara lain :
a) Glucagon yang disekresi oleh sel alfa pulau Langerhans
b) Epinefrin yang disekresikan oleh mesulla adrenal dan jaringan kromafin.
c) Glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal.
d) Growt hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterioir.
Glucagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone membentuk suatu
mekanisme counferregulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat
pengaruh insulin.

9
2.1.4 Etiologi
Menurut Rendy & Margaret (2012), penyebab diabetes mellitus dikelompokkan menjadi:
2.1.4.1 Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM)
1. Factor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya
2. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan
respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan
asing.

3. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta pankreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel beta pankreas.
IDDM sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenile
Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya
kadar gula darah). Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus
IDDM, oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari
lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh
lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM. Virus atau
mikroorganisme akan menyerang pankreas, yang membuat kehilangan produksi
insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibodi sendiri akan
menyerang sel beta pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran
munculnya penyakit ini (Rendy & Margaret, 20102).

2.1.4.2 Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)


Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM.
Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Sekitar 80% klien NIDDM
adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme.
Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai
kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan.
Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah
resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan
ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olahraga dan diet.
Tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang
10
berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan
normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan
peningkatan gula darah.
Menurut Smeltzer & Bare (2010), DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel beta dan
resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan
glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Penyebab resistensi insulin pada diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, faktor yang
banyak berperan menurut Riyadi (2008) antara lain:

2.1.4.3 Riwayat Keluarga


Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi
karena DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait
dengan penurunan produksi insulin. Glukosa darah puasa yang tinggi dikaitkan dengan
risiko DM di masa depan. Keluarga merupakan salah satu faktor risiko DM. Jika salah
satu dari orang tua menderita DM tipe 2, risiko anak mereka terkena DM tipe 2 dengan
sebesar 40%. Risiko ini akan menjadi 70% jika kedua orang tuanya menderita DM tipe
2. Kembar identik akan berisiko lebih tinggi terkena DM dibandingkan dengan kembar
yang tidak identik. Gen pembawa DM tersebut ikut mengatur fungsi dari sel yang
memproduksi insulin beta (Yang, 2010).

2.1.4.4 Jenis kelamin


Pria lebih rentan terkena hiperglikemia dibandingkan dengan wanita. Persentase
hiperglikemia pada pria sebesar 12,9%, sedangkan pada wanita 9,7%. Hal ini berbeda
dengan penelitian Gale dan Gillespie (2010) dimana DM tipe 1 dan tipe 2 dominan
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak ada perbedaan prevalensi DM tipe 1 dan tipe 2
antara pria dan wanita ketika berusia di bawah 25 tahun. Akan tetapi, mulai ada
perbedaan sebesar 20% pada wanita daripada pria yang berusia 25-34 tahun. Pada
kelompok usia 35-44 tahun perbedaannya menjadi 60% dan kelompok usia 45-64 tahun
DM tipe 2 lebih tinggi 2 kali lipat pada wanita daripada pria (Gillespie, 2010).

2.1.4.5 Kelainan genetic


DM dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap DM. Ini terjadi karena
DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan
penurunan produksi insulin.

11
2.1.4.6 Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun
dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang berisiko pada penurunan
fungsi endokrin pankreas yang memproduksi insulin. Menurut Merck (2008), DM tipe
1 dan tipe 2 biasanya bermula pada penderita yang usianya lebih dari 30 tahun dan
menjadi semakin lebih umum dengan peningkatan usia. Sekitar 15% dari orang yang
lebih tua dari 70 tahun menderita DM tipe 2. DM tipe 2 di negara maju relatif terjadi di
usia yang lebih muda, tetapi di negara berkembang terjadi pada kelompok usia lebih
tua. Kenaikan prevalensi DM dimulai pada masa dewasa awal. Di Amerika orang yang
berusia 45-55 tahun terkena DM empat kali lebih banyak dibandingkan pada mereka
yang berusia 20-44 tahun (Finucane dan Popplewell, 2010).

2.1.4.7 Gaya hidup stress


Stress cenderung membuat hidup seseorang mencari makan yang cepat saji yang kaya
pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas.
Stress juga meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan sumber
energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas mudah rusak sehingga berdampak
pada penurunan insulin.

2.1.4.8 Pola makan yang sama


Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama risiko terkena DM. Malnutrisi dapat
merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan gangguan kerja dan resistensi
insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperanan
pada ketidakstabilan kerja pankreas.

2.1.4.9 Obesitas
Obesitas mengakibat sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi pankreas disebabkan
karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk
mencukupi energi sel yang terlalu banyak.

2.1.4.10 Kebiasaan merokok


Rokok mengandung zat adiktif yang bernama nikotin. Nikotin ini dapat mengakibatkan
ketergantungan dan kehilangan kontrol. Merokok dapat mengakibatkan peningkatan
sementara kadar glukosa darah, merokok juga dapat merusak sensitivitas organ dan
jaringan terhadap aksi insulin. Asupan nikotin dapat meningkatkan kadar hormon,
seperti kortisol, yang dapat mengganggu efek insulin.

2.1.4.11 Infeksi
Masuknya bakteri atau virus kedalam pankreas akan mengakibatkan rusaknya sel-sel
pankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas. Seseorang yang

12
sedang menderita sakit karena virus atau bakteri tertentu, merangsang produksi hormon
tertentu yang secara tidak langsung berpengaruh pada kadar gula darah.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis diabetes mellitus menurut Tandra (2013) yaitu:
1. Banyak kencing (poliuri)
2. Rasa haus (polidipsi)
3. Berat badan menurun meski sudah banyak makan (polifagi)
4. Rasa seperti flu dan lemah
5. Pandangan kabur
6. Luka yang sukar semuh
7. Gusi merah dan bengkak
8. Kesemutan
9. Kulit kering dan gatal
10. Mudah terkena infeksi

11. Gatal pada kemaluan

2.1.6 Patofisiologi
2.1.6.1 Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan pankreas
untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh
proses autoimun
2.1.6.2 Patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin Substrate)
Sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama GLUT 4 yang
mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan yang menyebabkan
penumpukan glukosa darah yang pada akhirnya akan menimbulkan hiperglikemia atau
meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek
olahraga terhadap sensitivitas insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi
glukosa dan metabolisme. Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dengan
cara merangsang stimulasi hormon insulin yang akan mengakibatkan peningkatan
glukosa transporter terutama GLUT 4 yang berakibat pada berkurangnya resistensi
insulin dan peningkatan pengambilan gula oleh otot serta memperbaiki pemakaian
insulin yang berakibat menurunya kadar gula darah post prandial dan gula darah puasa.
Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Borghouts,2000).
13
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin” (Cheng D, 2007). Resistensi insulin banyak
terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita
DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak
terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi rtama,
artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen

2.1.6.3 Faktor resiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu :
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 25 dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah menjadi 200 mg%
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer. 3. Riwayat Keluarga DM Seorang
yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat
diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan
gen resesif tersebut yang menderita DM.
3. Riwayat Keluarga DM
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa
bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot
dengan gen resesif tersebut yang menderita DM
4. Dislipedimia
Dislipidemia dalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien diabetes.
Selain itu timbunan lemak bebas yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya
uptake sel terhadap asam lemak bebas dan memacu oksidasi lemak yang pada

14
akhirnya akan menghambat penggunaan glukosa dalam otot yang menyebabkan
resistensi insulin (Miftahul,2013)
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah > 45 tahun.
Resiko seseorang untuk menderita diabetes melitus tipe 2 akan bertambah
seiring berjalannya usia terutama usia diatas 45 tahun. Hal ini dikarenakan
jumlah sel beta pankreas produktif semakin berkurang dengan bertambahnya
usia (Arisman, 2011).
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >4000
gram.
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit ini
sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko emperis
dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika
orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan
dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik, faktorfaktor
lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam
konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2.
Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM,
sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan
darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi etil
alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml
wine atau 720 ml. Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2,
dibedakan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat
berubah misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis
kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh (Powers, 2005).

2.1.7 Web of caution Pathway

15
2.1.8 Pemeriksaan fisik

2.1.8.1 Keadaan umum

Meliputi keadaan penderita tampak lemah atau pucat. Tingkat kesadaran apakah
sadar, koma, disorientasi.

2.1.8.2 Tanda-tanda vital

16
Tekanan darah tinggi jika disertai hipertensi. Pernapasan reguler ataukah ireguler,
adanya bunyi napas tambahan, respiration rate (RR) normal 16-20 kali/menit, pernapasan
dalam atau dangkal. Denyut nadi reguler atau ireguler, adanya takikardia, denyutan kuat
atau lemah. Suhu tubuh meningkat apabila terjadi infeksi.

2.1.8.3 Pemeriksaan kepala

1. Kepala : normal, kepala tegak lurus, tulang kepala umumnya bulat dengan
tonjolan frontal di bagian anterior dan oksipital di bagian posterior
2. Rambut : biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu berminyak.
3. Mata : simetris mata, refleks pupil terhadap cahaya, terdapat gangguan
penglihatan apabila sudah mengalami retinopati diabetik.
4. Telinga : fungsi pendengaran mungkin menurun.
5. Hidung : adanya sekret, pernapasan cuping hidung, ketajaman saraf hidung
menurun.
6. Mulut : mukosa bibir kering.
7. Leher : tidak terjadi pembesaran kelenjar getah bening.

2.1.8.4 Pemeriksaan dada


1. Pernafasan : sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent dan tergantung
ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium
menurun tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton..
2. Kardiovaskuler : takikardia/nadi menurun, perubahan TD postural, hipertensi
disritmia dan krekel.
2.1.8.5 Pemeriksaan Abdomen
Adanya nyeri tekan pada bagian pankreas, distensi abdomen, suara bising usus
yang meningkat.
2.1.8.6 Pemeriksaan Reproduksi
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit
orgasme pada wanita.

2.1.8.7 Pemeriksaan Integumen


Biasanya terdapat lesi atau luka pada kulit yang lama sembuh. Kulit kering,
adanya ulkus di kulit, luka yang tidak kunjung sembuh. Adanya akral dingin,
capillarry refill kurang dari 3 detik, adanya pitting edema.
2.1.8.8 Pemeriksaan Ekstermitas
Kekuatan otot dan tonus otot melemah. Adanya luka pada kaki atau kaki
diabetik.
2.1.8.9 Pemeriksaan Status Mental
Biasanya penderita akan mengalami stres, menolak kenyataan, dan keputus
asaan.

17
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purwanto (2016), pemeriksaan penunjang diabetes mellitus adalah:

2.1.9.1 Gula darah meningkat > 200 ml/dl

2.1.9.2 Aseton plasma (aseton) positif secara mencolok.

2.1.9.3 Osmolaritas serum : meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/lt

2.1.9.4 Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)

2.1.9.5 Alkalosis respiratorik

2.1.9.6 Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi


menunjukkan respon terhadap stres atau infeksi.

2.1.9.7 Ureum/ kreatinin : mungkin meningkat/ normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal

2.1.9.8 Amilase darah: mungkin meningkat > pankacatitis akut.

2.1.9.9 Insulin darah : mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I), normal sampai meningkat
(Tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin.

2.1.9.10 Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat


meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.

2.1.9.11 Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat

2.1.9.12 Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya ISK dan infeksi luka.

2.1.10 Diaknosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien
individu, keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Diagnosa
keperawatan dalam penelitian ini menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Terdapat dua jenis diagnosa keperawatan yaitu diagnosis negatif dan diagnosis positif.
Diagnosis negatif menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit atau berisiko mengalami
sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan mengarahkan pemberian intervensi keperawatan
yang bersifat penyembuhan, pemulihan, dan pencegahan. Diagnosis ini terdiri dari diagnosis
aktual dan diagnosis risiko. Sedangkan diagnosis positif menunjukkan bahwa pasien dalam
kondisi sehat dan dapat mencapai kondisi yang lebih optimal. Diagnosis ini disebut juga dengan
diagnosis promosi kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

18
Masalah intoleransi aktivitas termasuk dalam diagnosis negatif yang bersifat aktual.
Diagnosis ini menggambarkan respon pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya yang menyebabkan pasien mengalami masalah kesehatan. Tanda/gejala mayor
dan minor dapat ditemukan dan divalidasi pada pasien (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem) atau label
diagnosis dan indikator diagnostik. Masalah (problem) merupakan label diagnosis keperawatan
yang menggambarkan inti dari respon pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya. Label diagnosis terdiri dari deskriptor atau penjelas dan fokus diagnostik.
Intoleransi adalah deskriptor dan aktivitas merupakan fokus diagnostik. Indikator diagnostik
terdiri dari penyebab, tanda/gejala, dan faktor risiko. Pada diagnosis aktual, indikator
diagnostiknya terdiri dari penyebab dan tanda/gejala (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Proses penegakan diagnosis (diagnostic process) atau mendiagnosis merupakan suatu
proses sistematis yang terdiri dari tiga tahap yaitu, analisis data, identifikasi masalah, dan
perumusan diagnosis. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dengan nilai normal
juga dengan mengelompokkan data yang artinya tanda/gejala yang dianggap bermakna
dikelompokkan berdasarkan pola kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah identifikasi masalah,
setelah data dianalisis, perawat dan pasien bersama-sama mengidentifikasi masalah aktual.
Pernyataan masalah kesehatan merujuk ke label diagnosis keperawatan. Terakhir yaitu
perumusan diagnosis keperawatan yang disesuaikan dengan jenis diagnosis diagnosis
keperawatan. Metode penulisan pada diagnosis aktual terdiri dari masalah, penyebab, dan
tanda/gejala (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Penulisan diagnosis keperawatan yang diangkat adalah intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan mengeluh
lelah, frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat, dispnea saat/setelah aktivitas,
merasa tidak nyaman setelah beraktivitas, merasa lemah, tekanan darah berubah >20% dari
kondisi istirahat, sianosis (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Tanggal Diagnose keperawatan


Klien 1
15-05-2020 Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan Faktor Mekanis(penekanan pada
tonjolan tulang ) ditandai dengan adanya luka diarea punggung

Klien 2

23-05-2020 Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan suhu lingkungan yang ekstrim
ditandai dengan adanya luka dibagian extremitas bawah

2.1.11 Perencanaan
19
Perencanaan atau intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan. Klasifikasi intervensi keperawatan intoleransi aktivitas termasuk dalam kategori
fisiologis yang merupakan intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung fungsi fisik
dan regulasi homeostatis dan termasuk dalam subkategori aktivitas dan istirahat yang memuat
kelompok intervensi yang memulihkan fungsi muskuloskeletal, penggunaan energi serta
istirahat/tidur (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur
meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon
terhadap intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status diagnosis
keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan yang
terdiri dari indikator-indikator atau kriteria-kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis
luaran keperawatan yaitu luaran positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu
diturunkan) (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran keperawatan berupa
kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi (penilaian terhadap hasil yang diharapkan,
meningkat, menurun, atau membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur, dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian hasil intervensi, menggunakan skor 1-
3 pada pendokumentasian computer-based). Ekspetasi luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi
meningkat yang artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau tingkatan,
menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah maupun derajat atau tingkatan, membaik
artinya menimbulkan efek yang lebih baik, adekuat, atau efektif (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018).
Pemilihan luaran keperawatan tetap harus didasarkan pada penilaian klinis dengan
mempertimbangkan kondisi pasien, keluarga, kelompok, atau komunitas (Tim Pokja SLKI DPP
PPNI, 2018).
Intervensi keperawatan ini terdiri dari intervensi utama dan intervensi pendukung.
Intervensi utama dari diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas adalah manajemen energi dan
terapi aktivitas. Intervensi pendukung diantaranya
dukungan ambulasi, dukungan kepatuhan program pengobatan, dukungan meditasi, dukungan
pemeliharaan rumah, dukungan perawatan diri, dukungan spiritual, dukungan tidur, edukasi
latihan fisik, edukasi teknik ambulasi, edukasi pengukuran nadi radialis, manajemen aritmia,
manajemen lingkungan, manajemen medikasi, manajemen mood, manajemen program latihan,
pemantauan tanda vital, pemberian obat, pemberian obat inhalasi, pemberian obat intravena,
pemberian obat oral, penentuan tujuan bersama, promosi berat badan, promosi dukungan
keluarga, promosi latihan fisik, rehabilitasi jantung, rehabilitasi bantuan hewan, terapi musik.
Dalam setiap intervensi keperawatan yang dibuat terdapat rencana tindakan meliputi observasi,
terapeutik, edukasi, dan kolaborasi yang dijabarkan dalam tabel berikut (Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, 2018).

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Ny. N yang terdiagnosa Diabetes
Mellitus selama 3 x 24 jam dari tanggal 2 Juli sampai dengan 4 Juli 2018, penulis memperoleh
pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada Ny. N dengan diagnosa
Diabetes Mellitus dengan menerapkan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan evaluasi keperawatan
serta mendokumentasikannya dan mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
setiap proses keperawatan. Adapun keseimpulannya sebagai berikut :
1. Pengkajian
Metode yang digunakan dalam pengkajian adalah wawancara, observasi, pemeriksaaan
fisik dan studi dokumentasi. Pada saat pengkajian penulis memperoleh beberapa data
antara lain Pasien mengatakan lemas dan pusing. Pasien mengatakan nafsu makan
berkurang, pasien hanya habis setengah porsi dari diet RS. Pasien mengatakan
mempunyai riwayat penyakit DM sejak 3 tahun yang lalu. Pasien mengatakan pasien
kontrol rutin di puskesmas, namun pasien terkadang lupa untuk meminum obat rutinnya.
GDS 529 mg/dl. Data tersebut muncul berdasarkan kondisi pasien dan mempunyai
kesamaan dengan data dan teori
2. Diagnosa keperawatan
Pada pasien dengan diabetes mellitus didiagnosa Diabetes Mellitus didapatkan 3
diagnosa yang muncul berdasarkan kondisi pasien diantaranya adalah Defisit perawatan
diri berhubungan dengan kelemahan fisik, Risiko gangguan ketidakseimbangan kadar
glukosa dalam darah dengan factor risiko ketidak patuhan dalam pengobatan, Risiko
infeksi dengan factor risiko procedure invasive.
3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan sesuai teori dengan memperhatikan situasi dan kondisi pasien serta sarana
dan prasarana di rumah sakit. Prioritas masalah berdasarkan teori Hierarki Maslow,
sedangkan penentuan tujuan meliputi sasaran, kriteria waktu dan hsil dan rencana
tindakan keperawatan kasus ini berpedoman pada NANDA, NOC dan NIC. Dengan
menyesuaikan pada kondisi pasien. Dalam penyusunan perencanaan keperawatan
melibatkan pasien, keluarga dan tim kesehatan lain yang mencakup 4 elemen yaitu
observasi, tindakan keperawatan mandiri, pendidikan kesehatan dan tindakan kolaborasi.
4. Pelaksananaan keperawatan
Pelaksanaan dari 3 diagnosa keperawatan antara lain adalah Defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan fisik, Risiko ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah
dengan factor risiko ketidakpatuhandalam pengobatan, Risiko infeksi dengan factor
risiko procedure invasive dapat dilaksanakan sesuai rencana yang telah disusun dengan
21
adanya kerjasama yang baik dengan pasien, keluarga pasien, perawat ruangan dan tim
kesehatan lainnya.

5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dari hasil asuhan keperawatan yang dilaksankan selam 3 x 24 jam, dari ke 3
diagnosa keperawatan, meliputi Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
fisik, Risiko ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah dengan factor risiko
ketidakpatuhandalam pengobatan, Risiko infeksi dengan factor risiko procedure
invasive, ketiga diagnosa tersebut dapat teratasi.

6. Pendokumentasian
Pendokumentasian telah dilaksanakan sesuai dengan kronologis waktu dan kriteria
dalam format asuhan keperawatan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pada
tahap evaluasi penulis menggunakan metode SOAP: S : Subyektif, O : Obyek data, A :
Analisa, P : Planning.

Pendokumentasian dengan metode SOAP dilakukan setelah melakukan tindakan


keperawatan dengan mencantumkan tanggal, jam, nama dan tanda tangan.

Dalam pembuatan asuhan keperawatan penulis mendapatkan adanya faktor pendukung


maupun faktor penghambat. Faktor pendukung ialah adanya kerjasama yang baik antara
perawat dengan tim kesehatan lain terhadap penulis dan kerjasama pasien dengan
keluarga. Sedangkan faktor penghambat dalam pendokumentasian ialah
pendokumentasian perawat ruangan masih bersifat rutinitas dan belum memperhatikan
perkembangan status perkembangan pasien.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Diabetes Mellitus,
maka penulis ingin memberikan saran antara lain :
1. Bagi profesi keperawatan
Meningkatkan riset dalam bidang keperawatan medikal bedah agar pada saat
menentukan perencananaan sera pelaksanaan dalam pemberian asuhan keperawatan
lebih tepat dan lebih spesifik dengan melihat respon pasien dan keluarga pasien.
2. Bagi penulis
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan lebih cermat dalam mencari literatur
dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Sari. (2015). Diabetes Mellitus & Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Ernawati. (2013). Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Melitus Terpadu Dengan Penerapan

Teori Keperawatan Self Care Orem. Jakarta: Mitra Wacana Media.

International Diabetes Federation (IDF). (2014). Diabetes atlas. http://www.eatlas.sdf.org di

akses pada hari Kamis 29 November 2018

Kementrian Kesehatan RI. (2016). Data Sample Registration Survey tahun 2014. Bulletin

jendela data dan informasi kesehatan.

Najib Bustan, M. (2015). Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka

Cipta.

Novitasari, Retno. (2012). Diabetes Melitus Dilengkapi Senam DM. Yogyakarta: Nuha Medika.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). (2011). Konsesus pengelolaan dan

Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia. Jakarta

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price & Wilson. (2014). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2.

Jakarta: EGC

Purwanto, Hadi. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik Sdm Kesehatan

23
Nanda International (2015). Diagnosa keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-2016.

Jakarta: EGC

Riskesdas. (2013). Faktor Resiko Diabetes.

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin Di akses pada hari

Jumat tanggal 30 November 2018

24

Anda mungkin juga menyukai