Anda di halaman 1dari 65

apt. Ika Julianti Tambunan, S.Farm., M.Farm.

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
UNIVERSITAS TJUT NYAK DHIEN
MEDAN
 Obat masuk ke tubuh (oral, parenteral,
dermal atau cara lain)  mengalami proses
penyerapan, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.
 Selain proses diatas, kemungkinan:
- obat mengalami modifikasi fisika: 
melibatkan bentuk sediaan obat,
- dan modifikasi kimia,  melibatkan
perubahan struktur molekul obat, dapat
mempengaruhi respons biologis
Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika
dengan Proses Penyerapan, Distribusi
dan Ekskresi Obat

 Setelahdiserap, obat  ke cairan tubuh


 didistribusikan ke organ-organ dan
jaringan-jaringan (otot, lemak, jantung
dan hati).
 Sebelum mencapai reseptor, obat
melalui bermacam-macam sawar
membran, pengikatan oleh protein
plasma, penyimpanan dalam depo
jaringan dan mengalami metabolisme.
Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika
dengan Proses Penyerapan, Distribusi
dan Ekskresi Obat
 Permukaan sel hidup dikelilingi oleh cairan sel
yang bersifat polar.
 Molekul obat yang tidak terlarut dalam cairan
tsb tidak dapat diangkut secara efektif ke
permukaan reseptor  tidak dapat
menimbulkan respons biologis.
 Maka molekul obat memerlukan beberapa
modifikasi kimia dan enzimatik  dapat
terlarut, walaupun sedikit, dalam cairan luar
sel.
 Terpenting adalah harus ada molekul obat
yang tetap utuh atau dalam bentuk tidak
terdisosiasi pada waktu mencapai reseptor dan
jumlahnya cukup untuk  respons biologis.
Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika
dengan Proses Penyerapan, Distribusi
dan Ekskresi Obat

 Tiga fasa yang menentukan terjadinya


aktivitas biologis obat:
1. Fasa farmasetis,
2. Fasa farmakokinetik,
3. Fasa farmakodinamik,
 1. Fase farmasetis : proses pabrikasi, pengaturan
dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk
sediaan dan terlarutnya obat aktif.
Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk
dapat diserap ke tubuh.
 2. Fase farmakokinetik: proses penyerapan
(absorpsi), distribusi, metabolisme dan ekskresi obat
(ADME).
Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk 
jaringan sasaran atau reseptor  dapat menimbulkan
respons biologis.
 3. Fase farmakodinamik : fasa terjadinya interaksi
obat-reseptor dalam jaringan sasaran.
Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis
obat.
 Setelah obat bebas  kedalam peredaran
darah, kemungkinan mengalami proses-
proses sbb:
1. disimpan dalam depo jaringan.
2. terikat oleh protein plasma, terutama
albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas
berinteraksi dengan reseptor sel khas 
respons biologis.
4. obat mengalami metabolisme
Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur
kemungkinan :
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah
mengalami metabolism  senyawa aktif,
kemudian berinteraksi dengan reseptor 
respons biologis (bioaktivasi).
b. Obat aktif dimetabolisis  metabolit yang
lebih polar dan tidak aktif kemudian
diekskresikan (bioinaktivasi)
c. Obat aktif dimetabolisis menghasilkan
metabolit yang bersifat toksik (biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas lansung dieksresikan.
 Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya
sebagian kecil molekul obat yang tetap utuh dan
mencapai reseptor pada jaringan sasaran.
Sebagian besar obat akan berubah atau terikat
pada biopolimer. Tempat dimana obat berubah
atau terikat  tidak dapat mencapai reseptor
disebut sisi kehilangan (site of loss).
 Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-
depo penyimpanan, sistem enzim yang
menyebabkan perubahan metabolisme obat dari
bentuk aktif  bentuk tidak aktif, dan proses
ekresi obat, baik sebelum atau sesudah proses
metabolisme.
Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika
dengan Proses Penyerapan, Distribusi
dan Ekskresi Obat

 Distribusi obat pada reseptor dan sisi kehilangan


tergantung dari sifat kimia fisika molekul obat
(mis. kelarutan dalam lemak/air, derajat ionisasi,
kekuatan ikatan reseptor, kekuatan ikatan obat-
sisi kehilangan, dan sifat dari reseptor atau sisi
kehilangan).
 Depo penyimpanan (mis jaringan lemak, hati,
ginjal, dan otot) :adalah sisi kehilangan yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat
sebelum berinteraksi dengan reseptor.
 Ikatan obat-depo penyimpanan bersifat
terpulihkan (reversible), bila kadar obat dalam
darah menurun  obat dilepas kembali ke
cairan darah.
Cara pemberian obat :
melalui oral, sublingual, rectal, dan parenteral tertentu
(intradermal, intramuskuler, subkutan, intraperitonial)
melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda.
parenteral yang lain (intravena, intraarteri, intraspinal dan
intraserebral) tidak melibatkan proses penyerapan, obat
lansung masuk ke peredaran darah  menuju sisi reseptor
(receptor site).
Cara pemberian yang lain: secara inhalasi (hidung )dan secara
setempat (kulit atau mata).
Proses penyerapan  dasar penting dalam menentukan
aktivitas farmakologis obat. Kegagalan /kehilangan obat
selama proses penyerapan  mempengaruhi aktivitas obat
dan  kegagalan pengobatan.
 Pada pemberian secara oral, sebelum obat
 keperedaran darah dan didistribusikan
keseluruh tubuh, terlebih dahulu harus
mengalami proses penyerapan pada saluran
cerna.
 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses penyerapan obat pada saluran cerna
antara lain:
- bentuk sediaan,
- sifat kimia fisika,
- cara pemberian,
- faktor biologis dan
- faktor lain-lain.
a. Bentuk Sediaan
 Bentuk sediaan terutama  terhadap
kecepatan penyerapan obat, yang secara
tidak lansung  mempengaruhi
intensitas respons biologis obat.
 Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul,
suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan,
proses penyerapan obat  waktu yang
berbeda-beda dan jumlah ketersediaan
hayati kemungkinan juga berlainan.
Hubungan Struktur, Sifat Kimia-fisika
dengan Proses Penyerapan Obat

 Ukuran partikel juga  penyerapan obat.


Makin kecil ukuran partikel, luas
permukaan yang bersinggungan dengan
pelarut makin besar  kecepatan melarut
obat makin besar.
 Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan
pembantu (bahan pengisi, pelicin,
penghancur, pembasah dan emulgator) 
mempengaruhi waktu hancur dan melarut
obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap
kecepatan penyerapan obat.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
 Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau
hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi
kelarutan dan proses penyerapan obat.
 Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan
dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses penyerapan obat.

 Contoh:
 Penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah
melarut dibanding penisilin V bentuk basa.
 Novobiosin bentuk amorf lebih cepat melarut
dibanding bentuk kristal.
c. Faktor Biologis
 antara lain variasi keasaman (pH) saluran
cerna, sekresi cairan lambung, gerakan
saluran cerna, luas permukaan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan
waktu transit dalam usus, serta banyaknya
buluh darah pada tempat penyerapan.
d. Faktor Lain-lain
 antara lain umur, diet (makanan), adanya
interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.
 Penyerapan obat melalui saluran cerna terutama
tergantung pada ukuran partikel molekul obat,
kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.
 Obat yang bersifat basa lemah, seperti amin
aromatik (AR-NH2), aminopirin, asetanilid, kafein atau
kuinin, bila diberikan per oral, dalam lambung (pH
1- 3,5), sebagian besar menjadi bentuk ion (AR-
NH3+)  kelarutan dalam lemak sangat kecil  sukar
menembus membran lambung. Bentuk ion tsb
kemudian  ke usus halus (pH 5-8) dan berubah
menjadi bentuk molekul tidak terionisasi (AR-NH2).
Bentuk ini  kelarutan dalam lemak besar  mudah
terdifusi menembus membran usus.
Gambar 3. Distribusi teoritis senyawa amin aromatik
(Ar-NH2, pKa 4.0) dalam saluran cerna
 Asam lemah, (mis asam salisilat, asetosal,
fenobarbital, asam benzoat dan fenol) pada lambung
 terdapat dalam bentuk tidak terionisasi, yang
mudah larut dalam lemak  mudah menembus
membran lambung.
 Senyawa yang terionisasi sempurna, umumnya
bersifat asam atau basa kuat, mempunyai kelarutan
dalam lemak sangat rendah  sukar menembus
membran saluran cerna.
Contoh: asam sulfonat, prokainamid dan amonium
kuartener, spt heksametonium dan benzalkonium
klorida.
 Senyawa yang sangat sukar larut dalam air, spt
BaSO4, MgO dan Al(OH)3, juga tidak diserap oleh
saluran cerna.
Table 1. Perbandingan penyerapan beberapa obat yang
bersifat asam atau basa pada berbagai pH di lambung
dan usus halus.
Obat pKa % Penyerapan
Lambung tikus Usus halus tikus
pH 1 pH 8 pH 4 pH 8
Asam
Asam salisilat 3,0 61 13 64 10
Asetosal 3,5 35 - 41 -
Thiopental 7,6 46 34 - -
Fenol 9,9 40 40 - -
Asam benzoat 4,2 - - 62 5
Asam sulfonat - 0 0 0 0
Basa
Anilin 4,6 6 56 40 61
p- toluidin 5,3 0 47 30 64
Aminopirin 5,0 - - 21 52
Kuinin 8,4 - 18 9 54
Prokainamid 9,24 0 0 0 0
Kelarutan obat dalam lemak  salah satu sifat
fisik yang mempengaruhi penyerapan obat ke
membran biologis. Makin besar kelarutan
dalam lemak makin tinggi pula derajat
penyerapan obat ke membran biologis.
Hal ini dapat digambarkan pada Tabel 2, yang
menunjukkan hubungan antara kelarutan
beberapa senyawa dalam lemak (koefisien
partisi kloroform/air) dan %penyerapan
melalui membran biologis (dinding usus).
Tabel 2: Hubungan koefisien partisi kloroform/air (P)dan
%penyerapan bentuk tak terionisasi beberapa senyawa
asam dan basa.

Nama Obat P*) %Penyerapan


Thiopental 100 67
Aniline 26,4 54
Asetanilid 7,6 43
Asetosal 2,0 21
Asam
0,008 5
barbiturate
Manitol <0,002 <2
Keterangan:
*) P= koefisien partisi kloroform/air, penentuan dilakukan pada pH,
dimana obat dalam bentuk tidak terionisasi paling besar.
 Bila suatu obat diberikan pada mata, sebagian
diserap melalui membran konjungtiva dan sebagian
lagi melalui kornea.
 Kecepatan penetrasi tergantung pada derajat
ionisasi dan kofisien partisi obat.
 Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah larut
dalam lemak cepat diserap oleh membran mata.
 Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih
cepat dalam suasana asam  dalam suasana tsb
bentuk tidak terionisasinya besar  mudah
menembus membran mata.
 Obat yang bersifat basa lemah penetrasi lebih
cepat dalam suasana basa.
 Obat anestesi sistemik  inhalasi akan
diserap melalui epitel paru dan membran
mukosa saluran napas. Karena mempunyai
luas permukaan besar  penyerapan
melalui buluh darah paru berjalan cepat.
 Penyerapan obat melalui paru tergantung
pada:
a. Kadar obat dalam alveoli
b. Koefisien partisi gas/darah
c. Kecepatan aliran darah paru
d. Ukuran partikel obat.
 Penggunaan obat pada kulit : ditujukan
untuk memperoleh efek setempat.
 Pada waktu ini sedang dikembangkan
bentuk sediaan obat yang digunakan
melalui kulit dengan tujuan untuk
mendapatkan efek sistemik.
 Penyerapan obat melalui kulit sangat
tergantung pada kelarutan obat dalam
lemak karena epidermis kulit juga
berfungsi sebagai membran bilogis.
 Setelah masuk ke peredaran sistemik,
molekul obat secara serentak
diditrisbusikan keseluruh jaringan dan
organ tubuh.
 Melalui proses distribusi ini molekul obat
aktif mencapai jaringan sasaran atau
reseptor obat.
 Proses distribusi dan eliminasi obat
berlansung secara bersamaan dan pada
umumnya proses distribusi obat lebih cepat
dibanding proses eliminasi.
Kecepatan dan besar distribusi obat dalam
tubuh bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor sbb:
a. Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan
dalam lemak.
b. Sifat membran biologis
c. Kecepatan distribusi aliran darah pada
jaringan dan organ tubuh.
d. Ikatan obat dengan sisi kehilangan.
e. Adanya pengangkutan aktif dari bbrp
obat.
f. Massa atau volume jaringan.
1. Struktur Membran Biologis
Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang
berfungsi:
- untuk memelihara keutuhan sel,
- mengatur pemindahan makanan dan produk yang
terbuang dan
- mengatur keluar masuknya senyawa-senyawa dari
dan ke sitoplasma.
 Membran sel bersifat semipermeabel dan
mempunyai ketebalan total ± 8 nm
 Membran sel merupakan bagian sel yang
mengandung komponen-komponen terorganisasi
dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara
khas.
 Struktur membran biologis sangat kompleks dan 
mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat.
 Sesudah pemberian secara oral, obat harus
melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem
peredaran tertentu, melewati membran kapiler
menuju sel-sel organ atau reseptor obat.
 Bila bekerja pada m.o yang pathogen, obat harus
menembus membran sel m.o untuk
menghasilkan aktivitas yang diinginkan.
 Membran biologis mempunyai dua fungsi utama,
yaitu:
1. Sebagai sawar (barrier) dengan sifat
permeabilitas yang khas.
2. sebagai tempat untuk reaksi biotransformasi
energy.
a. Komponen membran sel
1. Lapisan lemak biomolekul
2. Protein
3. Mukopolisakarida

 Lapisan lemak biomolekul


 Tebal 35 Å, mengandung kolesterol netral dan
fosfolipid terionkan ( t.d fosfat dietanolamin,
fosfatidilkolin, fosfatidilserin dan spingomielin)
 Berdasarkan sifat kepolaran lapisan ini dibagi 2,
bgn nonpolar (t.d rantai hidrokarbon) dan bgn
polar (t.d ggs hidroksil kolesterol dan ggs
gliserilfosfat fosfolipid)
 Protein
 Bentuk bervariasi, ada yang besar dengan BM ±
300.000 dan ada yang sgt kecil. Protein bersifat
ampifil krn mengandung gugus hidrofil dan
hidrofob.
 Mukopolisakarida
 Jumlahnya pd membran biologis kecil dan
strukturnya tidak dalam keadaan bebas tp dalam
bentuk kombinasi dengan lemak (mis. Glikolipid)
atau dengan protein (mis glikoprotein).
 Berperan utk pengenalan sel dan interaksi dengan
antigen-antibodi.
 Membran sel mempunyai pori yang
bergaris tengah 3,5 – 4,2 Å, merupakan
saluran berisi air dan dikelilingi oleh
rantai samping molekul protein yang
bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati
pori ini secara difusi karena kekuatan
tekanan darah.
Umumnya obat menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi
dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika
obat dan sifat membran biologis.
Proses difusi dibagi:
a. Difusi pasif
1. difusi pasif melalui pori
2. difusi pasif dengan cara melarut pada lemak
penyusun membran.
3. difusi pasif dengan fasilitas
b. Difusi aktif
1. sistem pengangkutan aktif
2. pinositosis
a. Difusi Pasif
1. Difusi Pasif melalui Pori.
Membran sel mempunyai pori dengan garis
tengah sekitar 4 Å dan dapat dilewati secara
difusi oleh molekul yang bersifat hidrofil,
molekul dengan garis tengah <4 Å dan
molekul dengan jumlah atom C < 3 atau
berat molekul <150.
Kecepatan difusi obat tergantung pada
ukuran pori, ukuran molekul obat dan
perbedaan kadar antar membran.
 Sel glomerolus kapsula Bowman ginjal
mempunyai membran karaktristik,
dengan pori > dibanding pori membran
biologis lain. Pori tsb dapat dilewati oleh
molekul obat dengan garis tengah ± 40 Å
dan molekul protein dengan BM sampai
5000.
 Sebagian besar molekul obat
mempunyai garis tengah lebih besar 4 Å
 cara penyaringan ini kurang penting
dalam mekanisme pengangkutan obat.
2. Difusi Pasif dengan Cara Melarut
pada Lemak Penyusun Membran
 Overton (1901),  konsep bahwa
kelarutan senyawa organic dalam lemak
berhubungan dengan mudah atau
tidaknya penembusan membran sel.
 Senyawa nonpolar: mudah larut dalam
lemak, mempunyai harga koefisien
partisi lemak/air besar  mudah
menembus membran sel secara difusi.
Gambar 7. Hubungan koefisien partisi CHCl3/air (P) terhadap
penyerapan bentuk tak terionisasi beberapa obat turunan
barbiturate.

Pada Gambar terlihat makin


besar nilai koefisien partisi
kloroform/air dari bentuk tak
terionisasi obat, makin besar
%tase obat yang diserap.
 Obat modern sebagian besar bersifat
elektrolit lemah (asam atau basa lemah),
dan derajat ionisasinya ditentukan oleh nilai
pKa dan suasana pH.
 Hubungan antara pKa dengan fraksi obat
terionisasi dan yang tidak terionisasi dari
obat yang bersifat asam dan basa lemah,
dapat dinyatakan melalui persamaan
Henderson-Hasselbalch sbb:
Untuk asam lemah: [conj. basa]
pH  pKa  log
[asam]
Difusi pasif

Berapakah perbandingan efedrin terhadap efedrin


HCl (pKa 9,6) dalam usus pada pH 8,0.
Jawab:
efedrin HCl  efedrin (conj. Basa)
Rumus:
pH = pKa + log [efedrin]/[efedrinHCl]
8,0 = 9,6 + log [efedrin]/[efedrinHCl]
-1,6 = log [efedrin]/[efedrinHCl]
[efedrin]/[efedrinHCl] = 0,025
Berarti ada 25 bgn efedrin untuk setiap 1000 bgn
efedrin HCl didalam usus yang pH nya 8,0.
3. Difusi Pasif dengan Fasilitas
 Kadang-kadang beberapa bahan obat yang
mempunyai garis tengah > 4Å, dapat melewati
membran sel karena ada tekanan osmosa, yang
disebabkan oleh perbedaan kadar antar membran.
 Pengangkutan ini berlansung dari daerah dengan
kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih
rendah dan berhenti setelah mencapai
keseimbangan.
 Gerakan ini tidak memerlukan energy dan terjadi
secara spontan.
 Membran sel  permeable terhadap senyawa polar
tertentu. Kecepatan penetrasinya 10 -10.000 kali >
dibanding kelarutan dalam lemak. Disini terjadi
suatu mekanisme khusus yang dapat dijelaskan
dengan teori pembawa membran.
Teori pembawa membran : Diduga molekul
obat membentuk kompleks dengan suatu
molekul pembawa dalam membran, yang
bersifat mudah larut dalam lemak,  mudah
bergerak menembus membran.
Pada sisi membran yang lain (sisi 2),
kompleks akan terurai melepas molekul
obat dan molekul pembawa bebas kembali
ketempat semula, berinteraksi lagi dengan
molekul obat yang lain, demikian
seterusnya  suatu keadaan
keseimbangan.
 Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang
muatannya berlawanan dengan muatan
molekul obat.
 Penembusan obat kedalam membran
biologis dapat berjalan dengan cepat bila
ada katalisator enzim dan ukuran bentuk
kompleks cukup kecil.
 Contoh difusi pasif dengan fasilitas adalah
penetrasi gula, misal glukosa, asam amino,
gliserin, urea dan ion Cl kemembran sel
darah merah.
b. Difusi aktif
1. Sistem Pengangkutan Aktif
Sistem pengangkutan aktif atau transport aktif,
mirip dengan proses difusi pasif dengan fasilitas
yaitu sama-sama berdasarkan teori pembawa
membran.
Perbedaan adalah:
 Pengangkutan obat dapat berjalan dari daerah
berkadar rendah ke daerah yang berkadar lebih
tinggi, jadi tidak tergantung pada perbedaan
kadar antar membran.
 Pengangkutan tsb memerlukan energy, yang
berasal dari adenosine trifosfat (ATP).
 Reaksi pembentukan kompleks obat-pembawa
memerlukan afinitas.
Contoh pengangkutan aktif:
a. Sekresi H+ dari lambung
b. Pelepasan Na+ dari sel saraf dan otot
c. Penyerapan kembali glukosa dalam
tubulus renalis
d. Pengangkutan aktif K+ dan Na+ dari sel
darah merah
e. Pengangkutan aktif obat, contoh:
pengangkutan penisilin ke tubulus
renalis.
2. Pinositosis
 Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan
aktif dari obat yang mempunyai ukuran molekul
besar dan misel-misel, seperti lemak, amilum,
gliserin, vitamin A, D, E dan K.
 Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem
fagositosis pada bakteri. Bila membran sel
didekati oleh molekul obat, membran akan
membentuk rongga yang mengelilingi molekul
obat dan kemudian obat bergerak menembus
membran sel.
 Mekanisme pinositosis ini berjalan sangat pelan
 dipandang kurang penting sebagai suatu
proses penembusan obat ke membran sel.
 Semua molekul organic asing yang masuk ke tubuh,
kemungkinan besar berikatan dengan konstituen
jaringan atau biopolymer seperti protein, lemak,
asam nukleat, mukopolisakarida, enzim
biotransformasi dan reseptor.
 Pengikatan obat-biopolimer dipengaruhi oleh
bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan
ruang dari gugus-gugus fungsional. Besar dan tipe
interaksi obat-biopolimer tergantung pada sifat
kimia fisika molekul obat dan karakteristik
biopolymer.
 Molekul obat berinteraksi dengan lebih dari satu
biopolymer yang berada dalam cairan luar sel,
membran sel dan cairan dalam sel. Interaksi obat-
polimer mempengaruhi awal kerja, masa kerja obat
dan besar efek biologis yang ditimbulkannya.
Sebagian besar obat diekresikan keluar tubuh melalui paru,
ginjal, empedu atau hati, sebagian kecil dengan kadar yang
rendah dieksresikan melalui air liur dan air susu.
1. Eksresi Obat melalui Paru
 Obat yang dieksresikan melalui paru terutama adalah obat
yang digunakan secara inhalasi (mis. siklopropan, etilen,
nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan enfluran).
 Sifat fisik yang menentukan kecepatan eksresi obat melalui
paru adalah koefisien partisi darah/udara.
 Obat yang mempunyai koef. partisi darah/udara kecil (mis.
siklopropan dan nitrogen oksida), diekresikan dengan
cepat, sedang obat dengan koef. partisi darah/udara besar
(mis. eter dan halotan), dieksresikan lebih lambat.
2. Eksresi Obat melalui Ginjal
 Salah satu jalan terbesar untuk eksresi
obat adalah melalui ginjal. Ekresi obat
melalui ginjal melibatkan tiga proses,
yaitu:
a. Penyaringan Glomerolus
b. Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus
Ginjal
c. Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

a. Penyaringan Glomerolus
 Ginjal menerima ± 20 – 25% cairan tubuh
dari curah jantung atau 1,2 – 1,5 liter darah
per menit dan ± 10% disaring melalui
glomerolus.
 Membran glomerolus mempunyai pori
karakteristik sehingga dapat dilewati oleh
molekul obat dengan garis tengah ± 40 Å,
berat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat
yang mudah larut dalam cairan plasma atau
obat yang bersifat hidrofil.
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

b. Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus


Ginjal
 Sebagian besar obat diserap kembali dalam tubulus
ginjal  proses difusi pasif.
 Penyerapan kembali molekul obat ke membran
tubulus tergantung pada sifat kimia fisika, seperti
ukuran molekul dan koefisien partisi lemak/air.
 Obat yang bersifat polar sukar larut dalam lemak
dan tidak diserap kembali oleh membran tubulus.
 Penyerapan kembali pada tubulus ginjal sangat
tergantung padapH urin. Obat yang bersifat
elektrolit lemah pada urin normal, pH 4,8 – 7,5,
sebagian besar  dalam bentuk tidak terdisosiasi
dan mudah larut dalam lemak  mudah diserap
kembali oleh tubulus ginjal.
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

 Obat yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat,


fenobarbital, nitrofurantoin, asam nalidiksat, asam benzoate
dan sulfonamide, eksresinya meningkat bila pH urin dibuat
basa dan menurun bila pH urin dibuat asam.
 Contoh: t1/2 biologis sulfaetidol yang bersifat asam lemah
pada pH urin = 5 adalah 11,5 jam, sedang pada pH urin = 8,
t1/2 nya menurun menjadi 4,2 jam.
 Obat yang bersifat basa lemah, eksresinya meningkat bila
pH urin dibuat asam dan menurun bila pH urin dibuat basa.
 Contoh obat basa lemah a.l, kuinakrin, klorokuin, nikotin,
prokain, meperidin, kuinin, amfetamin, imipramin,
amitriptilin dan antihistamin.
 Asam kuat: dengan pKa < 2,5 dan basa kuat: pKa >12,
terionisasi sempurna pada pH urin  sekresinya tidak
terpengaruh oleh perubahan pH urin.
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

c. Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal


 Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin
melalui membran tubulus ginjal dengan mekanisme
pengangkutan aktif.
 Contoh:
 Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti
asam salisilat, penisilin, probenesid, diuretika
turunan tiazida, asam aminohipurat, konjugat sulfat,
konjugat asam glukuronat, indometasin,
klorpropamid dan furosemid.
 Bentuk terionisasi obat yang bersifat basa, seperti
morfin, kuinin, meperidin, prokain, histamine, tiamin,
dopamine dan turunan ammonium kuarterner.
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

3. Eksresi Obat melalui Empedu

 Obat dengan BM < 150 dan obat yang telah dimetabolisis 


senyawa yang lebih polar, dapat dieksresikan dari hati, melewati
empedu  ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif.
 Obat tsb biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam
glukuronat, asam sulfat, atau glisin.
 Di usus bentuk konjugat tsb secara lansung dieksresikan melalui
tinja atau mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri
usus  senyawa yang bersifat nonpolar  diserap kembali ke
plasma darah.
 Dari plasma senyawa akan kembali kehati, dimetabolisis,
dikeluarkan lagi melalui empedu  ke usus, demikian seterusnya
 merupakan suatu siklus (enterohepatik). Siklus ini
menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
Hubungan Struktur, Sifat Kim-fis
dengan proses Ekresi Obat

 Contoh obat yang mengalami proses


siklus enterohepatik a.l. Adalah: hormone
estrogen, indometasin, digitoksin dan
fenolftalein,
 Sedang obat yang lansung dieksresikan
melalui empedu melalui mekanisme
pengangkutan aktif a.l adalah: penisilin,
rifampisin, streptomisin, tetrasiklin,
hormone steroid dan glikosida jantung.

Anda mungkin juga menyukai