BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dan bahan
tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau
sintetik berkhasiat obat yang sering disebut bahan kimia obat (BKO)
(Yuliarti,2008).
Bahan Kimia Obat yang ditambahkan ke dalam obat tradisional umumnya
dimaksudkan untuk meningkatkan khasiat dan jamu/obat tradisional itu sendiri,
sebagai contoh menghilangkan gejala sakit dengan cepat (seperti pada anti nyeri),
Secara farmakologis menekan rangsang makan pada susunan syaraf pusat (seperti
pada jamu pelangsing), Meningkatkan aliran darah ke corpus kevernosum dengan
cepat (pada jamu peningkat stamina pria),bahan kimia obat yang sering dijumpai
dalam jamu yang mengandung steroid misalnya paracetamol, prednison,
prednisolon, deksamesaton. Obat tersebut sering digunakan untuk penyakit
rematik, asma, radang usus atau beberapa penyakit kanker (Ansel, 1989).
Penggunaan Obat Tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat
sangat membahayakan bagi kesehatan, karena tidak diketahui berapa jumlah dosis
yang ditambahkan kedalam produk Obat Tradisional tersebut. Selain itu, apabila
dikonsumsi secara terus-menerus dengan dosis yang tidak sesuai dalam jangka
waktu tertentu dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh bahkan dapat
menimbulkan kematian. Karena itu berhati-hatilah dalam memilih produk obat
tradisional yang hendak dikonsumsi (Yuliarti, 2008).
Berdasankan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007
Tahun 2012 Tentang Regitrasi Obat Tradisional pasal 1 ayat 1 Obat tradisional
dilarang mengandung bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan bahan lain yang berdasarkan
pertimbangan kesehatan atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.
1
2
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya bahan
kimia obat deksametason dalam jamu anti nyeri yang dijual di toko obat Mustajab.
BAB II
3
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.1 Jamu
2.3.1 Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dan simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Dari hasil temuan Badan POM terhadap BKO yang sengaja ditambahkan
dalam obat tradisional adalah merupakan obat keras, yang sebagian besar
menimbulkan efek samping ringan sampai berat seperti iritasi saluran pencemaan,
kerusakan hati/ginjal, gangguan penglihatan, atau gangguan ritmik irama jantung.
Pada efek samping ringan, gangguan/kerusakan yang terjadi dapat bersifat
sementara atau reversibel. Pada efek samping berat, dapat terjadi gangguan/
kerusakan permanen pada jaringan/organ sampai kematian. Temuan produk jamu
yang mengandung BKO tidak hanya produk yang jelas tidak disertai bukti ijin
produksi, bahkan ada juga yang disertai ijin produksi akan tetapi terbukti palsu.
Karena itu hendaknya masyarakat lebih waspada terhadap peredaran obat
(Yuliarti, 2008).
6
2.3 Deksametason
Rumus Bangun
Sifat Fisikokimia
Rumus molekul : C221129F05
Berat molekul : 392,47
Nama kimia : 9-Fluoro – 11 , 17,21 -trihidroksi- 1 6a-
metiipregna- 1 ,4-diena-3,20-dion
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih,
tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada
suhu lebih kurang 2500 disertai peruraian
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut
dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan
dan dalam methanol; sukar larut dalam
kioroform ; sangat sukar larut dalam eter (Putjaadmaka,2002)
2.4.1.1 Prinsip
2.4.1.2 Visualisasi
Proses berikutnya dan kromatografi lapis tipis ini adalah tahap visualisasi.
Tahapan ini diperlukan untuk suatu keterampilan dalam memilih metode yang
tepat karena harus disesuaikan dengan jenis sampel yang sedang di uji. Salah satu
yang dipakai adalah saat penyemprotan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin (2,2-
Dihydroxyindane-l,3-dione) adalah suatu lanutan yang akan digunakan untuk
mendeteksi adanya gugus amina. Apabila pada sampel terdapat gugus amina maka
9
ninhidrin akan bereaksi menjadi berwarna ungu. Biasanya padatan ninhidrin ini
dilarutkan dalam larutan butanol.
2.4.1.3 Nilai Rf
Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan
suatu perhitungan tertentu untuk memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak
yang sama walaupun ukuran jarak platnya berbeda. Nilai perhitungan tersebut
adalah nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar
sampel.Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam
sehingga nilai Rf sering juga disebut faktor retensi.
Semakin besar nilai Rf dan sampel maka semakin besar pula jarak
bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat
membandingkan dua sampel yang berbeda dibawah kondisi kromatografi yang
sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dan plat kromatografi lapis tipis. Nilai Rfnya dapat
dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi nilai Rf
memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memillki
karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda, senyawa
tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda (Rohman, 2009).
10
BAB III
METODOLOGI PENELITLAN
3.3.1 Populasi
Dalam penelitian ini adalah jamu anti nyeri yang dijual di toko obat
Mustajab Banda Aceh.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 merek jamu anti
nyeri yang di jual di toko obat Mustajab di Banda aceh, yang dipilih secara
purposive sampling.
3.4.1 Alat
10
11
3.4.2 Bahan
3 Sampeijamu anti nyeri, etanol 96%, kioroform dan aquadest.
3.5 Prosedur Kerja
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan 13
14
kemurnian dari pelarut dan eluen yang digunakan sangat penting dan campuran
eluen yang digunakan perbandingannya hanus betul-betul diperhatikan.
4. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana kromatografi
5. Jumlah penotolan yang digunakan.
penotolan senyawa dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil
penyebaran noda-noda, pada penotolan senyawa dalam jumlah sangat kecil
kemungkinan tidak terlihat bercak noda, hingga akan mengakibatkan
kesalahan kesalahan pada harga-harga RS.
6. Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikeijakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan (Gritter, 1991).
BAB V
16
5.2 Saran
16