Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan asing berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari
bahan tersebut yang telah digunakan dalam pengobatan berdasarkan pengalaman
(Badan POM RI, 2005).
Obat Tradisional di Indonesia terdiri dari Jamu, Obat Herbal Terstandar,
dan Fitofarmaka. Hampir semua obat tradisional merupakan campuran lebih dari
satu macam tanaman. Lebih dari 90% produk tersebut masih didasarkan manfaat
empirik, tanpa pembuktian praklinik. Di lain pihak, sebagian pengobatan
tradisional juga menggunakan obat tradisional berupa ramuan dalam praktik
pengobatannya dan jenis tanaman obat yang di gunakan kemungkinan besar juga
termasuk bahan yang belum memiliki data uji praklinik dan digunakan
berdasarkan data empiris.
Jamu merupakan obat tradisional asli Indonesia. Jamu dapat didefinisikan
sebagai obat tradisional yang mengandung seluruh bahan tanaman yang ada dalam
resep dan disajikan secara tradisional dalam bentuk seduhan, serbuk, cair, pil atau
kapsul (Jayanti dkk, 2015). Pada pembuatan jamu bahan-bahan yang dapat
digunakan berasal dari simplisia tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
galenik atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat (BPOM RI, 2014).
Sediaan jamu harus memiliki kriteria tertentu yaitu aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris,
dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Anggraeni dkk, 2015). Dalam
peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 246/Menkes/Per/V/1990
Tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional,
bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia sintetik atau hasil
isolasi yang berkhasiat sebagai obat dan tidak mengandung bahan yang tergolong
obat keras atau narkotika.
1
Bahan kimia obat merupakan senyawa kimia obat yang sengaja
ditambahkan ke dalam jamu, yang bertujuan agar efek yang diinginkan tercapai
lebih cepat dari biasanya. Jika efek penyembuhan yang dirasakan cepat maka
kemungkinan besar jamu tersebut mengandung bahan kimia obat dengan dosis
yang cukup tinggi. Bahan kimia obat yang biasanya ditambahkan pada jamu pegal
linu yaitu parasetamol, natrium diklofenak, dexametason, fenilbutazon, dll.
Adanya BKO dalam produk jamu dapat membahayakan konsumen, apabila BKO
yang terkandung dalam jamu memiliki kontra indikasi terhadap penyakit tertentu
yang di derita pasien. Misalnya penggunaan paracasetamol dalam jangka Panjang
dapat menyebabkan efek samping seperti kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal. Pada penggunaan fenilbutason dalam jangka panjang diluar dosis normal
dapat menyebabkan perdarahan di lambung dan kerusakan pada ginjal. Sedangkan
pada penggunaan natrium diklofenak dapat menyebabkan efek samping yang
meliputi distress gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal dan timbulnya
ulserasi lambung.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka akan dilakukan praktikum
analisi farmasi dengan percobaan mengenai identifikasi kandungan obat pada
jamu.
1.1 Tujuan Percobaan
1.1.1 Untuk mengetahui jenis jenis obat yang sering di tambahkan pada sediaan
jamu/obat tradisional
1.1.2 Mengetahui bagaimana cara menentukan pengujian kualitatif kandungan
obat dengan metode kromatografi lapis tipis
1.2 Manfaat Percobaan
Manfaat percobaan dalam praktikum kali ini, mahasiswa dapat mengetahui
jenis-jenis obat yang sering di tambahkan dalam obat tradisional atau pada jamu
dan mengetahui apakah jamu yang tersebar di masyarakat mengandung bahan
kimia obat atau BKO.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Hartini, 2013).
Obat tradisional biasanya terdiri dari bahan alami, secara tunggal ataupun
sebagai ramuan dari berbagai macam bahan. Obat tradisional dengan formula
yang sama ternyata dapat digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit
yang berbeda oleh satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini dapat disebabkan
karena dalam satu tanaman terdapat berbagai senyawa kimia yang mempunyai
khasiat yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk berbagai indikasi. Selain
itu, zat berkhasiat dalam tanaman yang sejenis kadarnya dapat berbeda-beda
apabila tanaman tersebut ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda, juga
kebiasaan masyarakat di suatu daerah dalam menggunakan suatu tanaman obat
berbeda dengan daerah yang lain, tergantung dari penyakit endemis yang ada
(Yuli, 2012).
Menurut Harmanto dan Subroto (2007), berdasarkan cara pembuatan serta
jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat mengelompokkan obat
bahan alam Indonesia menjadi tiga jenis yaitu:
1. Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang.
2. Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah
dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku.
3. Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan
baku dan sudah bisa diresepkan dokter.
2.1.2 Jamu
Jamu merupakan salah satu jenis obat tradisional yang umum digunakan
oleh masyarakat Indonesia yang berasal dari tumbuhan, bahan hewani, bahan
mineral, sediaan galenik, atau campuran dari bahan-bahan tersebut secara turun
3
temurun berdasarkan pengalaman keluarga (Harmanto dan Subroto, 2007). Jamu
umumnya tersusun atas tanaman obat seperti kunyit, jahe, dan mahkota dewa yang
dipilih berdasarkan kegunaannya dalam mengatasi berbagai macam penyakit
(Elfahmi, 2006).
Menurut Parwata dan I Made Oka Adi (2017), Jamu harus memenuhi
beberapa kriteria, yaitu:
1. Aman
2. Klaim berkhasiat data empiris
3. Memenuhi persyaratan yang berlaku
2.1.3 Bahan Kimia Obat
Bahan kimia obat merupakan senyawa kimia obat yang sengaja
ditambahkan ke dalam jamu, yang bertujuan agar efek yang diinginkan tercapai
lebih cepat dari biasanya. Salah satu cara paling sederhana untuk mendeteksi
adanya bahan kimia obat dalam jamu ialah dengan mengamati efek penyembuhan
yang dirasakan oleh konsumen. Jika efek penyembuhan yang dirasakan cepat
maka kemungkinan besar jamu tersebut mengandung bahan kimia obat dengan
dosis yang cukup tinggi. Bahan kimia obat yang biasanya ditambahkan pada jamu
pegal linu yaitu parasetamol, antalgin, dexametason, fenilbutazon, dll (Jayanti,
Aprilia & Lukmayani, 2015).
Berdasarkan analisis resiko yang dilakukan oleh BPOM pada 10 tahun
terakhir, ditemukan bahwa Bahan Kimia Obat dalam jamu sekitar tahun 2007-
2010 temuan bahan kimia obat menunjukkan tren ke arah obat rematik dan
penghilang rasa sakit, misalnya mengandung fenilbutazon dan metampiron. Data
yang diperoleh dari situs BPOM RI, mulai tahun 2007, temuan bahan kimia obat
dalam jamu menunjukkan sibutramin hidroklorida, sildenafil, tadalafil dan
glibenklamid. Sebagian besar hasil temuan pengawasan tersebut merupakan
produk ilegal atau tidak terdaftar di BPOM, tetepi mencantumkan nomor
pendaftaran fiktif pada labelnya (Jayanti et al., 2015).
2.1.4 Kromatografi Lapis Tipis
Metode analisis bahan kimia obat dalam obat tradisional telah
dikembangkan yaitu salah satunya menggunakan metode kromatografi lapis tipis.
4
Metode kromatografi lapis tipis merupakan metode yang sederhana, cepat dan
murah sehingga sering digunakan untuk analisa obat, termasuk analisis BKO
dalam obat tradisional atau jamu juga (Kurniawan Mexi, 2018).
Kromatografi merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan
campuran komponen. Pemisahan campuran komponen tersebut didasarkan pada
distribusi komponen pada fase gerak dan fase diamnya. Kromatografi lapis tipis
biasanya digunakan untuk tujuan analisis kualitatif, analisis kuantitatif dan
analisis preparatif. Suatu sistem KLT terdiri dari fase diam dan fase gerak (Jayanti
dkk, 2015).
KLT secara luas digunakan dalam laboratorium, teknik ini mirip dengan
kromatografi kertas. Namun pada KLT menggunakan fase diam dari lapisan
adsorbent seperti silica gel, alumina, selulosa, atau juga substart inert.
Dibandingkan dengan kromatografi kertas, ini memiliki keunggulan pemisahan
lebih cepat, pemisahan yang lebih baik, dan pilihan antara adsorben yang berbeda.
KLT adalah salah satu alat yang paling berguna untuk mengikuti kemajuan reaksi
kimia organik dan untuk pengujian kemurnian senyawa organik dalam fitokimia
dan bioteknologi. Seperti semua metode kromatografi, KLT mengambil
keuntungan dari afinitas yang berbeda dari analit dengan fase gerak dan fase diam
untuk mencapai pemisahan campuran dari molekul organik (Surahman Isnan Ary,
2014).
Plat KLT dapat berupa lembaran kaca, logam atau plastik yang dilapisi
dengan lapisan tipis adsorben padat (silica gel atau alumina). Sebagian kecil
campuran yang akan dianalisis ditotolkan dekat bagian bawah plat. Plat KLT
kemudian ditempatkan didasar chamber (ruang mengembang) sehingga hanya
bagian paling bawah plat yang berada dalam cairan. Cairan ini, atau eluen, adalah
fase gerak, dan perlahan-lahan naik ke atas plat KLT dengan aksi kapiler
(Surahman Isnan Ary, 2014).
Karakteristik dari noda pada KLT di karakterisasi dengan Rf. Rf
merupakan nilai kualitatif yang mendasar pada KLT Rf dihitung dengan membagi
jarak perjalanan senyawa dari posisi aslinya dengan jarak perjalanan pelarut dari
posisi semula. Nilai Rf dinyatakan dari 0,0 hingga angka 1,0 dan nilai Rf yang
5
menunujukan keterpisahan yang baik berkisar 0,2-0,8 (Surahman Isnan Ary,
2014).
Nilai Rf secara kualitatif digunakan untuk mengetahui jenis senyawa yang
terkandung dalam sampel yaitu dengan membandingkan nilai Rf sampel dengan
nilai Rf standar. Hal ini dilakukan pada kondisi kromatografi yang sama dan pada
plat KLT yang sama. Apabila nilai Rf dari sampel sama dengan nilai Rf standar
maka dapat dikatakan sampel memiliki senyawa yang sama dengan standar
(Surahman Isnan Ary, 2014).
2.1.5 Paracetamol
Parasetamol merupakan sintesis dari derivat para aminofenol non-opiat
yang ditujukan untuk penggunaan analgesik dan antipiretik. Mekanisme kerja dari
Parasetamol ini mirip dengan salisilat yaitu dengan menghambat sintesis
prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP) (Tjay dan Rahardja, 2007).
Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksida sedangkan
pada tempat inflamasi terdapat leukosit yang melepaskan peroksida sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol digunakan untuk melegakan nyeri
ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri setelah melahirkan dan
keadaan lain (Katzung, 2011). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan
antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak
seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, tidak
menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung.
2.1.6 Fenilbutazon
Fenilbutazon merupakan turunan pirazolon dengan rumus molekul
C19H20N2O2, dengan nama kimia 4-butil-1,2-difenilpirazolidin-3,5-dion, berupa
serbuk putih, sukar arut dalam air tetapi larut dalam etanol, memiliki titik lebur
104-1070C. Fenilbutazon memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat
daripada kerja analgetiknya sehingga telah dipakai selama bertahun-tahun untuk
mengobati Remathoid Atritis yang bekerja melalui penghambatan enzim
siklooksigenase dan penghambatan pembentukan mediator inflamasi, seperti
prostaglandin (Surahman Isnan Ary, 2014).

6
Obat ini sering menimbulkan reaksi merugikan, terutama bila diberikan
secara oral berupa iritasi lambung. Efek yang lebih fatal lagi dapat menimbulkan
agranulositisis dan anemia aplastik. Guna mengatasi efek samping tersebut maka
fenilbutazon diberikan melalui rute transdermal. Dosis obat pun dapat dikurangi
karena langsung bekerja di lokasi tempat aplikasinya (Surahman Isnan Ary,
2014).
2.1.7 Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Natrium diklofenak mempunyai aktivitas
dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan prostaglandin
terhambat. Natrium diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan
mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi
peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk
pengobatan nyeri otot rangka akut (Katzung, 2011).
Natrium diklofenak diabsorbsi cepat dan sempurna melalui sasaran cerna.
Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas
pertama (first-pass) sebesar 40- 50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3
jam, natrium diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek
terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (Parwata, 2017).
Efek samping yang dapat terjadi meliputi distress gastrointestinal,
pendarahan gastrointestinal dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya
ulkus lebih jarang terjadi daripada dengan beberapa antiinflamasi non-steroid
(AINS) lainnya. Peningkatan serum amino transferases lebih umum terjadi dengan
obat ini daripada dengan AINS lainnya (Katzung, 2014).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Aquadest (Dirjen POM, 2020)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol

7
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Khasiat : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.2 Alkohol 70% (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLIUM
Nama Lain : Alkohol, Etanol, Ethyl Alkohol
Berat Molekul : 46.07 g/mol
Rumus Molekul : C2H6O
Rumus Struktur :

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P


dan dalam eter P
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari
cahaya, ditempat sejuk jauh dari nyala api
Khasiat : Desinfektan
2.2.3 Paracetamol (Dirjen POM, 1979 : 37)
Nama Resmi : ACETAMINOPHEN
Nama Lain : Paracetamol
Berat Molekul : 151,16 g/mol
8
Rumus Molekul : C8H9NO2
Rumus Struktur :

Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol


(95 %)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam
9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkalihidroksida.
Pemerian : Berupa hablur atau serbuk hablur putih, rasa pahit,
berbau, serbuk kristal dengan sedikit rasa pahit.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat : Sebagai standar uji
2.2.4 Natrium Diklofenak (Depkes RI,1995)
Nama Resmi : NATRIUM DIKLOFENAK
Nama Lain : Natrium diklofenak atau asam benzenasetat
Berat Molekul : 318,13 g/mol
Rumus Molekul : a {o-(2,6- diklorofenil)-amino} monosodium
C14H10C12NaO2
Rumus Struktur :

Kelarutan : mudah larut dalam metanol, larut dalam etanol,


agak sukar larut dalam air, praktis tidak larut
dalam klorofom dan dalam eter
Pemerian : serbuk hablur hampir putih, higroskopik, melebur
pada suhu 2840 C
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat : Sebagai standar uji

9
2.2.5 Fenilbutazon (Diren POM, 2010)
Nama Resmi : FENILBUTAZON
Nama Lain : 4-Butil-1,2-difenil-3,5-pirazolidinadion
Berat Molekul : 308,38 g/mol
Rumus Molekul : C19H20N2O2
Rumus Struktur :

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam


aseton dan dalam eter; larut dalam etanol. Larut
dala larutan alkali.
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau agak putih; tidak berbau
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat : Sebagai standar uji
2.2.6 Amonia (FI III, 1979 : 86)
Nama Resmi : AMMONIA
Nama Lain : Amonia
Berat Molekul : 35,05 g/mol
Rumus Molekul : NH₄OH
Rumus Struktur :

Kelarutan : Mudah larut dalam air


Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas menusuk
kuat.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat di tempat yang sejuk
Kegunaan : Sebagai eluen

10
2.2.7 Etil Asetat (FI III, 1979 : 41)
Nama Resmi : ACIDUM ACETICUM
Nama Lain : Asam asetat
Berat Molekul : 88,11 g/mol
Rumus Molekul : CH3CH2OC(O)CH3
Rumus Struktur :

Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan etanol (95 %)


dan dengan Gliserol P
Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, bau menusuk, rasa
asam, tajam
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai eluen

11
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Analisis Farmasi II percobaan Identifikasi Kandungan Bahan
Kimia Obat (BKO) Pada Jamu/Obat Tradisional dilaksanakan pada hari Sabtu, 22
Oktober 2022 pukul 10.00 sampai dengan 13.00 WITA, bertempat di
Laboratorium Analisis Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah neraca analitik, gelas
ukur, gelas kimia, labu erlenmeyer, batang pengaduk, cawan porselin, kaca arloji,
lampu UV 254 nm, lampu UV 366nm, lempeng KLT, pipet tetes, sendok tanduk,
corong, penangas air, pinset, pipet tetes, dan pipa kapiler.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah Alkohol 70%,
alumunium foil, amonia, aquadest, etil asetat, fenilbutazon, metanol, natrium
diklofenak, kertas saring, sampel jamu dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pembuatan larutan uji
a. Ditimbang sampel jamu gondong ijo sebanyak 500 mg
b. Dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 10 ml etanol
c. Dikocok selama 30 menit, kemudian di saring
d. Diuapkan diatas penangas air sampai kering, dan dilarutkan dengan 5 ml
etanol.
3.3.2 Pembuatan Larutan Standar Fenilbutazon
a. Ditimbang baku fenilbutazon sebanyak 0,2 g
b. Dilarutkan dengan 2 ml etanol
c. Diaduk dengan menggunakan batang pengaduk

12
3.3.3 Pembuatan Larutan Standar Natrium Diklofenak
a. Ditimbang baku natrium diklofenak sebanyak 0,2 g
b. Dilarutkan dengan 2 ml etanol
c. Diaduk dengan menggunakan batang pengaduk
3.3.4 Pembuatan Larutan Standar Paracetamol
a. Ditimbang baku paracetamol sebanyak 0,2 g
b. Dilarutkan dengan 2 ml etanol
c. Diaduk dengan menggunakan batang pengaduk
3.3.5 Pembuatan Larutan Uji Eluen
a. Diukur pelarut etil asetat, metanol, amonia ( 8,5 : 1 : 0,5 )
b. Dicampurkan ke dalam gelas kimia
c. Dijenuhkan dengan menggunakan kertas saring
3.3.6 Identifikasi Dengan KLT
a. Ditotolkan larutan uji dan larutan standar pada garis bawah lempeng KLT
b. Dimasukkan lempeng kedalam eluen yang sudah dijenuhkan
c. Didiamkan sampai eluen mencapai keatas lempeng KLT, kemudian
diangkat dengan menggunakan pinset
d. Diamati pada sinar UV 254 nm dan 366 nm
e. Dihitung nilai RF dan bandingkan dengan nilai RF larutan standar

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Hasil Pengamatan
Sampel Hasil
UV 254 nm.

Jamu Gondong Ijo

4.2 Perhitungan
1. Rf Jamu = Jarak yang ditempuh noda
Jarak yang ditempuh eluen

= = 0.75

2. Rf Paracetamol = Jarak yang ditempuh noda


Jarak yang ditempuh eluen

= = 0,75

3. Rf Fenilbutazon = Jarak yang ditempuh noda


Jarak yang ditempuh eluen

= = 0,425

4. Rf Natrium = Jarak yang ditempuh noda


Diklofenak Jarak yang ditempuh eluen
14
= = 0,475

4.3 Pembahasan
Pada Praktikum kali ini dilakukan percobaan dengan menggunakan
metode kromatografi lapis tipis. Menurut Juhriati (2015), Kromatografi lapis tipis
merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin di deteksi
dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan
kepolaran. Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisika-kimia dengan
fase gerak (larutan pengembang yang cocok), dan fase diam (bahan berbutir) yang
diletakkan pada penyangga berupa plat gelas atau lapisan yang cocok. Pemisahan
terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) lalu hasil pengembangan di
deteksi. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diam akan
cenderung tertahan dan nilai Rf-nya paling kecil. Kromatografi lapis tipis
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan
adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. Pada
identifikasi noda atau penampakan noda, jika noda sudah berwarna dapat
langsung diperiksa dan ditentukan harga R dan F nya.
Pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan obat
yang terdapat pada jamu dengan metode KLT menggunakan uv 366 dan uv 254.
Sampel yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu sampel jamu godong ijo.
Jamu godong ijo merupakan obat pegal linu dan asam urat yang mempunyai
khasiat dalam mengatasi masalah asam urat, pegal linu, rheumatic, otot kaku,
demam, meriang, dan juga dapat menurunkan kolestrol dan menjaga stamina (Nita
Karima, 2020).
Pada pembuatan larutan uji sampel jamu di timbang sebanyak 500 mg dan
dimasukan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan pelarut etanol sebanyak 10
ml dan dikocok selama 30 menit. Tujuan dari pengocokan yaitu agar jamu terlarut
sempurna dalam pelarut (Darmono, 2015). Kemudian di saring menggunakan
kertas saring, dimana menurut Wulandari (2011), penyaringan dapat memperbaiki
15
kromatogram yang dihasilkan dan mempermudah penotolan sampel karena dapat
memisahkan analit dari partikel-partikel yang ada dalam larutan sampel kemudian
Tujuan dari penguapan yaitu untuk memekatkan larutan yang terdiri dari zat
terlarut yang tak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap.
Pada pembuatan larutan baku standar dilakukan penimbangan baku
paracetamol, fenilbutazon dan natrium diklofenak sebanyak 0,2 g kemudian
dilarutkan dengan etanol sebanyak 2 ml. Larutan baku adalah yang dapat
diketahui kadarnya dan stabil saat proses penimbangan, pelarutan dan
penyimpanan. Dibuat larutan standar Menurut Regina (2016), larutan standar
adalah larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, mengandung bobot
yang diketahui dalam suatu volume tertentu larutan. Larutan standar yang dibuat
yaitu larutan standar parasetamol, fenilbutazon, dan natrium diklofenak.
Pembuatan larutan standar yaitu masing-masing sampel ditimbang sebanyak 0,2 g
dan dilarutkan dalam 2 ml etanol.
Disiapkan eluen yang akan digunakan yaitu Etil asetat : Metanol :
Ammonia dengan perbandingan 8,5 : 1 : 0,5. Menurut Eko hidayaturrohman
(2020), alasan menggunakan eluen ini karena eluen ini dapat menunjukkan
pemisahan senyawa pada fraksi lebih terlihat dengan Rf yang lebih besar.
Kemudian eluen dijenuhkan dengan menggunakan kertas saring. Menurut Gritter
(2015), tujuan dari penjenuhan yang dilakukan adalah untuk mengoptimalkan
proses pengembangan fase gerak, memperkecil penguapan pelarut dan
menghasilkan bercak lebih bundar dan lebih baik. Penjenuhan chamber yang
dilakukan dengan menambahkan eluen ke dalam chamber dan meletakkan kertas
saring di dalam chamber yang harus terbasahi oleh semua eluen.
Larutan sampel dan larutan pembanding ditotolkan pada lempeng
berukuran 5x5 cm dan diukur batas atas dan batas bawah lempeng sebesar 1 cm.
Alasan diberi batas atas dan bawah 1 cm menurut Soebagio (2010), yaitu karena
ukuran tersebut banyak digunakan dalam metode kromatografi lapis tipis yang
dapat memaksimalkan nilai Rf. kemudian dilakukan elusi.
Lempeng yang telah terelusi dengan sempurna Diamati dengan
menggunakan sinar uv 254 dan 366 nm. Pengamatan UV 254 nm lempeng akan
16
berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap. Pengamatan UV
366 nm menghasilkan bercak noda yang berpendar dengan latar belakang yang
gelap, sehingga noda yang dapat berpendar (berflouresensi) dapat dilihat secara
visual. Hal tersebut disebabkan oleh adanya interaksi antara sinar UV dengan
gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom pada bercak noda. Flouresensi yang
tampak merupakan hasil emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut
ketika elektron tereksitasi dari tingkat dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi
dan kemudian kembali semula dengan melepaskan energi.. Kemudian diamati
noda yang timbul pada lempeng (Amri, 2013).
Setelah diamati noda yang timbul dan dilingkari dengan pensil kemudian
dihitung nilai Rfnya. Alasan dihitung nilai Rf adalah untuk mengetahui
perbandingan relatif antar sampel dan dapat diketahui senyawa apa yang terdapat
dalam sampel dengan nilai Rf yang diperoleh. Hal ini sependapat dengan Regina
(2016), bahwa nilai Rf digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel.
Pada praktikum ini didapatkan nilai Rf dari sampel jamu pegal linu sebesar 0,75.
Nilai rf ini sama dengan nilai Rf dari baku parasetamol. Hal ini sesuai dengan uji
kualitatif KLT yang digunakas oleh Rahmadhani, 2021 bahwa pada sampel jamu
gondong ijo mengandung paracetamol dengan nilai Rf yang didapatkan yaitu
0,75. Maka dapat disimpulkan bahwa jamu gondong ijo mengandung bahan kimia
obat parasetamol.
Adapun kemungkinan kesalahan pada praktikum kali ini yaitu
kemungkinan pelarut yang tidak homogen, kurang hati-hatinya saat memasukkan
pelarut kedalam chamber, dan proses penotolan dan penjenuhan yang tidak
sempurna.

17
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia berupa ramuan bahan
tumbuhan obat yang telah digunakan secara turun temurun lebih dari tiga
generasi dan terbukti aman dan mempunyai manfaat bagi kesehatan. Bahan
kimia obat yakni bahan obat yang sengaja ditambahkan oleh pembuat jamu
untuk menambah khasiat jamu dan memberikan efek yang lebih instan.
Jenis-jenis Bahan Kimia Obat (BKO) yang sering ditambahkan pada jamu
yaitu diantaranya Fenilbutazon, Paracetamol, dan Natrium Diklofenak yang
berdampak bagi kesehatan tubuh apabila dikonsumsi.
2. Dari praktikum didapatkan pengujian kualitatif kandungan obat dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yaitu sampel jamu gondong ijo
teridentifikasi mengandung BKO paracetamol dengan nilai Rf sebesar 0,75.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk Jurusan
Pihak jurusan sebaiknya memfasilitasi laboratorium analisis farmasi dan
melengkapi kekurangan fasilitas di laboratorium sehingga praktikum dapat
terlaksana dengan baik
5.2.2 Saran untuk Laboratorium
Memperlengkap peralatan yang akan digunakan di dalam laboratorium
sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal.
5.2.3 Saran untuk Asisten
Untuk asisten diharapkan lebih membimbing praktikan dalam praktikum
sehingga praktikum mengenai Kromatografi Lapis Tipis dapat terlaksana dengan
lancar.

18
19

Anda mungkin juga menyukai