Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dan bahan
tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau
sintetik berkhasiat obat yang sering disebut bahan kimia obat (BKO)
(Yuliarti,2008).
Bahan Kimia Obat yang ditambahkan ke dalam obat tradisional umumnya
dimaksudkan untuk meningkatkan khasiat dan jamu/obat tradisional itu sendiri,
sebagai contoh menghilangkan gejala sakit dengan cepat (seperti pada anti nyeri),
Secara farmakologis menekan rangsang makan pada susunan syaraf pusat (seperti
pada jamu pelangsing), Meningkatkan aliran darah ke corpus kevernosum dengan
cepat (pada jamu peningkat stamina pria),bahan kimia obat yang sering dijumpai
dalam jamu yang mengandung steroid misalnya paracetamol, prednison,
prednisolon, deksamesaton. Obat tersebut sering digunakan untuk penyakit
rematik, asma, radang usus atau beberapa penyakit kanker (Ansel, 1989).
Penggunaan Obat Tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat
sangat membahayakan bagi kesehatan, karena tidak diketahui berapa jumlah dosis
yang ditambahkan kedalam produk Obat Tradisional tersebut. Selain itu, apabila
dikonsumsi secara terus-menerus dengan dosis yang tidak sesuai dalam jangka
waktu tertentu dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh bahkan dapat
menimbulkan kematian. Karena itu berhati-hatilah dalam memilih produk obat
tradisional yang hendak dikonsumsi (Yuliarti, 2008).
Berdasankan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007
Tahun 2012 Tentang Regitrasi Obat Tradisional pasal 1 ayat 1 Obat tradisional
dilarang mengandung bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan bahan lain yang berdasarkan
pertimbangan kesehatan atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.

1
2

Dikutip dan surat kabar elektronik dalam situs Tempo. comyang


memuatkan berita pada tanggal 30 November 2015 bahwa Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) mengumumkan daftar obat tradisional dan suplemen
kesehatan yang mengandung bahan kimia obat (BKO), terdapat 54 obat
tradisional yang mengandung bahan kimia obat, bahan-bahan kimia yang paling
umum disalah gunakan antara lain; parasetamol, metampiron, deksametason,
sildenafil sitrat, alupurinol dan fenilbutazon.

Berdasarkan hal diatas, penulis tertanik untuk mengadakan penelitian dan


mengambil judul “Identifikasi bahan kimia obat Deksametason dalam jamu anti
nyeri yang dijual di toko obat Mustajab Banda Aceh secara kromatografi lapis
tipis”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latan belakang di atas, maka rumusan masalah


pada penelitian ini adalah apakah terdapat bahan kimia obat Deksametason pada
jamu anti nyeri yang dijual di toko obat Mustajab?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya bahan
kimia obat deksametason dalam jamu anti nyeri yang dijual di toko obat Mustajab.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Dapat menambah wawasan dan pengalaman penulis sebagai calon Ahli


Madya dan dunia pekerjaan kefarmasian.
b. Dapat memberi informasi kepada masyarakat agar bersikap selektif dan
memilih jamu untuk mengurangi tingkat resiko bagi masyarakat terhadap
jamu yang tidak berkualitas.

BAB II
3

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Obat Tradisional

Defmisi Obat tradisional menurut Permenkes RI No 007 Tahun 2Ol7


adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sanan (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Annonymous, 2012)

2.1.1 Jamu

(Gambar 2.1: logo Jamu).

Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia. Belakangan


populer dengan sebutan herba atau herbal. Jamu dibuat dan bahan-bahan alami,
berupa bagian dan tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit
batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dan tubuh hewan, seperti empedu
kambing, empedu ular, atau tangkur buaya. Seringkali kuning telur ayam
kampung juga dipergunakan untuk tambahan campuran pada jamu gendong. Jamu
biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya
lebih dapat ditoleransi peminumnya. Bahkan ada pula jamu yang ditambah
dengan anggur. Selain sebagai pengurang rasa pabit, anggur juga berfungsi untuk
menghangatkan tubuh (Yuliarti, 2010).

2.2.1 Obat herbal terstandar


3
4

(Gambar 2.2: Logo Obat herbal terstandar).

Obat herbal tradisional merupakan obat-obatan yang diproses dan diolah


secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat,
kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan
tradisional. Obat herbal terstandar adalah obat yang simpliasianya telah dilakukan
standarisasi dan telah dilakukan uji pra klinik. Standarisasi simplisia merupakan
upaya menyeluruh dimulai dengan pemilihan lahan (unsur tanah) yang tepat untuk
tumbuhan obat tertentu, budi daya yang baik sampai pasca panen (Suharmiati,
2006).

2.3.1 Fitofarmaka

(Gambar 2.3: Logo Fitofarmaka).

Fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dan simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.

1. Uji Fitofarmaka adalah uji toksisitas, uji farmakologik eksperimental dan


uji klinik fitofarmaka.
2. Uji Farmakologi keksperimental adalah pengujian pada hewan coba untuk
memastikan khasiat fitofarmaka.
3. Uji Klinik adalah pengujian pada manusia untuk mengetahui atau
memastikan adanya efek farmakologik, tolerabilitas, keamanan dan
manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau gej
ala penyakit.
5

Bahan baku fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik.


Bahan baku fitofarmaka hams memenuhi persyaratan yang tertera pada
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia,
ketentuan atau persyaratan lain yang berlaku. Penggunaan ketentuan atau
persyaratan lain diluar ketentuan yang telah ditetapkan harus mendapatkan
persetujuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka (Dewoto, 2007).

2.2 Bahan Kimia Obat (BKO)

Mudahnya perolehan obat tradisional di pasaran menjadikan peluang bagi


beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain.
Yakni dengan mengklaim produk jamu mereka lebih berkhasiat, padahal nyatanya
mereka menambahkan bahan kimia obat (BKO) dalam produk jamu tersebut.
Walau sudah berkali-kali Badan POM menemukannya dan memerintahkannya
untuk ditarik dan pasaran, namun sampai saat ini masih saja beredar. Di Indonesia
obat tradisional tidak diperkenankan mengandung BKO karena obat tradisional di
Indonesia diedarkan secara bebas (merupakan produk OTC) sehingga konsumen
dapat menggunakan setiap saat bila dikehendaki. Bila pada obat tradisional
terdapat BKO, maka penggunaan yang terus menerus atau berlebihan akan
menimbulkan resiko yang membahayakan kesehatan tubuh.

Dari hasil temuan Badan POM terhadap BKO yang sengaja ditambahkan
dalam obat tradisional adalah merupakan obat keras, yang sebagian besar
menimbulkan efek samping ringan sampai berat seperti iritasi saluran pencemaan,
kerusakan hati/ginjal, gangguan penglihatan, atau gangguan ritmik irama jantung.
Pada efek samping ringan, gangguan/kerusakan yang terjadi dapat bersifat
sementara atau reversibel. Pada efek samping berat, dapat terjadi gangguan/
kerusakan permanen pada jaringan/organ sampai kematian. Temuan produk jamu
yang mengandung BKO tidak hanya produk yang jelas tidak disertai bukti ijin
produksi, bahkan ada juga yang disertai ijin produksi akan tetapi terbukti palsu.
Karena itu hendaknya masyarakat lebih waspada terhadap peredaran obat
(Yuliarti, 2008).
6

2.3 Deksametason
Rumus Bangun

Gambar 2.3 Struktur kimia Deksametason

Sifat Fisikokimia
Rumus molekul : C221129F05
Berat molekul : 392,47
Nama kimia : 9-Fluoro – 11 , 17,21 -trihidroksi- 1 6a-
metiipregna- 1 ,4-diena-3,20-dion
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih,
tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada
suhu lebih kurang 2500 disertai peruraian
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut
dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan
dan dalam methanol; sukar larut dalam
kioroform ; sangat sukar larut dalam eter (Putjaadmaka,2002)

Deksametason memiliki potensi yang sangat kuat sebagai anti inflamasi


dan anti alergi. Sebagai perbandingan deksametason 0,75 mg memiliki kesetaraan
dengan prednison 5 mg, prednisolon 5 mg kortison 25 mg dan hidrokortison 35
mg. Beberapa merek dagang: Dexaharsen, Mexon (kombinasi dengan CTM),
Carbidu, dan lain-lain. Indikasi Deksametason dapat digunakan untuk mengobati
penyakit - penyakit berikut ini penyakit inflamasi akut penyakit inflamasi pada
kuilt, penyakit inflamasi pada mata, penyakit rematik sendi, penyakit asma
bronkhial, penyakit sistemik lupus eritematosus, penyakit keganasan sistem
limfatik kontraindikasi tidak semua orang boleh menggunakan obat ini.
7

Deksametason tidak boleh digunakan pada penderita dengan beberapa


kondisi berikut memiliki penyakit tuberkulosis paru aktif (TBC), memiliki
penyakit infeksi yang sifatnya akut (sedang berlangsung dan berat), memiliki
penyakit infeksi jamur, misalnya panu, kurap, keputihan akibat jamur dan
sebagainya, memiliki penyakit herpes mata (herpes occular), memiliki penyakit
tukak lambung (ulkus peptikum), sedang mengalami osteoporosis atau
pengeroposan rulang, Sedang mengalami psikosis maupun psikoneurosis berat,
sedang mendapatkan vaksin hidup Ibu hamil atau lbu sedang berencana untuk
hamil (Putjaadmaka,2002).

2.4 Analisa Deksametason

Analisa deksametason dalam jamu dapat dilakukan dengan beberapa cara


diantaranya analisa spektrofotometri UV-Vis dan kromatografi lapis tipis.

2.4.1 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energy


cahaya oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002).
Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan
sinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Pengukuran
spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang melibatkan energy
elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga
spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis sangat berguna untuk pengukuran
secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007).

2.4.2 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan campuran senyawa


menjadi senyawa murni dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan
kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat
sedikit, baik menyerap maupun merupakan cuplikan KLT dapat digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-lipid dan
hidro karbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat
8

digunakan untuk mencari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara


kromatografi dengan sifat Kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapis tipis
sepertisilika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi
yang lebih reaktif seperti asam sulfat.

Kromatografi lapis tipis ini mempunyai satu keunggulan dari segi


kecepatan. Kromatografi lapis tipis membutuhkan hanya setengah jam saja,
sedang kanpemisahan yang umum pada kertas membutuhkan waktu beberapa jam.
TLC sangat terkenal dan rutin digunakan di berbagai laboratorium. Media
pemisahannya adalah lapisan dengan ketebalan sekitar 0,1-0,3 mm zat padat
adsorben pada lempeng kaca, plastic dan aluminium. Lempeng yang paling
umum digunakan yang berukuran 8x2 inchi. Dan zat padat yang digunakan adalah
alumina, TLC kadang-kadang disebut dengan kromatografi planar. Tidak ada cara
yang mudah dalam mengelusi komponen sampel dan lempengan (kertas) untuk
melintasi sebuah detector tetapi telah dikembangkan peralatan untuk mengamati
lempengan dengan sifat-sifat sampel seperti itu adsorpsi sinar UV dan pengedaran
(Firdaus, 2009).

2.4.1.1 Prinsip

Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran


antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan
fase diam dan bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis
sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan
dinamakan eluen. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka
sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.

2.4.1.2 Visualisasi

Proses berikutnya dan kromatografi lapis tipis ini adalah tahap visualisasi.
Tahapan ini diperlukan untuk suatu keterampilan dalam memilih metode yang
tepat karena harus disesuaikan dengan jenis sampel yang sedang di uji. Salah satu
yang dipakai adalah saat penyemprotan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin (2,2-
Dihydroxyindane-l,3-dione) adalah suatu lanutan yang akan digunakan untuk
mendeteksi adanya gugus amina. Apabila pada sampel terdapat gugus amina maka
9

ninhidrin akan bereaksi menjadi berwarna ungu. Biasanya padatan ninhidrin ini
dilarutkan dalam larutan butanol.

2.4.1.3 Nilai Rf

Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan
suatu perhitungan tertentu untuk memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak
yang sama walaupun ukuran jarak platnya berbeda. Nilai perhitungan tersebut
adalah nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar
sampel.Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam
sehingga nilai Rf sering juga disebut faktor retensi.

Semakin besar nilai Rf dan sampel maka semakin besar pula jarak
bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat
membandingkan dua sampel yang berbeda dibawah kondisi kromatografi yang
sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dan plat kromatografi lapis tipis. Nilai Rfnya dapat
dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi nilai Rf
memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memillki
karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda, senyawa
tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda (Rohman, 2009).
10

BAB III
METODOLOGI PENELITLAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif untuk mengidentifikasi bahan kimia obat


Deksametason dalam jamu anti nyeri secara kromatografi lapis tipis.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Akademi Analis Farmasi


dan Makanan Harapan Bangsa Darussalam Banda Aceh pada tanggal 17 s/d 19
Januari 2018.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Dalam penelitian ini adalah jamu anti nyeri yang dijual di toko obat
Mustajab Banda Aceh.

3.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 merek jamu anti
nyeri yang di jual di toko obat Mustajab di Banda aceh, yang dipilih secara
purposive sampling.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada pengujian ini adalah timbangan analitik,


kaca arloji, gelas ukur, beaker gelas, erlenmayer, labu ukur, lempeng silika, kertas
saring, pipet ukur, pipet volume, lumpang, alu, pemanas air, corong, batang
pengaduk, cawan penguap, pipa kapiler, chamber, penggaris, pensil dan alat sinar
UV.

10
11

3.4.2 Bahan
3 Sampeijamu anti nyeri, etanol 96%, kioroform dan aquadest.
3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Pembuatan larutan uji


Sampel jamu sebanyak loo mg dimasukkan kedalam gelas piala Tambahkan
20 mL air suling kemudian tambahkan 10 mL kioroform lalu uapkan dengan
penangas air hingga hamper kering, tambahkan 1 mL etanol 96%.

3.5.2 Pembuatan larutan baku


Ditimbang serbuk deksametason 100 mg dimasukkan kedalam gelas piala
Tambahkan 10 mL kloroform lalu uapkan dengan penangas air hingga hampir
kering, tambahkan 1 mL etanol 96%.

3.5.3 Pembuatan larutan spike


Ditimbang serbuk jamu 100 mg ditambah serbuk deksametason 100 mg
dimasukkan kedalam gelas piala Tambahkan 20 mL air suling kemudian
ditambahkan 10 mL kloroform lalu uapkan dengan penangas air hingga hamper
kering, tambahkan 1 mL etanol 96%.

3.5.4 Penjenuhan chamber


Masukkan campuran etanol 96% dan kloroform dengan perbandingan 1:9
ke dalam chamber, kemudian dimasukkan kertas saring lalu ditutup tunggu
hinggakertas tersebut menyerab sampai ke atas untuk memastikan bahwa chamber
sudah jenuh.

3.5.5 Penyiapan plat KLT

Aktiflcan plat KLT dengan panjang 20 cm dan lebar 8 cm dimasukkan


dalam oven pada suhu 110 drajat C selama 30 menit kemudian diberi garis dengan
jarak 3 cm dan tepi atas dan 2 cm dan tepi bawah, diberi skala 1 cm untuk
penotolan larutan sampel.

3.5.6 Identifikasi dengan kromatografi lapis tipis.


Totolkan larutan uji A,B dan C serta larutan baku dan larutan spike dengan
menggunakan pipa kapiler pada plat KLT, masukkan plat KLT yang telah
ditotolkan sampel kedalam chamber yang sudah di jenuhkan, tutup rapat chamber,
Tunggu hingga larutan elusi merambat pada plat KLT sampai titik batas rambatan,
Lihat dengan sinar UV.
12

3.6 Pengolahan Data dan Analisa Data

Dibandingkan noda yang terdapat pada senyawa pembanding dengan


ekstrak jamu dan perhatikan ada tidaknya kesamaan pada noda dan hitung fluai
Rf-nya. Lakukan yang sama pada sampel jamu A dan B. Nilai Rf dapat dihitung
dengan rumus berikut :
13

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian identifikasi deksametason pada jamu anti nyeri yang


dijual ditoko obat Mustajab Banda Aceh dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai
berikut:

Tabel 4.1 Hasil identifikasi deksametason dalam jamu

No Sampel Warna Jarak Jarak Rf Keteranga


noda noda (cm) Pelarut n
1 Sampel A - - 15 - -
2 Spike A - - 15 - -
3 Sampel B Kuning 8 15 0,53 Negatif
4 Spike B Kuning 8 15 0,53 Negatif
5 Sampel C - - 15 - -
6 Spike C - - 15 - -
7 Baku Kuning 9,5 15 0,63 Positif

Keterangan : - tidak mendapatkan hasil


(Sumber : Penelitian 2018)

4.2 Pembahasan 13
14

Penelitian ini dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis, prinsip


kerja memisahkan senyawa dalam sampel berdasarkan perbedaan kepolaran
antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan
fase diam dan bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis
sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan
eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Robman,
2009).
Pelarut- pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah air suling
untuk melarutkan jamu, kloroform untuk melarutkan deksametason, melakukan
penguapan untuk mengentalkan larutan tersebut, kemudian mengunakan etanol
96% untuk melarutkan deksametason kembali.
Hasil dan tabel 4.1 terlihat bahwa noda yang dihasilkan oleh sampel
terutama sanipel B terlihat 1 noda yang diidentik dengan noda spike B tetapi tidak
di identic dengan noda yang dihasilkan oleh baku sehingga noda yang terdapat
pada smpel B (Rf= 0,53) tidalah senyawa deksametason seperti pada baku (Rf
0,63 ). Pengunaan spike dalam proses kromatografi lapis tipis berfungsi sebagai
penegas antara hasil pada sampel dan pada baku. Noda yang muncul pada spike
menggambarkan noda yang terdapat pada sampel dan pada baku, namun dalam
penelitian ini noda yang ditampilkan oleh spike tidak mengambarkan yang
seharusnya. Hal ini disebabkan karena senyawa yang ditotolkan pada plat terlalu
sedikit sehingga pada penampakan bercak tidak terdeteksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi
lapisan tipis yang juga mempengaruhi hanga Rf yaitu:
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
2. Pengaktifan plat.
Plat harus diaktifkan dalam oven pada suhu 110 derjat C selama 30 menit C
agar molekul-molekul air pada plat akan hilang sehingga senyawa yang
ditotolkan pada plat mudah menyerap dan harga Rf mudah terdekteksi.

3. Pelarut dan eluen.


15

kemurnian dari pelarut dan eluen yang digunakan sangat penting dan campuran
eluen yang digunakan perbandingannya hanus betul-betul diperhatikan.
4. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana kromatografi
5. Jumlah penotolan yang digunakan.
penotolan senyawa dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil
penyebaran noda-noda, pada penotolan senyawa dalam jumlah sangat kecil
kemungkinan tidak terlihat bercak noda, hingga akan mengakibatkan
kesalahan kesalahan pada harga-harga RS.
6. Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikeijakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan (Gritter, 1991).

BAB V
16

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian identifikasi bahan kimia obat deksametason


dalam jamu maka dapat diambil kesimpulan penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1. Identifikasi deksametason pada sampel jamu secara KLT tidak


menghasilkan bercak yang diidentik dengan bercak baku deksametason
tRf = 0,63).
2. Sampel yang diidentifikasi secara KLT negatif mengandung
deksametason.

5.2 Saran

1. Diharapkan pada peneliti selanjutnya agar dilakukan identifikasi


deksametason dengan menggunakan metode yang lebih baik seperti
spektrofotometri UV-Vis.
2. Diharapkan mengidentifikasi bahan kimia obat deksametason dalam yang
lain.
3. Diharapkan dilakukan identifitisikasi senyawa bahan kimia yang lain
dalam sampel jamu anti nyeri.

16

Anda mungkin juga menyukai