Anda di halaman 1dari 14

KIMIA MEDISINAL

Referensi:
1. Siswandono dan Soekarjo. B, 2000, Kimia Medisinal.
2. John M. Beale and John H. Block, 2011. Wilson and Gisvold’s Textbook of ORGANIC MEDICINAL AND
PHARMACEUTICAL CHEMISTRY. 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
3. Lemke, T.L. and Williams, D. A., 2008, Foye’s Principles of Medicinal Chemistry. Sixth Edition.
Lippincot Williams & Wilkins
4. Thomas, G.,2007, Medicinal Chemistry An Introduction, Second Edition. John Wiley and Sons, Ltd.
5. Thomas Nogrady and Donald F. Weaver, 2005. Medicinal Chemistry: A Molecular and Biochemical
Approach, Third Edition. Oxford University Press, Inc.
6. Brunton, L, L, 2011, Goodman & Gilman’s The Pharmacological basis of Therapeutics, twelfth Edition

PROSES PENYERAPAN, DISTRIBUSI DAN EKSKRESI OBAT


Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu, misal melalui oral, parenteral, dermal atau cara lain.
Obat mengalami proses penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Selain proses diatas,
kemungkinan ohat mengalami modifikasi fisika, yang melibatkan bentuk sediaan obat, dan
modifikasi kimia, yang melibatkan perubahan struktur molekul obat, dapat mempengaruhi respons
biologis.
Setelah diserap, obat masuk ke cairan tubuh dan didistribusikan ke organ-organ dan jaringan-
jaringan, seperti otot, lemak, jantung dan hati. Sebelum mencapai reseptor, obat melalui bermacam-
macam sawar membran, pengikatan oleh protein plasma, penyimpanan dalam depo jaringan dan
mengalami metabolisme.
Permukaan sel hidup dikelilingi oleh cairan sel yang bersifat polar. Molekul obat yang tidak
terlarut dalam cairan tsb tidak dapat diangkut secara efektif ke permukaan reseptor sehingga tidak
dapat menimbulkan respons biologis. Oleh karena itu molekul obat memerlukan beberapa
modifikasi kimia dan enzimatik agar dapat terlarut, walaupun sedikit, dalam cairan luar sel.
Terpenting adalah harus ada molekul obat yang tetap utuh atau dalam bentuk tidak terdisosiasi pada
waktu mencapai reseptor dan jumlahnya cukup untuk menimbulkan respons biologis.
Proses penyerapan dan distrihusi ohat dapat dijelaskan dengan bagan seperti yang terlihat pada
gambar 1 dibawah ini.

1
Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah :
1. Fasa farmasetis, yang meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,
pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat
untuk dapat diserap ke tuhuh.
Fase farmasetis adalah waktu dari titik pemberian molekul obat sampai diserap ke
dalam sirkulasi tubuh. Untuk obat-obat yang diberikan secara oral, fase farmasetis dimulai di mulut
dan berakhir saat obat diserap di dinding usus. Obat dapat diberikan secara "sistemik", yang
melibatkan obat yang memasuki aliran darah dan didistribusikan ke seluruh keseluruhan tubuh, atau
"lokal", yang melibatkan daerah patologi spesifik lokasi patologi. Administrasi sistemik dapat
dicapai dengan rute berikut: (1) langsung ke saluran gastrointestinal (biasanya secara oral, kadang-
kadang rektum); (2) secara parenteral, menggunakan injeksi intravena, subkutan, intramuskular, atau
intra-arterial (jarang); (3) topikal, dimana obat dioleskan ke kulit dan diserap transdermal ke dalam
tubuh untuk didistribusikan secara luas melalui aliran darah; atau (4) dengan menghirup langsung ke
paru-paru.
Pada pemberian secara oral yang dimulai dari mulut (titik pemberian pertama) ke reseptor
obat, molekul obat mengalami berbagai kemungkinan serangan terhadap integritas struktur kimianya.
Serangan ini dimulai di mulut dimana air liur mengandung enzim pencernaan seperti ptyalin atau α-
amilase saliva. Molekul obat selanjutnya memasuki lambung (pH 1,8-2,2), dan juga berbagai enzim
pepsin. Dalam kondisi asam seperti itu, gugus fungsional tertentu, seperti ester, rentan terhadap
hidrolisis. Dari lambung, molekul obat secara berurutan memasuki tiga bagian usus halus:
duodenum, jejunum, dan ileum. Dalam usus halus, pH dialkalinisasi menjadi 7,8-8,4, dan molekul
obat menghadapi enzim-enzim intestinal dan enzim-enzim pankreas termasuk peptidase, elastase,
lipase, amilase, laktase, sucrase, fosfolipase, ribonuklease, dan deoksiribonuklease.
Fase farmasetis juga mencakup proses penyerapan obat dari saluran pencernaan ke cairan
tubuh. Secara umum, penyerapan molekul obat sedikit terjadi di lambung karena luas permukaannya
relatif kecil. Penyerapan berlangsung terutama dari usus dimana luas permukaannya sangat luas
dengan adanya banyak villi, lipatan kecil di permukaan usus. Penyerapan obat melintasi lapisan
gastrointestinal (yang dapat dianggap sebagai lipid barrier) terjadi terutama melalui difusi pasif.
Dengan demikian, molekul obat harus sebagian besar tidak terionisasi pada pH usus untuk mencapai
sifat difusi / penyerapan yang optimal. Penyerapan yang paling signifikan terjadi dengan obat-obatan
basa lemah, karena bersifat netral pada pH usus. Sebaliknya, obat-obat yang bersifat asam lemah,
kurang diserap dengan baik karena cenderung menjadi tidak terionisasi di lambung dibbandingkan di
usus. Akibatnya, obat-obatan basa yang lemah memiliki kemungkinan terbesar diserap melalui difusi
pasif dari saluran gastrointestinal.

2. Fasa farmakokinetik, yang meliputi proses penyerapan (absorpsi), distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan
sasaran atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
Setelah molekul obat dilepaskan dari formulasinya, ia memasuki fase farmakokinetik. Fase
ini mencakup durasi waktu dari titik penyerapan obat ke dalam tubuh sampai mencapai lingkungan
mikro di lokasi reseptor. Selama fase farmakokinetik, obat diangkut ke organ targetnya dan ke setiap
organ lain di tubuh. Sebenarnya, setelah diserap ke dalam aliran darah, obat tersebut cepat diangkut
ke seluruh tubuh dan akan sampai ke setiap organ dalam tubuh dalam waktu empat menit. Karena
obat ini didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, hanya sebagian kecil senyawa yang diberikan
pada akhirnya mencapai organ target yang diinginkan.5
Selain itu saat diangkut dalam darah, molekul obat dapat terikat pada protein darah. Tingkat
pengikatan protein sangat bervariasi. Obat yang sangat lipofilik tidak larut dengan baik dalam serum
(berair) dan dengan demikian akan sangat terikat kuat dengan protein. Jika seseorang mengkonsumsi
lebih dari satu obat, berbagai obat mungkin bersaing satu sama lain untuk tempat pada serum protein.

2
Albumin serum manusia (HSA) adalah salah satu protein yang biasanya terlibat dalam transportasi
obat.
Selama proses pengangkutan ini, obat tersebut terekspos transformasi metabolik yang
secara kimiawi mengubah integritas struktur kimianya. Proses metabolisme ini kemungkinan besar
terjadi selama perjalanan melalui hati. Sebenarnya, beberapa molekul obat benar-benar berubah
menjadi metabolit in-aktif secara biologis selama lintas pertama melalui hati; Inilah yang disebut
efek lintas pertama. Efek lintas pertama yang lengkap membuat molekul obat tidak berguna karena
secara metabolik berubah menjadi bentuk yang tidak aktif sebelum mencapai lokasi reseptor yang
mungkin. Salah satu metode untuk mengurangi efek lintas pertama adalah mengelola obat secara
sublingual sehingga diserap di bawah lidah dan memiliki kesempatan untuk menghindari lintas awal
melalui hati. Lihat gambar 1.3 untuk rincian anatomis dari tiga fase yang harus dilalui oleh obat
dalam melakukan perjalanan ke tempat kerjanya.

Seperti hati, ginjal adalah sistem organ lain yang dapat mempengaruhi keefektifan molekul
obat selama fase farmakokinetik. Molekul-molekul kecil, hidrofilik, dan sangat polar (mis., Sulfonat,
fosfonat) memiliki kemungkinan yang signifikan untuk diekskresikan dengan cepat melalui sistem
ginjal. Molekul semacam itu memiliki waktu paruh pendek (periode waktu di mana separoh dari
molekul obat diekskresikan). Waktu paruh yang pendek mengurangi keefektifan molekul obat karena
memperpendek durasi waktu yang tersedia untuk obat untuk distribusi dan pengikatan ke
reseptornya.
Hambatan terakhir terhadap efektivitas molekul obat selama fase farmakokinetik adalah
adanya barrier. Untuk mencapai organ targetnya, molekul obat harus melintasi berbagai membran
dan barrier. Hal ini terutama berlaku jika obat tersebut ditujukan untuk masuk ke otak, yang dijaga
oleh sawar darah-otak. Sawar darah-otak bisa dimanfaatkan untuk keperluan desain obat. Molekul
bisa didesain untuk tidak melewati sawar ini. Fitur perancangan ini sangat diinginkan jika seseorang
ingin mengembangkan molekul obat untuk indikasi non-neurologis yang tidak memiliki efek
samping neurologis.
Di sisi lain, keberadaan sawar darah-otak harus secara eksplisit dipertimbangkan saat merancang
obat untuk indikasi neurologis. Sawar lain yang sangat relevan adalah sawar ibu-plasenta. Ini harus
diperhatikan saat merancang obat untuk wanita usia subur. Sawar ibu-plasenta adalah sawar lipid

3
seperti sawar darah-otak dan kebanyakan obat yang dirancang untuk masuk ke otak juga akan
melintasi sawar ibu-plasenta.

3. Fasa farmakodinamik, yaitu fasa terjadinya interaksi ohat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa
ini berperan dalam timbulnya respons biologis obat.
Setelah molekul obat telah melampaui/mengatasi sawar fase farmakokinetik dan telah
didistribusikan ke seluruh tubuh, akhirnya mencapai lingkungan mikro dari reseptor di mana efek
biologisnya akan diberikan. Begitu molekul obat telah memasuki wilayah reseptornya, ia berada
dalam fase farmakodinamik. Selama fase ini, molekul berikatan dengan reseptornya melalui saling
melengkapi geometri molekulnya. Gugus-gugus fungsional dari molekul obat berinteraksi dengan
gugus-gugus fungsional yang sesuai dari makromolekul reseptor melalui berbagai interaksi,
termasuk ikatan ion-ion, ion-dipol, dipol-dipol, aromatik-aromatik, dan ikatan hidrogen. Pengikatan
molekul obat ke reseptornya memungkinkan terjadi respons biologis yang diinginkan.

4
Setelah obat bebas masuk kedalam peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-proses sbb:
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan menimbulkan
respons biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolism akan menghasilkan
senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis
(bioaktivasi).
b. Obat aktif dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif kemudian
diekskresikan (bioinaktivasi)
c. Obat aktif dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik (biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas lansung dieksresikan.

Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang tetap utuh dan
mencapai reseptor pada jaringan sasaran (target). Sebagian besar obat akan berubah atau terikat pada
biopolimer. Tempat dimana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat mencapai reseptor disebut
sisi kehilangan (site of loss). Distribusi obat pada reseptor dan sisi kehilangan tergantung dari sifat
kimia fisika molekul obat, seperti kelarutan dalam lemak/air, derajat ionisasi, kekuatan ikatan
reseptor, kekuatan ikatan obat-sisi kehilangan, dan sifat dari reseptor atau sisi kehilangan.
Contoh sisi kehilagan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang menyebabkan
perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak aktif, dan proses ekresi obat,
baik sebelum atau sesudah proses metabolisme.
Depo penyimpanan adalah sisi kehilangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat sebelum
berinteraksi dengan reseptor. Ikatan obat-depo penyimpanan bersifat terpulihkan (reversible), bila
kadar obat dalam darah menurun maka obat dilepas kembali ke cairan darah. Contoh depo
penyimpanan: jaringan lemak, hati, ginjal, dan otot.

A. PROSES PENYERAPAN OBAT.

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rectal (dubur), dan parenteral
tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskuler, subkutan, intraperitonial, melibatkan proses
penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui
intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral, tidak melibatkan proses penyerapan, obat lansung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site). Cara pemberian yang
lain adalah secara inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi aktivitas obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan.

1. Penyerapan Obat melalui Saluran Cerna


Pemberian secara Oral
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk keperedaran darah dan didistribusikan keseluruh
tubuh, terlebih dahulu harus mengalami proses penyerapan pada saluran cerna. Maka obat harus
berada dalam larutan untuk melewati mukosa saluran cerna. Kemampuan obat untuk larut
diatur/dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk struktur kimianya, variasi ukuran partikel dan
luas permukaan partikel, sifat bentuk kristal, jenis coating tablet, dan jenis matriks tablet. Dengan
memvariasikan bentuk sediaan dan karakteristik fisik obat, memungkin untuk membuat obat larut
dengan cepat atau lambat. Contohnya adalah natrium fenitoin yang diberikan secara oral, dengan
variasi bentuk kristal dan bahan pembantu tablet secara signifikan dapat mengubah ketersediaan

5
hayati obat ini yang banyak digunakan dalam pengobatan epilepsi. Modifikasi kimiawi juga
digunakan sampai batas tertentu untuk memfasilitasi obat mencapai target yang diinginkan.
Contohnya adalah olsalazine, digunakan dalam pengobatan kolitis ulserativa. Obat ini adalah
dimer dari mesalamine yang aktif secara farmakologis (asam 5-aminosalisilat). Mesalamine tidak
efektif secara oral karena dimetabolisme menjadi bentuk tidak aktif sebelum mencapai usus besar.
Bentuk dimer melewati sebagian besar saluran usus sebelum dibelah oleh bakteri usus menjadi
dua ekuivalen mesalamine.

Seperti yang diilustrasikan oleh olsalazine, setiap senyawa yang melewati saluran pencernaan akan
bertemu dengan enzim pencernaan dan bakteri dalam jumlah besar dan beragam, yang, secara
teori, dapat mendegradasi molekul obat. Dalam praktiknya, entitas obat baru yang sedang
diselidiki kemungkinan besar akan dikeluarkan dari pertimbangan lebih lanjut jika tidak dapat
bertahan di saluran usus atau ketersediaan hayati oral rendah, hanya memerlukan bentuk sediaan
parenteral. Sebaliknya, enzim pencernaan yang sama ini dapat dimanfaatkan untuk keuntungan.
Kloramfenikol cukup larut dalam air (2,5 mg / mL) untuk bersentuhan dengan reseptor rasa di
lidah, menghasilkan rasa pahit yang tidak enak. Untuk menutupi rasa pahit yang intens ini, bagian
asam palmitat ditambahkan sebagai ester alkohol primer kloramfenikol. Ini mengurangi kelarutan
air obat induk (1,05 mg / mL), cukup sehingga dapat diformulasikan sebagai suspensi yang
melewati reseptor rasa pahit di lidah. Begitu berada di saluran usus, linkage ester dihidrolisis oleh
esterase pencernaan ke kloramfenikol antibiotik aktif dan asam palmitat asam lemak makanan
yang sangat umum.

Olsalazine dan chloramphenicol palmitate adalah contoh prodrugs. Kebanyakan prodrugs


adalah senyawa yang tidak aktif dalam bentuk aslinya tetapi mudah dimetabolisme menjadi agen
aktif. Olsalazine dan chloramphenicol palmitate merupakan contoh prodrug yang dibelah
menjadi senyawa yang lebih kecil, salah satunya adalah obat aktif. Lainnya adalah prekursor
metabolik ke bentuk aktif. Contoh dari jenis prodrug ini adalah menadione, naphthoquinone
sederhana yang diubah di hati menjadi phytonadione (vitamin K2 (20))

Kadang-kadang, pendekatan prodrug digunakan untuk meningkatkan absorpsi obat yang diserap
dengan buruk dari saluran gastrointestinal. Enalapril adalah etil ester dari asam enalaprilic,
penghambat aktif angiotensinconverting enzyme (ACE). Prodrug ester jauh lebih mudah diserap
secara oral daripada asam karboksilat yang aktif secara farmakologis.

6
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat pada saluran cerna antara lain
adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat, yang secara tidak
lansung dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul,
suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan, proses penyerapan obat memerlukan waktu yang berbeda-
beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi
kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam
lemak/air dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses penyerapan obat.
Contoh: 1. Penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah melarut dibanding penisilin V bentuk
basa; 2. Novobiosin bentuk amorf lebih cepat melarut dibanding bentuk kristal.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor bilogis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain variasi
keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, luas permukaan
saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh
darah pada tempat penyerapan.
d. Faktor Lain-lain
Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah umur, diet
(makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.

Obat yang bersifat basa lemah, seperti amin aromatik (AR-NH2), aminopirin, asetanilid,
kafein atau kuinin, bila diberikan melalui oral, dalam lambung yang bersifat asam (pH 1- 3,5),
sebagian besar menjadi bentuk ion (AR-NH3+) yang mempunyai kelarutan dalam lemak sangat kecil
sehingga sukar menembus membran lambung. Bentuk ion tsb kemudian masuk ke usus halus yang
bersifat agak basa (pH 5-8) dan berubah menjadi bentuk molekul tidak terionisasi (AR-NH2). Bentuk
ini mempunyai kelarutan dalam lemak besar sehingga mudah terdifusi menembus membran usus.
Contoh distribusi teoritis senyawa amin aromatik pada saluran cerna dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Distribusi teoritis senyawa amin aromatik (Ar-NH2, pKa 4.0) dalam saluran cerna

7
Asam lemah, seperti asam salisilat, asetosal, fenobarbital, asam benzoat dan fenol, pada
lambung yang bersifat asam akan terdapat dalam bentuk tidak terionisasi, yang mudah larut dalam
lemak sehingga mudah menembus membran lambung.
Senyawa yang terionisasi sempurna, pada umumnya bersifat asam atau basa kuat,
mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar menembus membran saluran cerna.
Contoh: asam sulfonat, prokainamid dan ammonium kuartener, spt heksametonium dan
benzalkonium klorida.
Senyawa yang sangat sukar larut dalam air, spt BaSO4, MgO dan Al(OH)3, juga tidak
diserap oleh saluran cerna.

Contoh perbandingan penyerapan berbagai macam obat dilambung tikus pada pH 1 dan 8 serta usus
halus tikus pada pH 4 dan 8 dapat dilihat pada Tabel 1.

Table 1. Perbandingan penyerapan beberapa obat yang bersifat asam atau basa pada berbagai pH di
lambung dan usus halus.
%Penyerapan
Obat pKa Lambung tikus Usus halus tikus
pH 1 pH 8 pH 4 pH 8
Asam
Asam salisilat 3,0 61 13 64 10
Asetosal 3,5 35 - 41 -
Thiopental 7,6 46 34 - -
Fenol 9,9 40 40 - -
Asam benzoat 4,2 - - 62 5
Asam sulfonat - 0 0 0 0
Basa
Aniline 4,6 6 56 40 61
p-toluidin 5,3 0 47 30 64
Aminopirin 5,0 - - 21 52
Kuinin 8,4 - 18 9 54
Prokainamid 9,24 0 0 0 0
Keterangan:
- : tidak ada data penelitian

Dari uraian diatas disimpulkan bahwa saluran cerna bersifat permeable selektif terhadap bentuk tidak
terdisosiasi obat, yang bersifat mudah larut dalam lemak.
Kelarutan obat dalam lemak merupakan salah satu sifat fisik yang mempengaruhi penyerapan
obat ke membran biologis. Makin besar kelarutan dalam lemak makin tinggi pula derajat penyerapan
obat ke membran biologis. Hal ini dapat digambarkan pada Tabel 2, yang menunjukkan hubungan
antara kelarutan beberapa senyawa dalam lemak, yang dinyatakan dalam koefisien partisi
kloroform/air, dan %penyerapan melalui membran biologis (dinding usus).

Tabel 2: Hubungan koefisien partisi kloroform/air (P)dan %penyerapan bentuk tak terionisasi
beberapa senyawa asam da basa.
Nama Obat P*) %Penyerapan
Thiopental 100 67
Aniline 26,4 54
Asetanilid 7,6 43
Asetosal 2,0 21

8
Asam barbiturate 0,008 5
Manitol <0,002 <2

Keterangan:
*) P= koefisien partisi kloroform/air, penentuan dilakukan pada pH, dimana obat dalam bentuk tidak
terionisasi paling besar.

Pemberian secara parenteral


Seringkali, akan ada keuntungan terapeutik dalam melewati penghalang usus dengan menggunakan
bentuk sediaan parenteral (suntik). Ini umum terjadi pada pasien yang, karena sakit, tidak dapat
mentolerir atau tidak mampu menerima obat secara oral. Beberapa obat dimetabolisme dengan
sangat cepat dan sempurna menjadi produk yang tidak aktif di hati (efek lintasan pertama) sehingga
pemberian oral tidak diperbolehkan. Namun bukan berarti obat yang diberikan melalui suntikan tidak
dihadapkan pada hambatan. Pemberian intravena menempatkan obat langsung ke dalam sistem
peredaran darah, di mana obat akan didistribusikan dengan cepat ke seluruh tubuh, termasuk depot
jaringan dan hati, di mana sebagian besar biotransformasi terjadi, selain reseptor. Suntikan subkutan
dan intramuskular memperlambat distribusi obat, karena harus berdifusi dari tempat suntikan ke
dalam sirkulasi sistemik.
Dimungkinkan untuk menyuntikkan obat langsung ke organ atau area tubuh tertentu. Rute
intraspinal dan intracerebral akan menempatkan obat langsung ke dalam cairan tulang belakang atau
otak. Ini melewati jaringan epitel khusus, sawar darah-otak, yang melindungi otak dari paparan
sejumlah besar metabolit dan bahan kimia. Sawar darah-otak terdiri dari membran sel epitel yang
bergabung erat yang melapisi kapiler serebral. Anestesi lokal adalah contoh pemberian obat langsung
ke saraf yang diinginkan..
Sebagian besar suntikan dilakukan di bawah kulit atau intramuskular. Rute parenteral ini
menghasilkan depot di jaringan, dimana obat harus mencapai darah atau getah bening. Sekali dalam
sirkulasi sistemik, obat akan mengalami fenomena distributif yang sama seperti agen yang diberikan
secara oral dan intravena sebelum mencapai reseptor target. Secara umum, faktor yang sama yang
mengontrol perjalanan obat melalui mukosa gastrointestinal juga akan menentukan laju pergerakan
keluar dari depot jaringan.
Pendekatan prodrug juga dapat digunakan untuk mengubah karakteristik kelarutan, yang
selanjutnya dapat meningkatkan fleksibilitas dalam merumuskan bentuk sediaan. Kelarutan
metilprednisolon dapat diubah dari metilprednisolon asetat yang tidak larut dalam air menjadi
metilprednisolon natrium suksinat yang larut dalam air. Garam natrium hemisucinat yang larut dalam
air digunakan dalam bentuk sediaan oral, intravena, dan intramuskular. Methylprednisolone sendiri
biasanya ditemukan di tablet. Ester asetat ditemukan dalam salep topikal dan suspensi berair steril
untuk injeksi intramuskular. Baik ester suksinat dan asetat dihidrolisis menjadi metilprednisolon aktif
oleh enzim hidrolitik sistemik pasien (esterase).

9
2. Penyerapan Obat melalui Mata
Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diserap melalui membran
konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi tergantung pada derajat
ionisasi dan kofisien partisi obat. Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah larut dalam lemak
cepat diserap oleh membran mata.
Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam karena dalam suasana
tsb bentuk tidak terionisasinya besar sehingga mudah menembus membran mata. Untuk obat
yang bersifat basa lemah penetrasi lebih cepat dalam suasana basa.

3. Penyerapan Obat melalui Paru


Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diserap melalui epitel paru dan
membran mukosa saluran napas. Karena mempunyai luas permukaan besar maka penyerapan
melalui buluh darah paru berjalan cepat.

Penyerapan obat melalui paru tergantung pada:


a. Kadar obat dalam alveoli
b. Koefisien partisi gas/darah
c. Kecepatan aliran darah paru
d. Ukuran partikel obat. Hanya obat dengan garis tengah < 10 m yang dapat masuk peredaran
aliran paru.

4. Penyerapan Obat melalui Kulit


Penggunaan obat pada kulit pada umumnya ditujukan untuk memperoleh efek setempat. Pada
waktu ini sedang dikembangkan bentuk sediaan obat yang digunakan melalui kulit dengan tujuan
untuk mendapatkan efek sistemik. Penyerapan obat melalui kulit sangat tergantung pada
kelarutan obat dalam lemak karena epidermis kulit juga berfungsi sebagai membran bilogis.

Struktur Membran Biologis


Semua sel mempunyai membran yang disebut dengan sitoplasma atau membran plasma.
Fungsi utama dari membran sel adalah mempertahankan integritas sel dalam lingkungannya.
Selain itu juga berfungsi untuk mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang dan
mengatur keluar masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma.
Membran sel bersifat semipermeabel dan mempunyai ketebalan total ± 8 nm. Membran sel
merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen terorganisasi dan dapat
berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan
 mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat. Membran sel merupakan bagian sel yang
mengandung komponen-komponen terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul
secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas
dan masa kerja obat.
Sesudah pemberian secara oral, obat harus melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem
peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat. Bila
bekerja pada mikroorganisme yang pathogen, obat harus menembus membran sel
mikroorganismeuntuk menghasilkan aktivitas yang diinginkan.

Membran sel terdiri dari komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:


1. Lapisan lemak biomolekul
Komponen lemak plasma membran mammalia terutama tersusun dari glycerophospholipid,
sphingolipid dan kolesterol. Setiap molekul phospholipid yang terdapat didalam plasma
mempunyai daerah polar (hydrophilic head) dan daerah nonpolar rantai hidrocarbon yang
panjang (hydrophobic tail). Rantai hidrocarbon biasanya mengandung 14 dan 24 atom carbon,

10
yang paling umum adalah 16 dan 18. rantai tsb bisa jenuh atau tidak jenuh dan biasanya tidak
bercabang. Molekul2 lemak ini terikat bersama oleh ikatan hidrofob dan van der Waals, yang
memberikan struktur sifat2 menyerupai cairan. Molekul lemak bersatu didalam membran
sehingga bagian polarnya membentuk permukaan membran yang kontak dengan extracellular
atau intracellular aqueous liquid. Ini berarti interior membran sifatnya adalah nonpolar. Maka,
senyawa nonpolar akan terdiffusi kedalam membran lebih mudah dari pada senyawa polar.
Tetapi, untuk terabsorbsi kedalam membran, suatu senyawa harus mempunyai sedikit kelarutan
dalam air kalau tidak senyawa tsb akan ditolak oleh sifat polar dari permukaan membran.
Glycosphingolipid hanya terdapat dalam jumlah kecil dalam membran plasma, tetapi
berkaitan dengan sejumlah fungsi sel yang penting. Molekul2 kolesterol tertanam pada
permukaan membran plasma hewan dan dalam jumlah yang lebih sedikit dalam organel.
Struktur kolesterol relatif kaku.
2. Protein.
Bentuk bervariasi, ada yang besar dengan BM ± 300.000 dan ada yang sgt kecil. Protein
bertanggung jawab melakukan banyak fungsi aktif dari membran, misalnya sebagai reseptor
dan jalur transportasi untuk berbagai senyawa melalui membran. Protein bersifat ampifil krn
mengandung gugus hidrofil dan hidrofob.
3. Mukopolisakarida/Komponen karbohidrat
Jumlahnya pd membran biologis kecil dan strukturnya tidak dalam keadaan bebas tp dalam
bentuk kombinasi dengan lemak (mis. Glikolipid) atau dengan protein (mis glikoprotein).
Berperan utk pengenalan sel dan interaksi dengan antigen-antibodi.

Membran sel mempunyai pori yang bergaris tengah antara 3,5 – 4,2 Å, merupakan saluran
berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping molekul protein yang bersifat polar. Zat terlarut
dapat melewati pori ini secara difusi karena kekuatan tekanan darah.
Contoh membran biologis: Sel epitel saluran cerna, Sel epitel paru, Sel endotel buluh darah
kapiler, Sawar darah otak, Sawar darah – cairan serebrospinal, Plasenta, Membran glomerulus,
Membran tubulus renalis, Sel epidermis kulit

Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis


Pada umumnya obat menembus membran biologis melalui proses difusi. Mekanisme difusi
dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika obat dan sifat membran biologis. proses difusi
dibagi menjadi dua yaitu:

a. Difusi pasif
Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasif
melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun
membran dan difusi pasif dengan fasilitas.
1. Difusi Pasif melalui Pori.
Membran sel mempunyai pori dengan garis tengah sekitar 4 Å dan dapat dilewati
secara difusi oleh molekul yang bersifat hidrofil, molekul dengan tengah lebih kecil dari 4 Å
dan molekul dengan jumlah atom C lebih kecil dari 3 atau berat molekul lebih kecil dari
150.
Kecepatan difusi obat tergantung pada ukuran pori, ukuran molekul obat dan perbedaan
kadar antar membran.
Sel glomerolus kapsula Bowman ginjal mempunyai membran karaktristik, dengan pori yang
lebih besar dibanding pori membran biologis lain. Pori tsb dapat dilewati oleh molekul obat
dengan garis tengah ± 40 Å dan molekul protein dengan beratr molekul sampai 5000.
Sebagian besar molekul obat mempunyai garis tengah lebih besar 4 Å sehingga cara
penyaringan ini kurang penting dalam mekanisme pengangkutan obat.

11
2. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran
Overton (1901), mengemukakan suatu konsep bahwa kelarutan senyawa organic dalam
lemak berhubungan dengan mudah atau tidaknya penembusan membran sel. Senyawa
nonpolar bersifat mudah larut dalam lemak, mempunyai harga koefisien partisi lemak/air
besar sehingga mudah menembus membran sel secara difusi.

Gambar 7. Hubungan koefisien partisi CHCl3/air (P) terhadap penyerapan bentuk tak
terionisasi beberapa obat turunan barbiturate.

Pada Gambar 7 terlihat makin besar nilai koefisien partisi kloroform/air dari bentuk tak
terionisasi obat, makin besar %tase obat yang diserap.

3. Difusi Pasif dengan Fasilitas


Kadang-kadang beberapa bahan obat yang mempunyai garis tengah lebih besar 4Å, dapat
melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan oleh perbedaan kadar
antar membran. Pengangkutan ini berlansung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah
dengan kadar yang lebih rendah dan berhenti setelah mencapai keseimbangan. Gerakan ini
tidak memerlukan energy dan terjadi secara spontan.

Membran sel bersifat permeable terhadap senyawa polar tertentu. Kecepatan penetrasinya 10
-10.000 kali lebih besar dibanding kelarutan dalam lemak. Disini terjadi suatu mekanisme
khusus yang dapat dijelaskan dengan teori pembawa membran.
Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa dalam
membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak
menembus membran. Pada sisi membran yang lain (sisi 2), kompleks akan terurai melepas
molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ketempat semula, berinteraksi lagi
dengan molekul obat yang lain, demikian seterusnya sehingga tercapai suatu keadaan
kesimbangan.

12
Gambar 8. Proses penetrasi molekul obat yang bersifat hidrofil ke membran biologis
dengan bantuan pembawa.
Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul
obat. Penembusan obat kedalam membran biologis dapat berjalan dengan cepat bila ada
katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.

Contoh difusi pasif dengan fasilitas adalah penetrasi gula, missal glukosa, asam amino,
gliserin, urea dan ion Cl kemembran sel darah merah.

b. Difusi aktif
Penembusan membran secara difusi aktif dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Sistem Pengangkutan Aktif


Sistem pengangkutan aktif atau transport aktif, mirip dengan proses difusi pasif dengan
fasilitas yaitu sama-sama berdasarkan teori pembawa membran.

Perbedaan adalah:
a. Pengangkutan obat dapat berjalan dari daerah berkadar rendah ke daerah yang berkadar
lebih tinggi, jadi tidak tergantung pada perbedaan kadar antar membran.
b. Pengangkutan tsb memerlukan energy, yang berasal dari adenosine trifosfat (ATP).
c. Reaksi pembentukan kompleks obat-pembawa memerlukan afinitas.

Contoh pengangkutan aktif:


a. Sekresi H+ dari lambung
b. Pelepasan Na+ dari sel saraf dan otot
c. Penyerapan kembali glukosa dalam tubulus renalis
d. Pengangkutan aktif K+ dan Na+ dari sel darah merah
e. Pengangkutan aktif obat, contoh: pengangkutan penisilin ke tubulus renalis.

2. Pinositosis
Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran
molekul besar dan misel-misel, seperti lemak, amilum, gliserin, vitamin A, D, E dan K.
Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada bakteri. Bila membran sel
didekati oleh molekul obat, membran akan membentuk rongga yang mengelilingi molekul
obat dan kemudian obat bergerak menembus membran sel.

13
Gambar 9. Penembusan membran dengan mekanisme pinositosis.

Mekanisme pinositosis ini berjalan sangat pelan sehingga dipandang kurang penting sebagai
suatu proses penembusan obat ke membran sel.

14

Anda mungkin juga menyukai